Karena kasus selesai tidak hampir satu bulan, hanya tersisa 20 hari lagi sebelum bulan Januari berakhir. Maka selama dua hari Unit I mendapat libur. Mereka sudah bekerja dengan keras untuk memecahkan kasus ini.
Dengan begitu, bukan hal aneh lagi jika unit itu mendapat hadiah berlibur dari tugas seperti ini. Dan lagi, jika yang menyelesaikan kasus ini adalah unit lain, mereka juga akan mendapatkan hal serupa.
Pada malam sebelumnya, mereka merayakan kesuksesan ini dengan menyewa salah satu restoran dan berpesta di sana. Memesan makanan dan minuman sesuka hati, dan bersenda gurau melepas semua unek-unek yang menumpuk.
Hal seperti ini sudah bukan hal bagi Unit I. Mereka biasa melakukannya jika ada kasus berat yang selesai ditangani.
Ada yang mengeluh tentang betapa padatnya awal bulan yang mereka miliki. Ada pula yang berharap kasus seperti ini tidak terulang. Sementara Bian, ocehannya hanya mengenai betapa hebatnya mereka.
Satu bulan belum berlalu, tapi bisa memecahkan pelaku dari kasus ini hanya bermodalkan kesaksian Daryo yang awalnya tidak mereka percaya. Hebatnya lagi, perburuan yang dilakukan tidak memakan waktu berhari-hari. Sebuah rekor tercepat yang baru mereka pecahkan.
Ah, tapi sepertinya hal ini tidak akan terjadi jika Trisna tidak mati terlindas truk. Dalam pengejaran, Arvin sudah hampir kehilangannya lagi akibat tertinggal cukup jauh. Pun Kanit Gerdian. Berkat pengemudi mobil sport itulah Trisna berhasil dihentikan. Ya ... meski berujung dengan kematian.
Di satu sisi, nasibnya begitu malang. Di sisi lainnya, dia biadab dan tidak termaafkan. Setidaknya itu yang ada di pikiran masing-masing penyidik Unit I. Bahkan mungkin orang-orang di luar sana pun berpikiran serupa.
Berbeda dengan rekan-rekannya yang tengah bersuka cita, Arvin justru tampak sedikit murung. Yang dia lakukan hanya memutar-mutar ponselnya di atas meja. Kebiasaannya yang terlihat aneh bagi Bian.
Sepertinya dia masih belum bisa merelakan jika telepon misterius itu diabaikan begitu saja. Tidak mungkin jika itu hanya telepon iseng, 'kan?
Kanit Gerdian menyadari sikap Arvin yang hanya diam. Dia berjalan ke arah kursi pria itu. Mengambilkan beberapa makanan dan menyimpannya di piring Arvin. Membuat si empunya piring sedikit terkejut, dan berusaha mengembalikan makanan itu. Akan tetapi, hal itu sia-sia. Kanit Gerdian kembali mengisinya lagi.
"Kasus sudah selesai. Jangan melamun, dan makan yang banyak. Siapkan tenaga untuk hari-hari berikutnya. Kita tidak tahu kasus seperti apa yang menanti di depan," ucap Kanit Gerdian. Sebelum kembali ke kursinya dengan tersenyum lebar, dia menepuk bahu Arvin.
Bisik-bisik mulai terdengar di meja itu. Mereka dengan terang-terangan membicarakan sikap manis Kanit Gerdian pada Arvin, yang pada dasarnya memang bukan kali ini. Bahkan jika diingat lagi, setiap acara perayaan seperti ini, Kanit Gerdian akan sangat memperhatikan makanan Arvin daripada anggota lain. Membuat iri, tentu saja.
Bian yang melihat itu, langsung mengambil satu piring yang berisi udang goreng berbalut mie dan tepung, makanan kesukaan Arvin. Dia mengambil beberapa dan menaruhnya di piring rekannya itu. Terang saja, piring itu semakin penuh. Padahal Kanit Gerdian sudah menaruh makanan serupa tadi.
"Kau harus banyak makan jika tidak ingin pingsan di TKP lagi."
Bian menaruh piring itu kembali, dan beralih menatap Arvin. Dia sama sekali tidak tahu mengenai trauma yang pria itu miliki, yang dia tahu, Arvin pingsan karena kehabisan tenaga dan lapar.
Arvin hanya tersenyum mendengar penuturan rekannya itu. Pun dengan perlakuannya dan juga Kanit Gerdian. Dia merasa mereka berlebihan, tapi patut disyukuri. Bagi dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga, kehangatan seperti ini adalah sesuatu yang ditunggu. Tanpa berucap, dia mulai memakan makanannya.
