Perjalanan ke Kerajaan Elzardian tidaklah sedekat mata kaki. Butuh dua hari untuk bisa mencapai perbatasannya dengan menggunakan transportasi umum. Dan untuk masuk ke dalam harus berjalan sekitar 10 kilometer untuk menemukan kuda. Di sini dilarang keras yang namanya mesin. Mereka lebih memilih untuk hidup bersama dengan alam. Itu yang dikatakan buku pemandu.
"Eh? Kenapa kamu berhenti?" ucap Rori-chan.
"Kubur aja saya nek!"
"Sialan. Loe mau ngubur gue?"
Inilah salah satu yang menambah beban pikiranku. Entah kenapa, setiap apa yang aku katakan kepada Rori-chan, jawabannya malah yang tidak – tidak. Mungkin nenek itu tuli kali ya?
Yang lebih penting, punggungku sudah keramnya minta ampun. Tanpa berpikir lagi, aku pun menjatuhkan tubuhku ke depan.
"Dasar pria lemah! Begini saja kagak sanggup!" tukas Rori-chan.
Lemah? Dia kagak tahu apa? Sudah lebih dari 6 kilometer aku menggendongnya dan dia tidak berterimakasih sedikit pun? Dasar nenek tak tahu diri!
"Kita istirahat di sini sejenak," kata Kapten.
"Ye! Saatnya memanjat pohon!" Rayfa kegirangan.
Dengan berteduh di bawah pohon yang besar ini, aku pun berusaha meluruskan tulang belakangku yang kaku. Tangan dan kaki juga kurenggangkan. Lalu menarik napas dalam – dalam.
Pruuut~
Sang nenek pun terkentut. Ia tertawa sebahak – bahaknya.
Aku yang sudah menderita kelelahan dan kekakuan tulang, hanya bisa berguling – guling menjauh darinya. Menghindari wabah mematikan yang bisa menguburmu dalam kesengsaraan. Mencari pohon rindang lainnya.
"Rahl, tidak mau ikut?" ucap Rayfa yang sedang bergelantungan di pohon yg baru aku temukan.
"Aku harus menjaga tubuhku sebelum nenek tua itu lebih menggila."
Rayfa cekikikan. Lalu tersenyum setelahnya.
"Sebenarnya Rori-chan itu baik kok. Tapi entah kenapa dia agak kesal gitu sama kamu, Rahl." Rayfa pun kembali dengan kegiatannya menelusuri hutan dari atas.
"Kamu heran dengan perilaku ,Rayfa?" Ren tiba – tiba duduk bersandar di pohon yang sama denganku.
"Hmm, tidak juga. Selama ini aku telah belajar banyak dari Alisha. Jadi tidak terlalu mengherankan."
"Alisha, kah? Aku yakin wanita sepertinya pasti baik – baik saja."
"Entahlah. Dia tidak pernah menceritakan keluh kesahnya. Dia selalu memendamnya sendiri."
"Bukannya kamu juga sama?" Ren menatapku sejenak.
"Entahlah," balasku.
Sementara itu aku hanya melihat semut yang berbaris teratur masuk ke dalam hutan. Sambil menghitung jumlahnya, aku pun tertidur.
Setelah hampir 2 jam beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Bagaikan kendaraan, Rori-chan segamblangnya melompat ke tubuhku.
"Yiihaa! Maju Toro!" ucapnya seolah aku ini kuda tunggangannya.
Aku hanya mengangguk – angguk. Melawani nenek – nenek adalah kesia – siaan. Itu adalah nasehatku.
Aku tidak tahu sudah berapa jauh kami berjalan. Tanpa kompas atau pun GPS, membuat perjalanan ini terasa berputar – putar. Di sana hutan, di sini hutan. Pemandangan penuh dengan pepohonan besar ini membuatku bingung sendiri.
"Kapten, masih jauh?"
Dengan memasang senyuman tiada banding, ia berbalik ke arahku.
"Aha! Kita tersesat!"
Secepat kilat aku melemparkan Rori-chan dari punggungku bagaikan peluru.
"Rori Shoot!"
"Sialan loe, cucu gak tahu diri! Main lempar aja!" Rori marah gak karuan saat Ren berhasil menangkapnya.
"Tenang dulu– "
"Tenang jidatmu!" sambarku.
"Panggil aku Kapten!"
"Kapten kesasar!"
"Apa kamu bilang?!"
Rayfa coba menenangkan keadaan yang semakin runyam ini. Namun tak ada satupun yang mendengarkannya. Sementara sang nenek malah ikutan marah gak jelas.
"Kalian mau ke ibukota?" tanya seorang yang menggunakan jubah hijau dengan wajah yang ditumbuhi rerumputan.
"Iya. Bapak tahu di mana tempatnya?" tanya Rayfa.
"Ayo ikut! Saya juga sekalian ke sana. Kalian bisa duduk di gerobak ini."
Betapa bahagianya aku. Tidak lagi capek – capek menggendongnya. Walau gerobaknya sempit, setidaknya ini jauh lebih baik. Dan yang jelas tidak akan tersesat. Ya. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
"Rori-chan?" tanyaku dengan senyuman kering.
