Chereads / Shitty World & Heroes / Chapter 17 - Chapter 13 : Latihan Dan Jejak Kebenaran

Chapter 17 - Chapter 13 : Latihan Dan Jejak Kebenaran

Setelah terbangun dari dimensi jiwa, aku menyadari beberapa hal yang perlu digarisbawahi.

Pertama, leherku benar – benar terputus. Bekas guratan yang masih terukir di kulit leher menjadi bukti yang tidak terelakkan.

Kedua, rambut mohawk-ku menghilang. Kini gaya rambutku menjadi normal seperti sebelumnya.

Ketiga, kemungkinan besar aku akan meninggalkan status penganggu—maksudku, Job Hunterku, menjadi seorang pahlawan sungguhan. Mungkin aku akan bisa membayar hutangku yang tak terlunaskan itu plus minum Choco Space setiap hari tanpa perlu menunggu traktiran Alisha lagi! Yuuhuu!

Terlepas dari itu, Aku harus serius menjalani latihan untuk menguasai kekuatan yang baru saja kudapatkan.

Menu latihan yang kudapatkan berasal dari Tup—maksudku, Bahamut, dia membuat menu latihan yang cukup mudah dan teratur. Bayangkan saja, salah satu menu latihannya adalah mencabut bulu hidung. Sungguh mulia sekali pemikiran tupai itu—Ya kagaklah! Dia benar – benar mengerjaiku!

Awalnya aku mengira menu itu diisi dengan keseriusan dan ketulusannya. Namun seiring kukerjakan semua itu perlahan, entah mengapa aku merasa terbodohi oleh makhluk yang bahkan tidak memakai baju tersebut.

Oleh sebabnya, aku memulai latihan sendiri.

Eits! Jangan salah! Aku cukup hebat dalam mengamati sesuatu.

Latihan yang kususun simpel sekali.

Hanya perlu berlarian ke sana kemari hingga ngos – ngosan. Squat jump sampai keringat dingin. Lalu lompat ke tiang – tiang seperti monyet lampung.

Aku memang terlalu jenius untuk hal sepele seperti ini. Tentu hasilnya akan sepadan. Asal serius dan tekun, aku pasti berhasil menguasainya.

Selain latihan ini, tentu aku tidak lupa untuk mencari mitos tujuh pahlawan dan Mahfuzi. Seandainya terlupa, Alisha akan dengan senang hati datang membawa senyuman yang membuat bulu kudukku berdiri.

Lupakan. Jangan sampai terjadi, Rahl. It's disaster!

Di sela – sela pencarianku yang mungkin tidak akan pernah berakhir tersebut, ada hal yang masih menjadi misteri di ruang yang penuh dengan buku ini. Yakni proses pengembalian posisi dari setiap benda yang telah bergeser atau digerakkan.

Maksudnya, setiap kali aku memindahkan buku A ke rak B, maka dalam beberapa menit kemudian buku A akan kembali ke rak A dengan sendirinya. Begitu pula pada benda – benda yang lain.

Aku membutuhkan tiga hari tiga malam untuk menyadarinya. Aku memang jenius!

Yang menjadi penemuan terhebatku adalah lantai dan raknya juga bisa digeser ke arah tertentu. Awalnya aku menganggap itu sebagai fitur tambahan agar tidak bosan membaca di tempat ini. Namun secara tidak sengaja, aku melihat tempat ini dari ketinggian setelah melompat menggunakan kemampuan penguatan tubuh. Hasilnya sungguh mengejutkan.

Rak – rak buku, lantai dan tiang – tiangnya membentuk sebuah pola. Aku tidak tahu apakah ini semacam pola untuk membuka folder link persatuan bangsa atau tidak. Tapi saat menyadarinya, aku punya sebuah firasat yang kuat. Maka segera kuberitahu Alisha. Dia yang paling jago kalau masalah kode – kodean.

Namun tahu tidak apa yang terjadi saat Alisha melihat pola yang kugambar di kertas?

Wajahnya sempat kusut dan berkata dengan datarnya,

"Kamu mau buat biscuit jenis baru, Rahl?"

—Begitu komentarnya.

Memang aku juga setuju gambarnya mirip seperti biscuit kelapa, tapi ya ... sudahlah. Aku memang bukan lulusan arsitektur. Andai saja ada kamera, pasti semuanya mudah untuk dijelaskan.

Pada akhirnya, aku mencoba memecahkan polanya sendiri. Namun hal itu tidak semudah yang kubayangkan.

Hampir satu minggu dan tidak ada petunjuk sedikit pun. Pola yang telah aku coba sekian ribu kali tidak berhasil membuka apa pun. Semuanya hanya kembali ke posisi semula.

Reset by itself. Back to basic.

