Rabu, 3 Desember
>Rumah Tania, Pukul 13.50
Terlihat Dennis, Haris, Lyra, Kelvin yang berkumpul di Rumah Tania untuk belajar bersama untuk ulangan esok hari dengan mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Di ruang tamu itu mereka semua bersantai meski niat awalnya adalah belajar. Tapi mereka semua yang ada disini asik sendiri dengan ponselnya masing masing.
"Hei, kupikir salah satu otang dikelas akan mati hari ini." Ucap Tania yang memulai pembicaraan dengan sangat buruk.
"Ah, itu tak mungkin." Jawab Haris yang tiduran dilantai sabil memainkan game diponselnya.
"Tidak itu bisa saja terjadi." Ucap Lyra dan Haris langsung mempause permainannya.
"Bagaimana mungkin, coba jelaskan?"
"Kalau gitu jawab pertanyanku," Haris mengangguk. "Kapan hari Adel dibunuh?"
"Senin."
"Tobi?"
"Selasa.., tunggu itu artinya.."
"Ya hari ini Rabu, dan kemungkinan besar akan ada yang mati hari ini dari kelas, entah itu kita atau yang lainnya." Ucap Lyra dengan dinginnya dan membuat Haris agak kaget dengan sikapnya ini. "Ya semoga saja tidak ada,"
....
>Pukul 21.11
Tap tap tap, terdengar sebuah langkah yang memecah malam yang diterangi bulan purnama. Diantara lampu lampu yang menyala dia berjalan sendirian tanpa ragu dengan rambut yang panjangnya sepinggang dengan bagian bawah agak gelombang dan poni yang tak beraturan namun membuatnya terlihat cantik, hidung yang mancung dan pribadi yang baik membuatnya disukai siapapun. Verronica Alvero Archibald namanya, tak ada seorangpun yang lupa akan nama panjang yang dimilikinya.
"Huh..lagi lagi pulang jam segini, untung aja gak ujan.." Keluhnya dan tak merasa sedari tadi ada seseorang yang mengikutinya, mungkin dia merasa karena telah biasa dia berjalan seolah merasa tak ada bahaya yang mengincarnya dari belakang. Dengan tas ransel berwarna biru dan map berisikan kertas kertas yang dia pegang. Dia melihat ke belakang dan,
"Ah ternyata kamu, kukira siapa." Ucapnya pada orang yang ada dibelakangnya yang menggunakan mantel hitam dan juga topi hitam, sehingga wajahnya tak terlihat jelas namun Verronica terlihat sangat mengenali orang itu.
"Apa yang kau lakukan disini? Bukannya apa apa tapi rumahmu bukannya jauh dari sini? Dan juga harus hati hati bisa saja pembunuh itu menyerang mu, dia kan mengincar orang orang dikelas kita." Ucap Verronica tanpa ragu pada sosok yang menggunakan serba hitam itu.
"Oh iya omong omong, kenapa kau menggunakan mantel?"Tanyanya sambil memperhatikan orang itu.
"...."
"Huh?! Berhati hati? Dari apa? Gini gini, aku bisa bela diri asal kau tahu."
"...."
"Berhati hati dari mu? Untuk apa? Kau kan teman ku kenapa aku harus berhati hati akan kamu?"
"...."
"Ha..hahaha... bicara mu melantur, aku tak percaya jika kau pelakunya, akan ku antar kau ke halte, bis terakhir lewat sekitar pukul 21.20 dan sekarang baru 21.16—" melihat kerarah orang itu. "Kenapa kau menggunakan sarung tangan, terlebih sarung tangan itu terlihat... kotor," orang yang mencurigakan itu lalu mengekuarkan cutter dari saku mantelnya dan membuat orang yang ditemnuinya terheran heran.
"...."
"Huh?!..Ke..kenapa kau mengeluarkan cutter?" Ucap Verronica gemetar.
Tek..tek...tek..pisau cutter itu mulai keluar sedikit demi sedikit.
"Begitu ya, kau memang selalu berkata jujur, bahkan sebemum menghabisi korbanmu." Ucap Verronica yang terlihat hampir menangis ketakutan namun entah kenapa padahal dia bisa saja teriak, namun anehmya dia tak ingin melakukannya.