"I ... ya?"
"Kenapa kamu malah nempel di punggungku?"
"Bukankah itu pekerjaanmu?"
Urat – urat kekesalanku yang tertidur bangun. Namun aku berusaha menenangkannya.
"Terserah dah, Rori-chan. Terserah ..."
Perjalanan ternyata cukup jauh. Butuh lebih 1 jam untuk mencapai tempat rental kuda. Dan 4 jam untuk sampai di pintu gerbang ibukota kata bapak yang baik hati ini.
Di sepanjang perjalanan, di kanan kiri terlihat suasana yang fantastis. Dunia yang hijau dan disertai makhluk – makhluk imut dan lucu. Ada juga yang besar namun tidak ganas. Di kejauhan juga terlihat lapangan yang begitu luas tempat anak – anak Elzardian bermain dengan gembira. Seolah negeri dalam dongeng.
Melewati jembatan yang sangat panjang. Dan ini membuat bulu kudukku berdiri. Bagaimana tidak, hanya terbuat dari kayu dan tali yang terbuat dari bahan yang mirip rotan. Apalagi ketika angin berhembus, maka akan berdecitlah jembatan itu. Rayfa malah merasa senang tak karuan. Mungkin mental anak – anak memang lebih kuat dari orang dewasa. Atau syaraf ketakutannya telah rusak? Entahlah.
"Kita sudah sampai. Sebelum kalian masuk, datangilah pos terdekat untuk mendapatkan jaminan identitas," ucap bapak itu dan pergi meninggalkan kami.
"Terimakasih Bapak!" Rayfa melambai – lambaikan tangan.
Ren juga hendak memberikan uang sebelumnya, namun ditolak bapak itu dengan lembut. Kalau aku janganlah diharap. Pekerjaan ini tidaklah menambah pendapatanku. Hanya pengurangan dari hutang yang takkan lunas. Sepeserpun tak ada kumiliki. Beginilah hidup. Tak selamanya di atas tapi bisa selamanya di bawah.
Dua orang yang seperti petugas mendatangi kami.
"Apakah kalian dari Great Association?"
"Benar," jawab Ren sebagai pemimpin dari rombongan ini.
"Kalau begitu mari ikut bersama kami. Great Elzardian telah menanti kalian di rumahnya."
"Dengan senang hati."
Kami pun kembali berjalan. Gerbang masuk ke dalam ibukota Elzardian sangat besar. Seperti dua gedung yang menjadi pasaknya. Seperti berjalan di dalam terowongan yang mewah. Sesuatu yang mirip dengan lilin menjadi sumber cahaya. Berwarna biru. Sangat indah sekali.
Setelah melewati terowongan itu, mataku terbelalak melihat betapa luar biasanya tempat ini. Bangunan yang begitu banyak dan megah. Seperti istana – istana yang bertebaran di setiap sisinya. Dan sebuah pohon besar berada di ujung jalan ini.
"Di sanalah beliau menunggu," ucap salah satu petugas sambil menunjuk ke arah pohon raksasa tersebut.
"Itu bahkan lebih besar dari yang ada di tempatku," ucap Rayfa terkagum.
Jika Alisha datang ke tempat ini, pastilah ia akan sangat gembira. Namun aku akan berusaha semampuku untuk membantunya. Agar ia kembali tersenyum seperti biasa.
Rori-chan mendadak diam. Biasanya dia akan ngomel gak jelas. Mungkin ia juga terkagum – kagum sama sepertiku. Aku menoleh ke belakang. Sebuah gelembung besar dari hidungnya kembang – kempis. Sialan. Nenek ini malah tidur. Ingusnya itu lho ... Ya ampun.
Tibalah kami di depan pohon raksasa tersebut.
"Tugas kami sampai di sini. Silahkan masuk." Keduanya pun pamit dan pergi.
Pintu itu terbuka dengan sendirinya. Langkah kami pun beranjak ke tempat yang terlihat sangat sederhana. Dinding, lantai, lemari, kursi dan mejanya terbuat dari kayu yang terlihat mengkilap.
Di tengah – tengah ruangan itu telah berdiri seorang yang besar tubuhnya lebih dari dua meter. Dengan pepohonan kecil yang tumbuh di kepalanya. Memakai jubah berwarna kehijauan hingga menutupi kakinya. Wajahnya tak seperti orang tua. Namun aku yakin dia lebih tua dari semua yang ada di dalam ruangan ini.
"Selamat datang tamu yang saya hormati. Saya adalah Great Elzardian dari Kerajaan Elzardian, terimakasih telah memenuhi permintaan saya."
Ren kemudian berlutut sebentar. Dan berdiri tegak lagi. Kamipun segera meniru gerakannya. Bahkan Rori-chan juga mengikutinya.
"Terima kasih atas sambutan hangatnya, Great Elzardian. Apa yang bisa kami bantu untukmu?"
Great Elzardian mengambil napas panjang. Matanya memancarkan aura yang dalam.
"Earsyia dalam masalah yang sangat besar melebihi malapetaka the end?"