Di mana aku?
Setelah dunia terlihat berputar – putar, aku tiba di tempat yang gelap nan pekat.
Apa ini kematian?
Astaga! Tikus itu! Apa yang dia lakukan sebenarnya?
"Rahl!"
Seseorang memanggil namaku berulang – ulang. Sesaat kegelapan ini memudar, suara itu semakin jelas terdengar.
Sosok yang memanggil namaku itu mulai terlihat rupanya. Seorang wanita yang memakai jas laboratorium.
"Alisha?"
Wanita itu berkacak pinggang dan terlihat sedikit kesal.
"Aku telah memanggilmu berulang kali lho! Jangan tidur terus!"
Eh? Tertidur?
"Kok bisa?" Aku melihat Alisha berdiri tanpa kursi rodanya.
"Anak kecil memang payah!" Suara yang menggetarkan itu berasal dari kadal yang kepalanya berada jauh di atas kepalaku.
"Pendapat kadal tidak dihitung. Hei! Bukannya tadi kau melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap kami, Bahamut?" Mataku menatapnya tajam.
"Hanya melepaskan kepala saja. Itu tidak kejam kok."
Seluruh otot dalam tubuhku berteriak untuk meninju selangkangan kadal tua ini. Andaikan saja kulitnya tidak sekeras baja, pasti sudah aku lakukan setiap detik.
"Jadi, apa yang harus kami lakukan di sini? Dan Apa Alisha sudah sembuh?"
Kadal itu perlahan diselimuti oleh angin yang berwarna kehitaman dan perlahan melebur menjadi bulir – bulir cahaya. Dari bulir yang tersisa muncul sosok tupai yang merupakan perwujudan lain dari dirinya.
Bahamut yang telah merubah wujudnya itu turun perlahan ke telapak tangan Alisha yang terbuka lebar.
"Tidak perlu khawatir, Anak Kecil. Alisha sudah sembuh sepenuhnya. Dan selanjutnya, adalah ini." Sesaat Bahamut menjentikkan jarinya, muncul sebuah pintu yang entah dari mana asalnya.
Pintu itu terlihat begitu tinggi. Saking besar dan megahnya, ini lebih layak disebut sebagai pintu gerbang kerajaan.
"Apa ini, Bahamut?"
Sesaat aku mencoba menyentuhnya, ada sebuah sengatan listrik yang cukup mengejutkan.
"Jangan menyentuhnya, Anak Kecil. Itu adalah gerbang jiwa milikku."
"Gerbang jiwa!" Mata Alisha langsung berbinar terang.
"Alisha jangan disentuh!"
Peringatanku itu tak didengar olehnya. Hingga ia mengeluarkan suara desahan kecil saat menyentuh benda besar tersebut. Entah mengapa? Suara itu cukup menggemaskan.
"Hoi!" Aku langsung menahan Alisha sesaat dia mencoba menyentuhnya lagi.
"Ini demi ilmu pengetahuan, Rahl!"
"Ilmu pengetahuan jidatmu! Kau hanya penasaran!"
Bahamut lalu menjentikkan jarinya sekali lagi. Satu pintu lagi muncul di hadapan kami.
"Itu adalah gerbang jiwa milikmu, Alisha," jelasnya.
Monster yang haus akan rasa penasaran yang sedang kutahan ini tak lagi dapat kubendung. Dia berhasil melepaskan diri dan menyentuh pintu yang disebut sebagai gerbang jiwa miliknya. Alisha senang bukan kepalang.
Gerbang jiwa Alisha itu tidak sebesar milik Bahamut. Namun jauh lebih indah dan elegan. Warnanya putih nan bersih yang dihiasi ornamen keemasan. Bahkan ada papan namanya terletak di bagian tengah. Sungguh seperti pintu kamar seorang ratu.
Entah mengapa, aku merasa kalau gerbang jiwaku akan menjadi sesuatu yang begitu wow. Keren. Beken.
"Bahamut! Mana gerbang jiwaku?"
Bahamut mengeluarkan raut sendu seolah baru saja mendengar kabar duka cita. Setelah berkedip beberapa kali, ia menjentikkan jarinya.
Boom!
Tampak sebuah pintu yang muncul di hadapanku.
Pintu itu berwarna pink. Terbuat dari plastik dan sering sekali terlihat saat aku sedang ke kamar mandi.
"WOI! Kenapa gerbang jiwaku malah pintu WC!"
Aku berteriak sekesal – kesalnya. Otot di wajahku bahkan sampai menjadi kekar bak atlet binaragawan.
"Rahl ..." Raut wajah mengasihani itu membuatku semakin ingin meremasnya. "Semuanya berasal dari kecil dahulu."
Aku hanya bisa tertunduk malu. Harapanku menjadi seorang pahlawan pupus tak bersisa.
"Kenapa ada toilet di sini?"
Pertanyaan Alisha yang begitu polos bahkan membuatku semakin jatuh dalam keputusasaan.
"Itu. Gerbang. Jiwaku."
