"Hei kalian apa kalian memiliki pemikiran, sikap petugas Revan dan sikap Pablo itu hampir mirip, apa mungkin Pablo adalah Lawless juga seperti Revan? Dan yang dimaksud petugas Revan adiknya adalah Pablo. Juga yang dimaksud Pablo kakaknya kemungkinan besar adalah Revan." Ucap Haris sambil menundukan kepalanya.
"Kenapa kau memiliki pemikiran seperti itu Haris?" Tanya Dennis dan Haris langsung melihat kearahnya.
"Pikirkan saja petugas Revan pernah bilang bahwa dia baru saja mencelakakan adiknya dia bilang itu pada hari Sabtu lalu, dan pada hari Senin Pablo masuk dengan luka dikepalanya, apa itu hanya sebuah kebetulan belaka?" Tanyanya pada Dennis, dan Dennis langsung berfikir bahwa apa yang diucapkan Haris itu ada benarnya dilihat dari sisi manapun. "Apa perlu pembuktian?" Lanjut Haris mengeluarkan ponselnya.
"Kau ingin menanyakan langsung pada orangnya?" Tanya Tania melihat sikap Haris yang aneh hari ini.
"Jika ingin mendapat sebuah kepastian, maka harus dilakukan bukan? Hei, Lyra bolehkan aku memintanya untuk datang kemari?"
"Ya boleh saja, tapi apa semua setuju jika Pablo datang kemari?" Tanya Lyra dan semua mengangguk. Haris mulai menelfon Pablo, dan semua terdiam.
"Hallo Pablo."
'Hallo..ada apa?'
"Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu, bisak—"
'Sebentar.'
"Ah iya.."
'Baik lanjutkan.'
"Jadi apa kau luang hari ini, karena hal yang ingin kutanyakan sangat banyak, dan juga bisakah kau datang ke rumah Lyra."
'Rumah Lyra?? Hmm, baiklah. Kirim alamatnya aku mungkin akan sampai disana dalam 30 menit.'
"Oke, aku kirim ,yaudah kalau gitu, dah.." Ucap Haris lalu mematiakan panggilan ponselnya sambil menghela nafas panjang dan melihat kearah teman temannya.
30 menit kemudian Pablo sampai di rumah Lyra. Dengan menggunakan jaket hoodie lengan pendek berwarna putih dan tidak lupa kacamata tebal frame hitam, dan terlihat perban yang dikepalanya menjadi lebih kecil dari kemarin. Pemampilannya saat ini jauh berbeda dari yang kemarin.
Saat Pablo memasuki ruangan yang seperti perpustakaan itu, dia melihat beberapa buku yang ada ditengah meja itu memuat beberpa mata pelajaran seperti matematika, ips, biologi, dll. Tak lupa makanan dan inumah yang turut hadir dimeja berbentuk persegi yang kira kira berukuran 2 x 1,5 meter itu.
Pablo lalu duduk dekat Kelvin dan Tania, sambil memperhatikan beberapa buku yang terbuka membuatnya sedikit tertarik.
"Jadi apa yang akan kamu tanyakan pada ku Haris?" Tanya Pablo memulai pembicaraan.
"Jadi kau ini memiliki kakak kan, yang kau bilang harus mengikuti perintahnya." Pablo menjawab dengan mengangguk. "Saat aku dan Dennis kerumahmu, kami tak melihat kakak mu, dimana dia?"
"Dia.." Pablo terdiam sejenak dan semua mengarahkan pandangan pada Pablo. "Sedang diluar kota."
"Apa kau tahu orang yang bernama Revan Yana?" Tanya Dennis tiba tiba.
"Tidak."
"Benarkah?"
"Kalian terdengar seperti sedang mengintrograsi ku. Jujur aku membenci hal seperti ini. Kau Haris, niat mu sebenarnya hanya membuktikan hubungan ku dengan orang yang bernama Revan itu, dengan menayakan dimana kakakku, kau berfikir kakak ku adalah laki laki, karena telah membuatku terluka seperti ini, sayang sekali tebakan mu salah kakak ku adalah perempuan dan dia sedang pergi ke Jakarta sejak hari Selasa lalu." Jelas Pablo dengan sangat cepat.
"Dennis, aku tak habis pikir kau merekam semua percakapan kemarin menggunakan alat perekam." Ucap Pablo dengan santainya dan membuat mata Dennis membulat kaget dan bertanda tanya bagaimana dia bisa tahu. " Maafkan aku, aku menyadap ponsel kalian."
Sontak semua terdiam mendengar apa yang baru saja Pablo katakan, dan rencana Haris untuk mengetahui hubungan Revan dengan Pablo gagal total, dan Dennis menjadi sangat kesal karena pembicaraan yang dia rekam kemarin harus ketahuan.
"Huh.." Pablo mengela nafas kasar. "Maaf aku berbohong pada kalian, mungkin aku terlalu kasar. Revan bukan kakak ku, aku aku anak pertama. Jadi tak mungkin aku memiiliki kakak, yang perempuan itu hanya kakak angkat ku saja tak lebih."
"Bukannya lebih baik kau jujur saja." Ucap seseorang didekat pintu yang tak lain adalah kakanya Lyra, Dylan Hyurra. "Misi lapangan yang kacau." Lanjutnya lalu pergi begitu saja.
