Pukul sembilan pagi, keadaan di dalam kafetaria kampus sudah begitu ramai oleh mereka para penghuni Univeritas Merah Putih yang menikmati sarapannya di sana atau sekadar nongkrong, ngopi-ngopi dan bergibah ria. Keempat gadis itu juga sama, bedanya tiga lainnya asyik membahas pesta semalam, sedangkan Pelita tetap saja menggantungkan headset pada lubang telinganya sembari mengaduk late di depannya, ia berusaha tak peduli dengan obrolan teman-temannya sebab ia tak ada di sana ketika mereka semua asyik dengan pesta hingga waktu berakhir.
Semalam Pelita diam di dalam kamar, memikirkan satu hal; dia menyukai Karang, entah dimulai kapan, tapi perasaannya kian tumbuh setiap hari. Sepertinya Pelita harus menjilat ludah sendiri karena pernah mengatakan takkan pernah menyukai laki-laki itu.
Dia meraih gelas sebelum meneguk isinya sedikit, kembali ia letakan kopinya di permukaan meja seraya lirik teman-temannya. Mereka terlihat asyik melihat banyak foto pada ponsel Chintya, tepatnya gambar-gambar yang diambil semalam di pesta.
Gadis itu ingin menarik diri dari segala hal yang membuatnya merasa tersisihkan. Ia melepas headset lalu beranjak, tapi tangan Kamila meraihnya.
"Lo mau ke mana, Ta?" tanya Kamila, dua temannya yang lain ikut melihat gadis itu seraya mengakhiri tawa.
"Gue mau ke ...." Pelita mengusap tengkuknya. "Ke luar aja deh."
"Lho, kenapa? Lo nggak mau ikutan lihat nih foto-foto kita semalem, ada juga lho video Karang sama Valerie pas dansa," ujar Chintya.
"Gila! Mereka romantis banget semalem, apalagi pas Karang cium kening Valerie di depan semua orang," seru Anggi menambahi.
Deg!
Cium Valerie di depan semua orang? Luar biasa.
Pelita menelan ludah, andai ketiga temannya tahu bahwa informasi yang mereka katakan benar-benar menusuk hatinya. Pelita diam, lidahnya kelu untuk berkomentar.
"Sini lihat dulu." Kamila menarik gadis itu kembali duduk, ia merebut ponsel Chintya dan memamerkan video dansa Karang serta Valerie semalam.
Di dalam video itu terlihat Karang dan Valerie ada di tengah altar, mungkin saat itu hanya mereka berdua saja yang berdansa sebelum orang lain dipersilakan. Kedua tangan Valerie merangkul leher Karang, sedangkan kedua tangan Karang menyentuh pinggang Valerie, benar-benar romantis—apalagi keduanya saling tatap ditemani musik yang mengalun lembut.
Pelita merasa tercabik, ia dikuliti hidup-hidup oleh ketiga temannya saat ini. Ingin sekali membanting ponsel Chintya, tapi tak mungkin, bisa tahu semuanya jika ia terbakar api cemburu.
Terdengar suara orang-orang berteriak agar Karang mencium Valerie, dan ketika adegan cium kening itu terjadi Pelita sontak mengalihkan pandang, ia tak sanggup melihatnya lebih jauh.
"Udahan aja, mereka cocok kok," ucap Pelita berusaha kuat, meski sangat teriris, tapi sayatan itu tak dapat dilihat oleh teman-temannya.
Chintya merebut ponselnya dari tangan Kamila. "Iya, mereka couple banget, kan? Gue jadi iri."
Kedua tangan Pelita yang ia sembunyikan di bawah meja sudah mengepal sekarang.
"Oh iya, lo semalem ke mana, Ta? Sama gebetan baru lo itu, si Rangga?" tanya Anggi.
"Hah? Enggak kok, dia bukan gebetan, serius. Gue cuma teman, ketemu semalem," ungkap Pelita.
"Iya, tapi sebentar lagi bakal jadian!" seru Chintya hingga manusia seisi kantin melihat ke arah mereka semua, paling heboh.
"Apaan sih lo pada, jangan sembarangan," gerutu Pelita, "gue keluar dulu, kalian di sini aja nanti gue balik."
