Pelita menatap teman-temannya yang berdiri di dekat kekasih mereka, ia menghela napas panjang saat dadanya rasakan sesak. Tiba-tiba saja begitu kesepian padahal keadaan sangat ramai, terlihat tamu undangan yang kian banyak datang ke acara ulang tahun Valerie itu. Harusnya tadi ia membawa jaket, jadi tak perlu memeluk lengan sendiri seraya mengusapnya, Pelita merasa akan banyak penyesalan untuk malam ini. Ia ingin cepat-cepat bernyanyi dan enyah dari tempat itu.
Pelita mengedar pandang, ia mencari sosok yang ditunggunya sejak tadi. Bukan Karang, tapi Ardo. Akan datang dengan siapa Ardo ke tempat itu? Jika bersama seorang gadis mungkin saja Ardo benar-benar move on darinya, itu terdengar lebih baik.
Sejak tadi ia hanya sendiri, mungkin hanya kedua malaikat pencatat amal yang setia menemaninya.
"Nih." Terlihat tangan seseorang mengulurkan sebuah jaket warna merah di depannya.
Pelita menatap benda itu sekilas lalu pada si pemilik tangan, ternyata Rangga. "Buat apa?" tanya Pelita datar.
"Buat elo pakai lah, mau lo makan juga boleh kalau doyan," celetuk Rangga asal, "ini tuh disuruh Karang, cepat pakai."
Pelita segera meraih benda itu dan memakainya.
"Nah gitu, jadi nggak bikin sakit mata orang terus-terusan," ujar Rangga.
"Sakit mata? Gue salah apa?"
"Astaga." Rangga mengusap dadanya agar terlihat lebih dramatis. "Cewek-cewek di sini pakai bajunya bikin sakit mata."
"Kan tadi gue udah bilang, jangan lihatin karena ini bukan tontonan," ketus gadis itu, kedua tangannya terlipat di dada.
"Terus gimana caranya kalau gue emang bisa lihat? Indra keenam juga gue punya."
"Nggak tanya."
Setelah itu kembali hening, keduanya sama-sama melihat keadaan ramai di sekitar mereka.
Sesekali Pelita melirik Rangga yang terlihat mengunyah permen karet, sosoknya terkadang santai meski mudah sekali hiperaktif dalam hitungan detik. Tiba-tiba saja Rangga bersiul tanpa dosa, seolah banyak burung cantik bersliweran di dekatnya padahal sudah ada yang memiliki saat tangan masing-masing menggandeng lengan kekasihnya.
"Pelita."
Ucapan itu membuat Rangga dan Pelita menoleh, mereka mendapati sosok yang sedari Pelita tunggu yakni Ardo. Ia menggurat senyumnya setelah mendapati laki-laki itu bersama seorang gadis, jadi Ardo benar-benar sudah move on? Pelita bahagia atas hal itu.
"Ardo, lo baru datang? Gue baru lihat lo dari tadi," ucap Pelita penuh semangat, seolah ia ikut bahagia melihat Ardo punya kekasih lagi.
Telunjuk Ardo menggaruk pelipisnya, dia menatap penampilan Pelita malam ini dari ujung kaki hingga kepala, benar-benar mempesona. "Iya, gue baru datang."
"Sama pacar, kan?" Pelita langsung mengulurkan tangan kanannya di depan gadis berambut lurus sebahu, ternyata ketika senyum gadis itu muncul ia juga berlesung pipit, terlihat sangat cantik.
"Aku Adita." Gadis itu menyambut uluran tangan Pelita dengan senang hati, senyumnya tampak ramah.
"Gue Pelita, lo pacar Ardo, kan? Pasti deh," terka gadis itu.
Adita dan Ardo saling tatap, setelahnya gadis itu menggeleng pada Pelita. "Bukan, kamu salah sangka. Aku sepupunya Ardo aja kok."
Jawaban gadis itu membuat Pelita mengatupkan bibir, senyumnya juga hilang dalam sekejap. Ternyata ia terlalu banyak berharap Ardo lekas pindah ke lain hati.
"Oh. Maaf." Pelita tersenyum tipis.
"Lo cantik, Ta," puji Ardo yang tak kalah mempesona dengan kemeja warna cokelatnya, jika diizinkan ia ingin menggandeng tangan gadis itu sekarang, lalu mengajaknya naik ke altar khusus dansa, memberi tahu pada semua orang bahwa ia manusia paling bahagia malam ini. Sayangnya, semua itu hanya fantasi belaka, fantasi gila.
"Makasih."
"Ehem," deham Rangga yang merasa tak terlihat sama sekali di antara ketiganya.
