Chereads / Before The Dawn / Chapter 27 - Bab 26: Nasib Sial

Chapter 27 - Bab 26: Nasib Sial

Kendaraan beroda empat yang membawa Mira dan Ilmi, melaju meninggalkan area Rusun Kembang Wangi. Mereka melesat begitu cepat. Bahkan terkesan ugal-ugalan.

Kino yang terus berteriak meminta untuk berhenti, tidak mereka pedulikan. Ralat, tidak akan pernah dipedulikan sama sekali.

Di dalam mobil yang melaju, anak perempuan yang baru menginjak kelas satu sekolah dasar itu terus berontak di pangkuan pria berbadan paling besar. Tangan mungilnya memukul dada si pria dengan sekuat tenaga.

Begitu juga dengan mulutnya yang terus meracau minta dikembalikan pada sang ibu. Tangis anak itu terdengar begitu menyayat hati, dengan air mata uang sudah menganak sungai dengan deras.

Kondisi Mira pun tidak jauh berbeda. Air mata sudah menganak sungai di pipinya. Tangan wanita itu berulang kali terulur. Berusaha menggapai anaknya dan menenangkannya.

Sungguh. Jika orang normal yang melihat kondisi Ilmi, hatinya pasti tersentuh. Ikut merasa pedih mendengar ratapan anak sekecil itu. Pun rasa tidak tega akan menyeruak di hati yang paling dalam, dan berusaha melindunginya yang masih rapuh itu.

Namun sayang, hati para pria dalam kendaraan itu sudah mati semua. Sudah menjadi batu. Tidak ada satu pun yang berusaha menenangkannya dengan cara baik. Justru malah mengumpat dan membentak. Meminta Ilmi untuk tenang.

Anak itu tidak mau menurut. Dia justru menangis bertambah kencang. Rasa takut dalam hatinya semakin menjadi-jadi.

Begitu juga dengan kekesalan si pria berbadan besar. Dia sudah mulai naik pitam. Tanpa perasaan, tangan besarnya membekap mulut Ilmi. Membuat anak kecil itu semakin memberontak.

Mira yang melihat itu, ikut memberontak dan memohon-mohon agar Ilmi duduk di pangkuannya saja. Seorang ibu selalu bisa menenangkan anaknya, bukan?

"Diam atau kubunuh kalian!" ucap pria itu dengan bengis.

Dia mendekap Ilmi dengan erat. Bahkan terkesan menjepit tubuh kurus dan rapuh itu. Air mata Mira semakin bercucuran. Tidak habis pikir. Kenapa harus ada manusia tanpa perasaan seperti mereka?

"Bunuh saja, Bos! Berisik. Bikin kepala makin pusing saja," timpal pria yang mengemudikan mobil. Yang lainnya menangguk setuju.

Mendengar kalimat ancaman itu, nyali keduanya ciut seketika. Ilmi tidak berontak lagi. Lebih tepatnya tidak bisa. Meski begitu, air matanya enggan berhenti untuk mengalir.

Begitu juga dengan Mira. Dia hanya bisa membekap mulutnya sendiri. Meredam isak tangis yang hendak keluar.

Kendaraan yang membawa mereka sampai di tempat tujuan. Sebuah bangunan tua tiga lantai, dengan halaman yang cukup luas. Dilihat dari luar, bangunan itu seolah sudah tidak layak huni lagi.

Di lantai satu, tembok-tembok sudah berwarna hitam akibat kebakaran yang pernah menimpa gedung ini. Pun beberapa perabot sudah tidak utuh lagi. Berserakan di sembarang tempat. Begitu juga dengan lantainya yang penuh debu. Tidak terawat.

Beralih ke lantai dua. Kondisinya sedikit lebih baik. Hanya ada beberapa bagian yang menghitam. Meski begitu, lantainya sama saja berdebu.

Untuk lantai tiga, tidak ada masalah sama sekali. Bagian ini sangat diperhatikan kerapiannya. Tentu saja. Meski terlihat tidak layak huni, tapi tidak untuk para anak buah Guntur Adithama—pemilik Guta Corporation.