Aku sudah mencoba mengecek buku dan berkas yang berkaitan dengan pola, sandi, dan kode. Tidak ada satu pun yang mirip dengannya. Bahkan dalam buku – buku mitos juga tidak terdapat petunjuk.

Sangat ingin sekali aku meminta bantuan Alisha, namun tindak tandukku untuk memecahkan pola ini membuatnya berpikir kalau diriku hanya sedang bermain – main saja. Maka, tidak mungkin untuk mendapatkan bantuannya. Walau aku tidak pernah bertanya langsung padanya lagi.

Haruskah aku menyerah dan mandi? Mungkin sudah lama sekali aku tidak mandi. Bau badan ini bahkan bisa membuat lalat terbang dalam mimpi indah selamanya.

Sesaat aku ingin melangkah pergi, tubuhku oyong dengan sendirinya. Jatuh dan terbaring di lantai tanpa jeda. Sontak ku teringat bahwa sudah lama sekali tidak menyentuh makanan yg dibawakan oleh Bahamut.

Sial. Sejak kapan aku menolak makanan gratis?

Tubuhku tak lagi mampu untuk digerakkan. Terkaku dan lemas seadanya. Aku menikmati kulit yang dicumbu mesra oleh lantai dingin yang memiliki tekstur rata dan licin.

Aneh? Padahal sebelumnya lantai ini cukup kasar. Kenapa jadi licin? Apa karena keringatku yang berserakan di lantai membuatnya jadi selicin ini?

Tunggu sebentar.

Aku mencoba memutar balik semua isi kepalaku. Mengamati setiap detil ruangan yang mengusik pikiranku. Teksturnya, posisinya, suara yang dihasilkan olehnya, dan pola – pola yang berhasil menimbulkan getaran dan bunyi yang berbeda.

"Ah!" Suaraku terlepas begitu saja, menyadari sebuah kesimpulan yang ingin membuatku terpingkal – pingkal. "Ternyata begitu! Tidak ada trik sama sekali! Harusnya aku sadar dari kemarin – kemarin! Dasar perjaka sombong!"

Aku bangkit walau tergopoh. Dengan berjalan pelan menuju ke tengah luasnya ruangan ini, aku akan menguak rahasia dari kebesarannya.

Setibanya di sana, Aku mendorong rak – rak buku itu dengan sisa tenaga. Membuat bagian tengahnya menjadi lempang dan bersih.

"Sudah kuduga. Alasan kenapa aku selalu gagal membuka pola ini, karena memang ...." Aku menarik tanganku ke atas setinggi – tingginya, lalu berteriak sekeras mungkin. "Karena memang tidak ada polanya! Sialan!"

Bodohnya aku. Ternyata penemuan yang kuanggap besar itu hanyalah sebuah kebodohan belaka. Lagi – lagi firasat Alisha benar. Mungkin ini bedanya ilmuwan sungguhan dengan yang kw lima belas karat.

"Sudahlah. Lebih baik aku makan, mandi dan tidur."

Aku melangkah pergi.

Namun sekali lagi, aku tidak tahu kemana arah jalan pulang. Aku mendekat ke dinding ruangan yang panjangnya tak berujung. Langkahku mulai berlanjut seiring menyentuh dinding itu dengan tangan kananku. Sebagai cara agar aku bisa tiba di ujung ruangan ini yang pasti tersedia cara untuk kembali. Ini hanya prasangka baikku saja.

Selagi berjalan di samping dinding ini, aku mengamati gambar atau mungkin ornamen yang ada di permukaannya. Jika digabungkan dari tempat awal aku menyentuhnya, maka semua gambarnya membentuk sebuah kisah.

Cerita tentang seorang gadis yang membawa kehancuran walau dia sangat ingin dicintai. Di saat sang gadis hendak mengakhiri hidupnya karena keputusasaan yang ia rasakan, seorang lelaki renta datang dan menawarkannya sebuah batu. Lelaki renta itu mengatakan bahwa batu itu bisa menyegel kutukannya tersebut. Sang gadis tanpa mendengar penjelasan lanjutannya, ia langsung mengambil batu itu. Naas, batu itu menyerap sang gadis seutuhnya.

Sang lelaki renta itu menangis karena hanya itu yang dapat ia lakukan untuk sang gadis, anak tercintanya. Karena merasa bersalah atas semua yang terjadi, lelaki itu pun menanamkan batu itu ke dalam dirinya. Namun kebencian sang gadis terhadap lelaki renta itu membuat tubuh sang lelaki menjadi bongkahan logam yang tidak memiliki perasaan. Ia menjadi makhluk yang mematuhi perintah sang gadis dalam batu.

"Sungguh cerita yang ironis. Jika saja mereka berbicara satu sama lain dengan jelas, mungkin tidak akan berakhir seperti itu."

