Chereads / Red Glove / Chapter 5 - 5. Percaya

Chapter 5 - 5. Percaya

Rabu, 26 Nov

Kelas yang berusaha kembali menjadi kelas yang sedang bangkit dari duka atas kehilangannya anggota kelas, kini lagi lagi berduka karena lagi lagi kehilangan salah satu anggotanya bernama Tobi Sevaria Dika dengan absen 27.

Tobi dikenal dengan sifat yang sedikit tak peduli akan hal hal kecil yang terjadi disekitarnya karena itu dia lebih memilih untuk sendirian dan menarik diri dari banyak orang tapi, meski begitu dia adalah orang yang sangat baik dan jujur. Dengan tubuh tinggi dan berat badan yang ideal dengan kulit putih dia disukai semua orang meski sikapnya yang dingin itu

>Disebuah tempat karaoke pukul 17.00

Di ruangan yang tidak terlalu luas itu Haris, Dennis, Kelvin, Tania, Lyra yang masih mengenakan seragam SMP Felice dan petugas Revan yang hanya menggunakan kemeja putih dengan jas hitam yang tak dikancingkan sehingga terlihat dengan jelas rompi pistol yang ada didadanya. Mereka berkumpul disalah satu tempat karaoke. Disini mereka akan membahas apa yang terjadi, tentang pemikiran mereka terhadap kasus ini.

Semua disini terlihat tak ingin melakukan apa apa, entah karena kaget dengan apa yang terjadi atau binggung harus berbuat apa.

"Petugas Revan, apa ada kertas yang ditinggalkan pelaku didekat mayat Tobi?" Tiba tiba Haris membuka pembicaraan dengan perkataan seperti itu.

"Ada." Jawab Revan sambil membuka kopi hitam kaleng yang dia bawa.

"Apa isinya?" Tanya Haris.

"Angka 5."

"Apa maksudmu angka 5, apa hanya angka 5?" Kaget Dennis.

"Ya hanya angka 5." Jawab petugas Revan yang lalu bersender disofa ruang karaoke itu. Sementara yang lain menjadi bingung akan no 5 yang ditinggalkan si pelaku.

"Apa ada hubungan antara Adel dan Tobi? Karena jika tak berurutan sesuai absen, atau berurutan nomornya pasti ada hubungannya yang mereka sembunyikan." Ucap Lyra dan petugas Revan melirik kearahnya.

"Sayang sekali hubungan mereka itu biasa atau hanya sebatas teman, tapi kemungkinan mereka memiliki hubungan yang lebih dari sebatas teman biasa. Contohnya seperti teman masa kecil mungkin?!" Ujarnya berhenti sejenak dan melihat sekelilingnya dan melihat Haris, Dennis, Kelvin dan Tania berekpresi kaget karena ucapannya.

"Mereka pernah satu kelas saat SD." Ucap Dennis dan semua pandangan langsung mengarah padanya. "Kalau tak salah pada saat kelas 5 mereka sekelas."

"Dari mana kau tau?" Tanya Revan kaget melihat Dennis yang mengetahui hubungan kdua korban.

"Entahlah, hanya terpikir cerita lama." Jawab Dennis dengan santainya.

"Mungkin akan ku selidiki apa yang kau ucapkan itu Dennis."

"Silahkan saja."

"Petugas Revan, ada yang ingin kami tanyakan nih? Soal umm... Kan Tania masih dapet pesan dari ponsel Adel sampe jam 18.00 hari Rabu, pertanyaannya jam berapa Adel ditemukan dan oleh siapa?" Tanya Dennis dan petugas Revan mengerutkan alisnya.

"Soal itu sih ya... Gimana ya.." membuka buku catatan kecil. "Jadi jam 17.55 ada seseorang yang nelfon ke polisi bahwa dia melihat mayat disebuah pabrik kosong, lalu polisi menemukan mayat itu pada pukul 18.00 kurang lebih." Semua langsung kaget.

"Ini aneh."