Gedung tiga lantai ini adalah markas mereka. Tempat bernaung untuk sebagian anggota yang tidak memiliki rumah. Tempat menyekap target, sekaligus tempat eksekusi.

Dulunya, gedung ini adalah sebuah motel yang cukup terkenal. Namun karena terjadi sebuah kebakaran di lantai satu, yang menewaskan lebih dari sepuluh orang staf maupun tamu, maka tempat ini ditutup. Dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Sampai pada akhirnya Guntur Adithama datang dan membeli gedung serta tanahnya. Pada pemilik, dia mengatakan ingin membangun gedung untuk cabang perusahaan baru.

Pemilik area ini menyetujui hal tersebut tanpa berpikir panjang. Baginya, ini adalah sebuah keuntungan tak terduga. Karena memang jarang ada yang mau membeli gedung tua bekas kecelakaan.

Berbanding terbalik dengan alasan yang Guntur Adithama pakai. Kenyataannya gedung ini justru dipakai untuk markas para anak buahnya. Tidak ada yang curiga mengenai hal ini tentu saja. Karena mereka bisa menutupinya dengan rapat.

Berdalih lokasi yang kurang strategis, sudah cukup membuat orang percaya. Meski tidak sedikit juga yang mempertanyakan, kenapa dia tidak mempertimbangkan hal itu dari awal.

Sedikit informasi tambahan. Arthur dan Darren, satu pun tidak ada yang mereka kenali di kelompok ini. Itu karena, para petinggi di Black Alpha memiliki pasukan mereka masing-masing.

Cara untuk menjadi anggota pun, tidak sama dengan cara untuk menjadi anggota di kelompok pusat. Dalam hal ini, kedua pria itu hanya tahu mengenai kelompok pusat saja. Itu bisa dibilang sebuah kecerobohan yang tidak termaafkan.

Kembali pada Ilmi. Anak kecil itu kini sudah ditempatkan di salah satu kamar di lantai tiga bersama ibunya. Tangisnya belum juga reda. Hanya saja tidak separah tadi. Gadis kecil itu meringkuk di pelukan Mira. Sesekali menatap ruangan yang dia tempati dengan mata bulat berlinang air mata.

Ruangan itu cukup rapi, dengan satu kasur di pojok dekat tembok. Tidak lupa, satu meja dan kursi terletak di sebelahnya. Di lihat dari kondisi ruangan, sepertinya ada seseorang yang menghuni kamar ini.

Dari kaca jendela yang terletak tidak jauh dari kasur, Ilmi dapat melihat beberapa orang berbaju hitam berbaris di halaman gedung. Seolah tengah menunggu kedatangan seseorang.

Benar saja. Tidak berselang lama sebuah mobil Audi keluaran paling baru memasuki area itu.

Si pria berbadan paling besar, sebut saja namanya Rudi. Berjalan menghampiri mobil dan membuka pintu di bagian penumpang. Seorang pria dengan jas hitam yang tampak mahal keluar dari kendaraan itu.

Dia memperhatikan semua anak buahnya untuk sesaat. Tanpa melepas kaca mata hitam yang dikenakan. Lalu, berjalan memasuki area gedung. Diikuti oleh Rudi dan yang lainnya.

Pria itu tidak lain adalah Guntur Adithama. Pemilik Guta Corporation sekaligus orang yang meminta Rudi untuk mengejar Daryo. Tidak seperti biasanya dia turun tangan seperti ini. Tampaknya apa yang diperbuat Daryo sudah membuatnya naik pitam. Sampai ingin menghabisinya sendiri.

Kedua kaki Guntur Adithama menapaki setiap anak tangga menuju lantai tiga. Sesekali dia berhenti dengan napas sedikit memburu. Wajar saja, umurnya sudah tidak muda lagi.

Jika dilihat dari kerutan di wajahnya, serta uban yang tumbuh di kepalanya. Umur pria itu ditaksir pada angka enam puluh lima. Meski begitu, kedua kakinya masih kuat untuk menaiki anak tangga sebanyak itu.

