Aku tidak mengerti apa yang membuat Alisha dan Rahl kegirangan. Mereka berdua menyebutnya Mahfuzi, buku yang mencatat segalanya. Hanya saja, Aku tidak bisa melihat apa pun di sana. Yang aku lihat hanyalah dua manusia yang kegirangan pada sesuatu yang tidak pernah ada.
~0~
Alisha sedari tadi menjingkrak – jingkrak kegirangan. Ia berkeliling sesekali untuk melihat secara menyeluruh buku jumbo yang disebut Mahfuzi itu dengan sangat bersemangat.
Reaksinya itu sangat berlebihan jika dibandingkan wanita normal. Sayang, wanita jelita ini kalau sudah menemukan sesuatu yang sangat menarik, akan terputuslah urat malunya. Paling tidak, itulah yang sering ia lakukan di hadapanku. Karenanya aku selalu bersyukur. Tindak tanduknya yang jenaka itu pasti berhasil mengurangi rasa cemas dan gerogi yang menggerayangiku.
"Ayo, Rahl!" ajak Alisha, matanya berbinar.
"Iya, iya." Aku memalingkan pandangan dan melihat tupai yang berdiam diri di belakang. "Kamu tidak ikut, Bahamut?"
" ... Tidak. Aku akan berjaga di sini. Ruangan ini masih belum tentu aman. Alisha, panggil aku jika terjadi sesuatu."
Walau wajahnya penuh dengan bulu, aku tahu kalau dia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Entah apa, namun dia pasti sudah memikirkannya dengan matang, kurasa.
"Oke, Bahamut!" Alisha mengacungkan jempolnya.
Aku berdiri di samping Alisha. Jemarinya menggenggam erat jemariku. Aku bisa merasakan gemetar hebat darinya, namun wajahnya begitu tegar, sorot matanya sangar, tidak menampakkan rasa takut itu.
"Alisha ..."
"Rahl ..."
Tangan kami yang bebas menyentuh Mahfuzi secara bersamaan. Dalam seketika, kami langsung berada di tempat yang berbeda. Berdiri bebas di angkasa lalu turun dengan kencang secepat gravitasi yang menarik kami ke bawah.
Aku memeluk Alisha seeratnya sebelum tubuh kami menghujam lautan yang biru. Jatuh ke dalam hingga cahaya tak mampu menembus lapisannya. Tenggelam.
Aku berusaha erat menggenggam tangan Alisha. Kami berdua kesulitan untuk naik ke atas permukaan. Dengan susah payah, kepala kami berhasil muncul ke permukaan air.
Belum. Ini belum selesai.
Saat itu terjadi, gelombang tsunami pun telah menanti. Kami saling menatap dan menarik napas yang dalam untuk mempertahankan diri.
Saat tsunami itu jatuh dan menghantam, kami pun terpisahkan oleh derasnya gelombang yang ganas.
Aku terombang – ambing oleh arus yang tak kenal ampun. Hingga napas yang kutahan ini berada di titik kritis, basah yang kurasakan ini pun mengering tiba – tiba.
Kali ini dunia berubah menjadi sebuah daratan yang dipenuhi erupsi merapi. Lava yang menggelegak itu membuatku hampir kencing di celana. Bagaimana tidak? Tubuhku yang terhempas di dekat puncaknya sangat terancam akan kematian.
"Apa – apaan ini!" Aku berteriak sekerasnya. "Alisha! Di mana kau?"
Suaraku menggema sendirian. Bahkan bagi seorang jomblo sepertiku, ini sudah kelewat batas.
Namun seolah dunia ini murka, gunung yang ada di dekatku mulai erupsi. Berawal ledakan yang memuntahkan asap hitam dan debu vulkanik. Lava dan batunya juga mulai ikut dalam orkestra kehancuran. Laharnya yang mengalir ikut memburu kedua kakiku.
Astaga! Ini bukan candaan! Apa yang sebenarnya terjadi?
Padahal kami hanya menyentuh Mahfuzi, tapi malah terlempar ke tempat antah berantah seperti ini!
Aku hanya bisa terus berlari. Walau dengan penguatan tubuh sekalipun, laju laharnya terlalu cepat untuk dihindari.
Sial! Sial! Sial!
