Anak buah Guntur Adithama menyebutnya dengan sebutan tempat eksekusi. Ruangan yang tidak bisa dikatakan sempit dengan penerangan yang sangat terang itu, dipenuhi oleh plastik yang digelar di lantai. Bercak merah menghiasi hampir di setiap sudut. Dari yang sudah mengering sampai masih terlihat baru. Menimbulkan bau tidak sedap yang sangat menyengat.
Di pojok paling kiri, beberapa alat terlihat disimpan di atas meja. Palu, kapak, pisau daging, sampai gergaji ada di sana. Rantai dan tali berbahan kulit, tergeletak begitu saja di bawahnya. Semua benda itu tidak luput dari bercak darah. Pun beberapa jarum suntik dan botol berukuran kecil yang sudah kosong, berserakan di sudut ruangan.
Di sudut ruangan lain, terdapat sebuah brankar yang biasa tersedia di rumah sakit. Alat bedah kedokteran juga tertata rapi pada meja berukuran sedang. Tepat di sebelah brankar itu.
Kondisi di area ini sangat berbanding terbalik dengan meja pertama. Di mana terlihat cukup bersih dengan hanya sedikit bercak yang tertinggal. Entah jarang dipergunakan, atau memang selalu dibersihkan secara rutin. Yang jelas brankar itu cukup mencolok dan mencurigakan.
Tim forensik yang berada di dalam ruangan itu, hampir semua menggelengkan kepala menyaksikan apa yang ada. Mereka mengambil setiap sampel darah yang ditemukan. Juga menganalisis seisi ruangan. Mencari hal yang lebih menarik dari itu tentu saja. Sedetail mungkin.
Sesampainya di lokasi, Kyra dan Kino langsung menunjukkannya pada Kanit Iva dan AKBP Irwan. Reaksi keduanya tidak jauh berbeda dengan Duo K. Mulut AKBP Irwan bahkan sampai dibuat menganga. Tidak pernah terbayang olehnya, di basemen gedung terbengkalai ada suatu aktivitas yang sangat mencengangkan.
Sementara Kanit Iva, dia tidak banyak menunjukkan reaksi apa pun. Memang, raut wajahnya sempat menunjukkan keterkejutan yang kentara, tapi itu tidak berlangsung lama. Dia justru langsung menghubungi tim forensik untuk melakukan pemeriksaan.
Apa yang Kanit Iva pikirkan, hampir sama dengan ketiga orang lainnya. Bercak merah yang tertinggal hampir di seluruh penjuru ruangan, antara darah manusia atau milik binatang. Mereka sangat ingin segera memastikan hal tersebut.
Bagaimanapun juga, jika memang darah manusia maka itu akan menjadi kasus yang sangat besar untuk ditangani. Meski tidak dipungkiri, darah hewan sekalipun akan tetap mereka selidiki.
Sedikit lama bergumul dengan pikirannya sendiri, akhirnya Kino memutuskan untuk memasuki ruangan itu lagi. Setelah mendapat izin dari Kanit Iva tentu saja. Penyidik itu mulanya hanya memperhatikan kerja tim forensik. Bagaimana mereka menyapukan kuas pada beberapa alat bedah. Serta seberapa jelinya mereka mencari petunjuk.
Jujur saja. Kino sangat kagum pada mereka. Pekerjaan yang sangat berharga dan juga keren. Bayangkan saja. Tanpa bantuan mereka, suatu kasus akan sangat sulit untuk dipecahkan. Terutama jika itu adalah sebuah kasus pembunuhan.
Selagi Kino dibuat kagum dengan kerja tim forensik, Kyra serta Kanit Iva dan AKBP Irwan sudah menapaki anak tangga menuju lantai tiga. Penyidik yang baru berusia dua puluh empat tahun itu terus berceloteh. Menerangkan penemuan dirinya dan Kino yang sangat mencengangkan. Dia juga mengatakan mengenai beberapa mayat di lantai yang tengah dituju.
Kanit Iva menyimak. AKBP Irwan pun sama. Hanya saja, dia cenderung membagi fokus pada kondisi setiap lantai yang sudah dilewati. Suasana malam dan pencahayaan yang hanya berasal dari lampu senter, sedikit menyulitkannya untuk mengidentifikasi bangunan tersebut.
"Aku rasa tempat ini telah di serang sebelum kami datang," ucap Kyra.