Aku merasa iba pada kisah ini. Namun itu hanyalah intrepretasiku saat melihat gambar – gambar ini. Mungkin saja aku terlalu mendramatisirnya atau mungkin mengurangi esensi cerita itu sendiri.

Saat melihat bagian terakhir dari gambar di dinding tersebut, ada sebuah batu berwarna kemerahan yang berkilau. Tanpa pikir panjang, aku pun mengambilnya begitu saja.

Seketika lantai bergetar hebat. Dinding – dinding itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Sesaat cahaya itu menghilang, dinding – dinding yang ada lenyap tanpa jejak.

Terpapar di hadapanku sebuah ruangan yang begitu luasnya. Lantainya terbuat dari keramik yang tersusun rapi membentuk lingkaran. Langit – langitnya terlihat tinggi tanpa ada tiang yang menyangga.

Kemudian ada benda seperti patung yang ukurannya sepuluh kali lebih besar dari tinggi badanku. Benda besar itu terletak di tengah ruangan tersebut. Aku pun memutuskan untuk mendekati patung tersebut.

Setibanya di sana, aku mengitarinya dengan perlahan. Hanya kekaguman yang terpancar dari mataku, melihat betapa rincinya patung ini diciptakan.

Saat melihat sebuah bagian kosong yang ada di tengah tubuh patung yang berbentuk manusia itu, aku mencoba mendekatinya. Memanjatnya pelan dan melihatnya dari dekat.

Bagian kosong itu terlihat seperti lubang kecil. Lalu aku mencoba memasukkan batu merah yang sedari tadi kugenggam. Ukurannya yang sangat cocok dengan batu merah tersebut membuat bulu kudukku merinding.

Sebuah getaran hebat kembali terjadi. Dinding yang sempat lenyap itu kembali dengan wujud yang berbeda. Kini terlihat seperti barisan jeruji besi yang kokoh dan rapat.

Aku pun pergi menjauh dari patung tersebut dan bergegas ke arah jeruji. Saat aku mencoba mengeluarkan diri, hanya tanganku saja yang berhasil sampai ke sisi seberang. Tubuhku tidak muat untuk melintasinya. Dengan kata lain, aku terjebak di dalam sini seperti tahanan dalam sel.

Getaran hebat kembali terjadi. Namun yang menjadi perhatianku adalah patung yang sedari tadi diam kini mulai menunjukkan pergerakan. Cahaya mulai menjalar dari bagian dada ke seluruh tubuhnya.

Kilau merah mewarnai seisi ruangan. Disertai getaran yang semakin kuat, teriakan mengerikan terdengar memekikkan telinga.

Patung itu telah berubah wujud menjadi gumpalan besar. Lapisan batu padanya telah rontok. Seluruh bagian tubuhnya kini terlihat mengkilap dan keras. Makhluk yang seperti dinosaurus bakso itu memiliki kaki dua dengan tiga ekornya. Matanya mengeluarkan cahaya merah yang sangat menyeramkan.

Bunyi berderit itu terdengar saat makhluk besi itu terus berjalan ke arahku. Langkah raksasanya itu terdengar semakin kencang. Tentu saja bukan untuk bertanya arah jalan pulang. Pasti untuk memusnahkan keberadaanku yang dianggap sebagai musuhnya.

Saat ia telah mendekat, ekor – ekornya langsung menghujam keras ke arahku. Aku berhasil menghindarinya berkat penguatan tubuh yang kumiliki dan dorongan adrenalin yang menyokong badan ini. Serangannya terasa cukup lambat jika dibanding dengan kelincahan yang kumiliki.

Makhluk itu terus menyerang ke mana pun aku pergi melangkah. Gerakan monster besi itu juga bertambah cepat seolah telah terbiasa dengan keadaan. Begitu juga serangannya yang mulai bisa menggores sedikit tubuhku yang tengah menghindar.

Aku mencoba melihat sekeliling, sayang tidak ada satu pun yang bisa digunakan untuk berlindung.

Lagi, makhluk besi itu terus menghantam lantai dan membuat kerusakan yang semakin parah. Serangannya sangat kuat dan cepat. Jika terkena sekali saja, tubuhku bisa terkoyak dan terbujur kaku.

Kalau begini terus, staminaku akan habis. Aku pasti akan kalah dalam adu ketahanan.

Kubulatkan tekad untuk menyerangnya.

Dengan gesit aku menghindari tiga serangan ekornya dan berhasil mendekat ke bagian dadanya. Aku mengepalkan tanganku dan melepaskan pukulan terkuat yang kupunya. Makhluk itu menerima pukulan telak dan mundur beberapa meter. Kakinya berlutut dan cahaya merahnya meredup perlahan.

Saat aku melihatnya tak lagi bergerak. Aku berteriak kegirangan.

Naas, makhluk itu kembali dengan mengeluarkan teriakan yang keras. Cahaya merah di tubuhnya menjadi kebiruan. Lalu ia mulai berubah bentuk.

