Alisha tersadar setelah hampir tiga hari tak sadarkan diri. Demamnya telah hilang dan ia tak lagi mengigau.
Namun kondisinya tidak sebaik yang kubayangkan. Jangankan mengharap senyuman bahagia, sorot matanya saja terlihat begitu redup. Seolah ia telah lelah untuk segalanya.
Sudah hampir tiga puluh menit, namun makanan di piringnya masih banyak tersisa. Separuhnya saja tidak.
"Alisha, makan dan habiskan," ujarku, mengambil alih sendok untuk menyuapinya.
Namun ia tidak mau membuka bibirnya.
"Aku ... tidak lapar, Rahl." Tiba – tiba ia berbicara.
Dahiku berkerut, bukan kesal. Tetapi aku juga lapa—Fokus! Rahl! Fokus! Ini bukan saatnya mengkhawatirkan perut sendiri!
"Mengapa kamu tidak memakannya, Rahl?" Alisha menawarkan makanannya.
"A-Aku tidak lapar, Alisha."
"Bohong," Alisha tersenyum. "Suara perutmu terdengar begitu jelas."
Ah! Sial! Harusnya aku makan duluan tadi!
Tetapi, aku senang melihat Alisha bisa tersenyum. Meskipun senyuman itu terasa hampa. Seperti sebuah kepasrahan.
Meski begitu, aku harus membalas senyumannya. Berharap senyumanku akan menularkan kebahagiaan kepadanya. Sebagaimana senyumannya yang selalu menularkan kebahagiaan kepadaku.
"Eh? Kamu yang sakit! Kamu duluan yang harus makan, Alisha! Paling enggak, setengahnya saja! Setengahnya buatku nanti. Gimana?"
Lagi, ia tersenyum. Namun tidak ada kehangatan di dalamnya. Dengan tatapan yang hampir kehilangan cahaya, aku merasa dirinya melihat kepada kekosongan walau tubuhku berada di depannya.
"Aku tidak selera makan, Rahl."
"Paling enggak setengahnya saja, Alisha. Se-te-ngah-nya saja."
"Kamu tidak perlu khawatir, Rahl," ujar Alisha tiba – tiba, mengalihkan pembicaraan.
Aku meletakkan piring dan sendoknya di ranjang, lalu menundukkan kepala. "Bagaimana mungkin aku tidak khawatir melihatmu seperti ini, Alisha?"
Ia membisu sejenak.
"Maaf, Rahl. Dalam beberapa hari, bisakah kamu tinggalkan aku sendirian?"
Permintaannya itu seperti orang yang akan pergi jauh.
"Jika kamu memakan setengahnya, akan aku kabulkan."
Matanya menatapku sejenak. Lalu mengambil piring yang ada di meja.
"Hanya setengah?"
"Dan setiap hari," sambungku.
Ia mengangguk dan mulai melahap makanannya.
Saat tersisa setengahnya, ia memberikan piringnya padaku. Aku menerima piringnya dan memberikan segelas air mineral kepadanya.
Setelah ia selesai meneguk airnya, aku pun beranjak pergi dengan membawa gelas dan piringnya di atas nampan.
Ketika aku hendak menutup pintu kamarnya, Alisha muntah dan terbatuk – batuk. Badannya condong ke samping seolah tak mampu untuk duduk.
"Alisha!"
Aku meletakkan nampan ke lantai dan bergegas mencegah Alisha terjatuh dari ranjang. Saat aku mendekapnya, ia tiba – tiba saja menangis dan mengeluarkan jeritan yang memilukan.
Aku berusaha menenangkannya. Namun tindak tanduknya menjadi begitu liar. Ia meronta – ronta seperti anak kecil. Aku hanya bisa diam dan menerima semua pukulannya.
Seiring berjalannya waktu, situasi pun perlahan kondusif. Alisha juga sudah mulai tenang.
Kemudian mengambilkan segelas air lagi untuknya sekaligus membereskan semuanya.