Sampai di tempat yang dituju, Rudi langsung membuka pintu kamar dan mempersilahkan Tuan-nya itu untuk masuk. Tidak membuang waktu, pengusaha kaya itu langsung memasuki kamar.

Iris matanya yang sudah tidak memakai kaca mata, menatap Ilmi dan Mira dengan penuh tanya. Tidak mungkin mereka yang membuat artikel penghinaan untuk perusahaannya, 'kan?

"Rudi, bisa kau jelaskan apa yang kulihat ini?!" perintahnya penuh penekanan.

Rudi langsung menghampiri. Dia menunduk dengan ekspresi gugup. Apa yang dia bawa, tidak sesuai dengan yang diinginkan Guntur Adithama. Itu bisa menjadi masalah jika dia tidak pandai menjelaskan.

"Ketika kami hendak membawa orang bernama Daryo itu, dia sedang bersama dua orang pemuda dan kedua orang ini."

Rudi mulai menerangkan apa yang telah terjadi. Mulai dari pertemuan hingga perkelahian yang tidak bisa dihindari. Sedikit dia membumbuinya dengan kebohongan. Agar tidak terlihat bodoh dan lemah di mata Guntur Adithama.

"Daryo berhasil kabur. Dan saya rasa membawa mereka tidak ada salahnya. Kami bisa menggunakannya untuk memancing agar Daryo mau menyerahkan diri." Rudi mengakhiri ceritanya dengan bernapas lega.

"Kenapa kau berpikir dia mau menyerahkan diri demi mereka berdua?" Guntur Adithama bertanya dengan penuh keraguan. Pun terdapat sedikit amarah dalam nada bicaranya. Dia belum sepenuhnya paham ke arah mana rencana yang Rudi buat.

"Jika saya tidak salah ingat, wanita ini adalah istri Trisna, dan itu adalah anaknya. Dari info yang saya dapat, Daryo dan Trisna berteman baik. Dengan hubungan itu, tidak mungkin jika dia tega membiarkan anak dan istri temannya diculik seperti ini." Rudi menerangkan dengan penuh rasa percaya diri. Seolah Daryo akan mengikuti permainannya itu.

"Seharusnya kau fokus pada Daryo saja! Jika dia kabur, kejar langsung!" Guntur Adithama menggeram kesal.

"I-itu karena ... kami panik karena dua orang yang tiba-tiba datang dan salah satunya melepaskan tembakan. Tapi Anda tenang saja, kami akan langsung mencarinya. Wanita itu adalah temannya, dia pasti tahu ke mana Daryo pergi bersembunyi."

Guntur Adithama tampak berpikir. Tidak ada yang salah dengan cara Rudi, tapi apa itu tidak terkesan berbelit? Ah, persetan dengan itu. Dia tidak mau buang waktu membuat rencana untuk mereka. Dia hanya ingin Daryo. Terserah cara membawanya seperti apa.

"Bos?"

Tiba-tiba salah satu dari anak buahnya bertanya. Pria itu tidak lain adalah yang telah menghajar Darren sampai dia tidak bisa berkutik lagi. Semua mata langsung beralih padanya. Menunggu apa yang akan dia katakan.

"Bagaimana jika Daryo melapor pada polisi? Bukankah dua orang yang datang tadi itu adalah anggota kepolisian?" tanya pria tadi melanjutkan pertanyaannya.

Hal itu sukses membuat Rudi menegang. Benar. Kenapa hanya satu orang yang menyadari kejanggalan ini? Padahal di mobil yang ditumpangi oleh dua orang tadi, jelas terdapat logo Jatanras di salah satu sisinya. Ketika panik dan kehilangan arah, bukankah lebih memungkinkan meminta pertolongan pada pihak kepolisian?

Semua terdiam. Guntur Adithama menatap setiap gerak-gerik Rudi dengan tajam. Tangannya sudah mengepal siap memberinya bogem mentah. Namun, urung dia lakukan.

Pria tua itu berbalik pada Ilmi dan Mira. Memperhatikan anak kecil yang masih menangis tanpa suara. Kedua tangannya mendekap tubuh Mira dengan erat. Wajahnya dia sembunyikan di pelukan sang ibu.

