Lama, mereka berada dalam kebisuan, mereka duduk di balik meja makan. Saat ini Karang sudah terlihat lebih baik, ia juga sudah mengenakan kaus, tangannya tengah diobati oleh gadis itu. Pelita terlihat sibuk memutar perban pada telapak tangan Karang yang dirobek sengaja oleh pemiliknya, untunglah iblis itu sudah pergi sekarang, jadi jiwa waras Karang sudah kembali.
Laki-laki itu tengah melamun, sedangkan gadis di sebelahnya sesekali melirik sambil menghela napas, sedang bingung bagaimana cara memulai pembicaraan antara keduanya. Karena sejak Pelita melontarkan semua kalimatnya tadi Karang langsung diam, seolah mulutnya sudah terkunci dengan rapat.
Ternyata cinta yang Karang miliki untuknya memang mengerikan, ia bisa melakukan apa pun asal gadis itu tak melukainya apalagi jauh, bisa-bisa Karang gantung diri di depan mata Pelita. Karang terlalu nekat untuk sekadar mengancam Pelita.
Karang tengah sibuk memikirkan semua ucapan Pelita tadi—saat memeluknya dengan erat.
"Kakak nggak boleh kayak gitu lagi, jangan mati! Aku pikir definisi soal batu karang udah cukup jelas kalau debur ombak aja nggak berarti apa pun, Kak. Kenapa harus kayak gini sih?" Pelita membiarkan air matanya mengalir di bahu laki-laki itu, sedangkan Karang merasakan lemas tak keruan ketika merasa detak jantung Pelita lebih dekat.
"Aku bersumpah, Kak. Aku nggak ada niat buat ngomong sama Ardo, tadi dia yang panggil aku terus kasih sesuatu titipan dari Tante Sofi. Jadi, please jangan perbesar masalah ini, kita berdua sama Tuhan pun tahu aku ini cuma milik Kakak."
Tangan Karang mengusap punggung gadis itu, ia merasa nyaman dipeluk oleh perempuan yang membuatnya jadi gila. Gila jika tak dipedulikan, gila jika Pelita bicara dengan laki-laki lain dan lebih baik mati jika Pelita menghilang dari bumi.
Lalu, Pelita melepas pelukan itu, kedua tangannya menangkup wajah Karang serta menatapnya dengan lekat. Pelita mulai pandai membuat laki-laki itu kian tak berdaya, lagipula Karang pikir hanya dirinya yang bisa membuat syaraf motorik Pelita melemah? Bedanya, jika Karang terlalu memaksa sedangkan Pelita dengan tatapan matanya apalagi jarak sedekat itu, untung Karang bukanlah ice cream yang bisa meleleh.
"Kakak dengar, aku sayang sama Kakak, itu pernyataan dan jangan diragukan." Setelahnya Pelita mencium kening Karang dengan tulus. "Aku udah putuskan, Kak." Ucapan Pelita itu membuat Karang kembali pada alam nyata, ia menoleh pada gadis itu tapi tak mengucapkan apa pun. "Aku udah putuskan kalau nggak akan datang ke acara ulang tahun Valerie, bilangin maaf sama dia."
"Kenapa?"
"Syarat itu nggak mungkin terpenuhi, aku nggak mungkin ikut dansa."
"Maafin gue." Karang menunduk.
"Maaf? Kenapa?"
"Banyak, maaf gue udah buat lo ketakutan dan nangis lagi. Ini gue yang asli, Ta. Gue ini monster jadi-jadian kalau lo tahu, apa laki-laki ini masih pantas dicintai?"
Pelita tersenyum tipis, dia meraih dagu Karang dan mengangkatnya agar mau menatanpnya.
"Lihat aku, aku di sini. Bukan di bawah situ," pinta Pelita. "Setiap orang punya cara sendiri buat ekspresikan kekesalan mereka, aku juga minta maaf karena bikin Kakak cemburu. Aku nggak sengaja, dan nggak akan bicara lagi sama laki-laki mana pun."
"Jangan, gue emang egois. Gue terlalu posesive, padahal itu mulut lo, bukan punya gue." Suara Karang terdengar begitu lembut dan tenang, tak seperti tadi.
"Aku nggak mau kalau Kakak sampai lukai diri sendiri lagi."
Tangan Karang meraih tangan Pelita yang masih menyentuh dagunya, dia mencium punggung tangan gadis itu dengan lembut lalu menatap pemiliknya.