"Sibuk banget lo mau ngapain?" tanya Anggi.
"Beli lakban buat bungkam mulut lo semua," jawab Pelita asal seraya melangkah meninggalkan teman-temannya.
Gadis itu menunduk sambil memasukan headset ke dalam saku jaketnya hingga tak sengaja ia ....
Bugh!
Pelita dan Valerie jatuh bersamaan, tak sengaja karena Pelita juga tak melihatnya tadi. Gadis itu mengangkat wajah dan temukan rupa kekasihnya di sana.
Karang dilema, antara harus membantu Valerie atau Pelita lebih dulu. Begitu juga dengan kedua gadis itu terlihat menunggu agar ditolong, nyatanya Karang lebih memilih mengulurkan tangannya di depan Valerie, dengan senang hati gadis itu menerimanya lalu beranjak.
Pelita hanya diam, makin sesak saja. Ia tersenyum tipis seraya bangkit sendiri, Pelita sadar di mana posisinya, sampai kapan pun meski Karang berkata lebih mencintainya tetap saja dia hanya seorang simpanan.
Sekarang gadis itu menatap sepasang kekasih yang katanya romantis menurut orang-orang.
"Maaf, tadi gue nggak fokus jadi nggak lihat jalan," ucap Pelita.
Valerie tersenyum manis, tangannya meraih milik Karang dan menggenggamnya erat. Sampai kapan Pelita harus menahan sesak di depan mereka, sampai kapan sandiwara itu akan terus berlanjut.
"Nggak apa-apa kok, kamu Pelita, kan? Aku sampai lupa mau bilang terima kasih karena udah nyanyi di acara aku semalem, pas aku cari kamu nggak ada."
Pelita bertatapan dengan Karang sekilas, lalu kembali pada Valeri. "Sama-sama, gue pulang duluan semalem."
"Jadi kamu nggak ikut dansa semalem? Wah, rugi dong."
Justru gue yang rugi besar kalo lihat lo dansa sama Karang semalem, bikin kesel aja, batin gadis itu.
"Gue kecapekan semalem, ya udah kalau gitu duluan ya."
"Hati-hati Pelita."
Pelita beringsut pergi, dia menoleh ke belakang mendapati tangan Karang masih digenggam erat gadis itu. Ia hanya bisa menghela napas panjang, tak bisa melakukan yang seharusnya.
***
Gadis itu benar-benar memilih menyendiri dari teman-temannya, dia duduk di bawah pohon mangga yang tertanam kokoh di tepi lapangan kampus. Selama ini Pelita tak pernah merasa segalau itu, selama ia masih bersama Ardo mana mungkin laki-laki itu sampai membiarkannya kesepian.
Namun, untuk apa membandingkan Karang serta Ardo? Keadaan mereka tak sama, jika dulu Pelita jadi prioritas utama itu wajar, Ardo hanya memiliki Pelita saat itu.
Pelita menyibak seluruh rambutnya ke belakang, ia menikmati angin sejuk yang menerpa wajahnya. Merasa begitu kosong hingga tak tahu harus berbuat apa, ingin menghibur diri tapi dengan apa?
Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, tak ada chat dari siapa pun, apa orang-orang sudah tak perhatian lagi dengannya? Ia tak memiliki siapa-siapa lagi, punya pacar tapi merasa sendiri, ingin menghubungi lebih dulu, tapi takut mengganggunya, Karang hanya akan datang jika Valerie pergi. Dia hanyalah pengganti.
"Galau, jadinya ngelamun," celetuk seseorang.
Pelita menoleh ke belakang, mendapati Rangga yang tiba-tiba muncul dari balik pohon mangga. Gadis itu sempat terpaku, ketika senyum Rangga muncul Pelita mengedipkan matanya.
"Kenapa lo ngelihatin gue segitunya? Kaget ya lihat orang tampan," ucap Rangga begitu percaya diri, tanpa seizin Pelita ia duduk di sebelah gadis itu.
Pelita memutar bola matanya, kembali menatap ke arah lapangan yang sepi. "Enggak, biasa aja."
"Apanya yang biasa? Gue apa perasaan lo."
