Pagi ini, Daryo kembali diinterogasi. Dia duduk dengan gelisah di ruangan itu seorang diri. Tangannya dia tautkan satu sama lain. Sesekali, wajahnya yang menunduk terangkat dan menatap satu-satunya pintu yang ada. Semakin gelisah ketika membayangkan siapa yang akan datang.
Pengalaman buruk yang sempat dia terima empat tahun lalu, membuatnya gugup. Apakah polisi kemarin yang akan menginterogasi lagi? Atau ada orang lain? Jika boleh jujur, Daryo berharap Arvin yang datang. Meski pembawaan penyidik itu tidak begitu ramah dan terkesan menyudutkannya, tapi itu lebih baik daripada berhadapan dengan penyidik temperamental.
Sedikit-sedikit marah. Daryo memberi jawaban yang tidak diharapkan, membentak. Bahkan tak segan memukulnya.
Suatu tindakan yang tidak seharusnya dia dapatkan dalam proses interogasi. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Semuanya sudah berlalu, meski masih terasa membekas.
Pintu tiba-tiba terbuka. Seorang penyidik dengan jaket hitam memasuki ruangan. Penyidik berbadan lumayan berisi itu duduk di kursi depan Daryo. Tanpa berucap, dia mengeluarkan tiga foto dari saku jaketnya. Tiga foto itu berisi potongan tangan korban yang ditandai.
Daryo menatap foto itu dengan tatapan horor. Kenapa pula dia ditunjukkan foto mengerikan itu?
"Di mana Anda menyembunyikan senjata untuk memotong kedua tangan korban?" Penyidik itu, yang tidak lain adalah Kanit Gerdian langsung bertanya pada intinya.
Daryo menggeleng dengan cepat. "Sudah saya katakan bukan saya pelakunya, Pak."
Kanit Gerdian menatapnya dengan tajam. Seolah tidak puas dengan jawaban yang Daryo berikan. Dia lantas menggeser kursinya. Semakin mendekat pada Daryo.
"Anda ditangkap di TKP. Tidak mungkin jika bukan Anda pelakunya," ucap Kanit Gerdian dengan penuh penekanan.
Dia muak dengan sikap Daryo. Meski begitu, dia harus tetap bersabar.
"Saya benar-benar tidak tahu apa-apa, Pak. Saya berani sumpah."
Sebuah seringai muncul di bibir Kanit Gerdian. Berani bersumpah katanya? Memangnya siapa yang tidak berani melakukan itu? Banyak sekali yang melakukannya.
Bahkan untuk menutupi sebuah kebohongan, bersumpah adalah salah satu cara yang bisa dipakai untuk meyakinkan lawan bicara. Jadi, ucapan Daryo dia anggap omong kosong belaka.
Baru saja mulut Kanit Gerdian hendak kembali berucap, seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa izin. Membuat Kanit Gerdian merasa sedikit kesal. Jika bukan mengenai hal penting, awas saja!
Pria yang masuk ke dalam ruangan itu tidak lain adalah Bian. Dia langsung menghampiri Kanit Gerdian dan membisikkan sesuatu di telinganya.
"Kau yakin?" tanya Kanit Gerdian setelah mendengar penuturan dari anak buahnya ini.
Bian mengangguk dengan cepat.
Tanpa memedulikan Daryo, kedua penyidik itu meninggalkan ruangan. Cara mereka berjalan sangatlah cepat, membuat Daryo penasaran. Merasa lega juga tentu saja.
Dia jadi tidak perlu menjawab pertanyaan yang sama, dengan jawaban sayang sama pula. Kepalanya sudah sakit dengan penangkapan ini. Ditambah lagi, entah akan sampai kapan dia berada di tempat ini.
"Arvin mendapatkan rekaman ini dari persimpangan jalan menuju rumah korban." Bian menunjukkan rekaman yang beberapa menit lalu Arvin kirimkan padanya.
Kanit Gerdian menatap layar komputer itu dengan jeli. Apa yang Daryo katakan sudah terbukti, tapi bukan berarti dia akan bebas begitu saja. Bisa saja taksi itu tidak ada hubungannya dengan kasus pembunuhan ini. Mereka harus memastikannya dengan cepat.
"Di mana Arvin?"
"Dia sedang dalam perjalanan untuk memastikan taksi itu. Saya sudah memberinya alamat dari pangkalan taksi itu," ucap Bian.
