Klekk.. ketika pintu dibuka dia sangat kaget dengan siapa yang ada dibalik pintu itu. Dia adalah orang membuat Lyra terlibat akan kasus yang terjadi dikelas, yang membuat Lyra melakukan perjanjian dengan Pablo.
"Lama tak jumpa, Lyra.." Ucap Revan dengan senyuman yang tak dapat Lyra lupakan.
"Revan.." Ucapnya terlihat sangat membenci Revan, dan Revan yang melihat wajah Lyra yang marah melihatnya.
"Aku berkunjung bertemu kakakmu dan Pablo, jadi maaf jika aku membuat mu marah... aku membawa cola uk 1 liter, pilihlah yang kau suka.." Ujarnya membujuk Lyra agar tidak marah.
"Apa yang ada dipunggungmu?" Tanya Lyra yang mengalihkan pembicaraan dengan membahas apa yang ada dipunggungnya, jika dilihat itu seperti tas golf dengan ukuran panjang dan tinggi. "Senapan?"
"Bisa dibilang begitu. Lagi pula." Mengeluarkan satu cola dari kreseknya dan memberikan ke Lyra. "Kamu tak ingin berurusan dengan kasus ini lagi kan." Lanjutnya lalu pergi ke lantai 2 dengan cepat.
"Tak ingin berurusan, jangan bercanda, aku menjalani peran untuk menangkap pelakunya." Ucap Lyra kecil sambil menunduk dan berjalan menuju teman temannya.
>Lantai 2 Rumah Lyra, kamar Dylan
Revan yang dengan cepat masuk kekamar Dylan yang ada dilantai 2. Sebelumm masuk dia mengetuk terlebih dahulu pintu sebagai kode bahwa dia yang datang setelah itu baru membukanya. Pintu kamar Dylan bisa dibilang cukup berat sebab, kamarnya sendiri termasuk kedap suara, karena itu berbicara sekeras apapun tak akan terdengar keluar.
"Kau lama Revan." Ucap Pablo yang memakan pizza yang tadi dia bawa.
"Kau juga menyuruhku membeli beberapa barang, terlebih aku harus membawa senapan lagi."
"Ya kali kali.."
"Omong omong apa tak apa membiarkannya disini? Kau tahu pelakunya ada dibawah kan? Lalu kenapa kau tak tangkap saja?" Tanya Revan pada Pablo.
"Kau bodoh Revan, jika menangkapnya sekarang, bukti apa yang kita punya untuk membuktikan bahwa dia bersalah." Jelas Dylan. "Aku tak memiliki kewajiban untuk kasus ini, namun ini menyangkut adik angkatku karena itu aku akan membantu dalam kasus ini."
"Adik, fufufu...tak ku sangka kau mengatakan hal itu Dylan." Ejek Pablo tiba tiba.
"Betul sekali, sejak kapan Artkinson menjadi peduli terhadap orang lain.." Ujar Revan yang melirik kearah Pablo sambil memberi kode dengan satu kedipan mata. "Tapi ya jelas lah kalo yang paling kejam itu adalah Pablo, apa alasan mu masih membiarkan pelakunya hidup bebas?"
"Alasannya, supaya dia menikmati waktu terakhir dengan teman temanya. Kau tahu kan, pada akhirnya tak ada orang yang mau berteman dengan pembunuh." Jawab Pablo sambil menganggukan kepalanya.
"Kejam banget alasannya."
"Jika kau berfikir bahwa aku kejam, maka kau salah besar Revan." Ucap Pablo.
"Memang siapa yang paling kejam? Jinjent?"
"Bukan, tapi Dyra..kau tahukan dia masuk Lawless gara gara apa?"
"Uuuhh, bener bener, dia yang paling parah kasusnya.." Ujar Revan yang agak mundur sedikit dari Dylan.
"Parah baget.., tinggal sama Lyra gara gara ngeb—"
Brakk, tiba tiba Dylan mengebrak meja dan membuat ucapan Pablo. Pablo dan Revan tersenyum sadis melihat Dylan yang marah, karena hanya Dylan saja yang jarang sekali marah di Lawless.
"Iya aku yang paling parah kasusnya, mau apa? Hah?!" Marah Dylan. Pablo dan Revan hanya tertawa.
Dylan yang kesal karena perilalu kedua rekannya, tiba tiba pergi dari kamarnya tanpa menutup kemali pintunya. Sebenarnya dia berniat untuk menguncinya, namun dia ingat kalau Pablo ahli dalam membobol kunci.
Dylan menuruni tangga dan mendengar suara keras yang diucapkan teman teman adiknya dibawah. Dylan diam didekat tangga sambil menguping pembicaraan mereka berlima yang terdengar sedang bertengkar dengan keras.
"Jika kau berfikir dia adalah orang yang baik maka sebutkan satu saja perbuatan baik yang telah dia lakukan untuk mu Lyra!" Ucap Tania yang terdengar sangat marah, dan Lyra yang mendengar itu hanya memalingkan wajahnya tak berani untuk menjawab. "Gak ada kan? Liat aku Lyra!" Lanjut Tania dengan sangat marah.
"Tania udah cukup, Tan!" Lerai Dennis.
"Diem kamu Dennis, aku cuma mau tahu alasannya kenapa dia bisa bisanya bilang hal seperti itu. Dia lebih memilih orang yang tak jelas itu dari pada keselamatan kelasnya sendiri. Terlebih yang barusan dia bilang tentang Adel, benar benar membuat ku tak habis pikir ya.." Ucap Tania dan Lyra masih saja memalingkan wajahnya. "Cih, lebih baik aku pergi." Lanjut Tania lalu mengambil tasnya dan langsung pergi.
