Satu minggu telah berlalu sejak Arthur dan Darren memberikan dua misi pada Daryo. Satu pekan yang sangat singkat bagi mantan tukang ojek online itu. Artikel yang dia buat sudah diberikan pada keduanya, dan sudah mereka posting tentu saja.
Daryo tidak terlalu tahu apa yang mereka inginkan, yang jelas dampak dari artikel itu sangatlah luar biasa. Selama seminggu ini, di media sosial maupun di televisi, orang-orang mulai membahas perusahaan Geotama Transport. Tidak sedikit pula yang merembet membahas Guta Corporation selaku perusahaan induk.
Bukan hanya itu. Dari berita yang Daryo ikuti, para investor di Geotama Transport satu per satu mulai meninggalkan perusahaan itu. Desas-desus mengatakan, mereka menyesal telah bekerja sama dengan perusahaan yang gegabah.
Tidak sedikit pula yang beralasan takut kejadian serupa terulang kembali. Mengingat, banyak sekali daftar orang-orang yang pernah terlibat dalam tindak kriminal, diperkerjakan di tempat itu sebagai sopir taksi.
Dalam satu kedipan mata, anak perusahaan itu diambang kebangkrutan. Pun Guta Corporation dibuat kalang kabut dengan artikel yang Daryo buat. Sejak artikel itu muncul, mereka sudah meminta beberapa ahli IT untuk menghapusnya dari media sosial.
Namun, tidak berapa lama artikel itu muncul lagi. Semakin mereka berusaha menghapusnya, semakin banyak artikel yang di-posting.
Hingga pada akhirnya, tanduk pemilik Guta Corporation keluar juga. Kesabarannya hampir habis, dan mempertahankan perusahaan sudah menjadi kewajibannya. Dengan begitu, dia menyuruh anak buahnya untuk mencari siapa yang telah membuat, dan mengunggah artikel itu ke media sosial.
Meski Darren memberi akun penulis artikel yang sudah tak terpakai lagi, dengan penyamaran yang sempurna, tapi pihak Guta Corporation bisa dengan mudah melacak keberadaan Daryo. Pria itu kini dalam bahaya.
Dia kembali dibuat frustrasi. Misi mencari Mira saja belum terselesaikan, kini dia harus bersembunyi dari kejaran anak buah Guta Corporation.
Darren dan Arthur bukannya tidak tahu mengenai hal ini, tapi seperti itulah mereka. Kejam dan manipulatif. Joe Orlando sudah berulang kali menyuruh keduanya untuk menyelamatkan Daryo, tapi hal itu seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tidak didengar sama sekali.
Saat ini keduanya tengah duduk di dalam kursi mobil Arthur yang baru selesai diperbaiki. Pandangan keduanya lurus pada Daryo yang tengah duduk di sebuah kedai kopi di kawasan Mega Mendung, Bogor. Setelah selesai membuat artikel, dia langsung pergi mencari Mira.
Meski tengah dikejar dan nyawanya terancam, tapi dia bisa dengan mudah menemukan perempuan itu. Sebenarnya itu tidak sengaja. Karena Mira ternyata bekerja di kedai kopi yang tengah dia kunjungi saat ini. Keberuntungan dan kesialan berada di pihaknya di saat yang bersamaan.
"Daryo, ada apa mencariku?"
Mira terlihat keluar dari dalam kedai. Membawa secangkir kopi hitam dan meletakkannya di atas meja. Lalu, dia duduk sejajar dengan pria itu.
"Begini, Mbak ...." Daryo terlihat gugup. Wajahnya celingukan ke segala penjuru. Terlihat mencari sesuatu, atau lebih tepatnya menghindar dari sesuatu.
Mira yang heran melihat gelagat Daryo, ikut mengedarkan pandangannya. Dia tidak mendapati satu pun yang aneh awalnya. Sebelum pada akhirnya, mata bulat itu menangkap mobil sport hitam yang sudah tidak asing lagi.
Mata Mira yang sudah bulat, kini dibuat semakin bulat saja. Dalam ingatannya, mobil itu serupa dengan milik pria yang dulu mendatangi suaminya dan menawarkan pekerjaan.
"Mereka mengejar kita, Mbak," ucap Daryo dengan menunduk.
"Mereka siapa, Yo?"
Mira mengharap penjelasan lebih. Bukan karena dia tidak mengerti, tapi memang ingin tahu lebih jelas mengenai pria yang dulu sempat dia anggap sebagai dewa penyelamat itu.
Daryo menarik napas dengan berat.