"Minumlah perlahan, Alisha."
Ia menurut dan meminumnya.
Setelah selesai minum dan meletakkan gelas pada tempatnya, aku membaringkannya dengan lembut. Mengganti selimutnya dengan yang baru dan memberikan sebuah boneka teddy bear padanya.
"Apa ini?" tanya Alisha dengan suara yang lemas.
"Agar kamu tidak kesepian."
"Aku tidak akan kesepian, Rahl."
"Walau begitu, aku yakin kamu akan membutuhkannya."
Ia mencoba tersenyum dengan wajahnya yang memucat.
"Maaf, Rahl. Aku—?"
Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, telunjukku mendarat di bibir Alisha.
"Istirahatlah, Alisha. Itu yang saat ini kamu butuhkan. Jika ada sesuatu yang kamu perlukan, jangan sungkan untuk memanggilku atau Bahamut."
Aku tersenyum padanya lalu pergi . Menutup pintu kamarnya sekali lagi.
Setelah aku keluar dari kamar, suara tangisnya itu terdengar walau berusaha dia sembunyikan.
Aku tidak tahu butuh berapa lama untuk membuatnya kembali, yang pasti aku tidak akan menyerah. Ini sebuah tekad yang telah kuikrarkan.
Hari – hari pun berlalu.
Setiap hari aku hanya bisa di sana saat jadwal makan tiba. Sebab aku tidak bisa menolak permintaannya kemarin.
Meskipun begitu, ini adalah satu – satunya kesempatan bagiku untuk bertindak. Walau hanya sebuah kesempatan yang singkat, aku tidak boleh menyiakannya.
Setiap kali ia tampak murung, aku mengeluarkan sebuah candaan yang harusnya bisa membuatnya tertawa. Namun hanya sebuah tawa kecil yang dipaksakan saja yang bisa kudapatkan darinya.
Aku juga menceritakan hal – hal konyol yang terjadi di hidupku. Dengan gaya dramatis, aku membuat heboh hingga Bahamut saja bisa tertawa geli menyaksikannya. Namun Alisha malah tidak melihatku sama sekali. Lalu saat menyadari aku telah berhenti melakukannya, ia segera meminta maaf. Padahal sudah jelas dia tidak salah apa – apa.
Setiap kali aku keluar dari sana, kesenduan kembali memenuhi kamarnya. Ia tetap mengeluarkan air mata dan sesekali isakannya terdengar menembus pintu kamar. Seolah apa yang telah aku lakukan menjadi sia – sia belaka.
Setiap hari terus berlalu sama. Membuatnya tertawa jauh lebih sulit dari pada latihan untuk menguasai kekuatan yang telah kumiliki.
Bahamut juga mendapatkan kesulitan yang sama. Namun setidaknya ia berhasil membuat Alisha mengelus – elus tubuh mungilnya. Entah mengapa aku merasa iri dan sedikit kesal.
Aku dan Bahamut sering berbincang saat berada di luar. Namun tidak selancar saat Alisha berada di tengah – tengah kami.
Kepalaku buntu. Rasa takut mulai menyambangi benakku.
Apa Alisha akan tetap seperti ini selamanya?
Hingga keesokan harinya, Alisha keluar dari pintu dan ....
"Rahl ... aku ingin bicara."
Dari nada dan raut wajahnya, ini akan menjadi perbincangan yang serius.
Aku pun mengangguk dan ikut bersamanya. Masuk ke dalam sekaligus membawa Bahamut di atas kepalaku.
Aku dan Alisha duduk di tepi ranjangnya. Berdampingan namun ada jarak yang terbentuk.
Telapak tanganku mulai basah. Isi kepalaku nyaris kosong. Melihat sosok di depanku yang dipenuhi dengan aura kelabu ini, membuatku ingin meneteskan air mata.
"Rahl," Alisha membuka perbincangan. "Aku telah memutuskan."
"Memutuskan apa?" tanyaku.
Ia pun menatap tepat ke arah mataku. Menampakkan sebuah senyuman di wajahnya yang pucat.
