Chereads / The Story of Us (Vol. II) / Chapter 25 - Kegalauan

Chapter 25 - Kegalauan

Ada sekitar tiga orang pria dan dua wanita dewasa di ruang tamu kediaman Sanjaya. Sepertinya itu para pegawai Gavin yang datang menemui pimpinan mereka yang sudah dua hari absen masuk kerja. Terlihat dari pakaian mereka yang rapi ala kantoran, seperti kemeja dan celana katun ditambah blazer untuk wanita. Berbanding terbalik dengan sang pimpinan yang masih berpakaian casual.

"Yang belum diterima hanya laporan dari bagian penjualan cabang luar kota. Pokoknya mereka harus kasih laporannya sebelum akhir bulan ini." Gavin menandatangani berkas-berkas yang dibawa oleh salah satu pegawainya.

Gavin yang meminta beberapa orang pegawainya untuk datang ke rumahnya membawa berkas-berkas laporan yang ia minta sebelumnya. Sebenarnya pekerjaan ini ingin ia selesaikan hari ini, tetapi entah kenapa rasanya Gavin malas sekali untuk pergi ke kantor. Malah rencananya ia akan cuti sampai minggu depan. Pria tampan ini butuh waktu untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya, melupakan sejenak pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk menjelang akhir tahun.

CEKLEK

Perhatian Gavin dan para pegawainya teralih ketika pintu utama terbuka lebar, menampilkan seorang gadis berambut karamel dengan seragam sekolahnya yang sempat terpaku beberapa detik menatap mereka semua sebelum kemudian tersenyum sambil berjalan masuk kedalam rumah.

Gavin menegakan tubuhnya, ia membuka kacamata yang bertengger di hidungnya sambil menatap punggung adiknya yang semakin menjauh dengan penuh selidik. Jika dilihat dari senyum Teesha tadi, sepertinya ada yang tidak beres dengan adik satu-satunya itu. Gavin berniat untuk mencari tahu alasannya setelah ia menyelesaikan tumpukan berkas dihadapannya.

Sementara itu, Teesha yang sudah masuk ke dalam kamarnya melempar tas sekolah ke sembarang tempat dan kemudian berjalan gontai sebelum menjatuhkan dirinya ke atas ranjang empuk kesayangannya.

Sebelah tangan menutupi kedua matanya, memikirkan kembali hal-hal absurd yang terjadi hari ini. Mulai dari William yang kembali menjemputnya, kemudian saat William memeluknya di tengah-tengah keramaian murid disekolah, lalu kakak kelas yang tidak ia ketahui sama sekali melabraknya dengan tuduhan menggoda sang pangeran, hingga pembicaraannya dengan Nayara tadi.

Dari sekian rentetan kejadian tidak terduga hari ini, pembicaraannya dengan Nayara lah yang paling mengganggu pikirannya.

Sekarang apa? Langkah apa yang harus ia ambil setelah mengetahui 'Faktor X' yang selama ini menjadi sumber kesalahpahamannya. Teesha sama sekali tidak tahu harus bagaimana.

Gadis itu mengubah posisi berbaringnya menjadi tengkurap. Ia menenggelamkan wajahnya diatas bantal.

"Arrrggggghhhhh!!!" Ia berteriak sekencang mungkin untuk melampiaskan segalanya. Toh tidak akan terdengar juga.

"Kenapa lagi?" Suara husky seorang pria membuat Teesha mengangkat wajahnya. Sedetik kemudian ia berdecak kesal ketika melihat sosok sang kakak tengah berdiri di depan kamarnya sambil bersender di kusen pintu yang terbuka.

"Kakak gak tahu caranya ketuk pintu?"

Gavin mengendikan bahu, "Keadaannya darurat, jadi gak perlu ketuk pintu."

Teesha memutar mata malas mendengar alasan sang kakak, "Kalau kakak gak ada keperluan yang sangat penting, tolong tutup lagi pintunya." Ia kembali membenamkan wajahnya dibantal dan kembali berteriak.

"Kamu kelihatan galau. Kali ini kenapa?"

Teesha memutar mata, "Harus aku kasih tahu?"

Gavin mengendikan bahu, "Nggak juga gak masalah. Cuma mau memastikan aja kamu gak bakalan nangis-nangis kayak dulu."

Teesha kembali memutar matanya malas. Teesha tidak menyangka jika Gavin memiliki rasa keingintahuan yang tinggi terhadap kisah cinta monyet adiknya ini. Padahal jika tidak salah ingat dulu Gavin tidak mau tahu dan terlihat tidak peduli saat Teesha dan William 'berpacaran'.

Teesha terdiam beberapa saat, mencoba menimbang-nimbang sebuah keputusan. Selama ini yang Teesha rasakan, Gavin merupakan pendengar yang sangat baik. Pria itu juga selalu menjadi pemecah masalah dan pemberi solusi terbaik untuk Teesha, mengingat dia merupakan pimpinan sebuah perusahaan besar yang sudah pasti sangat bijaksana. Kali ini, haruskah ia beritahu Gavin?

Teesha bangkit dari tidurnya. Ia duduk di tepian ranjang sambil memeluk sebuah bantal. Gavin tersenyum ketika melihat kode yang mengatakan jika adiknya itu akan buka suara kali ini. Pria itu berjalan menghampiri Teesha dan duduk di samping sang adik.

"Aku bingung, Kak." Teesha menatap lantai dibawahnya.

"Siapa yang bikin kamu bingung? Si pria es itu atau si pria bermotor?"

"Kakak tahu apa yang mau aku ceritain?" Teesha menoleh pada Gavin dengan pandangan tak percaya, "Dan ngomong-ngomong soal pria bermotor, namanya Rey, Kak. Rey."