"Setidaknya ucapkan terima kasih." Bian berseloroh. Diikuti tawa rekan-rekan yang lain.
"Terima kasih kembali," ucap Arvin. Seolah dia yang berjasa di sini.
"Bukan padaku, tapi pada Kanit Gerdian." Bian mengacak rambut Arvin.
Interaksi keduanya akan terlihat menggemaskan layaknya adik dan kakak jika tidak sedang menangani kasus. Ya, meski Arvin tidak jarang bersikap kurang ajar Bian, tapi itu tidak mengurangi rasa saling peduli di antara keduanya.
"Lain kali saja." Arvin berucap sembari menatap Kanit Gerdian. Pipinya menggembung dengan udang goreng yang sedang dia makan.
Kanit Gerdian yang melihat itu, sempat tersedak dibuatnya. Arvin itu manis, tapi hanya sedikit yang menyadari hal itu. Bahkan Arvin sendiri pun tidak menyadari sisi lain dari dirinya itu.
Penampilannya yang selalu terlihat garang, tidak jarang membuat orang lain salah paham. Akan tetapi, semua itu akan luntur jika dia sudah tersenyum dengan memamerkan giginya yang rapi.
Tidak terasa, waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Dengan terpaksa, mereka harus mengakhiri acara makan-makan ini. Pemilik restoran yang mereka sewa, sudah tampak mengantuk di meja kasir.
Kanit Gerdian tidak tega melihat hal itu. Maka, dia mengajak anak buahnya untuk pulang. Terdapat raut kecewa di wajah Bian, tapi itu sirna setelah tahu mereka diizinkan libur selama dua hari.
"Apa yang akan kau lakukan esok hari, Arvin?" tanya Bian setibanya mereka di tempat parkir.
"Tidak ada. Aku hanya ingin beristirahat," jawab Arvin sembari memutar-mutar ponsel di tangannya.
"Sayang sekali. Padahal aku ingin mengajakmu pergi bermain golf." Bian memasang raut kecewa.
"Ajak Kanit Gerdian saja." Arvin memberi usul.
"Mana berani aku mengajaknya."
Tidak bisa dipungkiri jika Bian sangat ingin pergi dengan Kanit Gerdian. Namun, dia merasa segan. Rasa kagumnya terhadap Ketua Unit I ini membuatnya selalu ingin dekat. Tidak apa-apa jika tidak sampai sedekat Arvin, yang penting dia pernah pergi bersama, itu sudah cukup untuk Bian.
"Aku yang akan berbicara dengannya agar mau pergi denganmu." Arvin beralih menatap Bian.
Sekarang di tempat parkir itu hanya ada mereka berdua. Penyidik Unit I yang lain sudah meninggalkan area itu. Pulang ke rumah masing-masing. Dan Kanit Gerdian, dia mengambil mobilnya yang tidak jauh dari sana.
"Apa yang kau mau dariku?" Bian memicingkan matanya.
Arvin tertawa mendengar pertanyaan dari Bian. Cepat tanggap juga dia. Tidak seperti biasanya.
"Kau masih memiliki data mengenai nomor dari penelepon misterius itu, 'kan?"
Seketika mata Bian membulat, "Jangan bilang kau ...."
Arvin mengangguk mantap, "Tetap selidiki itu dan jangan sampai ada yang tahu. Kau hanya harus melaporkannya padaku."
Bian menghela napas panjang. Dia tahu Arvin sangat gigih. Jika ada hal yang mengganjal di pikiran serta hatinya,Ā dia akan mengejar dan mencari tahunya sampai terpecahkan. Dan dirinya tidak pernah untuk tidak terlibat. Lebih tepatnya, dipaksa untuk terlibat.
"Kau benar-benar akan menjadi Ketua dari Unit I." Bian berseloroh. Meski begitu, dia mengiyakan permintaan rekannya itu.
Tidak berapa lama, Kanit Gerdian menghampiri keduanya dengan mobil yang dia bawa. Tanpa diminta, Arvin langsung masuk dan duduk di kursi samping kemudi. Bian sampai terkejut dibuatnya. Kemudian, Kanit Gerdian menawarinya tumpangan juga.
Selain tahu Bian tidak membawa kendaraannya, jalan menuju rumah mereka juga searah. Tetapi Bian menolak. Dia beralasan sudah memesan ojek online. Tidak tega jika harus dibatalkan begitu saja.
"Hubungan mereka pasti lebih dari sekadar Kanit dan anak buah semata," gumam Bian. Dia menatap lekat kepergian sedan putih itu.