"Manis ya!"
"Manis apanya? Itu pintu WC!"
"Warna pink, 'kan? Bukankah itu menunjukkan kepribadianmu yang ramah dan ceria, Rahl?"
Perkataan Alisha itu bak oasis di tengah padang pasir. Menghidupkan kembali sisa – sisa semangat yang ada di dalam jiwa ini.
"B-Benarkah itu, Alisha?" Mataku membulat ingin dimanja oleh kebaikannya.
"Tentu." Alisha pun mengelus kepalaku bak anjing peliharaan.
Bahamut berlari menuju ke atas kepala guna mencegah Alisha untuk mengelusku.
"Sudah sudah!" Bahamut merentangkan tangan mungilnya dan menginjak – injak kepalaku.
"Dasar Tupai!" Seketika itu pula aku meraih badannya dan melemparkannya ke atas.
Home Run! Teng! Teng! Teng!
Segera, Bahamut menerjang wajahku dari atas dengan kaki kecilnya. Alhasil, kami pun adu cekcok bak anjing dan kucing.
Namun aura kekesalan yang dipancarkan Alisha itu membuat bulu kuduk kami berdiri. Aku dan Bahamut pun berlutut tunduk.
"Rahl, Bahamut," kata Alisha. "Sudah cukup bercandanya."
"Maaf," ujar kami berdua bersamaan.
Setelah keadaan kembali tenang, Alisha menyuruh Bahamut menjelaskan kembali semuanya.
"Jangan pernah menilai gerbang jiwa dari penampakannya. Sungguh, masing – masing dari jiwa memiliki kekuatannya sendiri." Bahamut pun menggeser salah satu gerbang jiwa sehingga berdekatan satu sama lain. "Silakan masuk ke dalam gerbang jiwa kalian masing – masing. Saat kalian memasukinya, kalian akan mengerti sendiri."
Entah mengapa, aku cukup ragu untuk memasukinya. Tidak seperti Alisha yang tanpa berpikir dua kali untuk membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya.
Kalau dipikir – pikir, aku ini ternyata cukup pecundang, ya?
Aku menepuk pipi dan menatap ke depan. Meraih pintu itu dan mendorongnya.
Dalam sepersekian detik, pintu itu menghilang. Namun tubuhku seolah diselimuti oleh sesuatu yang asing. Hingga membuatku mual dan muntah – muntah.
"Tahan, Rahl. Itu adalah efek samping dari pembukaan paksa dari gerbang jiwa. Jika bisa menahannya kamu bisa mendapatkan kekuatanmu."
Suara Tupai itu terdengar jelas. Namun perlahan semakin samar. Bahkan apa yang kulihat saja sudah seperti adonan telur yang diblender. Pusing sekali.
Saat pandanganku menghitam, tubuh ini terasa hangat. Perutku yang mual menjadi nyaman. Seolah sesuatu telah membersihkan kotoran pada aliran darah dan membantuku bangkit dari kegelapan ini.
Saat membuka mata, Aku merasakan sesuatu yang luar biasa dari dalam tubuhku. Aku melompat dan ternyata benar. Tubuhku telah menjadi lebih kuat. Bayangkan saja, aku bisa melompat secara vertikal setinggi 10 meter tanpa ancang – ancang.
"Bagaimana, Bahamut?"Setelah mendarat kembali, aku membuat pose layaknya suparman. "Udah bisa jadi pahlawan pro, 'kan?"
Mata Bahamut menyipit. Ia mendesahkan napas panjang dari rautnya yang amat datar itu.
"Kekuatan yang kamu terima hanya penguatan tubuh dan regenerasi saja. Tidak ada yang perlu dibanggakan," ujar Bahamut sambil mengupil.
Kimbeng juga nih, Tupai. Tapi gak apa – apa. Aku sudah memiliki kekuatan yang dulunya hanya seorang penganggu—maksudku, Job Hunter. Dengan begini, aku akan bisa melindungi Alisha.
"Tapi mengapa kau bisa tahu tentang kekuatanku, Bahamut?"
Tiba – tiba saja dia terbatuk – batuk dan tanpa sengaja menelan upilnya.
"Y-Ya karena sudah terlihat jelas dari tindakanmu."
Sungguh mencurigakan.
Aku menatapnya balik. Amat serius. Namun dia malah mengalihkan pandangannya.
"Dari pada itu, lihat saja Alisha."
Sesaat Bahamut menyebut namanya, sebuah pilar cahaya muncul dari kehampaan. Dari dalamnya keluar Alisha yang diselimuti sesosok wanita bertubuh molek yang memiliki sayap putih di punggungnya. Dengan perlahan Alisha dibawa turun oleh sosok yang mirip seperti dewi kuno ke permukaan lantai. Ia mengelus kepala Alisha dan tersenyum.
"Terima kasih, Rosales." Sesaat Alisha melambaikan tangannya, Sosok bak dewi itu lenyap menjadi bulir – bulir cahaya yang menghangatkan.