Sesaat lahar itu nyaris menjilat betisku, langkahku terhenti pada lubang yang muncul entah dari mana, jatuh bebas ke dalam jurang yang gelap.
Aku bahkan tidak bisa melihat cara untuk kembali. Bahkan dengan void syndrome sekalipun, tidak ada terlihat celah atau retakan dimensi untuk disinggahi.
Tempat ini, seolah bukan untuk manusia.
"Benar sekali, manusia."
Suara itu memercikkan sedikit harapanku kembali, masih ada jalan pulang.
"Siapa kau?"
"Aku adalah Sang Pemandu. Yang akan menilai pantas atau tidaknya kalian untuk mendapatkan rahasia di balik penciptaan dan kehancuran."
Ucapannya jauh lebih mengerikan dari peninjau interview untuk melamar kerja.
"Jadi bagaimana menurutmu? Apakah aku lulus?"
"Tentu tidak—"
"Pastinya," sambungku. "Jadi aku harus bertahan hidup dari jurang tak berujung ini? Baiklah!"
Lagak sombong ini hanya kilah untuk mengelabui rasa takut yang sedari tadi menyuruhku mengemis simpati dari Sang Pemandu.
Aku menampar kedua pipiku.
Ingat Rahl! Masih ada yang harus kau lakukan! Jauhkan egomu!
"Wahai, Sang Pemandu. Jika kau mendengarkan, aku ingin kau menyelamatkan wanita yang datang bersamaku. Apa kau bisa melakukannya?"
"Tentu tidak. Buktikan kalau kalian layak untuk datang kemari."
Suara itu lenyap bersamaan dengan jurang gelap yang tak berujung ini.
Cahaya menyilaukan itu membuat mataku tak dapat melihat apa pun. Mataku terasa sangat sakit dan berdenyut keras, seolah kilauan cahaya itu menjadi racun yang merenggut penglihatan.
Tubuhku juga tercabik – cabik oleh sesuatu yang cepat dan tajam. Dalam keadaan yang buta seperti ini, aku hanya bisa bergantung pada kekuatan regenerasi dan penguatan tubuh. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan?
Serangan yang kuterima semakin sakit dan dalam. Bahkan regenerasiku tak lagi mampu untuk mengembalikan luka seperti sedia kala. Jika ini terus berlanjut, aku akan mati kelelahan atau kehabisan darah lebih dahulu.
Sialan! Alisha! Semoga kau baik – baik saja!
Sesaat kesadaranku hampir menghilang, gendang telinga diserang oleh bunyi yang memekakkan. Darah mengucur deras dari lubang telinga sampai membasahi pipi, membuatku spontan menjerit menahan sakit.
"Apa ini! Apa – apaan ini! Sial! Sial! Sial!"
Belum sempat terbiasa pada semua rasa sakit yang kurasakan, bau yang sangat busuk langsung meracuni hidungku. Perutku mual sampai ingin membuang seluruh organnya keluar dari mulut.
"Apa – ap—gwuek!" Suaraku terputus, rasanya seisi perutku akan benar – benar dimuntahkan.
Rasa sakit tercabik – cabik di setiap kulitku. Mata yang terbutakan cahaya yang menyilaukan dan menusuk. Telingaku hancur dan hanya bisa mendengarkan dengungan radio rusak. Hidung tak lagi mampu menahan kebusukan yang akan merenggut kesadaranku.
Apakah ini neraka? Apakah sebesar itu dosaku sampai mendapatkan siksaan ini? Ini tidak adil! Ini tidak adil! Ini tidak adil!
Bagaimana aku mendapatkan siksaan seperti ini?
Bagaimana para penyeleweng di sana bisa tertawa bahagia?
Bagaimana para pengingkar janji bisa menikmati hasilnya?
Kenapa harus aku!
Kenapa harus aku yang mendapatkan penderitaan ini!
Rasa sakit yang menggerayangi empat dari lima panca indera, benar – benar membuatku keluar dari ambang batas kewarasan.
Seluruh isi kepalaku berubah menjadi penyesalan, kebencian, dan amarah.
Jiwaku yang tak lagi mampu menahan rasa sakit memutuskan hubungan dengan akal dan syaraf.
Aku melarikan diri dari rasa sakit ini.
