Chereads / Before The Dawn / Chapter 14 - Bab 13: Pertemuan Pihak Kedua

Chapter 14 - Bab 13: Pertemuan Pihak Kedua

Malam yang sibuk di sebuah klub malam  kenamaan di daerah Pondok Pinang. Gedung klub malam dengan lima lantai itu, semuanya dipenuhi oleh orang-orang yang hendak melepas penat dengan bersenang-senang.

Di lantai utama, ruangan sudah mulai kacau. Musik menggema di sepanjang sudut. Para pelayan berlalu lalang dengan minuman pesanan pelanggan. Pun beberapa pengunjung terlihat menari di lantai dansa dekat panggung DJ.

Meski waktu baru menunjuk pada angka satu, tapi beberapa pengunjung sudah ada yang tergeletak di lantai. Ada juga yang meracau, tertawa, sampai menangis. Pengaruh dari minuman mengandung alkohol yang mereka tenggak, membuat lupa diri seperti itu.

Seorang pria berbadan tinggi, sekitar 183 cm, berjalan di antara kerumunan itu. Bibirnya yang seksi mengulas sebuah senyum misterius. Sesekali tangan nakalnya menyentuh tubuh beberapa wanita cantik yang dia lewati.

Satu pun dari wanita-wanita itu tidak ada yang protes atas ulahnya. Mereka memang sempat memasang ekspresi terkejut, tapi setelah tahu siapa pelakunya, para wanita itu justru memberi senyum genit. Ada juga yang sampai mengedipkan sebelah mata, dengan lidah menjulur. Membuat si pria semakin menyeringai lebar.

Pria jangkung itu Damian, yang tidak lain adalah pemilik klub malam ini. Dia terus berjalan melewati koridor yang lumayan panjang. Lalu berbelok ke arah kiri dan terdapat sebuah pintu khusus yang hanya bisa dibuka menggunakan kartu. Dia mengambil kartu itu dari dompetnya, dan masuk ke dalam setelah pintu terbuka.

Kedua kaki jenjangnya kembali berjalan menelusuri koridor, yang di ujungnya terdapat pintu lain berwarna hitam pekat. Lagi, dia membuka pintu itu menggunakan kartu khusus. Sebelumnya, dia sempat berhenti beberapa saat untuk memasang topeng berbentuk kepala singa. Kemudian, kembali melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga.

Ruangan dengan didominasi warna merah dan hitam menyambutnya, ketika Damian sudah sampai di tempat yang dituju. Selain itu, tiga orang pria dengan topeng serigala sudah terlihat menunggunya di sana. Dilihat dari setelan yang mereka pakai, menunjukkan jika mereka bukanlah orang-orang dari kalangan biasa. Tampak rapi, berkilau, dan tentu saja harganya di atas langit.

Damian langsung duduk di dekat pria dengan topeng serigala dengan warna hitam pekat.

"Lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?"

Pria yang duduk paling tengah, dengan topeng serigala berwarna abu-abu, bertanya. Dari suaranya, tampaknya dia sudah berumur.

"Aku baik-baik saja, Paman."

Damian melepas topeng singa yang sempat dia pakai sebelumnya. Bibirnya kembali mengukir sebuah senyuman.

"Paman Adi dan Paman Theo, kalian apa kabar?" sambungnya.

Tanpa diduga, satu pukulan mendarat di bahunya. Pria muda itu meringis seketika. Meski orang di sampingnya sudah berumur, tapi tenaganya tidak bisa dikatakan biasa saja. Bahkan, terlalu bugar untuk usia yang hampir menginjak kepala tujuh.

"Sudah berapa kali aku peringatkan untuk tidak memanggil nama di tempat ini?!"

Pria di sampingnya menekankan setiap kata yang dia ucapkan. Gemas sekali dengan tingkah anak muda yang satu ini. Sulit sekali untuk patuh.

"Ruangan ini kedap suara!"

Si yang lebih muda masih meringis, dengan memegang bahu yang kena pukul tadi. Tidak habis pikir, harus berapa kali dia mengikatkannya tentang hal ini?

Sementara kedua pria yang dia panggil paman itu, suara tawa mereka meledak seketika.

Guntur Aditama, pria dengan topeng serigala abu-abu itu menimpali, "Seperti yang kau lihat. Kami tua, kaya, dan bahagia."

Damian hanya mengulum senyum menanggapi jawaban orang yang dipanggil paman itu, meski bahunya masih sedikit sakit. Tua, kaya dan bahagia. Hal itu sudah jelas terlihat dari cara mereka hidup.