Dorr!!

Tiba-tiba suara tembakan sukses membuat orang-orang di sana berjongkok dengan tangan melindungi kepala. Namun tidak untuk pria yang telah menghajar Darren. Dia justru sudah tumbang di lantai, dengan lubang di kepala yang mulai mengeluarkan darah.

Melihat pemandangan horor itu, semua mata langsung mencari siapa pelakunya. Tatapan mereka mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Nihil. Tidak ada siapa-siapa.

Dorr! Dorr! Dorr!

Satu per satu dari orang-orang berbaju hitam itu tumbang ke lantai. Dengan kondisi yang tidak kalah mengenaskan dari pria tadi, yang bisa dibilang menjadi korban pertama.

Iris kelam yang di sekitarnya terdapat keriput milik Guntur Adithama mengedar ke seluruh ruangan. Apa yang terjadi? Rudi yang belum terkena tembakan, bergegas untuk membawanya ke tempat aman. Namun, seorang gadis lebih dahulu menghadangnya di ambang pintu.

"Dari pada mencari tempat persembunyian, sebaiknya kau lari!" ucap gadis itu.

Tatapannya tertuju pada Guntur Adithama. Pun di tangannya memegang sebuah senjata api jenis revolver. Ah, ternyata dia pelaku penembakan ini. Menembak dari ambang pintu, lalu keluar lagi untuk bersembunyi. Cukup cerdas juga.

"Kau! Kenapa kau melakukan ini pada anak buahku?!" Tangan Guntur Adithama mengepal, dengan rahang mengeras. Menahan amarah. Dia tahu siapa gadis yang ada di hadapannya ini. Mereka baru bertemu satu kali di pertemuan minggu lalu.

"Daripada bertanya-tanya seperti itu, sebaiknya kau lari! Karena aku rasa polisi akan segera mengendus tempat ini."

Gadis itu kembali mengarahkan revolver miliknya pada Rudi. Sukses membuat pria itu gemetar ketakutan.

"Jangan lakukan itu, Cia!"

Gadis Rusia yang merupakan salah satu anggota Black Alpha, yang diketuai oleh anggota termuda di kelompok itu. Hanya mengulas sebuah seringai. Prinsip Black Alpha memang seperti itu. Jika ada anggota mereka yang berhadapan dengan polisi, atau dicurigai oleh pihak penegak hukum itu. Maka tanpa rasa bersalah akan dieksekusi.

Mereka mati lebih baik. Daripada tertangkap lalu membocorkan keberadaan serta mengancam keselamatan kelompok. Kejam memang, tapi mau bagaimana lagi? Setiap kelompok memiliki cara masing-masing untuk melindungi diri dari penegak hukum. Dan begitulah cara yang Black Alpha lakukan.

Rudi sudah pasrah dengan keputusan yang akan gadis itu ambil. Ditembak di sini atau di tempat lain, tidak akan ada bedanya. Semua memang akan berakhir dengan kematian.

Alicia Dmitrovka, gadis dari Rusia itu mengurungkan niatnya untuk menghabisi Rudi. Dia justru memerintahkan keduanya untuk bergegas meninggalkan lokasi.

Rudi berjalan ke luar gedung bersama Guntur Adithama. Dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Itu adalah kejadian yang langka dan patut disyukuri. itu pun jika dia tahu bagaimana caranya bersyukur.

Begitu pun dengan gadis yang kerap disapa Cia itu. Dia mengikuti Guntur Adithama dari belakang. Membawa Ilmi di pangkuannya dan menarik lengan Mira untuk ikut bersama.

Betapa sial nasib petinggi Black Alpha yang satu ini. Sudah misi yang diemban anak buahnya gagal total. Sekarang dia harus kehilangan mereka di tangan anggota kelompoknya sendiri.

Begitu juga dengan dua polisi yang anak buahnya maksud. Kemungkinan besar mereka tengah menyelidiki kasus penculikan ini. Entah kesialan apa lagi yang akan menghampirinya di depan sana, yang jelas perasaannya sudah dibuat kalang-kabut. Dia harus segera menyusun rencana.