"Maafin gue, jadi laki-laki yang nggak punya pendirian. Nggak bisa milih salah satunya, gue tempatin lo di posisi yang salah dan sulit. Gue emang pengecut, Ta. Laki-laki monster ini pengecut."
"Aku nggak tau mau ngomong apa."
"Besok lo datang aja, nggak apa-apa sendirian. Setelah lo nyanyi langsung pulang aja, bisa?" ujar Karang memberi solusi.
"Boleh juga, tapi kenapa Valerie jadiin aku guest star yah. Bukannya aku nyanyi itu cuma sekali, pas OSPEK aja dan nggak pernah lagi selain hari itu."
"Gue nggak tahu, Ta. Acara dia biar dia yang urus."
"Berarti Kakak bukan pacar yang baik," cibir Pelita lalu menatap ke arah lain ketika Karang mengerutkan keningnya.
"Pacar dia pacar elo juga, lagian ngapain sih bahas dia. Kalau lagi sama gue ya antara gue sama elo aja cukup."
"Sorry."
Mereka kembali diam, Pelita mengambil ponsel dari dalam ranselnya untuk mengecek jam.
"Udah jam delapan, aku mau pulang, Kak," izin Pelita.
"Gue anter ya."
"Nggak usah, tangan Kakak lagi sakit. Itu pasti perih banget."
"Ini salah siapa?"
"Aku tersangka utama," aku Pelita. Dia simapn lagi ponsel pada ransel sebelum beranjak seraya gendong benda itu.
"Sebentar." Karang ikut beranjak, lalu menarik gadis itu menghampiri pintu utama. "Gue boleh minta sesuatu?"
"Apa?" Keduanya sudah berada di depan pintu.
"Peluk gue lagi, kayak lo tadi peluk gue."
Pelita terdiam sejenak, dia mengulas senyumnya lalu membentang tangan dengan senang hati memeluk leher seraya meletakan dagunya di bahu laki-laki itu.
Karang menyambut pelukan itu dengan gembira, dia ikut memeluk pinggang Pelita dengan erat. Merasa begitu nyaman dan tak ingin melepasnya pergi.
"Gue rasa setiap pelukan itu nggak sama," ujar Karang sembari mengusap punggung Pelita.
"Apa yang beda?"
"Gue sering dipeluk sama Valerie, tapi kenapa nggak kayak gini. Gue nggak mau lepas boleh ya?"
"Aku nggak bisa pulang dong, peluk guling aja guling."
"Boleh, asal gulingnya Pelita." Karang melepas pelukan itu lalu mengecup kening Pelita penuh kasih sayang.
Kedua tangannya sudah membingkai wajah Pelita, mendapat senyum semanis itu membuatnya benar-benar tak ingin sosok itu sampai pergi.
"Gue minta maaf."
"Maaf apa lagi, Kak? Bukannya tadi udah."
"Maaf ini berlaku setiap hari sebelum kita benar-benar sepasang."
"Maksudnya?"
"Maaf karena menempatkan lo di posisi yang menyiksa, begitu pun gue yang nggak bisa apa-apa di depan Valerie. Lo pasti malu punya cowok pengecut kayak gue yang cuma diem pas pacarnya diledek sana-sini," sesal Karang, kedua tangannya meluruh berganti menggenggam kedua tangan Pelita.
"Emangnya aku harus gimana? Teriak dan bilang kalau Kakak itu juga pacar aku? Maunya begitu? Nyari mati dong."
"Minggu depan ikut gue ya, ke Bandung ketemu sama papa. Gue mau akhiri semua sama Valerie," ungkap Karang tanpa canggung.
"Hah? Kakak serius? Emangnya nggak kecepetan?"
"Enggak, lebih cepat bukannya lebih baik. Biar lo bebas dari rasa bersalah karena ikut andil jadi pacar kedua gue, gue nggak mau terus-terusan nyiksa elo, Ta. Gue harus kasih yang terbaik buat orang yang buat gue gila."
"Aku kayak penjahat gitu ya."
"Enggak, lo mau kan ke Bandung?"
"Aku usahain, Kak."
"Ya udah, hati-hati pulangnya. Kalau udah sampai jangan lupa chat gue. Sekali lagi maafin gue, Ta."
"Aku udah maafin, selamat malam." Pelita melempar senyum kepada Karang lalu menarik kenop pintu dan keluar dari ruang apartemen Karang.
Masih ada kisah di hari esok dan selanjutnya untuk Karang dan Pelita.