Kini mereka sudah sampai tempat yang dituju. Kyra menyorotkan lampu senternya ke depan sana. Pemandangan yang tadi sempat dia hindari, mau tidak mau tersaji lagi tanpa sensor.
Embusan napas terdengar keluar dari mulut Kanit Iva. Dia berjalan memasuki kamar, memperhatikan lebih detail lagi.
"Kemungkinan besar gedung ini dijadikan markas oleh suatu kelompok kejahatan," gumam AKBP Irwan. Lampu senternya masih menyorot ke sembarang arah.
Kyra mengangguk antusias. "Saya juga berpikir demikian. Karena dari hasil pemeriksaan yang kami lakukan, hampir setiap kamar yang ada di lantai ini bersih dan terawat."
"Kalau begitu, kemungkinan besar ada sidik jari para pelaku penculikan yang tertinggal di setiap atau di salah satu kamar ini." Kanit Iva berucap dengan mantap.
AKBP Irwan mengangguk pasti. Sangat setuju dengan pemikiran Kanit Iva. Kemungkinan selalu ada. Meski sebesar biji sawi sekalipun, pasti akan mengarah pada pemecahan kasus.
Selesai dengan urusan mereka di lantai tiga, mereka bergegas kembali ke lantai paling bawah. Memeriksa perkembangan dari pemeriksaan yang tengah dilakukan oleh tim forensik. Sekalian ingin meminta bantuan lagi untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
Kembali pada Kino. Pria dengan wajah yang sudah terlihat lelah itu, tengah berada di ruangan yang sama bersama tim forensik. Tidak ingin mengganggu atau menghambat, dia berjalan ke sisi lain dari ruangan itu.
Tepat di pojok dengan cat yang sudah mengelupas, dia menemukan sesuatu yang cukup menarik perhatiannya. Area itu terasa dingin dan lumayan membuat bulu kuduknya meremang. Meski begitu, pria itu mengabaikan perasaan yang selalu mengarah pada hal di luar nalar itu.
Kedua kaki jenjangnya hendak kembali ke luar ruangan, tapi sesuatu mencegahnya. Ekor matanya menangkap sebuah celah tepat di sisi kanan dari cat tembok yang terkelupas itu. Sebuah celah sepanjang lima senti meter dan seukuran lidi.
Penasaran. Pria itu sempat mendekatkan matanya untuk mengintip. Meski tidak ada yang bisa dia lihat, tapi udara dingin seketika menerpa matanya kirinya.
Rasa ingin tahu semakin menggebu di dalam jiwa pria itu. Dia mundur beberapa langkah. Kemudian, tangannya mengepal dan mengetuk area tersebut. Bergantian dengan tembok di sekitarnya. Telinganya sedikit lebih dekat untuk memastikan bunyi yang dia dengan tidak keliru.
Kino terus melakukan hal tersebut, sampai seorang petugas forensik yang sedari tadi mengawasinya datang menghampiri.
"Menemukan sesuatu?" tanya orang itu.
Penyidik itu sedikit terperanjat dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. Dia terlalu fokus sampai tidak menyadari ada yang berjalan ke arahnya.
"Aku menemukan sebuah celah di bagian ini." Kino menunjukkan penemuannya pada orang itu, "aku rasa ada ruangan lain di balik tembok ini. Ah tidak, sepertinya ini kayu."
Lagi. Kino mengetuk area itu. Suara yang dihasilkan memang sedikit berbeda dengan tembok di sekitarnya. Berongga. Sangat berbanding terbalik dengan suara tembok yang padat.
Hal tersebut tentu saja membuat orang dari forensik itu tertarik. Dia ikut mengetuk. Tangan yang satunya sedikit mengorek celah yang Kino tunjukkan. Kendati demikian, tidak ada perubahan pada celah kecil itu.
Dia pun berinisiatif untuk meraba area itu. Mengikuti ke mana celah itu berakhir. Benar saja, dia merasa ada garis samar di balik cat. Membentang lurus ke atas dari celah tadi.
"Anda benar. Bagian ini terbuat dari kayu."
Pria dengan baju khusus itu mengalihkan atensinya pada lantai tempat kakinya berpijak. Ada sesuatu di sana. Bercak yang sudah mengering dan berbau besi. Tidak salah lagi. Ada sesuatu yang lain dibalik tembok ini. Dia lantas bangkit dan menatap Kino. Lekat.
