Chereads / Danke / Chapter 27 - Sang psikopat.

Chapter 27 - Sang psikopat.

Begitu Ardo datang ke halaman belakang kampus usai Karang mengirimkan pesan, laki-laki itu bergerak cepat. Emosinya yang sempat ia tahan itu depan banyak orang tadi—kini sudah mencapai ubun-ubun.

Tangan Karang menyeret lengan Ardo dan menghempasnya ke tembok hingga kepala laki-laki itu sedikit terbentur, Karang jelas tak peduli jika kepala Ardo sampai pecah sekalipun. Kini satu lengannya menekan dada laki-laki itu hingga tak dapat memberontak.

"Lo jangan ambil keuntungan atas Pelita!" hardik Karang seraya menatap Ardo dengan kening berkerut, amarah besar sedang ia keluarkan dari balik matanya.

"Apa? Hah? Lo ngomong apa?" balas Ardo begitu santai, ia tersenyum miring mendapati kekesalan Karang karena cemburu.

"Jangan usik pacar gue lagi!"

"Pacar? Pacar lo itu Valerie, kalau Pelita itu simpan—"

Bugh!

Karang sudah tak bisa bernegosiasi dengan kesabarannya lagi, dia memukul perut Ardo cukup keras hingga tubuh laki-laki itu meluruh dan terduduk di atas rerumputan. Namun, kepala Ardo menengadah dan kembali memamerkan seringaian setannya seolah ia menunjukan bahwa masih baik-baik saja.

"Bangun lo!" Karang mencengkram bahu Ardo dan memaksanya kembali bangkit. "Jangan lo sebut dia pakai nama yang nggak pantas."

"Tapi lo emang perlakukan dia secara nggak pantas, balikin aja ke gue! Jangan siksa dia!"

Bugh!

Karang kembali meninju perut Ardo tanpa ampun, seolah laki-laki di depannya itu adalah samsak yang boleh dipukul bekali-kali tanpa perlu merasakan sakit. Jelas saja Ardo merasakan perutnya makin nyeri, kedua tangannya saja terus meremas bagian yang sama. Karang tak membiarkan laki-laki itu meluruh lagi dan terus meremas bahunya.

"Lo nggak usah sok tahu tentang gue sama Pelita, dia udah jadi milik gue dan gue berhak atas apa pun tentang Pelita."

"Heh! Laki-laki nggak tahu diri, lo itu udah punya pacar. Mending balikin Pelita ke gue, beres. Dia nggak akan ngerasain lagi yang namanya nahan hati karena jadi yang kedua, lo nggak akan bisa bikin dia bahagia," ujar Ardo, ia sama sekali tak takut jika Karang akan memukulnya lagi. Rasanya menyiksa Karang dengan ucapannya lebih menyakitkan daripada pukulan Karang padanya.

"Gue akan bikin Pelita bahagia!"

"Bullshit! Milih salah satu aja lo nggak bisa!"

"Diam lo bangsat!"

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Karang kian membabi buta karena merasa diremehkan, dia memukul wajah Ardo dua kali hingga lubang hidungnya mengeluarkan darah, lalu memukul tulang kering serta menendang kakinya. Laki-laki itu kembali tersungkur di atas rumput, Karang yang melihat Ardo sudah tak berdaya meninggalkannya begitu saja.

Sambil melangkah meninggalkan halaman belakang, tangannya merogoh ponsel dari saku jaket dan mengetik pesan chat untuk seseorang.

Sunny ;

Jam 7, apartemen.

Lalu send, pesan terkirim pada ia yang seharusnya menerima. Ia sudah berubah menjadi malaikat kematian untuk siapa pun saat ini, jangan coba-coba mengusik milik Karang yang sudah ia anggap sangat berharga.

***

Kegugupan luar biasa sedang melanda gadis itu selama seharian ini apalagi setelah menerima pesan chat dari Karang, ia datang ke apartemen tepat waktu. Tanpa mengetuk pintu lebih dulu Pelita langsung masuk, ternyata keadaan di dalam begitu gelap, tapi gadis itu tetap menutup pintu.

Sebenarnya Karang ada di dalam apartemennya atau tidak, kenapa lampu dimatikan atau memang dia sengaja. Sambil melangkah pelan tangan kanan gadis itu meraba tembok, berharap menemukan tombol lampu.

Sedetik kemudian lampu menyala dengan terang, tapi bukan Pelita yang menekan tombol lampu—melainkan laki-laki di belakangnya—yang berdiri tanpa mengenakan baju, hanya celana jeans yang melekat pada tubuhnya.

Pelita memutar tubuh, belum sempat mengucap sepatah kata pun ia mendapatkan bungkaman sapu tangan dari Karang. Hingga lima detik berlalu akhirnya Pelita tak sadarkan diri, ia sudah dibius oleh kekasihnya sendiri.

Ketika Pelita tersadar, ia sudah duduk di permukaan ranjang besar milik Karang, tapi dalam keadaan yang tak pantas. Karena kedua tangannya diikat ke belakang dan mulutnya ditempel lakban, ia merasa seperti seorang sandera sekarang.

"Enak nggak kayak gitu?" Suara berat itu membuat Pelita menatap ke segala arah, ia menemukan Karang yang keluar dari dapur sambil memegang sebuah gelas sloki berisi alkohol, bau ruangan besar itu sangat menyengat akan akhohol. Jadi, Karang mabuk?

Karang menghampiri gadisnya seraya menyeringai, ia masih saja tak mengenakan kaus dan memperlihatkan banyak tato pada tubuhnya yang atletis. Karang meletakan gelas di permukaan laci, lalu duduk di dekat Pelita yang menatapnya tanpa ekspresi, ia tak bisa bicara sama sekali.