"Aku memutuskan untuk tinggal di sini."
"Eh? Maksudmu di dalam Babylon Tower?"
"Iya."
"Untuk berapa lama?"
Kemudian Alisha menunduk, menyembunyikan bibir yang ia gigit sendiri.
"Selamanya," lanjutnya.
Detak jantungku nyaris berhenti mendengarnya.
Aku benar – benar tidak siap untuk ini.
Setiap kali ia berkata, aku terus memberikan jeda panjang untuk membalas ucapannya. Berharap ia berhenti melanjutkan maksudnya atau waktu akan berhenti dengan sendirinya, mencegahnya berbicara.
Keheningan segera menyerbak ke seluruh penjuru. Membuat detak jantungku semakin bisa terdengar. Membuat bibirku terjebak dalam penjara waktu, kering kerontang.
"Maukah engkau bersamaku di sini selamanya, Rahl?"
Ucapan lirihnya itu mengalihkan seluruh sel dalam tubuhku. Membuatku terfokus pada wanita yang menawarkan senyuman yang telah kehilangan esensinya.
Kalimat yang dilontarkan seperti sebuah lamaran pada lelaki yang hendak ia nikahi. Namun di dalamnya tidak terdapat niat untuk itu.
"Tentu," jawabku, lirih sekali.
Aku menunduk sebentar lalu menatapnya dengan membawa senyuman dari jurang kekosongan.
Alisha tidak tersenyum. Wajahnya menjadi kecut dan air mata terkurung dalam sorot matanya.
Aku melihatnya. Tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari diri Alisha. Meskipun ia telah mengatakan sesuatu yang harusnya membahagiakan dirinya.
Namun ....
"Benar." Aku mulai berdongeng. "Nanti kita akan buat rumah besar di sini. Lalu membuat halaman dipenuhi segala macam tanaman buah yang enak untuk dimakan. Juga membuat taman bunga yang sangat indah sehingga lebah madu akan datang dan singgah di sana ...."
"Rahl ...."
Alisha hendak menyela, namun aku tak menghiraukannya.
"Juga akan membuat rumah pohon yang seperti di film layar lebar. Sekalian bangun bioskop juga di sini biar kita bisa menonton filmnya. Pemerannya bisa Bahamut dan judulnya Tikus Ajaib ...."
"Rahl!"
Lagi, Alisha menyela. Namun aku tak menghiraukannya lagi.
Aku bahkan bisa melihat Bahamut telah turun dari atas kepalaku. Tatapannya begitu dipenuhi kesedihan. Hei, hei, hei. Jangan sedih Bahamut, Bukankah kita akan mengembalikan Alisha?
"Tidak lupa juga akan membuat kontes penghargaan atas film yang terbaik. Ah! Iya juga! Kita juga harus mendirikan pabrik minuman sendiri! Aku akan memiliki minuman yang bisa mengalahkan Choco Space dan menguasai pasar! Dan lagi ...."
"Rahl! Sudah cukup!"
Kali ini Alisha menyela dengan sangat keras. Membuatku tidak bisa berdalih pura – pura tidak mendengarnya.
"Ada apa, Alisha?" Aku menatapnya dengan senyuman secerah planet pluto. "Bukankah kita harus membuat rencana jika ingin tinggal di sini?"
"Bukan begitu maksudku." Suaranya semakin lirih dan kepalanya menunduk.
"Maksudmu itu ... melarikan diri, bukan? Dari Grandorus."
"Bukan!" sanggah Alisha.
"Bukan? Itu memang benar, kan! Kau hanya ingin melarikan diri dari kenyataan!"
"Bukan!" sergah Alisha, suaranya meninggi.
"Kau terus mengatakan bukan, tapi sebenarnya kau takut menghadapi kebenaran tentang Grandorus!"
"Bukan!" Tangan Alisha secepat kilat menampar pipiku. Bunyinya menggema di udara. "Aku bilang bukan ya bukan!"