Gavin terkekeh geli melihat ekspresi adiknya, "Udah terlihat jelas dari wajah kamu, Teesha. Kegalauan kamu pasti gak jauh-jauh dari mereka berdua."

"Kakak jadi sok tahu. Aku kan belum cerita masalahnya apa."

"Kamu itu kayak sinetron-sinetron gak jelas yang sering ada di televisi, Teesha. Dari poster sama judulnya aja jalan ceritanya udah kebaca."

Teesha memutar mata, "Tapi kan poster sama judulnya aja belum tentu mencakup isinya kayak gimana. Jangan sok tahu sebelum kakak tonton."

"Buat apa aku tonton kalau dari potongan klip nya aja udah mencakup semua isinya?"

"Tonton dulu sampai episode terakhir. Kita kan gak tahu akhirnya kayak gimana."

"Buat apa nunggu sinetronnya sampai episode terakhir kalau kita udah tahu akhirnya kayak gimana. Toh yang namanya sinetron itu udah ketebak alurnya gimana."

"...."

Gavin tersenyum ketika Teesha kembali terdiam, "Jadi, siapa yang bikin kamu galau? Si—"

"Aku gak ngerti sama jalan pikirannya William!" Gavin berjenggit ketika tiba-tiba Teesha berdiri dari tempatnya. Ekspresi wajah gadis itu terlihat sangat kesal.

"Dia itu sumber dari segala masalah di hidup aku. Dia sering bikin aku kesal setengah ma—Ah bukan, kesal sampai pengen mati!" Gavin lebih terkejut lagi ketika Teesha melemparkan bantal yang dipegangnya, "Kayaknya kehidupan aku di sekolah gak akan pernah tenang selama ada dia."

"Terus kenapa kamu gak—"

"Dia itu— aiiiissshh, ga ada kata-kata yang tepat lagi selain menyebalkan! Orang paling menyebalkan seantero galaksi, bikin aku pengen menjauh sejauh-jauhnya, pengen buang dan lupain dia dari pikiran aku!" Teesha menghentak-hentakan kakinya kesal.

Gavin mengerutkan dahi melihat adiknya yang bercerita tentang William dengan berapi-api, "Ya kamu tinggal—"

"Tapi sebagian dari diri aku gak mau lepas dari dia, Kak." Teesha memelankan suaranya. Ia kembali duduk di sebelah Gavin dan mengambil bantal lain yang menganggur di atas tempat tidur untuk ia peluk.

"Kamu masih suka sama dia meskipun belum tentu dia suka sama kamu? Kamu masih ngejar yang gak pasti?" Gavin ingin memastikan sesuatu, "Padahal menurutku Rey jelas-jelas suka sama kamu."

Teesha menggeleng pelan, "William bukan lagi orang yang gak pasti, Kak."

"Oh?" Gavin menaikan kedua alisnya mendengar pernyataan Teesha. Ia yakin tak salah dengar. Jadi si pria kulkas itu telah membalas perasaan adiknya? Tetapi jika memang keduanya sudah mempunyai perasaan yang sama, apalagi yang membuat Teesha sampai galau seperti ini?

"Kalian kan tinggal pacaran. Apalagi yang kamu pikirkan?"

"Andaikan semudah itu, Kak." Teesha menundukan kepalanya, "Tapi aku gak bisa mengabaikan gitu aja orang yang dari awal minta sebuah kesempatan sama aku."

Ah, Gavin mengerti dimana letak kegalauan sang adik. Jadi memang perasaannya pada William sudah terbalaskan, hanya saja Teesha masih memikirkan si pria bermotor itu yang juga menyukainya. Mungkin Teesha bingung harus mengatakan apa kepada pria bermotor itu?

"Kamu bingung gimana caranya nolak Rey?"

Teesha menggeleng, "Bukan itu. Aku gak ada pikiran buat nolak dia."

"Terus kamu mau pacaran sama dia?"

"Bukan gitu juga. Aduh, gimana ya aku bingung."

Kau saja bingung, apalagi kakakmu!

"Jadi aku harus gimana, Kak?"

Gavin mengendikan bahu, "Entah. Aku juga gak tahu kamu harus gimana." Pria itu berdiri dari tempatnya kemudian berjalan menuju pintu keluar, "Kamu tahu kan aku single berumur dua puluh tujuh tahun? Kenapa juga kamu tanya soal percintaan sama aku? Ya mana aku ngerti."

Teesha melemparkan bantal yang sedari tadi dipeluknya tepat saat Gavin menutup pintu kamar Teesha. Gadis itu berusaha mengatur nafasnya karena kesal Gavin tidak memberi solusi apapun terhadap kegalauannya saat ini. Ia menyesal sudah bercerita kepada Gavin.

CEKLEK

Teesha menoleh ketika pintu kamarnya kembali terbuka, menampilkan sosok Gavin dengan wajahnya yang santai.

"Akhir pekan nanti ada pertemuan kolega. Aku datang mewakili ayah yang gak bisa datang. Kamu mau ikut?"

Teesha menatap kakaknya malas, "Nggak. Aku gak ngerti sama acara yang begitu. Kakak pergi sendiri aja." Ia mengibaskan tangan di udara, menyuruh kakaknya untuk segera pergi sebelum bantal lain melayang ke arahnya karena sungguh, ia sangat ingin melempar sang kakak sekarang juga.

"Yah sayang sekali. Padahal acaranya di pinggir pantai loh."

Teesha yang sedang membenahi tempat tidurnya terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh semangat ke arah Gavin, "Ikuuuuuttt!"

.

.

To be continued