Makan. Minum. Baca. Tidur.
Aku tidak pernah bisa keluar dari siklus ini. Entah sudah berapa lama aku terus membaca buku demi buku. Halaman demi halaman. Aku tidak mengatakan kalau semua yang kubaca percuma. Banyak dari mereka adalah buku yang tidak bisa dibaca, dan sebahagiannya lagi aku bisa membacanya. Bukan karena aku terlalu bodoh, tapi bahasa yang digunakan seperti coretan anak bayi.
Setelah rak mitos itu telah habis digarap, aku tidak menemukan tentang mitos 7 pahlawan legendaris maupun tentang Mahfuzi. Sia – sia usaha yang kulakukan. Namun aku menemukan buku yang menarik. Walaupun tidak bisa membacanya, tapi kupikir Alisha akan mampu melakukannya. Hanya firasat saja.
"Rahl ..." Bahamut datang menghampiriku, "Alisha ada perlu denganmu ... apa-apaan kau ini!"
Melihat reaksi terkejutnya seolah melihat monster dari gua hantu. Itu membuatku kesal. Rasanya ingin kucubit bibirnya itu.
"Apa maksudmu, Tup—Bahamut?"
"Tunggu sebentar ..."
Bahamut membentuk semacam portal dengan sentuhan jarinya di udara. Saat tangan kecilnya ia masukkan ke dalam portal itu, sebuah benda berukuran yang sama denganku muncul dari balik tempat itu.
"Apa itu, Tup—Bahamut?"
"Lihat saja sendiri."
Aku bergerak ke arah benda itu sambil membawa buku yang ingin aku tunjukkan ke Alisha. Saat aku berdiri di depannya, tanganku langsung melemparkan buku yang sedang kugenggam ke arahnya. Menyebabkan benda itu rusak seketika. Secara insting aku ketakutan melihat'nya'.
"Siapa orang mesum itu, Tupai?!"
"Itu kau, Anak Kecil! Aku bukan tupai aku Naga! Bahamut sang Naga! Lagian kenapa kau takut melihat cerminanmu sendiri?"
"Kau bohong, Tupai! Itu pasti sihir atau semacamnya, kan?"
Bahamut mengerutkan jidatnya yang berbulu. Jujur, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"Ya sudah kalau kau tidak percaya! Biar Alisha yang menilai, Anak Kecil!"
Bahamut itu langsung menarikku menuju portal itu dan secara ajaib aku sudah tiba di depan kamar Alisha. Aku hanya bisa keheranan melihat apa yang terjadi. Tangan kecilnya itu mampu menarik tubuhku. Dan portal ini lebih menakjubkan lagi.
Ia menutup portal itu dengan gerakan tangannya.
Aku membuka pintu itu dan berharap Alisha akan tersenyum melihatku.
Namun bukan itu yang kuterima. Sebuah buku dengan kecepatan lemparan bola bisbol mendarat di wajahku tanpa sempat memberi salam.
"Siapa Tarzan Mesum ini!" Alisha berteriak ketakutan.
Sambil mengelus – ngelus wajahku yang sakit, aku berkata kepadanya, "Ini aku Rahl, Alisha!"
"Rahl tidak bertampang mesum seperti itu! Bahamut, usir dia!"
"Tenang Alisha," Bahamut menghela nafas panjang, "Dia memang Rahl."
"... eh...? benarkah?" Alisha mulai menatap mataku dengan serius.
Lalu ia perlahan memasang raut wajah sedikit menyesal sambil tersenyum.
"Maaf ya, Rahl. Aku tidak menyangka kalau itu kamu ..."
"Sudahlah. Lagian aku juga tidak mengenal diriku sendiri tadi ..." Fakta yang kusesali seumur hidup. "Yang kamu pakai itu ... kursi roda, Alisha?"
Ia menggerak-gerakkan kursi rodanya sambil tersenyum lepas seolah kejadian barusan itu tidak pernah terjadi. Tapi memang seperti itulah Alisha.