Sebelumnya, dia telah memeriksa nomor pelat taksi tersebut serta kode pool yang terlihat dengan jelas di kamera pengawas. Dan lagi, warna dari taksi itu sudah bisa ditebak dari perusahaan mana. Bian cukup memberi Arvin alamat dari pangkalan taksi itu, yang ternyata jaraknya hanya beberapa kilometer dari kantor tempat mereka bekerja.
"Baguslah. Semoga kita cepat menemukan titik terang dari kasus ini."
Kanit Gerdian kembali keluar ruangan. Dia hampir lupa pada Daryo. Pria itu pasti sudah sangat bosan berada di ruangan interogasi seorang diri.
Saat ini Arvin tengah berdiri di pintu masuk sebuah pangkalan taksi. Mobil dengan warna serupa terparkir rapi di sana. Meski saat ini sedang jam kerja, tapi jumlah kendaraan yang ada tidak bisa dia hitung dengan jari. Arvin sampai berdecak kagum dibuatnya.
Ketika dia masih asyik menatap mobil-mobil itu, seorang pria yang ditaksir berumur sekitar lima puluh tahunan menegurnya. Tanpa basa-basi dia menanyakan maksud kedatangan Arvin. Sebelumnya, orang itu juga mempersilakan Arvin untuk memasuki area pangkalan.
Arvin menurut. Mereka berjalan cukup jauh hingga sampai di sebuah ruangan terbuka yang menghadap tepat ke arah puluhan taksi yang berjejer. Arvin duduk di kursi yang ada.
Sementara pria itu kembali menanyakan perihal kedatangan Arvin. Apakah ada barang yang tertinggal di salah satu taksi? Pertanyaan semacam itu yang dia lontarkan.
"Maaf sebelumnya. Apakah Anda salah satu dari sopir taksi, atau petugas di pangkalan ini?" tanya Arvin dengan ramah.
Dia memang seperti itu. Seolah memiliki dua kepribadian. Dia sangat ramah pada orang-orang yang tidak ada hububannya dengan kasus, tapi dalam sekejap sikapnya akan berubah jika berhadapan dengan pelaku kriminal.
Pak Budi, pria itu tersenyum pada Arvin.
"Saya petugas yang mengatur kendaraan di sini."
Arvin bernapas dengan lega mendengarnya. Lalu, dia menunjukkan nomor pelat serta kode taksi yang tengah dicari. Arvin tentu tidak langsung mengatakan jika hal ini mengenai kasus yang sedang dia selidiki. Pria itu hanya mengatakan jika ada hal penting yang harus ditanyakan pada si sopir.
Awalnya, Pak Budi terlihat berpikir. Lalu dia meminta Arvin menunggu sebentar dan dia pergi ke dalam ruangan. Tidak berselang lama, pria tua itu sudah kembali dengan senyum. Dia langsung menghampiri Arvin yang sedang berdiri menatap taksi-taksi di depannya.
"Saya sudah menghubunginya dan sebentar lagi dia akan kembali," ucap Pak Budi.
Arvin tersenyum lega. Setidaknya dia hanya perlu menunggu, dan bersabar tentunya.
Sekitar tujuh menit berlalu, sebuah mobil memasuki area pool. Si sopir memarkirkan mobil itu di tempat yang tidak jauh dari posisi Arvin berada. Seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahunan keluar dari taksi itu. Dia bergegas menghampiri keduanya.
"Maaf, ada apa ini, Pak?" tanya si sopir pada Pak Budi. Yang ditanya tidak menjawab, karena memang dia tidak tahu betul maksud kedatangan Arvin.
Sementara Arvin, dia justru menghampiri kendaraan beroda empat itu. Dia mengeluarkan buku catatannya dan mencocokkan setiap angka dan huruf pada pelat mobil itu. Kemudian, dia kembali dan menatap si sopir dengan tatapan menyelidik.
Tentu saja, ditatap seperti itu membuat si sopir tidak nyaman. Dia terlihat salah tingkah dan gugup. Beberapa kali tangannya menggaruk tengkuk yang Arvin yakin itu tidak gatal sama sekali.
"Apa saya boleh tahu nama Anda?" tanya Arvin.
Sebelumnya, dia membawa sopir itu untuk duduk di kursi yang tadi dia tempati. Pak Budi juga masih di sana. Arvin yang memintanya.
"Ada apa memangnya?" Sopir itu balik bertanya. Hal yang Arvin benci. Sangat dia benci.
"Jawab saja beberapa pertanyaan yang saya berikan."