"Pria yang memberi pekerjaan pada Mas Trisna, Mbak. Juga pria yang memberiku informasi mengenai pasar gelap. Mereka mengejar kita."
"Sebenarnya mereka itu siapa, Yo? Saya tidak berurusan dengan mereka."
Mira mulai merasa khawatir. Tangannya mendadak gemetar, dan air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Mereka adalah anggota dari suatu kelompok kriminal, Mbak. Aku tidak tahu kelompok yang mana. Hanya saja ... hanya saja .... Sebaiknya Mbak bergegas. Kita pergi dari sini."
Daryo melirik ke arah jam sembilan. Pada akhirnya dia melihat mobil Arthur juga. Wajahnya pucat dalam sekejap. Bodohnya dia yang tidak menyadari itu sejak awal.
"Tidak mau! Aku tidak punya urusan dengan mereka." Mira mengusap air matanya, dan beranjak ke dalam kedai.
Daryo menyusul. "Mbak Mira memang tidak berurusan dengan mereka, tapi Mas Trisna!"
"Jangan membawa-bawa yang sudah meninggal, Daryo!" pekik Mira penuh emosi.
"Mas Trisna sengaja ditabrak oleh mobil itu, Mbak! Sengaja ditabrak!"
Daryo mengulang kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan. Dia marah, kesal, pun kecewa. Semua bercampur menjadi satu. Ketidakberdayaan membuatnya serba salah.
Mira yang tengah mengelap meja, tubuhnya menegang seketika. "Apa maksudnya, Daryo?"
Daryo hanya mengangguk. Lalu menuntun Mira untuk duduk di sebelahnya. Pria itu menjelaskan segala hal yang dia tahu mengenai Darren dan Arthur.
Meski berpengetahuan minim, tapi hal itu sukses membuat Mira menangis sesenggukan. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa suaminya terlibat dengan mereka? Selama ini dia hanya menurut, tanpa menuntut banyak hal.
"Dan kau datang ke sini untuk membawaku pada mereka?" tanya Mira dengan sorot mata yang tajam.
Dia kesal. Pada suaminya yang telah gegabah. Pun pada Daryo yang tidak jauh berbeda dengan kelakuan suaminya itu.
Daryo mengangguk dengan mantap. "Kita kembali ke Jakarta, Mbak. Saya punya rencana."
Mira menatap pria itu dengan ragu. Dia memang mengenal Daryo ketika pria itu dan suaminya masih bekerja di perusahaan yang sama, tapi semuanya telah lalu. Bisa saja Daryo sudah berubah. Buktinya dia terlibat dengan kelompok kriminal. Itu benar-benar bukan Daryo yang pernah dia kenal.
"Ayolah, Mbak. Waktu kita sedikit."
"Tapi bagaimana dengan anakku?"
Pandangan Mira teralih ke sisi lain di kedai itu. Menatap anak kecil yang tengah bermain seorang diri.
"Bawa saja. Lagi pula, kita tidak akan menemui mereka, Mbak!" Daryo kembali memberi tekanan di setiap kata yang dia ucapkan.
Mira tampak berpikir untuk beberapa saat. Bimbang. Hatinya tidak setuju dengan keputusan ini, tapi logikanya berkata lain. Jika dia menolak dan terus menghindar, mau sampai kapan?
Daryo sudah terikat dengan mereka. Pasti akan mengejarnya sampai ke ujung dunia sekali pun. Kemungkinan lebih parah, nyawanya direnggut tanpa belas kasihan.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Mira beranjak dari kedai itu. Meminta Daryo untuk menunggu selagi dia mengemas barang dan bersiap-siap. Rumah Mira berada tepat di belakang kedai itu, pantas saja anaknya berada di sini juga.
Tidak berselang lama, Mira sudah kembali dengan tangan menenteng tas berukuran sedang. Bisa ditebak itu berisi pakaian. Tangan sebelah lagi memegang tangan anaknya yang menatap Daryo dengan polos.
Tidak mau membuang waktu, Daryo menuntun wanita itu berjalan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari kedai. Sebelumnya, pria itu menyewa sebuah mobil untuk mencari Mira. Meski harus memakai jasa seorang sopir, itu bukan masalah.
Uang yang diberikan Darren sangat banyak. Dia bisa memakainya untuk hal ini. Dan lagi, Daryo tidak bisa menyetir. Dia juga tidak mau jika harus ke Bogor menggunakan motor.
"Yo, rencana apa yang kau maksud tadi?" Mira memulai pembicaraan. Dia sangat penasaran dengan rencana yang Daryo sebut-sebut tadi.