Tidak perlu diragukan lagi, atau ditekankan. Hidup tua seperti mereka adalah idaman bagi kebanyakan orang. Tidak ada yang bisa menyangkal hal ini.

"Tidak seperti biasanya kalian berkunjung bersamaan seperti ini, apa terjadi sesuatu, Ayah?"

Dia menatap pria di sampingnya. Yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Dan lagi, siapa yang berani memukulnya kecuali sang ayah?

Sementara kedua orang itu, tidak lain adalah sahabat sekaligus rekan bisnis ayahnya. Dia sendiri sudah menganggap mereka seperti paman.

Terdengar embusan napas kasar dari mulut ayahnya. Lalu, dia melepas topeng serigala yang dipakai. Diikuti oleh kedua rekannya.

Mereka lantas menyimpan topeng itu di atas meja. Sekarang terlihat dengan jelas wajah-wajah tua yang sempat tersembunyi itu. Pun ekspresi ketiganya yang terlihat sama. Menunjukkan kegelisahan yang kentara.

Senyum yang tadi sempat Damian umbar, perlahan memudar. Ekspresinya terganti dengan rasa penasaran, dan sedikit tidak sabar. Dia tidak bodoh. Jika ayah dan dua pamannya sudah berkumpul seperti ini, pasti telah terjadi sesuatu yang serius. Tidak mungkin jika tidak.

Entah itu masalah mengenai bisnis yang mereka jalani, atau ketika salah satu dari mereka terancam oleh sesuatu. Ketiganya akan berkumpul di ruangan ini dan mendiskusikan hal itu bersama.

Melibatkannya yang masih baru dalam dunia bisnis ayahnya ini. Dan untuk malam ini, rasanya berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Seolah masalah besar sudah membebani bahu mereka tanpa ampun.

"Ini tentang kematian keluarga Indra Wijaya," ucap ayahnya.

Tautan di kening pria muda itu tercipta. Kasus pembunuhan satu keluarga ini sepertinya menjadi topik hangat di seluruh negeri. Banyak yang membicarakannya. Tidak terkecuali ayah dan pamannya ini.

Akan tetapi, ini bukan hal aneh. Mengingat hubungan mereka dan korban bisa dikatakan sangat dekat. Bahkan dia sempat bertemu di beberapa kesempatan dengan Indra Wijaya. Pertemuan di ruangan ini pun, terjadi beberapa kali.

"Dia menghubungiku tanggal 10 kemarin, dan mengatakan jika 'orang itu' kembali. Dia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, tapi aku yakin jika dia berusaha memperingatkan kita akan sesuatu."

Aditama menerangkan dengan ekspresi serius. Matanya menatap lurus pada topeng-topeng yang tergeletak di atas meja.

"Bukankah yang membunuhnya adalah mantan karyawannya? Polisi menangkap orang itu di lokasi, dan di tanggal yang sama," ucap Damian.

Meski sibuk dengan bisnis, dia bukan tipe yang akan ketinggalan informasi. Belum lagi, berita mengenai kasus ini bisa ditemukan dengan mudah di mana pun.

"Jika yang membunuh mereka adalah mantan karyawannya itu, bukankah banyak hal yang mengganjal?"

Pria dengan topeng serigala berwarna putih, Mattheo Jefferson Liu atau lebih akrab disapa dengan nama Theo, mulai ikut dalam pembicaraan.

Ayah si pria muda menanggapinya dengan anggukkan kepala. Hal mengganjal yang mereka maksud di sini adalah, kenapa pelaku tidak menghabisi mereka di satu malam sekaligus?

Fakta bahwa korban merupakan satu keluarga, seharusnya akan lebih mudah jika dihabisi seketika. Namun, yang dilakukan pelaku justru bertentangan. Mengeksekusi mereka satu per satu, seolah membawa tujuan tertentu.

"Paman Wijaya menghubungimu dan seolah memberi peringatan, itu berarti pelaku adalah orang yang kita kenal?"

Otak Damian cepat tanggap. Bisa dengan mudah dia menangkap ke mana arah pembicaraan yang sedang dilakukan ini. Pun kegelisahan yang terpancar dari wajah mereka, terjawab sudah.

Namun pertanyaannya sekarang, siapa orang yang Indra Wijaya maksud? Mereka mengenal banyak orang. Dari berbagai kalangan pula. Begitu pun dengan musuh. Mereka punya banyak. Sesuatu yang tidak seharusnya dibanggakan.

"Aku juga berpikir demikian." Ayahnya mengambil topeng miliknya. Menatapnya dengan tatapan yang entah apa itu. Amarah? Kesal? Entah yang mana.