Begitu yang seharusnya kulakukan dari awal. Tersiksa hanya karena menjalankan misi adalah sebuah kebodohan. Untuk menyelamatkan dunia? Dunia saja tidak peduli padaku! Tidak ada satu pun yang akan peduli pada manusia tidak berguna sepertiku! Tidak akan pernah ada!
Aku tidak peduli! Aku tidak peduli! Persetan dengan semua omong kosong yang membuatku menderita!
"Jadi kau tidak peduli lagi dengan Alisha?"
Sebuah suara yang mirip denganku terdengar. Nadanya begitu menyindirku.
Bukan! Aku—Alisha lah satu – satunya yang aku pedulikan!
"Lalu mengapa kau melarikan diri?"
Diam! Aku bukan melarikan diri! Bu—Memang, aku melarikan diri dari penderitaan gila ini. Tapi!
"Lagi, kau membuat alasan untuk memenuhi keegoisanmu. Kapan kau akan berubah, Rahl?"
Diam! Diam! Diam! Kau tidak akan pernah mengerti!
"Aku tidak akan pernah bisa mengerti, jika kau hanya kabur dari kenyataan yang harus kau emban."Suaranya perlahan berubah menjadi lembut dan menghangatkan, itu suara Alisha. "Jadi kau akan meninggalkanku, Rahl?"
Kalimat yang diucapkannya membuatku menjerit ketakutan. Ucapannya begitu tajam hingga menghujam dalam ke inti jiwa.
Mengapa Alisha sampai berkata demikian?
Mengapa lagi – lagi aku menjadi pengecut seperti ini?
Ke mana perginya tekad yang telah kubulatkan?
"Arggghhhh!" Aku berteriak sampai pita suaraku terasa panas dan menyakitkan.
Jika penderitaan ini saja tidak bisa kulewati, bagaimana mungkin aku akan melindungi Alisha?
Wahai wujud pengecut yang bersemayam di dalam jiwa, untuk kali ini saja, aku mohon. Jadilah pemberani yang akan menyelamatkan Alisha.
Tidakkah kita ingin melihat senyumannya lagi?
Tidakkah kita ingin tertawa bersamanya lagi?
Tidakkah kita ingin bisa berada di sampingnya?
Membantunya menggapai impian gila yang ia selalu umbarkan?
Aku pasti menampakkan senyuman yang sangat dipaksakan saat ini. Walau begitu, akhirnya aku bisa mendapatkan seutas keberanian.
Rasa sakit yang sempat menghilang itu kembali menghujam seluruh inderaku. Aku meronta sekuatnya. Tekad yang sebelumnya karam, bangkit kembali walau terseret – seret.
"Izinkan aku untuk bersamamu, Alisha."
Namun mulutku berhenti bersuara. Kesadaranku mulai padam. Asa ikut menghitam.
Sekali lagi, kepada yang menguasai kehidupan dan penciptaan. Sebelum jiwa dicium oleh kematian, kumohon dengan seluruh kepasrahan diri, izinkanlah aku untuk membuat hidupku sedikit lebih berarti.
Saat seluruhnya menjadi kesunyian. Ucapan yang sangat pelan sekalipun akan mampu bergema ke setiap sudut kekosongannya. Bahkan ke dalam jiwa yang tengah di ambang kematian.
"Kau lulus."
~0~
Aku tersadar dalam keadaan berdiri. Mataku bisa melihat normal. Telingaku dapat mendengar lagi. Bekas luka di sekujur tubuhku menghilang, bahkan pakaianku juga tidak terkoyak sedikit pun.
Saat pandangan ini menangkap sosok yang tengah dinanti, air mata mengucur deras tak terhenti.
"Rahl!" Alisha langsung mendekapku erat.
Aku membalas dekapannya, hanya saja rasa syukur ini membuatku ingin berlutut, bersujud.
Entah mengapa, lagi – lagi aku merasakan perasaan ini.
"Alisha ... Syukurlah kamu baik – baik saja."
Alisha melepas pelukannya. Menatapku penuh perhatian. Sorot matanya seolah memberikanku kekuatan untuk menghentikan air mata.
Ajaibnya, itu bekerja. Sungguh wanita yang misterius, mempesona dan berkilauan.
"Laki – laki itu tidak boleh cengeng, kau tahu?" bisik Alisha, kedua tangannya menyeka air mataku.
"Kamu saja yang terlalu hebat, Alisha."
Ia tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya sebentar.