Aku hanya bisa terpana oleh kecantikan keduanya.
"Rahl?" Suara lembut Alisha masuk ke dalam dan nyaris melelehkan akalku.
"Eh? Ya? Ada apa, Alisha?"
Ia tersenyum dan tertawa centil.
"Tidak ada. Hanya ingin memanggil namamu saja."
Apa ini? Apa ini!
Kenapa Alisha yang maniak ilmu pengetahuan dan nerdy itu menjadi sosok yang bisa mengeluarkan aura yang begitu memikat anak adam?
Apa yang terjadi sebenarnya?
"Sepertinya ada yang telah berubah padamu, Alisha."
"Berubah?" Alisha memeriksa pakaiannya. Lalu meraba wajahnya sendiri. "Tidak ada yang berubah kok."
"Maksudku bukan penampilan. Tapi sifatmu."
"Oh!" Alisha cukup terkejut dengan ucapanku. "Bukan berubah, mungkin lebih tepatnya aku sudah mengerti sesuatu yang penting."
"Memangnya apa itu?"
"Ra-ha-sia." Dia pun tersenyum manis. "Lagian, kamu harusnya yang lebih dulu bercerita, Rahl. Apa yang kamu lihat dalam ingatanmu?"
"Ingatan? Apa maksudmu?"
Aku benar – benar tidak mengerti.
"Kamu tidak melihat sesuatu saat membuka pintu dari gerbang jiwamu?"
Ia mendekatkan wajahnya padaku tanpa ancang – ancang. Matanya yang membulat itu memancarkan rasa penasaran yang cukup mengusikku.
"Saat aku membukanya, aku hanya merasakan pusing, mual dan serasa ngantuk saja. Tidak melihat apapun selain kegelapan."
Alisha menarik kepalanya kembali. Ia mengelus dagunya dan jatuh ke dalam pikirannya.
"Bahamut?" tanya Alisha. "Apa memang benar demikian?"
Tupai—Bahamut itu berlari dan memanjat jas laboratorium Alisha lalu duduk di atas kepalanya.
"Benar. Tidak ada yang aneh, Alisha."
Alisha semakin jatuh dalam pikirannya.
Sementara aku merasa Bahamut sedang menyembunyikan sesuatu yang cukup vital. Apa ini tentang ingatan memalukan diriku? Mungkin saat aku mencoba menyembunyikan celana dalam Alisha sewaktu masih di kampus dulu—Astaga! Stop mengumbarkan aib sendiri hoi!
Aku hanya bisa menepuk jidatku berkali – kali untuk melupakan ingatan mengerikan tersebut.
"Rahl, kamu kenapa?" tanya Alisha.
"Tidak mengapa. Entah mengapa aku cukup pusing. Bahamut, apa aku sudah bisa kembali?"
"Sudah. Jika sudah sadar, lekas beristirahat, Anak Kecil."
Bahamut menjentikkan jemarinya lalu seluruh pandanganku menjadi hitam. Rasa kantuk itu menyerang dan membuatku tak sadarkan diri.
***
Setelah Rahl keluar dari dimensi jiwa, Bahamut tiba – tiba mendadak kembali ke wujud aslinya. Dia mengulurkan tangannya pada Alisha yang ada di hadapannya.
"Alisha, maukah engkau melakukan kontrak denganku?"
"Kontrak?" Alisha kebingungan. "Untuk apa, Bahamut?"
"Engkau adalah seorang pemanggil. Atau sering disebut sebagai Summoner. Dengan kemampuanmu itu kau pasti bisa menggunakan sebagian dari kekuatanku jika telah membuat kontrak dengan diriku."
"Namun untuk apa?" tanya Alisha dengan mata yang tajam. "Aku rasa kekuatan yang berlebihan tidak cocok denganku, bukan?"
Bahamut menatap balik Alisha. Ia merendahkan wajahnya hingga matanya begitu dekat dengan tubuh Alisha. Seolah memastikan tekad sang gadis yang berdiri dengan kaki yang gemetaran.
Bahamut kembali mengangkat kepalanya. Lalu ia menjentikkan jemarinya dan sebuah gerbang jiwa baru pun muncul.
"Kontrak denganku adalah untuk melindungi dirimu dari pemilik gerbang jiwa ini, Alisha."
Alisha terjerembab saat melihat betapa mengerikan miasma kegelapan yang terpancar dari gerbang jiwa itu. Tengkorak dan tulang – tulang hitam yang menghiasi gerbang itu bergerak – gerak seolah hidup dan ingin terlepas dari ikatannya. Sungguh pemandangan yang mengerikan dan menjijikkan.
"S-Siapa pemilik dari gerbang jiwa mengerikan ini?"
Bahamut diam sejenak. Sebuah keheningan yang membuat firasat buruk Alisha mencuat kuat.
"Tentu saja. Rahl."
Alisha jatuh dalam kenyataan pahit yang membuat senyuman lenyap dari wajah jelitanya.
"Tidak mungkin."