Jika pun dia marah, itu bukan hal aneh. Mengingat bagaimanapun juga, Indra Wijaya adalah temannya. Salah satu dari orang-orang yang merintis bisnis seperti mereka. Itu dilakukan sebelum orang itu menjual perusahaannya tentu saja.

Ah, sepertinya ada kekeliruan. Indra Wijaya tidak menjual perusahaannya. Ketiga orang ini mengambil alihnya untuk membayar sebagian hutang judi yang menumpuk. Dia tidak mendapat sepeser uang pun.

Itulah kenapa, dia tidak bisa membayar para karyawannya. Soal menggelapkan uang karyawan? Yang benar saja! Itu hanya topeng untuk menutupi keburukannya yang tercium oleh Daryo.

"Ada rumor yang mengatakan jika pada tangan ketiganya diberi tanda berupa angka dan huruf X." Theo kembali berucap.

Dia mendengar rumor ini dari beberapa wartawan yang dia kenal. Meski pihak kepolisian berusaha menutup rapat akan hal itu, tapi tetap saja. Selali ada orang yang tahu, dan menyebarkannya dengan atau tanpa tujuan tertentu.

"Huruf X?"

Ayah Damian tampak terkejut mendengar hal itu. Mimik wajahnya kembali berubah. Dia bahkan meremas topeng di tangannya.

"Tidak mungkin dia, 'kan?"

Aditama pun sama terkejutnya. Jelas mereka tahu arti huruf itu.

"Tapi itu baru rumor, 'kan?"

Damian menatap ketiga pria tua itu dengan saksama.

Theo menganggukkan kepalanya, "Meski begitu, kita harus hati-hati. Dan jika itu benar, sudah jadi tugas kita untuk menyelidikinya juga."

Sementara mereka berbincang, ayah Damian justru sibuk mengutak-atik ponsel miliknya. Dia terlihat mengetik sesuatu. Tidak berselang lama, dengan tidak sabar dia menghubungi seseorang. Lalu berbicara setelah sambungan telepon diangkat oleh seseorang di seberang sana.

Damian mendengar setiap percakapan yang ayahnya lakukan. Dari yang dia tangkap, pria tua itu meminta lawan bicaranya untuk datang ke klub malam ini juga. Ada hal penting yang ingin dia tanyakan secara langsung. Hanya itu. Karena ayahnya langsung menutup telepon.

"Aku akan memastikan rumor itu. Untuk sementara, Damian kau awasi orang ini." Ayahnya memberikan ponsel itu pada Damian.

Pada layarnya terdapat foto seorang pria muda memakai jaket berwarna hitam, dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Pria dalam foto itu tersenyum manis dan menatap tepat ke arah kamera. Tampak sangat bahagia.

Damian tidak tahu siapa orang yang di foto sedang bersandar pada tembok itu. Jika dilihat dari wajahnya, sepertinya dia seumuran dengan dirinya.

Damian tidak banyak bertanya. Pun tidak mau berasumsi. Meski ayahnya meminta dia menyelidiki dan mengawasi pria dalam foto, bukan berarti dia adalah pelakunya. Setidaknya itu yang dia pikirkan untuk saat ini.

Ketiga pria tua itu kembali berbincang. Topik mereka masih seputar kematian Indra Wijaya. Sesekali membicarakan masa lalu, ketika mereka masih berempat. Semakin lama, pembicaraan mereka mengalir begitu saja. Tahu-tahu sudah membicarakan bisnis gelap yang dijalani.

Sementara Damian, dia mengulas sebuah seringai. Dia tidak tahu mengenai arti dari huruf X yang membuat ayah dan pamannya gelisah. Namun yang pasti, pihak mereka satu langkah lebih maju dari pihak kepolisian.

Itu berarti, jika dia berhasil menemukan pelakunya sebelum polisi, maka itu bukanlah kabar baik untuk kepolisian. Malah yang ada, kasus pembunuhan itu tidak akan pernah terpecahkan.

Kenapa seperti itu? Karena Damian sadar, ayahnya tidak akan membiarkan si pelaku hidup begitu saja. Tanda X itu benar-benar telah mengusik ketenangannya.

Dia tahu betul watak orang tua itu. Jika pelaku itu tertangkap oleh mereka, pihak kepolisian tentu saja akan sangat dirugikan. Polisi hanya akan membuang waktu, tenaga, dan tentu saja terlihat bodoh. Membayangkan hal itu saja sudah membuat Damian ingin tertawa. Dia jadi tidak sabar untuk mendahului mereka.