Waktu masih menunjukan pukul setengah empat pagi tetapi suara pancuran air sudah terdengar di salah satu kamar sebuah mansion mewah. William yang terbangun dari pukul tiga dan tidak bisa tidur lagi memutuskan untuk mandi setelah satu jam termenung di atas ranjang king size nya. Tidak usah tanya padaku karena aku pun tidak tahu apa yang dipikirkan oleh William saat ini.
Air masih menetes dari rambutnya saat William keluar dari kamar mandi. Pria yang masih berbalut bathrobe itu menghampiri laci di sebelah ranjang tempat tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak disana. Ada sebelas panggilan tidak terjawab dari kakaknya yang sengaja tidak ia angkat karena sang kakak biasanya bertanya sesuatu yang tidak penting, seperti misalnya 'Kamu dimana? Udah pulang belum?' Atau 'Wil, kamu udah makan?' Belum lagi pertanyaan 'Lagi ngapain?' dari sang kakak yang membuat William kesal setengah mati.
Seharusnya kakaknya tidak perlu khawatir karena sudah ada Pak Didi yang menjaganya selama ini. Pegawai paling dipercaya oleh keluarga Jaya itu sudah merawat William sedari ia kecil. Jadi tidak perlu khawatir, William tidak akan kekurangan gizi karena lupa makan.
Selain panggilan tak terjawab dari sang kakak, ada seratus lebih pesan di grup OSIS yang malas untuk ia baca karena pasti mereka membicarakan suatu hal yang juga tidak penting. Obrolan basa-basi yang bukan mengenai kegiatan OSIS tidak akan William tanggapi.
Ngomong-ngomong soal grup OSIS, William jadi teringat akan kejadian hari Sabtu kemarin saat ia menyatakan perasaannya kepada Teesha. Sejak saat itu, mereka berdua belum lagi bertemu bahkan belum saling mengirim pesan. Ia jadi penasaran, apa yang sedang dilakukan Teesha sekarang ya?
Menurutmu apalagi? Tentu saja gadis itu masih tertidur pulas, William!
William melirik jam dinding di kamarnya. Masih pukul setengah lima dan ia yakin Teesha masih belum terbangun dari mimpinya. Dengan cepat ia mencari nama 'Myria' di kontak ponselnya dan menekan tombol 'Panggil'.
TUT! TUT!
Sudah tiga kali William mencoba menghubungi Teesha tetapi telpon nya belum tersambung juga. Sepertinya gadis itu benar-benar sedang terlelap dalam mimpi dan tidak bisa diganggu. Tetapi bukan William namanya jika ia tidak berhasil mengganggu Teesha.
Drrrttt! Drrrttt! Drrrttt!
Teesha yang masih terlelap 'sedikit' terganggu saat mendengar getaran ponsel yang ia simpan diatas meja sebelah ranjang. Entah sudah kali keberapa ponsel itu bergetar heboh dan tidak juga berhenti.
Sang gadis menarik selimut dan menutupi seluruh tubuh sampai kepalanya berharap suara getaran ponselnya itu tak lagi terdengar. Ia berusaha mengabaikannya dan mencoba untuk fokus bermimpi. Tetapi bukannya berhenti, ponselnya terus bergetar tak tahu aturan membuat Teesha menyerah dan akhirnya menyambar alat komunikasi canggih itu dengan perasaan yang luar biasa kesal.
"Demi Tuhan! Mau apa sih telpon pagi-pagi buta gini?!" Protes Teesha saat ia menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Oh, udah bangun?" Suara berat di sebrang sana membuat Teesha membuka kedua matanya, membawa ponsel itu menjauh dari telinganya dan memastikan siapa yang menghubunginya.
Teesha berdecak, "Beberapa detik yang lalu aku masih tidur dengan nyenyak sebelum kamu ganggu tidur aku, Tuan Jaya."
"Kamu terganggu?" Teesha jelas mendengar suara kekehan kecil disana, "Bagus kalau gitu."
Teesha menganga tak percaya dengan apa yang ia dengar. Si raja iblis itu benar-benar tidak membiarkannya hidup dengan tenang!
"Oke, sekarang aku udah bangun. Terus apa?!" Tanya Teesha masih dengan perasaan kesal.
William tersenyum di sebrang sana, "Cepat siap-siap. Aku jemput satu jam lagi." Sambung William yang kemudian memutuskan sambungan telponnya secara sepihak seperti biasanya.
Teesha melempar ponselnya ke ujung ranjang dan kemudian mengacak rambutnya frustasi. William selalu berhasil membuat emosinya berada di ambang batas. Ingin sekali ia menolak setiap ucapan William dan hidup dengan tenang tanpa gangguan si raja iblis yang satu itu.
Lalu, kenapa tidak kau lakukan? Ah, aku tahu. Kau tidak akan mungkin pernah bisa mengabaikan pesona pangeran es kita kan?