"Keren'kan kursi rodanya?"
"Biasa aja. Yang lebih penting ..." Alisha mengusutkan wajahnya padaku. "Iya iya keren banget kursi rodanya."
Setelah itu Alisha bercerita tentang kursi roda yang ia kerjakan bersama Bahamut. Alisha yang merancang desainnya dan Bahamut yang membuatnya. Sekilas kursi roda itu sederhana saja. Tapi aku yakin itu lebih sekedar kursi roda biasa. Mereka berdua tampak sangat akrab sekali. Mungkin seperti majikan dan peliharaan.
Setelah panjang mereka berbicara, aku pun membuka pembicaraan baru.
"Bahamut, kenapa rambut di tubuhku ini tumbuh terlalu cepat seperti ini?"
"Kan sudah kukatakan sebelumnya kalau aliran waktu di Babylon Tower berbeda dari waktu yang sebenarnya."
"Maksudmu?"
"Maksudku ... ada perbedaan waktu yang jauh antara 1 hari di sini dengan 1 hari di dunia kalian."
"..."
"Alisha memang jauh lebih cerdas darimu, Rahl."
Tidak usah diperjelas, Tupai.
Bahamut menjelaskan, "1 hari Babylon Tower sekitar 10 hari di waktu yang sebenarnya. Jadi dalam 1 hari di Babylon Tower itu sama dengan 240 jam dari waktu dunia kalian. Kalian di sini sudah berada selama satu minggu penuh. Berarti tubuh kalian sudah tinggal disini selama 70 hari jika dihitung dari waktu di dunia kalian."
"Aku kurang mengerti ..."
"Begini, Rahl..." Alisha mencoba menjelaskan, "1 hari di Earsyia sama dengan 1 hari di Babylon Tower. Tapi karena Babylon Tower memliki aliran waktu yang berbeda, 1 hari di Babylon Tower memakan waktu hingga 10 hari dalam satuan hari di dunia kita. Paham?"
"Oh! Aku paham sekarang. Tunggu dulu. Bagaimana dengan nutrisi dalam tubuh kita?"
"Nutrisi di dalam makanan yang kita makan itu mencukupi seluruh nutrisi yang diperlukan tubuh dalam waktu satu hari di Babylon Tower. Makanan itu memang khusus bagi yang tinggal di dalam Babylon Tower," jelas Alisha.
Mendengar kenyataan itu membuat kepalaku sedikit pusing dan bingung.
"Ini Alisha ..." Aku menyerahkan dua buku. "Apa kamu bisa membaca tulisannya?"
Alisha mencermati judul buku tersebut, "Re-gif-ter? Ini buku apa, Rahl?"
"Aku tidak tahu karena tidak bisa membacanya."
"Jangan meledekku, Rahl... " Alisha menggembungkan pipinya.
"Bukan meledek, Alisha. Tapi sepertinya sebahagian besar buku yang ada di sini hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang memiliki gift sepertimu, Alisha. Aku tidak tahu persis aturannya. Bagaimana menurutmu, Tup—Bahamut?"
"Aku tidak bisa membaca satupun huruf yang ada di dalam setiap buku. Tapi aku bisa membaca semua judul buku-buku tersebut."
"Berarti memang benar. Kalau tidak semua orang bisa membaca buku yang ada di dalam tempat ini. Jikalau kita menemukan Mahfuzi atau buku 7 pahlawan legendaris, bisakah kita membacanya?"
Suasana pun menghening sejenak. Alisha tampak sedang memikirkan sesuatu. Sementara Bahamut pergi ke pangkuan Alisha lalu tiduran di sana.
"!!!"
"Aku akan ikut mencari buku itu juga, Rahl."
"Boleh saja asal tidak memaksakan dirimu. Dan kuharap kau membaca buku itu terlebih dahulu ... Sepertinya buku itu punya kaitan erat dengan gift."
"Oke. Oke. Tenang saja. Tapi sebelum itu ..." Alisha pun tersenyum licik.