Panasnya tamparan nyaris tidak terasa saat melihat wajahnya mulai menunjukkan emosi yang membara.
"Aku tidak salah, Alisha! Kau hanya ingin melarikan diri dari kenyataan pahit yang tidak bisa kau akui!"
"Bukan!" Alisha menjerit, air matanya mengalir deras.
Saat hal itu terjadi, aku menyadari kalau diri ini benar – benar lelaki kurang ajar. Membuat wanita yang ingin dibahagiakan menangis seperti ini. Tapi aku tidak akan membiarkannya lari. Ini satu – satunya kesempatanku untuk menariknya keluar dari labirin yang menyesatkan pikirannya.
Aku menggenggam tangannya erat. Menatap ke dalam bola matanya. Lalu berbicara dengan lembut agar merasuk ke dalam batinnya.
"Apa kamu yakin, Alisha?"
Matanya perlahan melebar, napasnya sedikit tertahan.
"Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Alisha? Ada banyak orang di luar sana yang memiliki kepercayaan yang sama denganmu terhadap Grandorus. Apa kamu akan membiarkannya begitu saja?"
"Lalu apa yang harus kulakukan?" sela Alisha. "Kau kira aku bisa memberitahukan kebenarannya pada semua orang? Itu tidak mungkin!"
"Apanya yang tidak mungkin? Kau adalah Alisha Aswa! Seorang ilmuwan yang banyak dipercaya oleh orang – orang tentang penelitianmu terhadap fenomena The End!"
"Hanya orang – orang tua saja yang percaya dengan penelitianku!"
"Walau begitu!" Aku semakin erat menggenggam jemarinya. "Walau begitu, apa kau akan membiarkan mereka—orang – orang yang mempercayaimu ditipu oleh Grandorus? Bahagia dalam kedamaian palsu?"
Alisha menghempaskan tanganku. Dahinya berkerut dan wajahnya semakin sangar.
"Memangnya apa yang kau tahu tentang apa yang aku lalui!" teriak Alisha histeris.
Melihatnya seperti itu, keyakinanku mulai tumbuh.
"Aku ... aku memang tidak mengetahui apa – apa tentangmu, Alisha. Sama sekali tidak. Namun Alisha Aswa yang aku kenal itu tidak akan pernah menyerah walau sesulit apa pun keadaannya. Walau badai dan kobaran api menghalangi langkahnya, Alisha Aswa tidak akan gentar masuk demi menyelamatkan orang – orang di dalamnya. Walau orang yang dia kagumi telah melakukan kesalahan, Alisha Aswa akan berkata dengan lantang kalau mereka telah salah dan menentangnya. Apa pun itu. Siapa pun itu. Kamu pasti akan menyelamatkan mereka dan memberitahukan kebenarannya."
Alisha tak bisa membantah ucapanku. Air matanya masih tetap mengalir dengan sorot mata yang tidak terima akan keadaan.
Aku menggenggam kembali jemarinya. Duduk mendekat dan menatap wajahnya yang masih berantakan.
"Alisha ...," kataku dengan penuh kelembutan. "Tetaplah menjadi pahlawan yang membuatku selalu mengagumimu. Kau tahu? Aku akan tetap bersamamu apa pun yang terjadi. Apa pun yang akan kau tentukan nantinya. Di mana pun itu. Kapan pun itu. Aku akan tetap bersama denganmu. Membantu pahlawan yang aku idolakan, bukankah itu hal paling mengagumkan?"
Semua yang terlepas dari bibirku berasal dari lubuk hati yang terdalam. Begitu pula senyuman yang terpancar dari wajahku. Adalah seratus persen wujud dari kebahagiaan yang ingin kuungkapkan padanya.
Namun Alisha diam membatu. Ia tak membalas kata – kataku secara spontan seperti sebelumnya. Ia menunduk dan tangannya menggenggam erat jemariku. Aku dapat merasakan gemetar hebat dari jari – jemarinya.