Perlahan demi perlahan, perubahan tubuh makhluk besi itu mulai tampak seperti sosok manusia. Buruknya lagi, ia memegang tombak di tangan kanannya dan perisai di tangan kirinya.

"Njir! Sparta—AH!" Tak sempat rasa kagum kulepaskan, tombak itu melesat dengan cepat dan mengesek telinga kananku. Tombak itu mendarat dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada ekor yang sebelumnya.

Jika saja aku terlambat menghindar, tempat ini sudah pasti jadi kuburanku.

Aku berusaha untuk bergerak. Namun suara dengung keras di dalam kepala membuatku tak mampu menapakkan kaki. Sekujur tubuhku mendadak lemas. Denyut jantungku terdengar sangat keras. Bayang – bayang masa lalu mulai muncul dalam ingatan.

Aku terus menampar kedua pipi.

Ayo, Rahl! Bangkit! Selagi makhluk spartan itu sedang bergerak mengambil tombaknya! Rahl!

Motivasi pada diriku itu cukup mujarab. Aku perlahan menjadi tenang dan mampu menggerakkan kakiku.

Namun saat aku berbalik, monster itu sudah menggenggam tombaknya. Ia mengambil ancang – ancang untuk melempar lagi. Dalam sekejap, tombak itu melintas dan menghantam lantai. Menghancurkannya dan membuat puing - puingnya beterbangan.

Aku yang berhasil menghindar, lekas tersenyum dengan bangga.

"Haha! Dasar Spartan KW! Seranganmu tidak berguna melawan Rahl yang luar biasa—Eh?" Saat berusaha mendarat untuk berlari, seketika tubuhku terbanting dan terguling.

Aku mengira kakiku tersandung sesuatu. Sayang, setengah kakiku sudah tidak ada lagi di sana.

"AHHH!!!" Jeritanku menggema keras.

Air mataku mengucur deras. Rasa sakit itu membuatku panik. Kehilangan kedua kaki membuat pandanganku redup seketika.

"Ha ... Ha ...."

Suara itu berasal darinya.

"Ha ... Ha ... Ha ...."

Suara itu semakin jelas terdengar. Membentuk sebuah tawa yang sangat bahagia.

Tawa itu keluar dari mulut spartan raksasa. Dengan mengeluarkan bunyi deritan keras, mulutnya membentuk sebuah senyuman yang lebar.

"Ha ... Ha ... Ha ...."

"Sialan! Kau!" Tawanya itu menyulut amarahku. Aku menggeram. Gigiku gemeretak dengan napas tersengal – sengal.

Tenangkan dirimu, Rahl! Tenangkan dirimu!

Aku mulai mengambil napas panjang lalu mengatur pikiran yang sempat kacau tak karuan. Lonjakan emosi itu terus berusaha kuredam.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu agar membuatku bisa selamat dari keadaan ini.

Tidak ada. Tak ada sesuatu yang mampu melindungiku dari tombak monster sialan itu.

Ia semakin mendekat. Tawa busuknya terdengar semakin keras.

Ayo Rahl! Berpikir! Berpikir!

Bukankah aku punya regerenasi? Itu dia! Fokus pada regenerasi di kakiku!

Aku menutup mata dan mencoba mengalirkan energi dalam tubuh ke bagian kaki. Aku bisa merasakan sakit dan panas yang menjalar hebat di bagian tersebut. Aku terus memusatkan aliran energi untuk mempercepat prosesnya.

Namun rasa panas di tubuhku mulai mereda. Keadaan menjadi lebih teduh. Saat aku membuka mata, kakiku masih belum selesai beregenerasi. Namun raksasa itu telah berada di depanku. Meneduhi tubuhku. Ia kembali tertawa bahagia. Senyumannya semakin lebar dan lebar, hingga giginya—terbuat dari besi—terlihat sedikit berkarat dan mengkilap. Makhluk besar itu pun dengan cepat mengayunkan tombaknya.

Sesaat sebelum tombak itu menyentuhku, pandanganku menjadi gelap.

Aku akan mati?

Sudah kuduga, kalau aku ini benar – benar beban. Tidak berguna. Andai saja aku mendengarkan nasehat Alisha, pasti ....

"Raih kegelapan itu, Rahl!"

Suara mengejutkan itu membuat jemariku refleks menyentuh kegelapan yang ada di depan mata.

Bunyi dentuman keras seketika menggelegar. Menggetarkan lantai dan menghancurnya. Puing – puing berserakan dan menimbulkan kepulan asap yang tinggi.

Teriakan sang gadis menggema di udara, diikuti dengan cakar raksasa yang muncul dari kehampaan dan menerkam spartan durjana.

Aku melihat semuanya. Dari dunia penuh kesunyian.

***