Dalam perjalanan, awalnya hanya keheningan yang memenuhi atmosfer dalam mobil.Ā Arvin belum berinisiatif untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. Sampai setengah jalan, dia baru mengutarakan apa yang Bian mau.
Bermain golf ketika libur adalah hal yang penyidik itu sukai. Hampir setiap libur, Bian akan mengajaknya. Namun, Arvin selalu menolak dan menyibukkan diri dengan kegiatannya. Rebahan, atau sekadar jalan-jalan di taman.
Pada awalnya, Kanit Gerdian sempat menolak tawaran itu. Dia sudah memiliki rencana lain, tapi mendengar Arvin yang terus memintanya pergi, membuatnya tak tega. Dan lagi, menurut Arvin tidak ada salahnya dia pergi dengan Bian. Toh Bian juga penyidik di Unit I, dan kontribusinya dalam kasus ini cukup banyak. Anggap saja Kanit Gerdian memberinya hadiah.
Pada akhirnya, Kanit Gerdian pun setuju. Dan Arvin langsung mengirim pesan pada Bian. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi bahagia yang terpancar di wajah rekannya itu.
"Kau tidak ingin tidur di sini?" tanya Kanit Gerdian ketika mereka sudah sampai di depan sebuah gedung apartemen yang bisa dibilang lumayan mewah. Keduanya keluar dari mobil.
"Lain kali saja," ucap Arvin. Lalu, dia kembali masuk ke dalam mobil. Tepat di kursi kemudi.
"Ruangan apartemen milikmu bisa-bisa dihuni penghuni dari dunia lain," canda Kanit Gerdian.
"Dan penghuninya itu kau, Paman." Setelah mengucapkan itu Arvin langsung tancap gas.
Seulas senyum terukir di wajahnya. Begitu juga di wajah Kanit Gerdian. Dia tersenyum hangat mendengar itu. Sebuah panggilan yang sejak kasus pembunuhan ini dimulai, tidak dia dengar dari mulut Arvin.
***
Keesokan harinya, Arvin bangun pagi sekali. Dia membereskan kontrakannya yang sudah terbengkalai. Debu di mana-mana. Pun sarang laba-laba yang sangat dia benci, mulai menghiasi di beberapa sudut atas depan rumah.
Kenapa laba-laba suka sekali membuat rumah di dalam rumah? Padahal pepohonan di sekitar sana masih banyak. Kenapa tidak membuat rumah di sana saja? Pemikiran Arvin kadang seaneh itu.
Waktu mulai menunjukkan siang, dan dengan cepat Arvin menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan dia sekarang sudah berpakaian rapi, dengan wangi parfum yang menguar dari tubuhnya.
Kemudian, pria itu memasuki mobil milik Kanit Gerdian. Arvin tidak begitu sering memakainya, karena dia lebih suka mengendarai motor. Namun setelah motornya hancur, tidak ada pilihan lain selain memakai ini.
Tidak terasa, Arvin sudah sampai di tempat tujuannya. Dia berhenti dan memarkirkan mobil itu. Lalu, berjalan kecil menuju toko yang menyediakan berbagai macam bunga. Arvin membeli beberapa melati dari sana. Pun satu keranjang kelopak bunga untuk ditabur.
Setelahnya, kaki jenjangnya mulai melangkah memasuki area pemakaman umum. Cukup lama dia berjalan. Sebelum akhirnya sampai di tiga makam dengan tanah yang masih merah, yang menjadi tujuannya.
Arvin berjongkok di sana. Berdoa sebentar dan mulai menaburkan kelopak bunga yang tadi dia beli. Tidak lupa, bunga lili pun dia simpan di dekat nisan yang masing-masing bertuliskan nama dari ketiga korban pembunuhan yang dia tangani.
"Semoga kalian tenang di alam sana. Paman Indra, Bibi Dewi, dan Anita." Setelah mengucapkan itu, Arvin beranjak dari sana. Meski tidak sampai meneteskan air mata, tapi raut wajahnya tampak sedih.
Arvin mengenal ketiganya. Bahkan ketika di kantor polisi dan bertemu Indra Wijaya setelah sekian lama, dan membuat pria itu terkejut. Saat itu, Arvin bertanya kenapa orang itu terkejut dan kabur setelah melihatnya, bukan? Pertanyaan itu lebih tepatnya dia tanyakan pada dirinya sendiri. Mengingat, keluarga Indra Wijaya dan keluarganya adalah teman baik. Dulu. Sebelum insiden itu terjadi.