"Sayang," ucap laki-laki itu seraya membelai rambut Pelita, aroma alkohol menguar dari mulut Karang. "Lo senang kan udah bikin gue kayak gini, hm?" Mata sayunya menatap Pelita lebih dekat, tapi Pelita menghindari wajahnya agar tak tersentuh bibir laki-laki itu.

"Mau ke mana, Sayang. Sini dong deketan." Karang naik ke ranjang dan menarik gadis itu agar tak ada jarak lagi, kini Karang sudah merangkul bahu Pelita. "Seneng nggak kalo gue jadi iblis malam ini, hm?"

Pelita merasa ada yang aneh dengan laki-laki itu, apa karena kejadian hari ini? Ia menggeleng menatap Karang.

"Asyik gitu ya ngobrol bareng sama mantan padahal pacar di depan mata, Pelita emang yang terbaik."

Deg!

Ternyata itu alasan Karang mulai gila lagi, bahkan lebih parah karena membuat gadis itu seperti korban penculikan.

Karang menyentuh dagu Pelita dan mengangkatnya, membuat manik mereka kembali bertemu, kini mata Karang tak sesayu tadi karena sekarang berganti dengan sorot tajam, ekspresinya kentara dingin.

"Sekarang gue mau definisikan korelasi sesuatu yang berhubungan sama sakit hati, karena penjelasan ini mutlak cuma buat lo—pacar gue yang paling cantik."

Karang meraih gelas yang masih berisi tadi—lalu meminumnya, setelah itu melemparnya ke lantai hingga pecah berantakan. Mata Pelita sampai mengerjap mendengar suara pecahan itu, ia mulai ketakutan dengan tingkah gila Karang.

"Kalau lo buat gue sakit hati, artinya lo mau matiin gue pelan-pelan. Contohnya." Karang mengeluarkan sesuatu dari saku celanannya, sebuah pisau lipat dengan ujung runcing ia pamerkan di depan eboni Pelita.

Tentunya gadis itu melotot melihat benda tajam di tangan Karang, apa ia akan membunuhnya sekarang juga? Ternyata sikap nekat Karang malam ini jauh lebih mengerikan ketimbang saat dia hendak menghampiri mobil di jalan raya hari itu.

"Lo bikin gue sakit hati, artinya lo sayat gue pelan-pelan, Ta. Lo nggak sadar kalau nyawa pun gue kasih buat lo, tapi lo seenak hati main-main di belakang gue." Karang memainkan pisau lipatnya di depan Pelita, seperti tak takut jika benda itu bisa menggores kulitnya.

Pelita ingin menjawab ucapan itu, tapi terlalu sulit, andai lakban sialan itu tak menempel pada bibirnya ia ingin berteriak bahwa tak sengaja berbicara dengan Ardo.

"Kalau ucapan lo saat itu emang nggak nyata mending kita akhiri aja malam ini, lo atau gue lebih dulu, hm? Biar kita mati sama-sama, daripada lo siksa gue pelan-pelan."

Karang gila!

Karang benar-benar gila!

Pelita menggelang kuat, tubuhnya berusaha menghindar dari laki-laki yang sudah kerasukan iblis itu. Ia berusaha kuat bergerak menjauh dari Karang, bergeser ke kiri hingga akhirnya jatuh ke lantai dan mengakibatkan sisi kepalanya terbentur lantai, semua itu menyiksanya. Sebagian rambutnya juga menutupi wajah, Pelita tak bisa kembali duduk akibat tangan dan kaki yang terikat.

Karang turun dari ranjang dan berjongkok di sisi Pelita. Tangannya menyingkap rambut yang menutupi wajah gadis itu, terlihatlah wajah Pelita yang mulai dipenuhi keringat meski AC menyala, ia ketakutan tak keruan menghadapi iblis itu.

Karang kembali menyeringai, "Mau lari ke mana, Sayang? Jangan lari dari pertunjukan yang belum selesai, nanti nyesel lho." Dia membantu gadis itu untuk duduk bersandar pada sisi ranjangnya.

"Mau lihat seberapa besar rasa sayang gue buat lo, hm? Biar lo tahu kalau gue bisa gila karena lo, bahkan mati bunuh diri aja kalau lo nggak peduli lagi sama gue, kayak gini ...."

Karang mengangkat tangan kirinya, ia membuka telapak tangannya dan tanpa ragu menggoresnya dengan pisau lipat itu di depan mata Pelita. Terlihat darah keluar dan mengalir deras, menetes di permukaan lantai kayu apartemennya.

"Ini akibatnya kalau lo buat gue sakit, lo matiin gue pelan-pelan," tandas Karang.

Pelita menangis, ia benar-benar menangis menatap wajah Karang dan telapak tangan yang berlumuran darah itu bergantian.

Karang menjatuhkan tangannya ke lantai, membiarkan darahnya mengalir lebih cepat hingga mencipta kubangan darah. Karang menyandarkan tubuhnya di dekat Pelita, ia menoleh menatap gadis itu seraya tersenyum miring.

"Sekarang gue lepasin lo, terserah habis ini lo mau apa. Gue mati juga lo nggak akan peduli," ujar Karang. Ia melepaskan ikatan pada kaki Pelita, lalu tangannya meski darah terus saja keluar, setelah itu baru lakban yang mengunci bibir Pelita.

Setelah semuanya terlepas Karang kembali bersandar. "Ini tuh nggak sakit, sakitan yang nggak kelihatan dan nggak berdarah. Harusnya tadi gue tusuk aja kali yah ini dada pakai belati."

"Kakak gila!" hardik Pelita yang sudah menahan kekesalannya sejak tadi, dia menarik tangan Karang lalu merengkuhnya sambil terus menangis.