"Tan tunggu." Ucap Dennis yang mengikuti Tania mengambil tas, dan "Lyra aku pulang dulu.." Ucapnya meninggalkan Lyra.
"Lyra, maaf nih kita bareng Dennis, jadi dah.." Ucap Haris dan Kelvin mengikutinya pergi meninggalkan Lyra diruang keluarga sendirian.
Sisa makanan dan minuman yang masih terletak dimeja dan juga kotak pizza dan botol cola yang masih belum dibuka, dengan fim yang di pause. Lyra yang tertuduk dikursi bangkit dan membalikan kotak pizza yang tadi Pablo berikan.
"Kau mendengar semuanya kan? Aku tak perlu menjelaskan apapaun." Ucap Lyra sambil memegang kotak itu lalu meletakannya kembali.
Dylan yang bersandar didekat tangga hanya terdiam mendengarkan, hingga saat dia membalik dia tak sadar bahwa seseorang sejak dari tadi berasa dibelakangnya, dan melewatinya menuruni tangga. Ia lalu menghampiri Lyra yang dengan cepat menghadap kearahnya dengan tatapan marah.
"Puaskah?"
"Tentu saja sangat puas." Jawab Pablo dengan penuh senyuman. "Menghancurkan persahabatan untuk kami yang tak tahu arti sebenarnya persahabatan. Kau terlalu hebat dalam berkorban, Lyra."
"Aku hanya mengikuti apa yang kamu ucapkan saja,"
"Tapi aku tak pernah memintamu untuk menghancurkan persahabatan mu dengan mereka."
"Bukan. Bukan aku yang menghancurkannya, tapi dari diri kami sendiri selalu ada keraguan dan kegelapan yang muncul untuk menghancurkan ikatan yang dibuat. Itu akan hancur dengan cepat atau lambat, dan hal seperti itu adalah hal yang pasti." Ucap Lyra lalu pergi kekamarnya yang ada didekat ruang keluarga dengan cepat dia masuk lalu langsung menutup kembali pintunya.
Lyra masuk kekamarnya yang hanya ada cahaya matahari sore yang menembus kaca kaca kamarnya. Kamar yang tak terlalu luas dengan rak buku yang penuh dengan banyak sekali buku berbagai jenis. Semua barang dikamar ini ditata dengan rapi.
Lyra bersender dipintu dan menundukan kepalanya, sambil teringat apa yang baru saja dia lakukan. Dia tahu betul jika dia berkata seperti itu, maka tak ada kata maaf untuknya.
"hiks.. Lyra kau jangan menangis," Ucapnya yang terus terusan menghapus air matanya sambil menguatkan dirinya dengan kata katanya. "Kau kuat.., meski sendirian, kau kuat..Lyra..hiks.. Adel.. maaf aku menghancurkannya... aku mengatakan semuanya, maaf adel.." Lirih nya makin kuat. "Berhentilah menangis, itu resikonya.. bodoh.. hiks... apa yang kau pikirkan..." Dengan nafas berat dia terus menghapus air matanya yang ek mau berhenti.
Lyra selalu menahan tangisnya, tak pernah dia keluarkan dengan sangat, termasuk kesedihannya sendiri. Dia tahu dia tak pentas untuk menangisi hal yang telah dia lalukan tadi, dia tahu resikonya karena itu dia melarang dirinya sendiri untuk tidak menangis.
Lyra adalah seorang yang tak pernah mambicarakan tentang masalah pribadinya pada siapapun karena itu dia hanya ingin orang tahu bahwa dirinya tak kenapa napa, karena itu dia menciptakan topeng yang dia buat untuk orang lain tak mengetahui tentang dirinya.
Topeng pertama adalah yang sering sekali dia gunakan yaitu, topeng keceriaan. Topeng yang disukai banyak orang, karena dengan menggunakan topeng ini dia bisa merasakan apa itu kebahagiaan, meski itu palsu karena semua hanya kebohongan yang didapat dari topeng ini. Dia terlihat mudah bersosialisasi, berteman dan berbicara dengan topeng ini, meski tak ingin dia kenakan karena semua itu hanya kebohongan belaka.
Topeng kedua adalah topeng yang menunjukan sisi kejam dirinya yang bisa dibilang sangat dibenci oleh semua orang. Topeng ini adalah topeng kejujuran, karena ketika dia mengunakaannya, semua perkataan dan tindakannya berdasakan fakta yang terjadi, sehingga dia dapat dibenci karena perkataannya yang terlalu jujur. Lyra benci mengakui topeng ini, tapi dia tak bisa lari karena topeng ini adalah salah satu yang dia buat.
Dan topeng terakhir, tidak wajah aslinya. Penuh pilu dan tangisan, rasa sakit selalu ia rasakan. Wajah muram karena penderitaannya tak ingin dia tunjukan didepan siapapun, karena itu dia membuat dua topeng, yaitu topeng keceriaan dan topeng kejujuran atau topeng kekejaman.
"Lyra menangislah, ini perintah!" Ucap Pablo yang berada dibalik pintu. Sontak Lyra yang menahan tangisannya tiba tiba menangis dengan kencang.
"HUAAaaa..." Tangisnya pecah saat Pablo mengatakan hal itu.
Dylan yang melihat hal ini hanya diam melihat Pablo yang berada dibalik pintu mendengarkan tangisan keras adiknya. Dia tak ingin menghibur adiknya atau menguatkannya, setelah tahu apa yang diperbuat adiknya pada temannya. Namun, Dylan tahu itu adalah resiko yang harus dihadapi jika kau memilih suatu pihak.
"Maaf aku terlu sering berbohong pada kalian semua."