"Apakah kau akan tetap membantuku jika seluruh dunia akan membencimu?" tanya Alisha, lirih.
"Ya."
Ia mulai menaikkan wajahnya dan menatapku.
"Apakah kau akan tetap membantuku jika seluruh dunia menjadi musuhmu?"
"Ya."
"Apakah kau akan tetap membantu, jika aku tidak bisa membayarmu?"
"Tidak mungkin aku bilang 'tidak', kan? Bahkan kebaikan yang kau berikan masih belum bisa aku lunaskan."
"Apa kau—!" Jariku segera menutup bibirnya.
"Bahkan jika Grandorus menentang jalan yang kau pilih, aku akan tetap berada di sisimu, Alisha." Perlahan aku lepas telunjuk yang menempel di bibirnya.
"Janji?" Ia mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajahku.
Sorot matanya bergetar, memancarkan sebuah harapan.
Aku mengaitkan kelingkingku padanya. "Aku berjanji."
Alisha tersenyum lega. Senyuman itu begitu cocok di wajahnya. Begitu hangat dan menularkan kebahagiaan.
Namun tangisnya tiba – tiba pecah. Ia menjerit, mengeluarkan segala kegundahan yang telah lama terpendam. Segala sesuatu yang membuatnya ragu terhanyut dalam derasnya air mata.
Aku hanya bisa melihatnya tanpa mengeluarkan kata – kata. Membiarkannya menikmati tangisan yang mungkin telah lama ingin ia lepaskan.
Kemudian Bahamut berjalan mendekat dan menyentuh jemari Alisha.
"Aku juga akan berada di sisimu, Alisha."
Suaranya yang lucu dan sedikit bergetar itu membuat Alisha menatapnya.
Alisha berusaha menghentikan air matanya dan lekas memasang senyuman.
"Terima kasih, Bahamut."
Terharu, Bahamut langsung terbang dengan berderaian air mata dan mencium pipi Alisha.
"Hoi! Tupai genit sialan!" Seketika kecemburuan mengambil alih mulutku.
"Kau yang genit, Rahl! Melihat tubuh Ali—argh!"
Aku langsung menangkap dan menyegel mulutnya.
"Hoi! Hoi! Hoi! Itu situasi darurat! Jangan samakan aku denganmu!"
Bahamut meronta – ronta dalam genggamanku. Ia bahkan berusaha menggigit jemari yang mengekang tubuh kerdilnya.
"Pffft—Hahaha!"
Seketika semburan tawa itu mengalihkan segalanya. Menarik seluruh perhatianku pada gadis yang menutupi mulutnya. Meski jejak air mata masih menempel di kedua pipinya, wajah Alisha tampak begitu cerah dan bersahaja.
"Apa yang kalian lakukan, sih?" ucap Alisha terbata – bata sembari menahan tawanya.
"Yee! Bahamut yang cari gara – gara!" ujarku, mengelak.
"Hoi!" Bahamut berhasil terlepas dari genggamanku, ia mengoceh. "Kamu yang cari gara – gara, mantan Mohawk!"
"Hoi! Itu aib! Dasar tikus sok imut!"
Akibat dari percekcokan kami, tawa Alisha semakin tak terkendali. Ia terkekeh – kekeh sampai membuat kami berdua bingung dan berhenti berselisih.
Namun saat melihat keceriaan wajah Alisha disertai ingus yang turun dari hidungnya, perutku langsung tergelitik hebat hingga membuatku tertawa terbahak – bahak. Bahamut juga ikut serta dalam paduan tawa yang membahana. Bersama – sama mengganti kelamnya ruangan dengan corak bahagia yang penuh warna.
Aku sangat yakin. Kali ini, Alisha benar – benar terlepas dari beban yang memberatkan langkahnya. Melihatnya begitu bahagia menguapkan semua rasa lelahku sampai tak bersisa.
Ini adalah sebuah pencapaian yang bisa kukenang selamanya.
Usahaku berhasil dan pahlawanku telah kembali.