"Jadi soal masalah ponsel ini masih dugaan ya.. Si pelaku yang nelfon kami dan meminta kami datang, lalu saat kami datang si pelaku langsung menyimpan ponsel itu didekat mayat korban lalu pergi melarikan diri, sayangnya dia tak bisa dilacak karena saat itu dia menggunakan telephone umum." Jelas petugas Revan.

Brakkk Kelvin tiba tiba memukuk meja

"Ini gila, itu namanya bunuh diri jika si pelaku melakukan itu." Ucap Kelvin dengan ekspresi kaget ditambah tak percaya.

"Kemungkinan pelaku ingin main main dengan polisi jika seperti itu!" Ujar Haris.

Semua akhirnya terdiam karena binggung dengan kasus ini, apalagi memang jika dipikirkan kembali si pelaku memang ingin bermain main dengan polisi. Karena dia kembali ke tkp dan melaporkan perbuatannya ke polisi.

Drtt..drtt..Tiba tiba handphone petugas Revan bergentar, dia lalu megambilnya dari saku celananya dan mengangkatnya.

'....'

"Ya."

'....'

"Wah? Katakan"

'....'

"Cepat katakan!!" Ucap petugas Revan dengan sangat tegas dan membuat semua yang ada didekatnya menjadi agak takut.

"Kau memaksa ya??!"

'....'

"Cih! Cepat, akan ku berikan. Berapapun yang kau minta."

'....'

"Kau sangat suka ya dengan kematian."

'....'

"Ya tapi kau masih hidup saat ini, dan seharusnya kau bersyukur. Apa hanya segitu yang bisa kamu dapatkan?"

'....'

"Hah?! Mana uangnya? Tunggu kau memintaku untuk.."

'....'

"Untuk seorang yang belum dewasa sepertimu kau sangat sadis dan mengetahui segalanya. Tapi baiklah akan ku bawakan." Ucapnya lalu menutup panggilannya dan melihat kearah semua, petugas Revan tahu bahwa prilakunya itu sangat tidak sopan apalagi saat ini dia yang paling tua diantara semua. Revan lalu menghela nafas penjang seolah menguatkan dirinya sendiri.

"Hei, bolehkah aku meminta kalian untuk berhenti melakukan apa yang ku ucapkan." Ucapnya tiba tiba.

"Apa maksudmu?"

"Ini kasus yang berbahaya kemungkinan 80% terjadi kan, apalagi ini adalah sebuah no acak, no yang ada pada tobi adalah 5 dia ada di absen 27. Semuanya berantakan petunjuk satu satunya hanya angka 1 dan 5, jika pun itu adalah pembunuhan berantai maka akan ada 3 orang lagi yang menjadi korban, aku tak ingin jika nyawa kalian diincar si pelaku. Maaf kan aku kalian terlibat, harusnya sejak awal aku tak memberitahu kalian. Maaf sekali lagi." Ucap petugas Revan lalu tiba tiba bangkit berdiri. "Kemungkinan juga pembunuh itu ada dikelas kalian."

"Jangan bercanda, tak ada pembunuh dikelas kami!" Marah Tania.

"Apa menyenangkan mempermainkan kami?" Tanya Dennis dengan keras pada Revan yang akan pergi. "Apa keinginan mu sebenarnya, kau itu ingin kami hidup atau mati?"

Revan lalu berbalik dan melihat kearah Dennis yang terlihat marah Revan atas prilakunya.

"Kau bertanya menyenangkan mempermainkan kalian? Jangan bercanda, saya tak pernah ada niat untuk memainkan kalian."

"Lantas apa maksudmu dengan memberi tahu semua informasi yang seharusnya kami tak boleh ketahui!" Ucap Dennis yang terdengar sangat marah.

"Pftt.." Revan menahan tawa sambil menutup mulutnya dengan tangannya. "Ha..haha... Jangan salah paham, mungkin sebagian diriku bermaksud untuk memainkan kalian, namun sebagian lainnya tidak. Aku adalah orang dewasa disini, huh..." Revan terhenti sejanak lalu menunduk. "Aku siap menanggung resiko meski harus mati." Ucapnya kecil namun masih terdengar dengan jelas oleh mereka berlima.