Gadis itu menoleh, menyipitkan mata menyelidik. "Biasa aja dua-duanya, lagian lo ngapain di sini? Jadi mata-mata? Apa penghuni itu pohon mang—"
"Tet! Teet! Dua-duanya salah!" sergah Rangga. "Jawabannya adalah gue harus jagain lo kalau lagi nggak ada Karang, begitulah Pelita seharusnya."
"Lagian lo kok bisa masuk kampus ini sih. Lo bukan mahasiswa sini juga."
"Lo aja nggak tahu." Rangga melepas ranselnya, menarik resleting dan mengeluarkan sebuah kertas, ia menyodorkannya di depan wajah Pelita.
"Udah resmi jadi Mahasiswa di sini?" tanya Pelita memastikan usai membaca sekilas isi kertas itu.
Rangga mengangguk, dia kembali memasukan kertas itu ke dalam ranselnya. "Iya dong, keren kan gue. Gue juga tinggal di dekat apartemen Karang."
"Lalu?"
"Lalu artinya, gue emang beneran suruh jagain lo. Buktinya dia nyuruh gue sampai pindah ke Jakarta, baik banget kan gue jadi teman," ujar Rangga bangga.
Pelita menatap ke arah lapangan lagi, dia diam kembali pada rasa sepinya. Mungkin juga soal keputusan Karang meminta orang lain untuk menjaganya, kenapa bukan Karang saja.
Tanpa sadar, Rangga terus mengamatinya dari tepi. Bulu mata lentik, iris cokelat kayu yang menawan, hidung mancung serta bibir merah muda natural. Terlebih ketika angin menerpa wajahnyan hingga sebagian rambut cokelat gadis itu menempel di wajah, membuat Pelita kembali menyibak ke belakang dan memperlihatkan leher putihnya.
Rangga menelan ludah, biasanya dia yang hiperaktif jika berada di dekat seorang gadis kini hanya bisa diam, terpesona.
"Ngapain aja sih ngelamun, pengin kerasukan yang ada di pohon mangga yah," celetuk Rangga begitu bosan dengan kebisuan mereka.
Pelita menoleh. "Kerasukan yang di pohon mangga, kerasukan elo dong," sahutnya.
Rangga tersenyum lebar. "Wah, ide bagus tuh. Kalau rasukin elo gue dapet apaan yah."
"Gila!" Pelita beranjak, begitu juga dengan Rangga sembari menggendong ranselnya.
"Mau ke mana?" tanya Rangga.
"Ke mana aja yang penting nggak ada elo!"
"Aduh! Justru lo ke mana-mana harus sama gue, gimana dong?"
Seketika Pelita merasakan tubuhnya lemas. "Harus banget gitu, semut rangrang?"
"Semut rangrang kalau gigit juga maknyus."
Seketika ponsel Rangga berbunyi, membuatnya lekas merogoh dari saku celana. Ia menemukan sebuah pesan chat dari Karang.
Karang :
Bawa Pelita ke aula sekarang.
"Waduh! Ada kontes apaan nih," celetuk Rangga sembari menyimpan ponselnya ke saku celana, tiba-tiba ia meraih tangan Pelita tanpa canggung.
"Lo ngapain sih!" hardik Pelita menepis tangan Rangga. "Jangan macem-macem deh!"
"Maaf-maaf, Karang chat gue suruh bawa lo ke aula sekarang. Emang aula di mana, Pelita?"
Kening Pelita mengernyit, "Aula? Ngapain ke aula coba?"
"Meneketehe. Udah jalan aja, jangan ribet lah jadi manusia, kalau nurut pahala banyak."
Pelita memutar bola matanya lalu menjulurkan lidah pada Rangga, ia beringsut meninggalkan lapangan tanpa mengajak Rangga.
"Tuh, kan! Sekali lagi gue gigit beneran lo," gumam Rangga.
***
Keduanya tiba di depan aula, pintunya tertutup rapat. Ruangan itu jarang dijamah oleh orang-orang, kecuali ada acara tertentu semisal wisuda atau teater. Kini Rangga dan Pelita saling tatap, sama-sama tak mengerti apa maksud Karang meminta gadis itu datang ke sana.
"Rangrang, ini gue harus masuk nih?" tanya Pelita kebingungan. Dia juga menatap keadaan sekitar, cukup sepi, hanya beberapa penghuni kampus yang lewat.
