Chereads / The Story of Us (Vol. II) / Chapter 18 - Hujan

Chapter 18 - Hujan

Pengumuman rapat yang diberitahukan oleh William saat jam istirahat tadi membuat Teesha standby di ruang OSIS sejak bel pulang sekolah berbunyi. Ia bergegas pergi ke ruang OSIS lebih dulu sampai meninggalkan tas sekolahnya di dalam kelas untuk menghindari Divinia dan Adrea yang terus menerus bertanya soal tadi pagi.

Niatnya sih begitu, tapi ponselnya terus berbunyi karena pesan yang dikirimkan para temannya tanpa henti.

Ting!

Ting!

Devian: SERIUS?!

Teesha menghela nafas pasrah. Sepertinya hari ini memang bukan hari yang tenang baginya. Setelah tadi pagi ia lewati dengan ketidak jelasan William yang sangat jarang terjadi, kini ia harus menghadapi rasa penasaran dari ke empat sahabat tercintanya.

Daniel: Kamu serius William nyatain cinta sama Teesha? Jangan bikin rumor yang iya-iya. Ini konten sensitif loh.

Betul kan? Mereka pasti tidak akan melewatkan hal ini begitu saja.

Adrea: Terus menurut kalian "hal penting yang gak boleh orang lain tahu" itu apalagi kalau bukan menyatakan cinta?

Ting!

Ting!

Ting!

Grup whatsapp bernama "We Kepo We Care" yang beranggotakan Devian, Daniel, Adrea, Divinia, dan Teesha yang dibuat khusus oleh Adrea ini tak henti-hentinya membuat keributan dan gadis itu yakin mereka tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawaban yang mereka mau.

Ting!

Divinia: Teesha, jangan sampai kamu salah langkah lagi! Ingat, dia pernah nyakitin kamu loh. Aku sih ga masalah kamu jadian sama siapa pun, tapi aku tetep #teamRey.

Adrea: Bener! Aku juga masih #teamRey.

Devian: Yang lalu biarlah berlalu, anak muda! Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua! #teamWilliam (emot cium)

Teesha kembali menghela nafas panjang. Apa Teesha harus memberitahukan yang sebenarnya terjadi tadi pagi? Apa ia harus bilang jika William hanya mengajaknya untuk sarapan pagi saja?

Teesha menggeleng pelan. Tidak! Tidak! Bisa-bisa mereka makin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan lain jika ia bilang begitu. Sebaiknya biarkan saja mereka penasaran. Teesha malas berkomentar.

Ting!

Daniel: Gak ada sanggahan apapun dari pemeran utamanya! Jangan-jangan mereka memang udah jadian sekarang.

Devian: Aku tanya William langsung! Tunggu sebentar guys! Informasi terakurat segera datang!

Oke, sepertinya Teesha memang harus berkomentar. Mereka semakin tidak jelas.

Teesha: Gak ada yang menyatakan cinta disini kawan-kawan. Tadi William cuma tanya soal bakti sosial buat besok. Sampai mana persiapannya. Kalian tahu sendiri dia gak mau ada kesalahan sedikitpun.

Teesha melirik jam di tangannya.

Teesha: Dan lagi, kalian berempat dimana sih?! Rapatnya mau mulai lima belas menit lagi!

Jangan sampai mereka datang setelah William. Yang Teesha ingat mood pria itu buruk tadi pagi. Ia pasti tidak akan mentolelir keterlambatan sekarang.

PUK!

"Astaga!" Teesha berdiri dari tempatnya karena terkejut ketika ia merasakan seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba. Gadis itu berbalik dan mendapati seorang pria ash brown tengah berdiri di belakangnya dengan ekspresi wajah yang juga ikut terkejut.

Teesha mengelus dada, "Ya ampun, Rey. Kamu bikin aku kaget." Ia kembali duduk.

"Maaf kalau aku ngagetin kamu." Rey mengambil tempat duduk di sebelah Teesha, "Yang lain kemana?"

Teesha menggeleng, "Belum pada datang, Rey. Padahal tinggal sepuluh menit lagi sebelum rapatnya dimulai."

Rey mengangguk pelan. Ia terdiam sejenak sebelum kembali membuka suara.

"Emm.. Teesha."

Teesha menoleh, "Ya?"

Rey kembali terdiam. Ia ingin menanyakan soal tadi pagi saat Teesha pergi dengan William. Sejujurnya ia penasaran dengan langkah apa yang diambil William sekarang. Apa pria itu sudah menyatakan perasaannya juga pada Teesha? Atau pria itu hanya berusaha menjauhkan Teesha darinya saja?