"Lawless. Apa kalian tahu? Itu adalah sebuah rumor organisasi yang dibuat kepolisian untuk membantunya, yang terkadang ada stasiun tv yang menyatakan sebuah kasus yang diselesaikan oleh Lawless. Beranggotakan tahanan yang tak menjalani hukuman dan memilih memasuki Lawless dan semua tahanan itu pernah membunuh manusia. Namun banyak orang yang tak percaya dengan rumor itu."

"Jangan bilang.."

"Saya, Revan Yana anggota Lawless no.04. Senang bertemu kalian semua." Ucapnya dengan senyuman yang sangat menakutkan dan sontak membuat semua tediam dan kaget, terutama Dennis yang baru saja memarahinya terdiam ketakutan.

Revan yang merasa mengdapat kembali panggilan masuk langsung keluar dari ruangan dan meninggalkan mereka berlima.

"Lawless artinya tanpa hukum, itu artinya meski mereka berbuat kesalahan mereka takan dihukum." Ucap Lyra dan Dennis kembali duduk dan terdiam.

"Sepertinya kita telah mempercayai orang yang lebih berbahaya dari pelaku pembunuhan."

"Ah kau benar Kelv."

....

Kamis, 27 Nov

>Atap sekolah jam istirahat

Haris, Dennis, Kelvin, Lyra, dan Tania berkumpul di atap sekolah, mereka telah berencana untuk memakan bekal makan disini. Karena kemarin saat ditempat karaoke mereka berlima benar benar tak habis pikir dengan apa yang diinginkan petugas Revan.

"Baiklah apa yang akan kita lakukan?" Tanya Tania memakan bekalnya.

"Terimaksih Tanya telah bertanya, kali ini kita akan melakukan suatu oprasi misi rahasia." Jawab Haris dengan suara yang sengaja dia beratkan meniru seorang pangeran dari kegelapan.

"Misi rahasia?"

"Yaa... Misi sangat rahasia." Masih dengan suara yang sangat berat. "Tapi gak rahasia rahasia banget, soalnya masa rahasia dibicarakan di atap sekolah kaya gini...haha.." Lanjutnya berbicata seperti biasa.

"Yalah yalah apaan misinya??"

"Misinya.... Den kasih tau!" Suruh Haris pada Dennis dan Dennis hanya melongo mendengar ucapannya itu.

"Hah?!! Lu dah ngomong so soan keren malah yuruh gua yang jelasin?? Maunya apaan sih lu tuh?!!" Kesal Dennis sambil mengepalkan tangannya.

"Yaaa... Abis kalo aku yang jelasin pasti gak bakal ada yang ngerti, dikelas aja kalo aku ngejelasin didepan pasti pada gak ngerti." Jelas Haris pada teman temannya sambil mengusap kepala bagian belakangnya agar seolah olah dia minta maaf.

"Huh!" Marah Dennis. "Jadi gini kami berdua kemarin berencana untuk memata matai Pablo saat pulang sekolah. Kalian ada yang mau ikut?" Jelas Dennis.

"Yaaah, kayanya seru tapi ada les, maaf." Ucap Kelvin sedih karna tak bisa ikut.

"Kamu ini ya Kel, les sering tapi gak pinter pinter." Ejek Haris pada Kelvin.

"Apa kamu bilang Haris!!?" Dengan nada marah Kelvin langsung mengepalkan tangannya.

"Aa, untung bodoh jadi gak denger haha."

"HARIS!!"

"Hari ini buku yang aku inginkan terbit, jadi maaf ya.."

"Kamu ya Lyra, bener bener kutu bukunya.." Keluh Haris pada Lyra dan Lyra hanya memalingkan mukanya dari Haris yang tak menyukainya menjadi kutu buku.

"Aku hari ini gak bisa hari ini karena ada sepupu mau kerumah." Ucap Tania. "Lagi pula kalian apa gak habis pikir kalo mata matai dia gak berguna. Kalian lupa ya dengan kejadian kemarin tentang petugas Revan?"

"Kita takan lupa dengan orang yang menyebalkan seperti dia." Ucap Haris.