Ardo juga baru menyadari ada laki-laki asing di dekat mantan kekasihnya.
"Pacar lo, Ta?"
Rangga dan Pelita saling tatap.
"Bukan, dia itu—"
"Penjaganya Pelita," sergah Rangga mendahului ucapan Pelita, ia mengulurkan tangan kanannya di depan Ardo.
"Gue Ardo, nama lo siapa? Lo cowoknya Pelita, jadi Pelita udah putus dari—"
"Gue temennya Karang," sahut Rangga seraya menjabat tangan Ardo dengan erat, bahkan lebih seperti meremasnya.
Seketika Ardo mengatupkan bibir. Bukan saat yang tepat untuk mengajak Pelita bicara ketika ada orang yang juga mengenal Karang di dekatnya, bukannya Ardo takut dengan Karang meski sudah dipukul bertubi-tubi hari itu, hanya saja ia ingin gadis itu yang aman. Segera Ardo menarik tangan Adita menjauh dari keduanya.
"Bukannya itu mantan lo yah," ucap Rangga.
"Kayaknya lo tahu banyak tentang gue, jangan-jangan elo tempat curhat Karang."
"Betul, jadi hati-hati di depan mata gue."
Pelita memutar bola matanya, lalu menjulurkan lidah seraya berlalu pergi.
"Kalau bukan pacar Karang udah gue gigit itu lidah," gumamnya seraya terkekeh geli.
***
Setidaknya Pelita merasa percaya diri dengan penampilannya malam ini berkat jaket yang Karang titipkan lewat Rangga, setidaknya rasa malunya berkurang karena menggunakan dress di atas lutut yang mencetak jelas lekuk tubuhnya.
Kaki jenjangnya naik ke atas panggung kecil yang sudah dipersiapkan oleh panitia sebagai tempatnya bernyanyi, ia meraih gitar di sisi panggung lalu duduk di sebuah sofa warna hitam seraya memangku gitarnya dengan posisi lutut kiri ia letakan di atas paha kanan—barulah gadis itu menatap keadaan sekitar. Melihat semua orang yang berada di bawah menatapnya membuat gadis itu sedikit gugup, tapi Pelita berusaha bersikap sewajar mungkin, ia diundang jadi Guest Star malam ini, jadi harus tampil dengan baik.
Ketika tatapannya bertemu dengan milik Karang yang selalu berdiri di sebelah Valerie, Pelita langsung mengalihkan pandang karena terlalu kecewa melihat pangeran dan sang putri yang tak pernah saling melepas. Sedangkan dirinya hanya dianggap sebagai selir pengganti.
"Selamat malam," sapa Pelita seraya mendekatkan bibirnya pada sebuah mikrofon yang terpasang di atas besi penyangga, untungnya sejajar dengan tinggi posisi duduk gadis itu, jadi lebih memudahkannya dalam berbicara.
"Selamat malam," sahut para tamu undangan serempak. Karang hanya diam mengamati gadis itu, ia merasa deja vu kembali pada masa di mana Pelita masih mengenakan seragam OSPEK kemeja polos warna putih serta rok lipit hitam selutut, saat itu ia sangat menggemaskan seperti video yang Karang miliki di dalam laptopnya.
"Sebelumnya aku mau bilang makasih buat Valerie yang udah berbaik hati undang aku sama teman-teman ke acara ulang tahunnya malam ini, makasih karena mengizinkan aku naik ke atas panggung ini dan bicara sama kalian semua. Aku mau berdoa buat Valerie semoga dia panjang umur, makin cantik, makin disayang sama—" Pelita menatap Karang, tiba-tiba saja lidahnya tercekat karena hampir saja mengucapkan nama Karang di sela doanya untuk Valerie. "Makin disayang sama keluarga, teman-teman dan semuanya, amin." Gadis itu melanjutkan.
"Amin," sahut orang-orang serempak.
"Jadi, langsung aja ke inti. Sekarang aku duduk di sini mau nyanyi buat kalian semua, bagi terima kasih banyak dong buat Valerie yang jadiin aku salah satu Guest Star malam ini." Gadis itu tersenyum menatap Valerie, begitu pula laki-laki di sebelahnya.
Pelita mengela napas, ia mulai memetik senar gitarnya sambil bersenandung semampunya. Sesekali gadis itu menatap orang-orang di bawah yang terlihat menikmati penampilannya saat ini.
