Chereads / The Story of Us (Vol. II) / Chapter 30 - Sudah Gila

Chapter 30 - Sudah Gila

Pukul setengah enam pagi. William bahkan sudah kehilangan moodnya saat matahari belum benar-benar menunjukan eksistensinya. Lihat saja bagaimana cara pria itu berjalan menuruni tangga, hentakan kakinya yang terdengar menggema sampai lantai bawah membuat para asisten rumah tangga yang sedang bersih-bersih di ruang tengah menjadi sedikit tegang.

I'm onto you, yeah you

I'm not your number one

I saw you with 'him'

Kissing and having fun

If you're giving 'him' all of your money and time

I'm not gonna sit here wasting mine on you, yeah, you

Ciao adios, I'm done

Suara Anne Marie menyanyikan lagu miliknya yang berjudul Ciao Adios mengalun merdu melalui speaker bluetooth portable milik Adriell dengan volume yang aku rasa bisa membangunkan sekelompok beruang yang sedang berhibernasi. Adriell yang terlihat sedikit berantakan adalah hal pertama yang William lihat ketika ia sampai di ruang makan. Pria itu tidak terlihat ceria seperti biasanya. Ia malah terlihat sedikit errr... frustasi? Anak sulung keluarga Jaya itu bahkan ikut bernyanyi dengan mengganti beberapa kata dalam lirik lagunya. Ia menyanyikannya dengan emosi dan ekspresi yang benar-benar sangat menghayati lagu itu.

Tidak peduli dengan kondisi sang kakak, William mengedarkan pandangannya dan bergegas mendekati kakaknya ketika ia menemukan benda kecil yang mengeluarkan suara nyaring itu berada disebelah gelas kopi milik Adriell.

TAP!

Adriell menahan tangan William tepat ketika adiknya itu hampir menggenggam speaker portable miliknya, "Jangan ganggu."

William menatap Adriell nyalang. Ia bahkan tak gentar saat sang kakak menatapnya dengan sorot mata tajam khas seorang Jaya.

"Jangan ganggu? Bukankah harusnya aku yang bilang gitu?" William menaikan sebelah alisnya, "Kakak ganggu pagi tenang kami semua yang ada disini. Jadi tolong, matikan itu."

Adriell menjauhkan speaker portablenya saat William ingin mengambil dengan tangannya yang satunya, "Kamu tega sama kakakmu sendiri, Wil? Maaf, tapi aku butuh sesuatu untuk pelampiasan."

William berdecak kesal ketika akhirnya sang kakak melepas genggaman tangannya dan menyuruhnya untuk duduk menikmati sarapan yang sudah tersedia. Dengan berat hati, jiwa, dan raga William pun duduk dan memulai sarapannya ditemani dengan suara Anne Marie yang masih sangat keras meskipun Adriell sudah menurunkan volumenya.

Ciao adios i'm done

Ciao adios i'm done

William benar-benar kesal. Ia harus mengorbankan moodnya yang bagus hanya gara-gara kegalauan kakaknya hari ini. Dan lagipula, ada apa dengan Adriell? Bahkan saat sedang galau pun pria itu tidak mencerminkan seorang Jaya sama sekali. William yakin pria itu bisa saja menangis di dalam kamarnya semalaman.

Tunggu sebentar. Bukankah lagu yang diputar tadi bercerita soal perselingkuhan? Huh? Apa Adriell baru saja diselingkuhi?

Jika iya, wanita itu harus memeriksakan kejiwaannya dengan dokter ahli karena telah berselingkuh dari seorang Jaya yang memiliki segalanya. Harta, tahta, kuot— ah bukan, maksudku jabatan, bahkan paras tampan pun dimiliki oleh mereka, apalagi yang kurang?!

"Kalau gak salah aku udah pernah bilang sebelumnya kalau aku bakalan pergi ke acara kolega Ayah." Adriell memulai pembicaraan dengan suara yang sedikit keras.

"Bisakah kakak matikan dulu lagunya?" Pinta William sedikit berteriak.

