Jus melon di depannya hanya terus ia aduk dengan sedotan tanpa tersentuh bibir, pandangannya juga kosong entah ke mana sejak ia masuk ke dalam kafe itu. Pelita bosan, ia akan mengakui hal itu. Sampai berapa lama dia akan menunggu Karang datang dan harus berdua saja dengan Rangga yang lucu itu.
Sedangkan Rangga justru asyik dengan nasi goreng rendang yang ia makan, ia begitu lahap sampai tak memperhatikan gadis cantik yang duduk di sebrangnya tengah kehilangan isi kepala. Mungkin sudah penuh atau memang tak ada yang mengisi.
Rangga meneguk air mineral dari dalam botol hingga tak bersisa, barulah ia mengamati Pelita yang terus saja melamun tanpa arah. Apa laki-laki tampan di depannya tak terlihat?
"Hey," panggil Rangga.
Gadis itu tak menoleh.
"Hey," panggil Rangga lagi.
Pelita masih saja belum sadar.
"Hey," ulang Rangga untuk ketiga kalinya, barulah gadis itu menoleh.
"Hey, Tayo, hey, Tayo. Dia bis kecil ramah," celetuk Rangga menyanyikan lagu anak kecil itu sembari mengalihkan pandang, sengaja meledek Pelita.
Pelita kesal dan menarik beberapa tissue yang terhidang gratis di atas meja, ia menggumpalkannya dan melempar benda itu ke wajah Rangga. "Gue nggak ada receh, semut!" gerutu Pelita.
Rangga terkekeh geli, akhirnya raut menggemaskan gadis itu muncul juga. "Nah gitu dong, lampu. Mikirin siapa? Di depan lo udah ada orang ganteng kenapa masih ngelamun aja? Ya walaupun lebih ganteng Karang mungkin, menurut lo."
"Berisik ah, gue mau pulang aja!" Pelita meraih ponsel yang ia letakan di permukaan meja sebelum beranjak, kekecewaan kembali hinggap, mengapa datangnya bertubi-tubi dalam jangka sehari?
"Heh! Mau ke mana? Karang aja belum datang, katanya nungguin dia di sini, kan? Kenapa mau main pergi aja."
Pelita menatap Rangga. "Sekarang udah jam berapa, semut? Gue udah satu jam nunggu di sini dan dia enggak datang-datang tanpa kabar. Kalau lo mau di sini aja ya silakan, gue mau pulang." Gadis itu benar-benar melenggang pergi.
"Buset, pergi beneran malah. Kalau dia nggak ada sama gue, bisa habis sama Karang. Bikin gemes aja si Dede," celetuk Rangga sambil menggendong ranselnya, ia beranjak menghampiri Pelita yang sudah keluar dari kafe.
Gadis itu berdiri di tepi jalan, menunggu taksi untuk mengantarnya pulang ke rumah. Ia benar-benar kesal dengan Karang yang sudah terlihat hanya mempermainkannya saja, sekali lagi gadis itu mengecek ponsel dan keadaan masih sepi, ia berdecak.
"Jangan pulang sendirian," seru Rangga yang kini sudah berdiri di sisi Pelita.
Gadis itu menatapnya datar, "Gue enggak sendirian kok, nanti supir taksi juga bakal temenin sampai rumah." Lalu menjulurkan lidahnya.
Dasar makhluk Tuhan yang diciptakan laknat, batin Rangga menggelitik. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya.
"Jangan pulang sama orang asing, nanti lo diculik gimana?"
"Nanti gue ajak kenalan dulu si supir, jadi nggak akan asing lagi. Ngapain si lo ribet sendiri, teman lo aja nggak peduli gue mau pulang sama siapa," gerutu Pelita kecewa karena Karang ingkar janji, untuk pertama kali.
"Ya gue mana tahu urusan dia, gue diciptakan sebagai manusia ya. Bukan sebagai malaikat pencatat amal baik dan buruk yang harus selalu ada di sisi dia. Lo pulang sama gue," ajak Rangga.
"Ogah! Mending sama supir taksi." Gadis itu melihat taksi dari kejauhan, segera ia melambaikan tangan kirinya hingga kendaraan beroda empat itu menepi di dekat mereka.