"Kenapa Rey?" Tanya Teesha kembali karena Rey masih terdiam.

Rey sedikit ragu, "Tadi kamu—"

BRAK!

Pintu ruang OSIS yang terbuka— atau terbanting lebih tepatnya, membuat Teesha dan Rey terlonjak kaget. Di depan sana berdiri dua orang pria yang juga anggota OSIS.

"Teesha, gawat!" Pria yang tidak diketahui namanya itu menghampiri Teesha dengan sedikit berlari. Wajahnya terlihat pucat dan panik.

Teesha menatap mereka serius, "Ada apa?"

"Aduh, gawat! Gimana ya?!" Kedua orang itu mondar-mandir di tempatnya, "Aduh bahaya ini! William pasti marah!"

Melihat mereka berdua yang panik sambil menyebut nama William, Teesha yakin ada yang tidak beres disini. Ia pun jadi ikut panik, "Kenapa?! Ada apa?!"

"Pengisi acara hiburan yang disewa buat besok acara bakti sosial mendadak berhalangan hadir!"

Teesha mengerutkan dahi, "Loh? Kenapa?"

Anggota OSIS itu mengendikan bahu, "Mereka ga kasih alasan pastinya. Tiba-tiba mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Dia bahkan udah ngembaliin uang bayaran yang kita kasih."

"Mereka?" Kerutan dahi Teesha semakin dalam, "Maksud kalian?"

"Badut sama band akustik, Teesha. Mereka tiba-tiba batalin secara sepihak buat acara besok."

Dan benar saja, ini merupakan satu permasalahan yang tidak bisa diabaikan, "Aduh, gimana ya?"

Teesha jadi semakin panik. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana marahnya sang ketua dengan mood yang buruk itu. Mana acaranya diadakan besok pula. Mencari pengganti mereka pun belum tentu bisa jika mencari mendadak seperti ini.

"Kita coba cari dulu aja." Usul Rey yang masih terlihat tenang.

"Dadakan gini? Aku gak yakin ada yang bisa, Rey." Teesha sudah putus asa duluan.

Rey tersenyum menenangkan, "Jangan bilang gak bisa sebelum dicoba, Teesha."

Teesha dan kedua anggota OSIS itu saling melempar pandangan. Mereka mengangguk satu kali dan langsung mengeluarkan ponsel, membuka situs pencarian di ponsel masing-masing dan menghubungi nomor kontak yang tertera disana.

Tetapi nihil. Para band akustik ataupun badut pesta yang mereka hubungi tidak bisa ikut di acara besok karena sudah ada jadwal lain.

"Aduh gimana ya?!" Teesha jadi semakin panik. Ia ikut mondar-mandir di ruangan OSIS sambil memikirkan solusi permasalahan ini.

CEKLEK!

"Dia sama sekali ga nger—" Devian dan Daniel terpaku saat semua pandangan di dalam ruangan OSIS tertuju padanya. Mereka berdua saling melirik sebelum Devian yang akhirnya membuka suara.

"Ha-hai, guys!"

Dan dengan tiba-tiba mata Teesha berbinar melihat kedua teman anehnya itu datang. Sang gadis menyatukan kedua tangannya excited. Ia berbalik ke arah Rey dan dua orang anggota OSIS lainnya, "Kita udah ga perlu badutnya!"

"Huh?" Mereka memandang Teesha tidak mengerti.

Teesha kembali berbalik menghadap Devian dan Daniel yang masih berdiri kaku di depan pintu. Teesha menunjuk mereka berdua dengan penuh semangat, "Kita kan punya dua alien bumi. Jadi kita udah ga butuh badutnya."

Senyum cerah Teesha semakin membuat Daniel dan Devian tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

.

.

Rapat OSIS tidak jadi diadakan karena William mendadak dipanggil oleh guru pembimbing OSIS untuk membicarakan mengenai persiapan bakti sosial besok. Yang William tahu, persiapannya sudah seratus persen tanpa ada kendala. Padahal ada pengisi acara yang berubah seperti Devian dan Daniel yang secara tiba-tiba ditunjuk menggantikan badut untuk menghibur para balita dan anak-anak disana, juga Rey dan teman-temannya yang menggantikan band akustik. Teesha berniat memberitahukan William soal perubahan ini nanti malam.

Teesha bergegas kembali ke kelasnya untuk mengambil tas yang tertinggal, diantar oleh Divinia. Teesha berniat untuk segera pulang karena diluar gerimis sudah mulai turun.