"Ingat ya, Wil. Jangan biarin orang lain masuk ke rumah. Selalu cek cctv. Aku gak lama kok, cuma dua hari aja." Tetapi William tidak menghiraukannya.

William kembali berdecak sebal. Tidak bisakah Adriell mematikan dahulu suara Anne Marie sebelum ia berbicara?! Suara mereka yang beradu membuat kepala William sakit setengah mati!

"Aku ikut."

TAP

Seketika suara Anne Marie menghilang, Adriell mematikan speaker portable miliknya dan memandang William dengan wajah serius, "Kamu bilang apa tadi?"

"Tck. Aku ikut."

Adriell memandang adiknya tak percaya. Iya mengorek telinga dengan jari kelingking untuk kembali memastikan pendengarannya. Adriell yakin ia sudah memasang telinganya dengan baik dan ia cukup mengerti dengan apa yang dikatakan William, "Kamu serius?"

"Menurutmu aku bercanda?" William memandang kakaknya malas.

Adriell tersenyum cerah, "Oke! Dengan senang hati kamu boleh ikut, adikku tersayang! Nanti aku ajarkan bagaimana cara menghadapi kolega-kolega ayah. Kamu tahu sendiri kan kalau kamu juga bagian dari keluarga Jaya, jadi kamu harus memahami—"

Bla Bla Bla Bla

William tidak menghiraukan kakaknya yang terus mengoceh dihadapannya. Ia kembali menyantap sarapannya lebih tenang dari sebelumnya. Setidaknya kali ini hanya suara Adriell yang mengganggu pendengarannya.

Dan lagipula ia ikut bukan karena ingin belajar soal bisnis, tetapi ia punya tujuan yang lain yang kalian pasti sudah tahu kan apa itu?

Ah, lihat. Pangeran es kita bahkan tersenyum tipis saat mengingat hal itu.

.

.

Teesha memijit pelipisnya. Kepalanya terasa pusing akibat peristiwa tidak biasa yang menimpanya sampai saat ini. Baru saja kemarin ia dibuat pusing dengan kelakuan teman-temannya yang tiba-tiba datang mengacaukan acaranya dengan Rey— sebenarnya bukan seratus persen salah mereka juga, penyebab utama kacaunya acara Teesha dan Rey adalah Gavin yang tidak memberikan izin. Selain itu kedatangan William yang tidak disangka-sangka membuat Teesha benar-benar terkejut dan bertanya-tanya kenapa pria itu datang bahkan ketika ia tahu jika Rey mengajaknya pergi keluar malam tadi?

Dan sekarang, Teesha benar-benar dibuat migrain dengan kelakuan absurd William yang tidak pernah terpikirkan olehnya sama sekali. Pria itu menunggunya di depan gerbang sekolah, mengantarnya sampai ke kelas sambil menggandeng tangannya, dan ia baru saha mengajaknya pergi ke kantin bersama. William bahkan memilih tempat duduk di tengah kantin setelah ia mengusir siswa yang telah menempati meja itu terlebih dahulu hanya dengan tatapan, yang mana bisa menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kantin, membuat Teesha mati kutu jika saja teman-temannya yang lain tidak datang menghampirinya.

"Pe-Permisi..." Teesha mengangkat wajahnya ketika ia merasakan kehadiran beberapa orang di sampingnya. Ah, bukankah mereka orang-orang yang pernah melabrak mu, Teesha? Ada apa dengan senyum canggung itu? Kemana keganasan mereka dulu saat mereka membawamu pergi?

"Mau apa?!" Daniel menahan tangan Adrea yang sudah berdiri dari tempat duduknya, memberi isyarat untuk kembali duduk dan tidak melakukan hal bodoh. Suara Adrea yang sedikit keras membuat perhatian seluruh kantin kini tertuju pada mereka.

Sang ketua geng melirik William sekilas, "Aku— maksudku, ka-kami punya urusan sama Teesha. Bisa kamu ikut kami sebentar?"

