Sudah berjam-jam keempat gadis itu berada di dalam sana, sebuah butik yang juga merangkap sebagai salon. Jadi, hari ini kesibukan untuk berdandan begitu heboh hanya karena tiga orang gadis sibuk berebut satu dress yang sama, sedangkan salah satunya terlihat tak peduli dan memilih tidur dengan posisi duduk di permukaan sebuah sofa warna hitam, headset menggantung di telinganya. Ia terlihat begitu nyenyak padahal belum tersentuh tangan karyawan salon, seolah acara ulang tahun Valerie itu tak penting.
"Pokoknya ini tuh gue yang pakai! Ini cocoknya buat gue!" ujar Chintya seraya menarik bagian bawah dress warna merah muda itu.
"Apaan sih Chintya! Ini cocoknya buat gue, lo tahu kalau gue kecil dan imut, jadi kalau pakai warna pink jelas cocok banget," ujar Kamila tak mau kalah, ia juga menarik bagian lainnya karena dress itu sudah mirip seperti karung yang diperebutkan, lungset.
"Hadeh, lo berdua ngalah aja deh. Warna pink itu pas banget buat gue, dan Angga itu suka banget kalau gue pakai warna pink!" sela Anggi yang juga merasa dirinya lebih pantas.
Seorang karyawan yang tak nyaman melihat kejadian itu mendekat, apalagi barang yang diperebutkan belum dibayar oleh salah satunya. Jadi, jika rusak bisa-bisa potong gaji. Ada saja ulah ketiga gadis itu.
"Maaf, Mbak. Kenapa ya? Kalau rebutan kayak gitu nanti bisa robek, terus yang mau bayar siapa?" tegur si karyawan berambut panjang itu.
Sontak ketiga gadis itu serempak melepaskan dress merah muda hingga terjatuh ke lantai.
"Ini tuh! Mereka berdua nggak mau ngalah!" adu Kamila.
"Lo juga kali!" sergah Anggi tak terima jika ia juga disalahkan.
"Nggak jadi aja deh, udah pilih yang lain daripada rebutan gini," ujar Chintya dengan bijak, ia bergerak memilih lagi deretan dress yang berbaris rapi pada gantungan di depannya.
"Itu gue setuju," timpal Anggi.
Si karyawan memungut dress merah muda itu lalu membawanya pergi, sudah sering ia melihat kejadian seperti itu khususnya untuk para gadis.
"Si Pelita mana? Kayak nggak ada," ucap Kamila. Ketiga gadis itu mengedar pandang ke segala arah, hingga sepasang mata Chintya melihat gadis yang mereka cari tengah tertidur begitu lelapnya tanpa peduli keadaan sekitar.
"Astaga, Pelita!" pekik Chintya seraya menunjuk di mana gadis itu berada.
"Parah emang parah," sergah Anggi seraya berkacak pinggang.
"Cepet bangunin itu anak, kayak nggak nyadar kalau ini acara penting gitu. Suka heran deh sama Pelita, ada acara high class malah bodo amat," ujar Kamila.
"Gue bangunin dia." Kali ini Chintya yang bergerak menghampiri gadis itu. "Ta, bangun cepet." Chintya menepuk bahu gadis itu, tapi tak ada pergerakan pasti. Nyatanya Chintya tak kehilangan akal, dia melepas headset dari telinga Pelita lalu menggelitiknya hingga si pemilik benar-benar terusik. Sontak Pelita terbangun dan menggucak mata, ia menegapkan posisi duduk yang awalnya bersandar.
"Chintya apaan sih! Ganggu orang aja!" tegur Pelita kesal, ia menyibak rambutnya ke belakang.
Chintya yang berdiri di depan gadis itu berkacak pinggang, "Astaga Pelita Sunny, lo itu gimana sih? Lo udah jadi Guest Star tapi masih aja santai, jam berapa sekarang, Sayang?"
Pelita melirik jam tangannya, baru pukul tiga sore. Apa yang salah?
"Jam tiga, kenapa emangnya?" tanya Pelita seraya pamerkan ekspresi polosnya tanpa dosa.
"Dandan!" Chintya menarik tangan gadis itu hingga membuatnya berdiri. "Kebangetan lo kalau disuruh dandan, cantik itu dimanfaatin dikit lah, Ta."