***
Bahamut tertawa terbahak-bahak semenjak keluar dari kamar Alisha. Aku sudah menyuruhnya diam berkali-kali tetap saja ia tidak ambil pusing.
"Diam, Tupai!" teriakku.
Ia diam sejenak dan berkata dengan kerennya, "Oke ... Jambul Ayam." Lantas tawanya meledak-ledak lagi.
Ini semua gara – gara Alisha! Untuk apa dia memangkas rambutku jadi mohawk begini. Padahal aku percaya kalau rambut gondrongku tadi akan diubah menjadi lebih rapi seperti Tom Cruise, atau Benedict Cumberbatch. Namun ternyata dia menjadikanku sebagai kelinci percobaannya yang pertama. Sialan kamu, Alisha. Lain kali akan kucubit itu tangan biar gak ngasal kayak gini lagi.
"Sudah waktunya."
Bahamut tiba – tiba berhenti tertawa. Ia kemudian pergi setelah membuat portal dan menghilang ke dalamnya. Aku mencoba menanyakan urusannya tapi ia tidak menjawab. Seolah ia sedang dikendalikan sesuatu. Sudahlah. Itu bukan urusanku saat ini. Selama ia tidak membahayakan kami maka tidak mengapa ia lakukan hal tersebut.
Kepalaku benar – benar terasa sangat dingin saat ini. Hanya rambut tengahku yang tersisa. Sehingga kulit – kulit kepalaku langsung disentuh oleh udara.
Setibanya di perpustakaan luar biasa itu, akumelihat ke tempat sebelumnya. Tidak ada satu pun buku di atas meja mau pun di lantai. Semua kembali seperti semula. Seolah buku itu bergerak sendiri atau Bahamut yang melakukannya? Saat aku kembali ke rak mitos, aku melihat sebuah portal terbuka. Seingatku portal ini telah ditutup oleh Bahamut. Aneh.
Karena rasa penasaran, aku mencoba memasuki portal itu. Saat tubuhku benar – benar masuk, hanya ada kegelapan di dalam sini. Aneh. Tiba – tiba saja lantai yang kupijak bergetar dan ambruk. Aku hanya bisa berteriak. Tubuhku terus jatuh dan aku melihat di bawah semacam ada portal yang lain. Tubuhku melewati portal itu dan seketika melayang di udara.
"Eh? Aku bisa terbang?"
"Apa yang kau lakukan di sini, Anak Kecil?"
"Eh? Tup—Bahamut? Di mana kau?"
Perlahan aku mendarat di lantai.
Aku melihat sekeliling tempat ini. Tempat ini seperti dungeon dalam masa abad pertengahan yang digunakan untuk tempat hukuman. Aku mencoba mencari asal suara. Namun Bahamut berhenti berbicara. Aku terus memanggilnya, dan ia tidak menjawab. Aku pun terus menelusuri tempat ini. Sampai aku menemukan sesuatu hal yang membuatku terjerembab sendiri.
Sesuatu itu berada di balik jeruji kokoh yang ada di depanku. Sesuatu yang sangat besar dan sangar. Bagian – bagian wajahnya diselimuti sisik yang tersusun rapi dan matanya berwarna kebiruan. Di pangkal sayapnya terdapat benda kebiruan yang memancarkan cahaya yang sama dengan matanya. Tubuhnya berwarna ungu kehitaman. Mengkilap. Seolah seluruh kulit dan sisiknya terbuat dari intan. Taring-taring putih itu terlihat sangat rapi dan keras. Mirip seperti kadal. Bukan. Ini mirip seperti naga di dalam cerita fantasi.
Tubuhku gemetaran hebat. Mataku tidak lagi berkedip saat ia menatapku dengan tajam. Ia membuka rahangnya perlahan seolah hendak menerkam mangsa.
"Apakah sekarang kau percaya kalau aku adalah Naga, Anak Kecil?"
"... Ba-hamut...?"
***
Dia adalah naga pertama yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Namanya Bahamut. Sang Raja Naga.