"Apa aku boleh mendobraknya?" tanya penyidik itu sedikit ragu.
Tepat setelah mendapat persetujuan, Kino mundur beberapa langkah. Mengambil ancang-ancang dan berlari menerjang sasarannya.
Brakk!
Bunyi sesuatu yang hancur mengalihkan perhatian semua petugas yang ada. Termasuk Kyra, Kanit Iva serta AKBP Irwan yang baru kembali dari lantai tiga. Atensi mereka semua terarah pada Kino yang tengah meringis menahan sakit di bahu kirinya.
Bagaimana tidak? Meski tembok yang mereka berdua kira sebagai pintu kayu itu, nyatanya memang hanya dua susun tripleks. Benda yang ternyata digunakan untuk menutupi keberadaan sebuah pintu besi itu, hancur menjadi beberapa keping.
Beberapa orang bergegas menghampiri keduanya. Terlihat orang dari forensik tengah membantu Kino menjauh dari pintu besi itu. Kemudian, dia membongkar tripleks hingga pintu besi itu terlihat seutuhnya.
Pengelola tempat ini cukup cerdik juga. Membuat lokasi pintu yang sedikit menjorok ke dalam, dengan begitu sangat mudah untuk ditutupi. Menggunakan batu bata sekalipun. Bahkan hal itu akan lebih sempurna lagi, daripada dengan tripleks yang mudah sekali dihancurkan. Pun memiliki bunyi berbeda.
Namun tampaknya, mereka sengaja agar dapat membongkarnya kembali tanpa susah payah. Hal tersebut menimbulkan berbagai asumsi di setiap kepala yang berbeda. Apa isi di balik pintu besi itu?
"Kau ingin membuat bahumu remuk, hah?" Kyra menghampiri Kino. Tangannya sudah terangkat untuk memukul kepala rekannya itu.
Kino sudah bersiap untuk menghindar. Namun, Kyra sudah lebih dahulu mengurungkan niatnya itu. Atensinya terarah pada Kanit Iva dan AKBP Irwan yang hendak membuka pintu besi.
Dibantu sarung tangan dari petugas forensik, AKBP Irwan memegang gagang pintu besi itu. Kemudian dengan perlahan-lahan dia mendorongnya. Udara dingin langsung berembus dari dalam ruangan. Diikuti dengan sedikit bau kurang sedap.
Pintu besi itu terbuka lebar. Menampilkan sebuah ruangan pendingin dengan pemandangan horor yang tidak bisa mereka ungkapkan dalam kata-kata. Semua yang melihat hanya bisa terdiam membeku dengan mata membulat lebar.
Kino sendiri yang sudah tahu betul watak Kyra, dia langsung membekap mulut gadis itu. Meredam teriakan yang sudah pasti keluar dari mulutnya. Benar saja. Teriakannya tertahan di sana. Mata dengan bulu lentik itu membola. Lalu mulai berkaca-kaca.
Sungguh. Selama dia bertugas menjadi anggota polisi, dengan berbagai kasus yang pernah ditangani. Belum pernah dia menyaksikan sesuatu yang lebih mengerikan dari ini. Bahkan terbayang di benaknya pun tidak pernah. Bahkan bagi AKBP Irwan yang pada dasarnya sudah menjadi senior sekalipun.
"Brengsek!" AKBP Irwan terdengar mengumpat. Wajar saja. Dia hanya manusia biasa. Bukan orang suci dengan tutur kata selembut sutera.
Kanit Iva adalah orang pertama yang melangkah memasuki ruangan bersuhu dingin itu. Tanpa bisa dia tahan, air mata mengalir membasahi pipi. Tangannya mengepal, tapi tututnya mendadak lemas. Ada amarah yang tidak bisa dia lampiaskan begitu saja.
Sejauh mata memandang. Hampir di setiap sudut ruangan pendingin itu, hanya ada mayat manusia dari berbagai usia. Ada yang tergeletak tak tentu arah. Ada pula yang ditumpuk seperti karung beras.
Tubuh-tubuh tak bernyawa itu telah membeku. Dililit menggunakan plastik bening, tanpa sehelai benang menempel di sana. Sungguh pemandangan yang menyayat hati, bagi siapa pun yang memilikinya.