"Ah, kau benar Dyra." Ucapnya Kecil, dan lalu ia bangkit berdiri. "Nama ku Pablo Midford, no.02, wakil ketua Lawless, orang yang berada dibalik layar. Puas kah kalian? Dia benar benar bodoh, melibatkan kalian dalam hal ini. Memuakan membuatku harus ikut turun tangan." Ucap Pablo seolah menjadi pribadi yang sangat berbeda.
"Kau wakil ketua Lawless?" Ucap Tania yang tak percaya. "Itu artinya kau pernah.."
"Ah ya tentu saja, aku pernah membunuh dan ku bunuh orang orang yang ku benci. Hukuman ku penjara seumur hidup, ya tapi karena aku maish dibawah umur ketika melakukan kal itu, ditambah kecerdasan ku membuat ku menjadi anggota Lawless yang paling muda saat ini." Ucapnya dan terdengar nada kesombongan dalam kata katanya. "Sepertinya aku merusak suasana." Lanjutnya lalu melangkah pergi
Tak ada satupun dari mereka berlima yang menahannya untuk tetap diam disini dan menjelaskan yang sebenar benarnya. Namun mereka merasa kata kata yang baru saja Pablo ucapkan itu cukup untuk membuat mereka sadar bahwa kecurigaan mereka pada murid baru, keanehan mereka pada petugas Revan. Setelah mendapat kenyataan yang ada bahwa kedua orang itu adalah Lawless yang mendapat wewenang bebas melakukan apapun, mereka hanya bisa pasrah pada kasus yang ingin mereka pecahkan.
Pada akhirnya kasus itu mereka serahkan sepenuhnya pada polisi, dan merka benar benar sudah tak ingin mempercayai orang yang bernama Revan dan si pembohong bernama Pablo.
....
Senin, 1 Des
"Hoamm..." Dengan wajah yang masih sangat mengantuk Haris menguap sambil menutupnya menggunakan telapak tangannya, sambil berjalan dengan Dennis yang berada disebelahnya.
"Masih ngantuk?" Tanya Dennis sambil melihat kearah sahabatnya sekaligus teman masa kecilnya itu.
"Kau tahu kan kemarin malam aku belajar dengan keras agar suskses di ujian kali ini." Ucap Haris dengan penh semangat meski terlihat jelas dia sangat mengantuk.
"Jangan tidur saat ulangan, itu sama saja bohong. Percuma kau belajar jika kau tidur." Ledek Dennis, dan terlihat Haris yang kesal dengan ucapannya itu.
Memasuki gerbang sekolahnya mereka merasa agak sedikit khawatir sebab hari ini adalah hari pernama SMP Felice melaksanakan UAS hari pertama dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama. Karena terkadang kisi kisi yang diberikan dengan soal ulangan jauh berbeda, itu menyebabkan kemarin malam Haris belajar dengan keras dan membuatnya mengantuk sekali hari ini.
Pagi ini dikelas 8-D, terlihat sangat suram lebih dari biasanya, hampir setengahnya telah datang ke sekolah meski ulangan dimulaipada jam 07.30 dan saat ini masih menunjukan pukul 06.40 yang menandakan waktu dimulainya ulangan masih sangat lama.
Haris dan Dennis yang memasuki kelas berbarengan melihat beberapa orang yang sedang mengahafal mata pelajaran agama, ada juga yang memainkan ponselnya dan juga yang membaca buku novel.
Haris lalu duduk dibangkunya lalu membuka ponselnya yang menunjukan pukul 06.42, karena merasa bosan dia lalu membalikan kursinya pada orang yang berada dibelakangnya yang membaca buku berukuran cukup kecil jika dilihat sekitar ukuran A6 dan itu adalah ukuran yang pas untuk genggaman tangan.
"Haru," Ucap Haris mengganggunya.
"Apa?" Jawab Haru yang masih terfokus pada buku yang berukuran kecil itu.
"Haru, kapan kau mati?" Tanya Haris dengan wajah yang terlihat mengantuk saat menanyakan hal itu.
Dukk.. Haru memukulkan buku yang sedang dia baca pada kepala Haris, dan Haris merintih kesakitan.
"Aku akan mati ketika waktu hidupku didunia telah habis." Jawab Haru dengan yakin. "Lagi pula kesabet apa kamu tiba tiba menanyakan hal seperti itu?"
"Tidak, hanya terlintas saja dipikiran ku."
"Aku beri saran untuk mu Haris, lebih baik jika kau tidak mengungkapkan semua apapun yang terlintas di benak mu itu, paham?!"
"Ya, aku paham." Ucap Haris mengerti.
"Oh iya, Haris hari ini mungkin si murid baru itu takan sekolah." Ucap Haru yang kembali membuka buku kecilnya itu.
"Hah?! Apa maksudmu?"
"Tadi saat ku berangkat sekolah ku bertemunya di toko swalayan menggunakan baju biasa dan rambutnya sungguh berantakan, dia membeli banyak sekali minuman kaleng dan jika dilihat sepertinya dia mengambilnya dengan asal dan memasukannya pada keranjang bergitu saja. Aku lalu bertanya padanya apa akan sekolah, dia menjawab 'aku sedang tak ingin sekolah', bukan kah itu gila dia menjawab dengan tatapan mata yang kosong, dan itu sangat terasa saat aku melihat matanya secara langsung."
"Heeh, begitu kah? Aku tak peduli." Ucap Haris sambil mengambil ponsel yang ada disaku celananya.
"Harusnya kau peduli, kau itu km disini!"
"Meski aku km disini, aku tak peduli dengannya sama sekali." Ucap Haris yang menjadi sangat malas dengan ucapan Haru barusan.