Valeri menoleh pada Karang. "Sayang, aku nggak salah kan undang Pelita ke acara malam ini. Dia nyanyinya bagus banget," ujar Valerie. Sayangnya, Karang terlalu terpaku pada penampilan kekasihnya di atas panggung itu, ia sampai tak mendengar ucapan Valerie. "Karang? Karang!" hardik Valerie kesal, bisa-bisanya ia yang harusnya jadi pusat perhatian tiba-tiba teralihkan akibat suara seseorang, pikirnya.
"Kenapa?" Suara Karang datar.
"Aku tadi bilang apa coba? Kamu pasti nggak dengerin, kan? Terlalu asyik lihat Pelita nyanyi," gerutunya.
"Itu artinya suara dia bagus, kan? Bukannya itu juga jawaban," ujar Karang, ia terlalu santai setiap kali menanggapi kekesalan Valerie. Masalahnya Valerie juga tak sampai hati jika marah lebih lama, ia tak ingin Karang sampai berpaling ke lain hati, meski sudah tanpa ia sadari.
"Oke, aku yang nggak paham."
"Kamu marah?"
"Enggak, nanti kamu nggak mau dansa sama aku kalau aku marah. Iya deh pasti, kan?"
"Mungkin."
"Tuh kan, Karang nyebelin." Tetap saja Valerie menggelayut manja pada lengan laki-laki itu.
Hingga petikan gitar itu berhenti seiring dengan berlalunya suara Pelita, semua orang serempak bertepuk tangan melihat bagaimana pandainya gadis itu membius orang-orang dengan penampilannya yang berkesan malam ini. Setelahnya Pelita meletakan gitar di sisi sofa sebelum beranjak, ia tersenyum menatap orang-orang.
"Makasih," ucapnya penuh kehangatan, gadis itu melangkah turun dari panggung menghampiri teman-temannya yang berdiri di sisi kolam renang bersama kekasih masing-masing. Sebaiknya ia menggandeng malaikat saja kali ini.
Terlihat pembawa acara kembali naik ke atas panggung, berkomat-kamit entah apa—yang jelas giliran Valerie seorang diri naik ke atas panggung.
"Suara lo bagus banget, Ta," puji Anggi, dia begitu cocok dengan Angga di sebelahnya.
"Ada yang kurang," ujar Chintya.
"Apa?"
"Nggak ada yang gandeng tangan elo, gue aja deh yang gandeng." Tangan kiri Chintya meraih gadis itu dan membuatnya berdiri di sebelah kiri, sedangkan sebelah kanannya adalah kekasih Chintya.
"Ehem," deham Rangga sengaja menghampiri Pelita.
Semua orang kebingungan menatap laki-laki asing itu, kecuali Pelita. "Ada apa?" tanya Pelita.
"Boleh kita ngomong sebentar."
"Dia siapa, Ta?" tanya Chintya.
"Dia itu ..." Mana mungkin Pelita harus berkata jika Rangga adalah teman Karang yang sengaja disuruh untuk menjaganya.
"Gue Rangga, teman Pelita. Gue mau ngomong sama dia sebentar boleh, kan? Tenang aja nggak akan dilecetin kok, aman."
Chintya menatap ragu gadis di sebelahnya. "Dia siapa sih? Kok gue baru lihat, Ta."
"Seperti apa yang tadi Rangga bilang, gue ngomong sama dia sebentar ya. Aman kok," izin gadis itu sebelum beringsut pergi bersama Rangga yang mengekor di belakangnya.
"Calon pacar Pelita kali," ujar Kamila.
"Mau iya atau enggak, tunggu aja lanjutan kisahnya," sela Anggi.
"Mantul!"
Ketika Pelita berhenti melangkah di tempat sepi justru tangan Rangga tetap menariknya agar terus melangkah, mereka keluar dari area pesta menuju gerbang rumah Valerie yang terbuka lebar, begitu banyak mobil berjejer rapi di tepi jalan yang dibawa oleh tamu undangan.
"Lo mau bawa gue ke mana sih?" tanya Pelita bersamaan langkah yang tergesa, ia cukup kesusahan mengimbangi laju langkah Rangga karena mengenakan heels.
"Nganterin lo ketemu sama Karang."
Bibir Pelita membentuk pola O tanpa bersuara, ia mengikuti ke mana pun Rangga menariknya, melewati beberapa mobil mewah dan berakhir di depan mobil milik Karang. Begitu tiba, Rangga melepas tangan Pelita.
Laki-laki itu mengetuk kaca mobil Karang dan membuat si pemilik menurunkan kacanya. "Nih orderan lo udah gue antar," celetuk Rangga asal.
Pelita melotot pada laki-laki itu, "Orderan? Lo kira gue makanan."
"Iya, makanan Karang yang lezat bergizi, kenyang tuh pasti," ujar Rangga seraya terkekeh geli, lalu meninggalkan keduanya setelah urusan beres.