"Ah, iya." Teesha mengangguk mengerti, "Urusan kita yang kemarin belum selesai ya? Oke, aku harus kemana?"

"Kalian bisa selesaikan disini." Suara dingin William mengudara, membuat Teesha menghentikan langkahnya dan berbalik menatap William.

William mengisyaratkan Teesha untuk kembali duduk, "Gak usah kemana-mana. Kalian bisa selesaikan disini. Mau disini atau dimanapun sama aja kan?"

Teesha memandang William tidak mengerti, sedangkan para fans William saling sikut untuk menentukan siapa yang akan berbicara. Tentu saja mereka menunjuk sang ketua geng yang menjadi juru bicara mereka.

"Kami mau minta maaf soal kejadian tempo hari. Aku tahu, gak seharusnya kami mengurusi urusan pribadi kalian. Kami semua menyesal." Calista melirik William yang sedang meminum jus tomatnya santai, "Kamu tenang aja Teesha, hal kayak gini gak akan terjadi lagi. Kami janji."

Teesha mengerutkan dahinya. Ia memandang ke empat temannya dengan pandangan bertanya. Mereka berempat kompak mengendikan bahunya tidak tahu.

"O..kay."

Para fans William terlihat menghela nafas lega. Mereka kemudian berterima kasih kepada Teesha sebelum pergi meninggalkan kantin dengan wajah yang sudah lebih ceria dari sebelumnya.

Teesha kembali duduk. Ia menoleh kepada Willian yang masih duduk tenang di sampingnya, memandang pria itu seolah bertanya apa yang sedang terjadi. Hal itu juga dilakukan oleh Devian, Adrea, Divinia, dan Daniel yang yakin jika William ada dibalik semua ini.

"Apa?" Tanya William ketika ia sudah mulai terganggu dengan tatapan teman-temannya.

"Ka—"

"Teesha."

Teesha mengurungkan niatnya untuk bertanya ketika mendengar suara seseorang menyebut namanya.

"Kamu sibuk?" Itu Rey. Pria itu datang membawa senyuman hangat seperti biasanya, "Aku mau minta bantuan."

Teesha menggeleng, "Aku free. Minta bantuan ap—"

"Dia sibuk." William menyela perkataan Teesha, membuat gadis karamel itu menoleh ke arah William dengan cepat.

Rey menaikan sebelah alisnya, "Dia baru bilang kalau dia free, Wil."

"Iya. Tujuh detik yang lalu dia free. Sekarang dia sibuk."

"Wil—"

"Aku butuh bantuan kamu buat mencatat. Ini soal OSIS. Sangat penting." Kata William menekan intonasinya di akhir kalimat.

Teesha menghela nafas, "Wil, aku bahkan gak bawa alat tulis buat mencatat."

"Pakai ponsel kamu. Kamu bisa mencatat di note ponsel kan?"

Teesha mengeluarkan alat komunikasi canggihnya, "Ponsel aku mati. Habis baterai, lupa charge." Gadis itu menekan-nekan tombol power ponselnya untuk menunjukan jika ia tidak berbohong.

"Gimana kalau kamu aja yang catat, nanti tinggal kamu kirim via chat. Aku pasti langsung kerjakan kok setiap tugas dari kamu." Usul Teesha.

"Ponsel aku juga mati."

Teesha memutar matanya malas, "Jangan mengada-ngada, Wil. Aku baru aja lihat kamu main game tadi."

William mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Ia menunjukan layar ponselnya pada Teesha dan mengetuk layar ponselnya menunjukan jika ponselnya dalam keadaan menyala.

"Tuh, masih nya—"

BRAK!!

Teesha menutup mulutnya terkejut ketika William tiba-tiba membanting ponselnya sekuat tenaga, membuat ponsel mahal keluaran terbaru itu hancur berkeping-keping. Bukan hanya Teesha yang terkejut, tetapi seluruh penghuni kantin pun ikut terkejut.

"Lihat? Ponsel aku mati kan?"

Teesha menatap William tidak percaya. Dasar psikopat!

.

.

To be continued