Saat akan mengambil tasnya, perhatian Teesha tertuju pada secarik kertas yang tersimpan di atas mejanya. Perlahan ia mengambil dan membaca tulisan yang ada di atas kertas putih itu.

'Sore ini akan hujan—'

"Wah... wah... wah... lihat. Bahkan pengagum rahasia kamu sekarang jadi peramal cuaca?" Divinia yang penasaran muncul di belakang Teesha karena Teesha yang tiba-tiba terdiam sambil memegang secarik kertas.

Buru-buru Teesha menyimpan kertas itu ke dalam tas nya sebelum Divinia membaca lebih lanjut tulisan yang ada disana.

"Udah yuk pulang." Ajak Teesha sambil melangkahkan kakinya keluar kelas.

Divinia mensejajarkan langkahnya dengan Teesha, "Jadi, apa isi tulisannya?"

"Gak usah kepo." Jawab Teesha sambil terus melangkah.

Dan benar saja. Begitu mereka akan melewati lapangan, langit yang semula mendung, gerimis yang sebelumnya turun berubah menjadi hujan yang turun dengan derasnya.

Divinia langsung mengeluh karena mereka akan terjebak lebih lama disekolah gara-gara hujan. Ditambah ia yang tidak membawa payung. Sedangkan Teesha, gadis itu terdiam. Menengadahkan kepalanya ke atas melihat air yang turun dari langit, lalu menurunkan kepalanya dan memandang lurus ke arah lapangan.

Ia dengan perlahan menurunkan tas ranselnya dengan senyum yang mengembang.

"Sampai jam berapa coba kita disekolah kalau hujannya kayak gini terus? Mana ada drama yang mau aku tonton pula. Kenapa juga aku lupa bawa pay— Loh! Loh! Teesha! Kamu ngapain?!" Gerutuan Divinia terhenti saat ia melihat sahabat berambut karamelnya berlari ke tengah lapangan, meninggalkan dirinya dan tas sekolah yang dibiarkan tergeletak begitu saja di dekat kaki Divinia.

"Teesha!!"

Teesha yang kini sudah berada di tengah lapangan tidak menghiraukan teriakan dari Divinia yang menyuruhnya untuk kembali ke pinggir lapangan. Ia malah merentangkan tangannya sambil menengadahkan kepalanya menikmati hujan yang kini membasahi tubuhnya.

'Sore ini akan hujan. Kamu tahu hujan itu terbuat dari apa? Sembilan puluh sembilan persen dari air, dan satu persennya lagi? Ya jelas air juga, jangan berharap ada kenangan.'

Teesha terkekeh geli ketika mengingat tulisan yang baru saja ia terima saat dikelas tadi.

'Saat hujan nanti, coba kamu lari ke tengah lapangan. Rasakan dan nikmati air yang turun dari langit itu.'

Ya, Teesha sedang melakukannya sekarang.

'Sebanyak itulah rasa suka aku sama kamu.'

"Sebanyak ini?" Teesha kembali tersenyum mengingat kalimat terakhir yang tertulis disecarik kertas dari entah siapa itu, "Wah, kalau gitu aku orang paling beruntung bisa dapet perasaan suka sebanyak ini."

"Teesha!!" Divinia yang masih berteriak memanggil Teesha menjadi panik saat melihat sahabatnya tiba-tiba terduduk di tengah sana. Ia memikirkan cara untuk membuat Teesha kembali ke pinggir lapangan atau menyeret Teesha dari tengah sana. Tapi ia tidak punya payung! Jika ia berlari kesana bisa-bisa ia basah kuyup juga.

"Tee—" Teriakannya berhenti saat ia melihat seseorang dengan payung berjalan santai ke tengah lapangan menghampiri Teesha. Divinia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya tetapi sepertinya pria itu adalah—

TAP!

Teesha kembali mendongakan kepalanya saat merasakan ada seseorang yang berdiri di hadapannya, terlebih ketika ia tidak merasakan air membasahi tubuhnya lagi.

"William?"

Pria dengan mata onyx itu menatap Teesha dengan sorot tajamnya. Ia berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Teesha dan meminta gadis itu untuk memegang payung yang ia bawa.

Dengan cepat, William melepaskan jaket miliknya dan memakaikannya kepada Teesha untuk menutupi tubuh bagian atas sang gadis yang basah.

"Ternyata bener ya, Wil. Hujan itu seratus persen isinya air." Ucap Teesha yang mulai menggigil kedinginan.

William tersenyum tipis, "Udah berapa kali aku bilang? Jangan terlalu banyak baca fake chat di sosial media. Kamu makin hari makin gak waras, Myria."

.

.

To be continued