"Pada akhirnya percuma ya kita bilang begini kalo ujung unjungnya bakal kaya gini." Keluh Dennis lalu memakan bekalnya.

>Jam pulang sekolah, pukul 14.40

"Aku duluan ya.."

"Dah.."

Jam pulang sekolah, adalah yang ditunggu-tunggu ya tenti saja karena pada jam ini semua telah usai dan biasanya setelah jam pelajaran selesai beberapa siswa membereskan kelas, dan kebetulan hari ini Pablo menjalankan tugas piketnya yang diberikan bu Maya selaku wali kelasnya.

Karena Pablo piket dengan terpaksa Dennis dan Haris yang berencana membuntutinya menunggunya didekat kelas sambil berpura pura memainkan handphonenya. Haris dan Dennis benar benar telah siap untuk membuntuti Pablo saat pulang sekolah, mereka bahkan membawa alat alat yang biasa dibawa para mata mata, seperti teropong kecil, alat rekam, buku catatan, dan kamera.

Saat Pablo selesai piket dan keluar dari sekolah mereka mulai melakukan aksinya seperti seorang mata mata yang menjalankan misi khusus. Pablo yang berjalan dengan biasa seolah tak ada apa apa dan Dennis dan Haris terus saja mengikutinya hingga saat dia melewati taman ia mampir ke sebuah toilet umum yang ada ditaman itu. Tentu karena tak ingin ketahuan Haris dan Dennis menunggu dekat semak semak yang ada ditaman.

"Apa yang dia lakukan?" Tanya Haris kecil pada Dennis.

"Entah mungkin dia kebelet kali." Jawab Dennis menciba positif, dan saat ini dia sedang menggunakan teropongnya untuk melihat lebih dekat ke arah toilet.

Beberapa menit kemudian Pablo keluar dari toilet, tapi ada yang berbeda dengan penempilannya sebelumnya. Kini Pablo menggunakan kacamata yang terlihat sangat tebal lalu pergi.

"Kenapa dia menggunakan kacamata apa matanya rusak parah? Kacamatanya cukup tebal loh!" Ujar Dennis yang terus melihat Pablo menggunakan teropong.

"Serius?" Tanya Haris lalu memotretnya menggunakan kamera yang ia pegang.

"Ya.. Ah dia terlalu jauh." Ucap Dennis lalu mengikutinya, disusul oleh Haris.

Namun, dengan cepat Pablo berlari dan reflek Dennis dan Haris langsung berlari mengikutinya. Saat Pablo mulai berbelok, Haris dan Dennis buru buru mengikutinya, tapi sayang gang itu adalah gang yang buntu dan Pablo tiba tiba hilang.

"Nampaknya kita ketahuan." Ucap Dennis yang terlihat agak kelelahan karena jarak mereka berlari cukup jauh.

Haris dan Dennis langsung terdiam dan kaget karena gang buntu dikelilingi tembok yang cukup tinggi dengan ketinggian 2 meter lebih.

"Ya. Tapi, apa benar tadi dia lewat sini?" Tanya Haris.

"Aku sangat yakin tadi dia lewat sini!!"

"Ya aku memang lewat sini." Ucap seseorang tiba tiba dari atas tembok, lalu meloncat kebawah. "Au.." merintih kecil.

"Pa..Pablo!?" Ucap Haris dan Dennis berbarengan melihat seseorang yang baru saja loncat adalah orang yang mereka buntuti yaitu Pablo Midford yang menggunakan kacamata tebal dengan perban yang masih ada dikepalanya.

"Kalian berdua membuntuti ku ya...!! Ngaku loh! Ngaku!!" Marah Pablo. "Kalian mengira aku pembunuh ya!? Haha.. Memutuskan hal dengan kecurigaan itu hal terbodoh yang pernah ku dengar."

"Maksudmu apa?"

"Tidak, bukan apa apa ikut aku!"

"Kemana?" Tanya Dennis.

"Tentu, rumahku lah." Jawab Pablo.

"Hah?!"

'Hei Haris, sebenarnya apa sedang kita lakukan?'