"Biar apa sih?"
"Ya lo nggak ada cowok terus nanti mau dansa sama siapa coba? Ardo?"
"Ogah!"
"Tuh kan nggak mau, ya udah dandan buruan. Gue, Kamila sama Anggi tinggal pilih dress aja. Sekarang giliran lo."
"Nanti aja kan masih lama, acara jam tujuh."
Chintya mengusap wajahnya kasar. "Astaga naga! Pelita lo itu bisa nggak sih bersikap jadi cewek yang sempurna dikit, dandan lama itu perlu biar bener-bener cantik. Siapa tahu lo di sana bisa sleding pacar orang ya, kan? Lagian kebanyakan yang datang pasti senior yang seangkatan sama Valerie."
"Sleding pacar orang?" Pelita memastikan. Gue udah disleding pacarnya Valerie lebih dulu kali, imbuh batinnya.
"Iya, buruan!" Chintya tak sabaran, dia mendorong gadis itu ke dekat meja rias dan memaksanya duduk. Kini Pelita sudah berhadapan dengan kotak-kotak make up yang terhidang di depannya, sebuah kaca besar dengan sisi yang ditempeli lampu menyambut wajahnya.
"Sekarang di sini aja, gue panggilin tukang salonnya. Pokoknya gue nggak mau lo mengecewakan, lo harus cantik," ujar Chintya.
"Iya, ndoro."
Chintya beringsut meninggalkan Pelita yang kini kembali menatap wajahnya pada pantulan kaca. Tak ada yang meragukan jika Pelita itu cantik bukan? Cicak di dinding pun tahu jika gadis bernama lengkap Pelita Sunny memang cantik, sayangnya ia kasihan pada diri sendiri.
Untuk apa datang ke pesta itu? Toh, mau berdandan secantik apa pun tak ada tangan yang akan menyambutnya dan mengajak berdansa.
Karang? Ia baru ingat, Pelita melirik ponsel dari genggaman tangannya, .tapi seharian ini memang tak ada chat atau panggilan masuk dari laki-laki itu. Ah, Pelita tahu pasti Karang juga sibuk dengan pesta kekasih utamanya. Kenapa tiba-tiba rasanya sesak, Pelita terlihat kesal dan pening memikirkan saat ia tak menyadari tengah meremas ponselnya.
Jadi, apa gunanya ia datang ke sana? Menyakisakan orang-orang berdansa begitu bahagia, lantas bagaimana dengan dirinya. Ia juga harus menyaksikan kekasihnya berdansa, belum dicoba luka-luka itu sudah lebih dulu merasuk. Pelita tak suka semua itu, ia ingin berhenti saja dan membatalkan semuanya.
Tiba-tiba ia teringat ucapan Ardo dulu—ketika masih bersama, sesuatu yang membuatnya selalu merasa berharga. 'Pelita itu cantiknya ngalahin matahari, pantes aku jadi terang terus' senyumnya terbit, kenapa perasaan menyiksa ini makin merasuk ke dalam raganya dan sulit dihilangkan.
"Kenapa gue suka sama Karang? Kenapa?" gumam Pelita seraya meremas ponselnya lagi, dia menunduk menahan perih yang menggerogot hati. Tangan kirinya bergerak naik ke atas meja dan meraih asal sebuah kuas wajah, benda itu turut menjadi korban karena Pelita juga meremasnya tanpa sadar.
"Eh, jangan dong!" pekik seorang pegawai salon ketika tiba di sisi gadis itu, "kenapa kok diremas-remas? Lagi kesel yah?"
Pelita menengadah, ia meletakan benda itu dan bersikap sewajarnya. "Nggak apa-apa kok, maaf."
"Ya udah, mau dandan ala apa nih?"
Pelita menatap pantulan wajahnya, "Apa aja deh, yang penting cantik."
Sang pegawai salon mulai menyentuh rambut Pelita, membuat gadis itu tetap diam menatap wajahnya pada pantulan kaca. Akan seperti apa nanti, Pelita jelas tak peduli karena semuanya jelas terasa berat untuk dijalani, Pelita tak siap melihat Karang dan Valerie berdansa di depan matanya.
Tolong kuatkan Pelita untuk malam ini saja.