Saat ini keduanya duduk di kursi belakang, dengan anak Mira di posisi tengah. Sibuk bermain dengan boneka beruang berwarna putih kesayangannya.
"Aku berniat untuk melaporkan mereka pada polisi, Mbak."
"Maksudmu?" Mira terperanjat.
"Sesampainya di Jakarta nanti, kita langsung ke kantor polisi. Aku kenal salah satu polisi di Polres Metro Jakarta Selatan, dia yang menangani kasus Mas Trisna," tutur Daryo.
"Tapi bukannya kau tidak mau berurusan dengan polisi lagi?" Mira merasa heran.
"Polisi yang satu itu sangat berbeda, Mbak. Dia memang selalu memojokkanku ketika proses interogasi, tapi dia berbeda. Aku akan melapor padanya. Dan kita bisa menjadi saksinya."
Apa tidak masalah? Daryo pernah melakukan ini beberapa tahun lalu untuk kasus pasar gelap, dan tidak ada satu polisi pun yang mempercayainya. Apa itu akan terulang kembali? Mira sedikit merutuki keputusannya untuk ikut. Karena jika kejadiannya justru terulang lagi, keduanya bisa saja berakhir menjadi tersangka.
Melihat gelagat Mira, Daryo mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto seorang pria berseragam polisi yang tampak rapi. Mira menatap lekat foto itu. Memorinya dipaksa kembali mengingat hari ketika rumahnya didatangi beberapa petugas. Polisi dalam foto itu salah satunya, yang tidak lain adalah Arvin. Entah dari mana Daryo mendapat foto itu.
"Dia memang polisi yang sangat berbeda," ucap Mira.
Tiba-tiba gejolak dalam dirinya berubah. Dia ingat apa saja yang Arvin tanyakan waktu itu. Bagaimana dia mengajaknya bicara, dan bagaimana cara polisi itu memperlakukannya. Berbeda. Sangat berbeda dari perlakuan yang dia dapat dari polisi satunya lagi—Kanit Gerdian.
Daryo mengangguk. "Kita akan menemuinya, Mbak."
Kedua orang yang tengah dikejar bahaya itu bertatapan untuk beberapa saat. Mata bertemu mata. Mencari keraguan serta kebohongan, tapi tidak ditemukan pada mata masing-masing. Keduanya mantap untuk saling percaya.
Dalam hal genting, memang tidak ada yang lebih diutamakan selain rasa saling percaya. Karena jika tidak, pengkhianatan dan kesalahpahaman bisa terjadi tanpa disadari. Meski tidak sedikit yang berusaha meyakinkan untuk percaya, tapi memiliki niat untuk mengkhianati. Entah Daryo termasuk yang tulus, atau yang mana.
"Mereka mengikuti kita, Yo."
Mira menatap mobil sport hitam yang melaju di belakang. Tidak jauh dari kendaraan yang mereka pakai. Mobil sport milik Arthur memang terlalu mencolok di jalanan ini.
"Tidak apa-apa. Kita bisa mengecoh mereka." Daryo berucap dengan yakin.
Tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai berhenti tanpa dipinta. Terang saja hal itu membuat Daryo dan Mira merasa kesal. Mereka tengah terburu-buru. Tidak ada waktu untuk hal lain.
Bahkan untuk urusan perut, Daryo sudah menyiapkan beberapa roti yang dia beli di kedai tadi. Karena bagaimana pun, keluar dari mobil akan sangat berbahaya di saat seperti ini.
"Pak, kenapa berhenti? Perjalanan kita masih jauh!" Daryo sedikit meninggikan intonasinya.
Sopir di depannya hanya memalingkan wajahnya pada Daryo. Menunjukkan ekspresi sedingin es yang cukup menakutkan.
"Kejutan!" teriaknya dengan nada penuh kegembiraan.
Ekspresi tadi hilang entah ke mana. Terganti dengan raut wajah sehangat mentari pagi.
Wajah Daryo dan Mira memucat seketika. Jantung mereka seolah dibuat berhenti untuk beberapa saat. Di detik berikutnya, semua berganti dengan rasa takut tiada dua. Mira langsung mendekap anaknya dengan erat. Matanya mulai berkaca-kaca. Apa Daryo mengkhianatinya?
Sementara sopir di depan yang ternyata sejak dari kedai sudah diambil alih oleh Darren, hanya tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kedua targetnya itu. Sungguh. Dia sangat menyukai raut penuh ketakutan yang mereka tunjukkan.