"Itu bukan kalimat yang pantas dikatakan lelaki pada wanita, Rahl."
Ah! Bodohnya aku! Mengapa aku bertingkah seperti gadis yang dimabuk cinta! Ingat, Rahl! Kamu itu cowok! Bukan Juliet!
"Aku hanya mengatakan kenyataan, Alisha."
Ah! Apa-apaan ini! Aura merah jambu berterbangan di angkasa. Hentikan perkembangan karakter seperti ini! Sadar, Rahl! Sadar!
"Bisa kita lanjutkan urusan ini?"
Suara itu seketika melenyapkan harmoni merah jambu yang tengah kurasakan. Itu berasal dari sebuah bola cahaya yang redup.
Dahi langsung mengerut, wajahku pasti mengecut.
"Kaukah Sang Pemandu?" tanyaku.
Alisha langsung menahanku untuk maju.
"Tenangkan dirimu, Rahl. Dia hanya menjalankan tugasnya. Bukan bermaksud untuk melukai kita," ujar Alisha. Namun tiba – tiba saja nada bicaranya terdengar begitu dingin. "Hanya saja, bukankah itu sedikit berlebihan, Sang Pemandu?"
"Maaf atas ketidaksopananku. Namun itu diperlukan."
Tidak terdapat penyesalan dalam ucapannya. Entah dia memang bukan makhluk yang memiliki perasaan atau hatinya terbuat dari benda mati yang tidak bisa merasakan kehangatan.
Alisha menenangkan diri, menahan emosinya dan menepuk pipiku.
"Hoi! Jangan menepuk pipiku sembarangan!"
Ia tersenyum centil sebentar lalu kembali bertanya pada sang bola cahaya.
"Di manakah kami bisa menemukan pengetahuan yang kami butuhkan, Sang Pemandu?"
"Kalian sudah berada di dalam Mahfuzi. Aku adalah keberadaan yang membuat kalian dapat hidup di sini. Seluruh informasi di sini terlalu banyak untuk tubuh kalian. Kalian dapat hancur seperti yang pernah kalian rasakan sebelumnya."
Ucapannya itu sangat sombong. Namun jika itu benar, maka perkataannya tidak bisa disanggah sedikit pun.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Sang Pemandu," cetus Alisha.
"Apa yang aku maksud adalah, kalian hanya perlu bertanya padaku. Dan aku akan menunjukkannya. Seperti ini."
Sesaat ia mengakhiri ucapannya, lantai yang kokoh ini berubah menjadi lautan biru yang membentang luas. Pilar dan langit – langit yang ada di ruangan itu lenyap tak bersisa. Kami berdiri di atas permukaan air tanpa basah sedikit pun. Seolah kami berpindah ke dimensi yang berbeda.
"Sudah paham yang kumaksud?" jelas Sang Pemandu.
Kami hanya bisa terdiam, kagum serta takut. Namun kami tidak boleh gentar.
"Kalau begitu, tunjukkan pada kami tentang kebenaran tujuh pahlawan dan fenomena THE END," ujar Alisha.
"Apakah kalian yakin dengan itu?" Suaranya terdengar seperti ancaman.
"Setidaknya aku tidak akan menyesal telah mengetahuinya," balas Alisha dengan penuh keyakinan.
"Bagaimana denganmu, Anak Lelaki?"
Aku memantapkan niat dan menepuk dada sekali.
"Tentu saja. Inilah tujuan kami sejak awal." Aku tersenyum, berusaha mengimbangi keyakinan yang Alisha tunjukkan.
"Baiklah. Kalau begitu, terimalah dengan seluruh raga dan jiwa kalian, kebenaran tentang tujuh pahlawan dan fenomena the end."
Sang Pemandu mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Menghujani kami dengan kilauan yang tak sanggung diterima oleh mata. Dalam sekejap informasi membanjiri setiap sel dalam tubuhku.
Informasi itu luber dan membentuk proyeksi yang begitu nyata. Sampai membuatku tak bisa membedakan kenyataan dan khayalan.
Sebuah kebenaran yang ditutupi oleh 'mereka'.
Bibirku pun melepaskan sebuah pertanyaan di balik rahasia yang mengerikan.
"Inikah kebenaran? Jadi selama ini ... kami hanyalah bidak yang bisa dicampakkan?"
~0~