Hanya ada Pelita dan Karang, gadis itu masih berdiri di sisi mobil Karang. Tiba-tiba saja ia merasa gemetar ketika Karang keluar dari mobilnya lalu meraih tangan gadis itu dan menuntunnya mengitari kap mobil, membukakan pintu hingga Pelita akhirnya duduk.
Tak langsung melaju, mereka sama-sama berada dalam keheningan. Karang sibuk mengetukkan telunjuknya pada kemudi, sedangkan gadis itu seperti orang kebingungan dengan arah mata yang bergerak ke kanan lalu kiri.
"Kayaknya gue lebih suka lo pakai celana robek," ucap Karang menghentikan kebisuan.
Pelita menoleh, ternyata laki-laki itu tak suka dengan penampilannya. "Maaf, Kak. Aku juga maunya gitu, tapi takut ditendang sama Valerie keluar dari pesta gimana?"
"Kan ada gue yang tangkap, kok lo jadi lucu sih." Karang tersenyum seraya mengacak rambut Pelita. Barulah ia mengemudikan mobilnya keluar dari barisan mobil yang terparkir.
"Kita mau ke mana? Bukannya Kakak harusnya di dalam sana, kan? Nanti Valerie gimana nyariin?" Masih saja gadis itu membahas orang lain, padahal Karang sudah pernah melarangnya.
"Gue anter lo pulang, banyak mata jahat di sana. Gue takutnya setan pada ngerasuk, termasuk ke gue."
Pelita menggigit bibirnya, ia tahu maksudnya. Lebih baik kembali diam.
Karang juga begitu, ia mengemudikan mobilnya kencang. Ia juga harus membagi waktunya malam ini, meski bersama Pelita hanya sesaat, tapi sudah cukup membuatnya senang ketika gadis itu masih baik-baik saja.
"Jadi, Rangga itu beneran teman Kakak?"
"Iya, dia yang bakal jagain lo kalau nggak ada gue."
Baik Karang maupun Pelita memilih diam hingga mobil itu masuk area perumahan tempat tinggal Pelita dan menepi di depan rumah berlantai dua, masih pukul delapan, jadi lampu-lampu di tiap rumah juga berpendar. Tak ada mobil Mona di halaman rumah, artinya wanita itu belum pulang dari toko rotinya.
Pelita melepas seat belt yang membelit tubuhnya, "Makasih udah anter aku pulang, Kak."
"Hati-hati, maaf gue cuma bisa gini. Nggak seperti yang lo mau," sesal Karang.
Pelita mengulas senyum tipis, "Nggak apa-apa, bukan Kakak ataupun aku yang minta, tapi keadaan yang maksa. Aku pulang ya, Kak. Sekali lagi makasih." Pelita akhirnya turun dari mobil dan melangkah hampiri gerbang rumahnya yang tertutup rapat itu, tak ada satpam rumah, hanya ada satpam penjaga komplek dan posisinya berada di dekat gapura masuk perumahan.
Tiba-tiba Karang membuka pintu mobilnya dan bergerak cepat menghampiri Pelita yang tengah sibuk membuka kunci gerbang.
"Pelita!" seru Karang.
Gadis itu menoleh, ketika Karang sudah berada di depannya tiba-tiba bibir laki-laki menyentuh milik Pelita dan melumatnya dengan lembut. Tubuh gadis itu seketika meremang menanggapi perlakuan Karang, hanya saja sesuatu perlahan mulai berubah, ia senang meresapi perasaannya untuk Karang yang kian tumbuh subur. Ketika tangan Karang menekan tengkuknya dengan senang hati Pelita membiarkan lidah laki-laki itu masuk untuk bermain bersama miliknya. Ia mulai suka dengan perbuatan kekasihnya itu.
Mata Karang terus terpejam, sedangkan Pelita mencuri pandang bisa menatapnya lebih dekat. Ketika eboni itu terbuka, perasaan Pelita lebih senang lagi, mereka saling tatap dalam jarak yang dekat. Napas mereka beradu dalam gelora yang menguasai diri, ketika Karang memilih untuk menyudahinya, Pelita kecewa. Ia tak ingin kehilangan perlakuan seperti itu, tapi akal sehatnya mengajak berhenti.
"Sekali lagi maafin gue. Selamat malam Pelita, tetap jadi gadisku yang kuat. Aku sayang kamu." Setelahnya Karang mengecup lembut kening gadis itu lalu beringsut pergi, Pelita membeku tapi masih sanggup tersenyum.
Apa tadi? Aku sayang kamu?