Sreet..dengan cepat orang itu menusukan cutter itu di lehernyadan lalu menariknya kedepan dan dengan cepat darah memancar darinya pada orang yang menggunakan mantel hitam itu dan brukk tubuhnya terjatuh dan darah secara terus menerus keluar dari bekas cutter itu.
"Beristirahatlah dengan tenang wahai rivalku." Ucapnya lalu meninggalkan Verronica begitu saja dijalan itu. tapi, sebelumnya dia meninggalkan sebuah kertas kecil bertuliskan angka 1 didekatnya.
Malam sunyi dan dingin itu menjadi akhir bagi Verronica, gadis yang menjadi salah satu korban pembunuhan yang terjadi dikelasnya.
....
Kamis, 4 Desember
>SMP Felice, jam istirahat UAS
Berita duka lagi lagi menyelimuti kelas 8-D diantara semua siswa ada beberapa yang berfikiran untuk pindah saat semester 2, ada juga yang hari ini tak masuk meski hari ini UAS masih berlangsung. Pembertahuan pagi tadi menyembabkan beberpa siswa dikelas ini shock karena hal itu.
"Hari ini banyak juga yang gak masuk ya..." Ucap Tania sambil menopang pipinya menggunakan tangan kirinya. "Coba kau hitung Lyra yang hari ini gak masuk. Umm, Sanada, Alika, Rafa, Tetra, Hilmi, bahkan Dennis juga pengecualiansih buat dia keserang demam, terus Pablo yang dari Senin gak masuk." Menghitung menggunakan tangan kanannya.
"Ya, mereka semua takut. Omong omong tadi pagi aku lihat Pablo, dia masuk dan sekarang mungkin ada diruang gur—" Ucapan Lyra terpotong karena orang yang mereka omongkan tiba muncul dan masuk kedalam kelas.
"Kenapa dia ada disini?" Bisik Tania pada Lyra dan Lyra menjawab dengan gelengan kepala. "Bukannya dia menyelidiki kasus itu, dan tidak ada disini." Lanjutnya.
"Mana aku tahu." Jawab Lyra lalu menengok kearah Pablo yang duduk dibangkunya yang sedang memainkan ponselnya namun langsung sadar ketika Lyra melihat kearahnya.
"Apa janga angan soal Lawless itu dia bohong." Ucap Tania saling berhadapan dengan lyra.
"Aku pikir, mana ada orang yang akan berbohong sampai seperti itu."
"Tapi jika Lyra, apa kau tidak penasaran dengan yang ditinggalkan pelaku kali ini?" Tanya Tania sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Shutt.. jangan kenceng kenceng, cuma kita aja yang tahu tentang itu" Marah kecil Lyra, dan Tania langsung bertindak biasa.
"Tapi ya, kalau dia beneran Lawless itu artinya dia tahu yang selanjutnya kan, kan, kan.."
"Iya, mungkin itu juga."
"Gimana kalo tanyain aja?"
"Ish, kamu ini Tania bukannya berduka malah jadi kaya gini." Kesal Lyra dan Tania tek memperdulikan itu, dia sadar bahwa berduka terus menerus hanya akan membawa penyakit pada diri sendiri, karena itu dia terlihat ceria agar orang lain yang melihatnya bisa ikut ceria dan tidak terus terusan berduka.
....
>Kelas 8-D, pukul 16.47
Terlihat Pablo yang terdiam berdiri sambil melihat kearah luar jendela yang terbuka dengan angin yang perlahan memasuki ruang kelasnya saat ini, tirai tirai berwarna putih itu seolah menari saat angin masuk melalui jendela yang terbuka. Penampilannya sama seperti biasanya rambut yang disisir rapi dan kali ini ia tidak menggunakan kacamata dan tentu ia masih menggunakan perban.
Kreet.. pintu yang agak berat itu terbuka dan seseorang yang tingginya hampir sama dengan Pablo masuk sambil mengendong tas hitam yang ukurannya sedang. Dia berhenti di belakang Pablo yang masih melihat kearah luar.
"Apa yang kau ingin katakan?"
"Aku disini hanya ingin meminta maaf padamu Haris." Ucap Pablo lalu berbalik pada orang yang saat ini ditemuinya.
"Meminta maaf atas apa? Kau tak memiliki salah padaku, jadi untuk apa kau minta ma—" Tanyanya.
"4 tahun yang lalu, aku membuat mu membunuh ayahmu sendiri."