Sopir itu mengangguk. Mungkin tidak mau membuang waktu. Dia harus kembali bekerja setelah ini. Lebih cepat selesai, lebih baik.
"Nama saya Trisna."
"Di mana Anda pada tanggal 10 dini hari lalu?" tanya Arvin sedikit tidak sabar.
"Saya ... berada di rumah." Tautan di kening Trisna terlihat jelas. Kenapa Arvin menanyakan hal seperti ini? Kira-kira itu yang ada di kepalanya.
"Anda tidak bekerja?" Arvin semakin penasaran dengan alibi yang akan Trisna berikan.
"Maaf menyela, tapi apa kami boleh tahu siapa dan apa tujuan Anda sebenarnya?"
Pak Budi yang sedari tadi hanya menyimak, mulai penasaran dengan apa yang telah terjadi.
Trisna mengangguk setuju. Dia lebih penasaran lagi. Dicari seseorang tak dikenal ketika sedang bekerja, tentu hal itu aneh baginya. Dan lagi, Trisna merasa tidak pernah melihat Arvin di antara para penumpang yang memakai jasanya.
Arvin mendesah pasrah. Lalu, dia mengeluarkan tanda pengenalnya sebagai polisi kepada mereka berdua. Terang saja, hal itu membuat keduanya terperanjat kaget. Terutama Pak Budi.
Dia langsung melotot ke arah Trisna. Bagaimana bisa dia dicari oleh polisi? Kacau sudah jika pria itu terlibat dalam tindak kriminal. Nama perusahaan taksi tempatnya bekerja, pasti akan tercoreng.
Begitu juga dengan Trisna, dia tampak begitu terkejut. Dipelototi oleh Pak Budi, membuat nyalinya ciut seketika. Dia menggelengkan kepala dengan cepat. Ingin memberi isyarat jika dia tidak melakukan apa-apa.
"Pihak kami sedang menyelidiki kasus pembunuhan. Dan dari penyelidikan yang kami lakukan, tepat pada tanggal 10 dini hari lalu, taksi yang Anda kemudikan tertangkap kamera pengawas melewati area rumah korban terakhir." Arvin menerangkan. Tatapan matanya masih tertuju pada sopir itu.
"Tapi saya tidak bekerja sampai dini hari. Saya juga tidur di rumah bersama keluarga saya," tutur Trisna.
Arvin mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Mengutak-atiknya sebentar, lalu memberikan ponsel itu kepada Trisna. Pada layar ponsel itu menampilkan rekaman dari kamera CCTV yang dia dapatkan kemarin. Pak Budi maupun Trisna, keduanya semakin dibuat terkejut dengan apa yang mereka lihat.
"Tapi saya benar-benar tidak ke mana-mana, Pak. Saya berada di rumah." Trisna buru-buru berucap. Dari nada bicaranya, terdengar berusaha meyakinkan Arvin.
"Apa ada yang bisa mengkonfirmasi hal tersebut?"
Trisna mengangguk dengan cepat. "Istri dan anak saya. Tanyakan pada mereka."
"Kalau begitu, ayo pergi menemui istri dan anak Anda sekarang juga!" Arvin semakin bersemangat.
"T-tidak bisa," ucap Trisna dengan terbata-bata.
"Kenapa tidak bisa?" Arvin menyeringai.
Tangannya sudah terselip di saku, siap untuk mengambil borgol. Dari awal, ucapan Trisna sudah sangat bertentangan dengan fakta yang ada, membuatnya gemas. Dan sekarang, dia tidak bisa membawanya pada anak dan istrinya untuk mengkonfirmasi alibi yang dia buat. Bukankah itu semakin mencurigakan?
Trisna terdiam untuk beberapa saat. Ekspresinya terlihat gelisah. Jika dia pulang sekarang dengan seorang polisi, istrinya pasti berpikir yang tidak-tidak, seperti Pak Budi. Dia tidak mau itu terjadi, lebih tepatnya ada yang ingin dia sembunyikan dari istrinya itu.
"Pada tanggal 9 kau tidak kembali, Trisna. Kau baru mengembalikan mobil itu ke sini pada tanggal 10 pagi. Itu pun langsung kau pakai lagi untuk bekerja."
Pak Budi yang sedari tadi hanya menyimak, kini berucap dengan ekspresi sedih. Tentu saja penuturannya itu membuat tubuh Trisna menegang seketika. Keringat pun mulai bercucuran, dan wajahnya tampak semakin panik.