Pelita hendak membuka pintu, tapi Rangga bergegas menutupnya lagi, gadis itu mendelik ke arahnya.
"Apaan sih, semut! Gue mau pulang sekarang, gue nggak mau di sini," gerutu Pelita.
"Gue nggak nyuruh lo di sini aja, lampu!" Rangga meraih pergelangan tangan Pelita lalu menghampiri si supir. Ia mengetuk kaca mobil di dekat kemudi.
"Maaf ya, Pak. Nggak jadi," ucap Rangga.
"Ya sudah," sahut si supir sebelum menginjak lagi gas mobilnya dan melesat pergi.
Pelita makin kesal, ia menginjak kaki kiri Rangga cukup keras hingga laki-laki itu berjingkrak mengangkat satu kakinya yang sakit.
"Aduh!" pekik Rangga melepaskan tangan Pelita.
"Syukurin! Jangan nakal sama orang, gue mau pulang ya pulang!" hardik gadis itu.
"Iya pulang kok, tapi sama gue. Kita naik motor gue aja, nanti kalau Karang telepon terus tanya lo ada apa enggak sama gue, gimana? Kasihanilah hamba ...." Rangga memasang puppy eyes yang menggemaskan.
"Ya udah buruan," sahut Pelita yang terlihat iba.
***
Sepanjang perjalanan pulang menaiki motor Rangga, Pelita merasa deja vu. Dulu ia juga lebih sering naik motor saat masih bersama Ardo, sekarang sudah berubah dengan cepat. Pacaran di atas motor justru lebih dekat ketimbang duduk di dalam mobil yang mencipta jarak.
Dulu, ia suka memeluk perut Ardo dari belakang. Menyandarakan kepalanya pada punggung laki-laki itu lalu berkisah banyak hal yang menarik, tentang Ardo yang suka balap, tentang pertanyaan Tante Sofi yang selalu meminta gadis itu datang ke rumah, juga tentang bagaimana hubungan mereka ke depannya. Putus, itulah yang terjadi saat ini.
Embusan angin malam ini membelai lembut wajah cantiknya serta rambut terurai yang tak terbungkus helm itu, Pelita menyukai duduk di jok motor karena ia bisa melihat semuanya secara langsung, bukan lewat kaca mobil yang tebal.
Sedari tadi Rangga juga diam, bukan diam fokus dengan jalan, tapi diam-diam mengamati wajah gadis itu dari dua kaca spion yang terpasang di motornya.
Wajah itu memang memesona meski sedang kesal sekalipun justru membuat Pelita makin menggemaskan, Rangga sampai geleng kepala karena tak kuasa untuk berkedip.
Hingga motor besar Rangga masuk ke area komplek perumahan Pelita setelah gadis itu memberitahunya, lampu-lampu di tepi jalan masih tetap berpendar hingga mentari pagi yang akan menggantikannya. Cahaya lampu dari tiap-tiap rumah juga sama, maklum saja karena waktu masih menunjukan pukul delapan malam.
Motor itu berhenti di depan rumah bernomor 203 pada bagian sisi gerbang, nomor rumah Pelita.
Gadis itu turun, Rangga hanya melepas helmnya lalu menyugar rambut, ia tak berniat untuk turun karena tugasnya mengantar Pelita hingga tiba di rumah dengan selamat telah selesai.
Ternyata gadis itu tak langsung masuk ke dalam rumah, ia justru diam di dekat motor Rangga sembari menatap datar remaja itu. "Ngapain masih di situ? Nggak mau pisah? Gue tahu sih kalau gue ini ngangenin banget, gemes kan sama gue?" terka Rangga percaya diri.
"Saking gemesnya pengin gue siram pakai air comberan," sahut Pelita tak mau kalah.
Rangga mengatupkan bibir, tak punya kosa kata lain.
"Gue mau tanya, lo beneran kenal lama sama Karang?"
"Bukannya gue udah pernah bilang sama lo, kenapa emang? Mau pacaran juga yah sama gue?" Rangga tersenyum jahil.