.
.
Teesha sudah bersiap satu jam setelah William mengatakan akan menjemputnya, berusaha keras agar ia tidak terlambat dan membuat William marah karena keleletannya. Tetapi entah kenapa malah William yang terlambat menjemputnya dan membuat mereka datang ke sekolah lima menit sebelum bel masuk berbunyi.
"Kamu gak akan turun?" Tanya William ketika Teesha tidak juga melepas sabuk pengamannya.
Teesha menggigit kuku tangannya, "Kamu duluan aja deh, Wil. Nanti aku nyusul."
"Kenapa?" William menaikan sebelah alisnya, "Kamu mau bolos?"
Teesha menggeleng, "Bukan gitu. Aduh gimana ya."
Teesha terlihat gelisah. Bukan apa-apa, ia tidak mau jalan beriringan lagi dengan William di sekolah saat suasana sekolah sedang ramai seperti sekarang. Tatapan para penggemar William— astaga mengingatnya saja sudah membuat Teesha merinding.
William yang melihat Teesha masih terdiam dengan cepat membuka sabuk pengaman yang masih terpasang di tubuh Teesha, membuat sang gadis menoleh kepadanya dengan tatapan tajam.
"Apa?" William menatap Teesha tak kalah tajam, membuat gadis itu kalah tatap, "Aku gak peduli alasan kamu kenapa. Bel masuk akan berbunyi sekitar tiga menit lagi dan aku gak mau sampai terlambat masuk kelas."
"Kalau gitu kamu turun dan jalan ke kelas duluan aja. Nanti aku nyusul." Teesha masih bersikukuh pada pendiriannya.
Melihat William yang turun dari mobil membuat Teesha menghela nafas lega. Tetapi kelegaannya itu tidak berlangsung lama karena William ternyata hanya berjalan memutar dan membuka pintu penumpang secara paksa membuat Teesha sedikit terkejut.
"Kamu mau turun sendiri atau aku paksa kamu turun terus aku seret dari sini?" Suara William yang terdengar lebih dingin membuat bulu kuduk Teesha meremang. Dengan cepat gadis itu keluar dari mobil William.
BRAK!
Teesha berjenggit ketika William membanting pintu mobilnya.
Wah sepertinya kau membuat mood William turun, Teesha. Padahal pagi ini terlalu cerah untuk dilewatkan dengan mood yang buruk.
Teesha berjalan mengekor di belakang William dengan jarak sekitar satu meter. Ia terus menunduk karena merasa tatapan para murid terutama para siswi ketika ia melewati mereka begitu mengintimidasi.
"Tuh lihat, dia sama William lagi."
"Iya. Dia ngedeketin William terus."
"...."
Ditambah lagi bisik-bisik dari para siswi membuat Teesha makin menundukan pandangannya. Inilah alasan yang membuat ia tidak mau berjalan beriringan dengan William. Karena mereka.
Pria dingin yang berjalan di depan Teesha mengentikan langkahnya dan berputar dengan tiba-tiba, membuat Teesha terkesiap karena menabrak dada William.
"Kenapa kamu menunduk?" Suara pria itu terdengar lebih dalam, membuat Teesha mengangkat kepalanya dan menatap onyx tajam di hadapannya.
"A-aku lagi lihat jalan, Wil. Biar gak kesandung." Ia kembali menundukan kepalanya.
William mengedarkan pandangannya dan melihat sekeliling. Meskipun para murid terlihat seperti sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, tetapi William tahu jika perhatian mereka kini sedang tertuju pada dirinya dan juga Teesha.
PUK!
Teesha mengangkat pandangannya ketika merasakan tangan William mendarat di atas kepalanya. Ia merasakan tangan itu bergerak menuju belakang kepalanya dan secara tiba-tiba William membawa Teesha kedalam pelukannya. Di tengah ramainya suasana sekolah! Aku ulangi, DI TENGAH RAMAINYA SUASANA SEKOLAH!
"William, kamu ngapain?!" Bisik Teesha panik. Wajahnya memerah tanpa bisa ditahan.
"Aku lagi nandain kepemilikan aku." Balas William. Ia kemudian melepas pelukannya lalu membawa Teesha pergi darisana sambil menggandeng tangan sang gadis dengan seringai tipis yang tercetak di bibirnya.
Sedangkan para siswi yang melihat adegan tadi masih menganga tak percaya dengan apa yang mereka lihat barusan. Termasuk Divinia dan Devian yang juga ikut menganga melihat kejadian langka yang terjadi di hadapan mereka secara langsung. Devian bahkan bertepuk tangan saat William dan Teesha lewat di hadapannya.
Sementara itu, ada seseorang yang memperhatikan mereka berdua dengan wajah datarnya. Ia sama sekali tak menyangka William bisa senekad itu di hadapan para murid Adyatama.
Baiklah. Ini sudah benar-benar dimulai.
.
.
To be continued