"Rangrang lagi? Itu nama kesayangan elo buat gue, kan?" sahutnya dengan kedua alis terangkat, tampak percaya diri.
Dengan kesal Pelita mencubit pinggang Rangga, "Apaan sih! Nggak ada sayang-sayangan ya, nanti kalau Karang dengar gimana."
"Ada-ada gajah si Pelita nih, buruan masuk. Gue tunggu di sini aja, jaga-jaga kalau enggak ya ngintip dikit nggak apa-apa, kan?"
"Mau lagi?" Pelita sudah ambil ancang-ancang hendak mencubit Rangga.
"Enggak deh, rasa sambalado cubitan elo."
"Bagus." Setelah berkata demikian Pelita membuka pintu aula dan masuk ke dalam, ia juga menutupnya dengan rapat. Matanya mengedar ke segala arah, ruangan yang memiliki sebuah panggung rendah, tapi besar itu sangat sepi. Di depan panggung berjejer rapi kursi-kursi berwarna cokelat, tak ada siapa pun di sana. Jadi apa tujuan Karang sebenarnya? Di mana laki-laki itu?
Tiba-tiba saja sepasang tangan merengkuhnya dari belakang, merapatkan tubuhnya hingga lekat pada punggung gadis itu, dagunya juga ia letakkan di atas bahu kiri Pelita, menempelkan pipinya dengan milik Pelita. Sontak saja gadis itu langsung meremang, darahnya berdesir panas, apa-apaan ini! Mudah sekali Karang membuatnya langsung lemas.
Pelita hanya bisa menelan ludah, apalagi pipi Karang yang menempel dengan pipinya membuat gadis itu tak sanggup berbuat apa-apa, ia mematung tak berdaya.
"Aku kangen sama kamu," aku Karang.
Aku?
Kamu?
Baiklah, tidak buruk.
"Ka-kangen, kenap-kenapa?" balas Pelita terbata, debaran jantungnya semoga saja tak membuat bumi ikut bergetar. Matanya hanya mampu menatap keadaan di depannya, jika ia menoleh pada Karang jelas bibir mereka akan bertemu.
"Aku mau ngajak Pelita dansa, yuk." Karang melepas rengkuhannya, ia meraih tangan kanan gadis itu dan menariknya agar mengikuti arah ke mana Karang membawanya.
Ternyata mereka naik ke atas panggung yang hanya memiliki dua anak tangga itu, terlihat cukup luas dengan bahan kayu halus sebagai ubin lantai.
"Dansa, Kak? Nggak salah?" tanya Pelita bingung.
"Enggak, kan aku hutang sama kamu. Kemarin nggak ajak kamu dansa, mau, kan?" Tanpa Pelita menjawabnya pun Karang tetap akan memaksa.
Ia membuat gadis itu berhadapan dengannya, mengarahkan kedua tangan Pelita melingkar di lehernya, lalu kedua tangan Karang menyentuh pinggang gadis itu.
Samar-samar terdengar alunan musik lembut, entah di mana asalnya yang jelas semua itu perbuatan Rangga.
Pelita benar-benar makin canggung, apalagi setelah Karang menunduk dan menempelkan keningnya dengan kening Pelita. Gadis itu hanya sanggup menatap ke bawah, bersamaan mulut yang sedikit terbuka, berkali-kali ia hanya sanggup menelan saliva. Kurang ajar! Bagaimana bisa Karang membuatnya hingga selemah ini.
Gerakan dansa dimulai, kaki kiri mereka sama-sama bergerak lebih dulu, baru kaki kanan, seterusnya bergantian.
"Kok diam? Kamu nggak suka aku ajak dansa, hm?" tanya Karang menatap raut Pelita yang kentara gugup itu.
"Ak-aku, aku bingung, Kak."
"Kenapa?"
"Enggak." Dia mengela napasnya, tiba-tiba saja tangan kanan Karang menyentuh dagu gadis itu dan membuatnya menatap ke arahnya, tepat pada manik mata Karang.
Astaga, jika tangan Karang tak memeganginya mungkin ia sudah tersungkur sekarang. Pelita pusing menghadapi keadaan seperti ini.