Pelita menghela napas panjang, kenapa ia harus menemukan makhluk dengan tingkat kadar percaya diri yang melebihi 100% alias di atas normal. Jika di depan Karang mungkinkah ia berani mengatakan hal itu? Bisa dilenyapkan dalam sekejap.
"Bukan, apa lo bisa jamin kalau teman lo itu nggak lagi mainin gue? Manfaatin gue?" Kali ini raut wajah Pelita terlihat serius.
Rangga diam, raut jahilnya juga berubah.
"Kenapa diem, Rangga? Lo bisa jamin nggak?" ulang Pelita.
"Gue rasa lo tanya sama orang yang salah, harusnya lo tanya ke narasumbernya langsung. Bukan gue, karena jawaban gue adalah enggak tahu," sahut Rangga.
"Kenapa bisa nggak tahu? Harusnya lo tahu, kan teman dekatnya bahkan dipercaya buat jagain gue. Gimana sih, semut."
"Pelita, hati orang siapa yang tahu? Apa lo tahu isi hati Karang gimana? Dia sayang sama lo, buktinya kirim gue buat jagain lo, kan? Kenapa masih tanya kayak gitu."
"Karena gue ngerasa cuma dimainin aja sama dia."
"Maksud lo?"
Pelita jadi teringat lagi saat ia dan Karang berdansa di dalam aula pagi tadi, ketika mereka masih asyik dengan gerakan itu tiba-tiba ponsel Karang berbunyi. Dansa pun terhenti, Karang membuka ponselnya dan mengangkat telepon sesaat sembari berkata 'tunggu sebentar, sayang' setelah itu Karang hanya meminta maaf dan berlari keluar dari aula.
Pelita benar-benar merasakan perih saat itu, ia langsung terduduk lemas di atas panggung kecil aula. Kenapa harus semudah itu bagi Karang melukainya? Jika memang tak bisa membagi waktu sebaiknya pilih salah satu saja, Pelita tak ingin merasa semenyedihkan itu menjadi seorang pacar kedua, ia sesak.
Padahal ketika Karang datang ke sana, perasaannya sudah dibuat begitu melambung karena pelukan itu, tatapan itu. Nyatanya langsung runtuh dalam sekejap hanya karena sebuah panggilan yang mungkin dari Valerie.
"Apa cuma gue yang ngerasa kalau akhir-akhir ini Karang tiba-tiba berubah?" Pelita menatap sendu wajah Rangga.
Laki-laki itu turun, ia menghela napas menghadap Pelita yang memang tengah begitu terluka. Apalagi Karang baru saja ingkar janji, tak datang menemuinya.
"Pelita, gue nggak bisa kontrol orang. Gue emang sahabat dia, tapi soal rasa gue nggak tahu. Kalo emang dia sakitin elo, biar gue yang urus," janji Rangga, entah kenapa dia sampai berucap begitu padahal Rangga tahu seperti apa aslinya dan niat Karang kepada gadis itu.
"Lo janji, kan? Gue sayang sama Karang, gue udah punya rasa buat dia," aku Pelita, lambat laun perasaan pasti lekas tumbuh, meski awal mula sudah menentang anomali, tapi sebuah rasa datangnya tanpa dipaksa.
"Gue janji, Pelita." Rangga menarik Pelita ke dalam dekapannya, tiba-tiba saja ia yang suka bicara asal, ngawur kini justru jadi laki-laki penuh rasa. Ia bahkan tak tahu kenapa harus sampai memeluk Pelita saat ini, gadis itu juga tak menolaknya.
"Makasih ya, semut." Pelita melepas pelukan itu, ia tersenyum pada Rangga.
"Sekarang lo masuk, gih. Udah malam juga, gue mau pulang ke apartemen."
"Iya, hati-hati." Pelita kembali melempar senyum tulus lalu melangkah masuk melewati gerbang rumahnya, Rangga hanya diam menatap kepergian gadis itu sembari memasukan kedua tangan ke dalam saku jaket.
"Gue bisa tepatin janji apa enggak, Ta? Gue bingung harus kayak gimana sekarang, Karang yang salah," gumam laki-laki itu, kini ia kembali naik ke atas motornya, memasang helm dan melajukan motornya keluar dari komplek perumahan itu.