Satu dari belasan mayat yang ditemukan di gedung terbengkalai milik Guntur Adithama, telah berhasil diidentifikasi. Korban itu tidak lain adalah wanita yang bajunya Kino temukan di belakang gedung. Dengan begini, mereka tinggal melakukan penyidikan terhadap dalang di balik kasus besar ini.
Tim forensik pun melakukan tugas mereka semaksimal mungkin. Satu per satu korban tengah dicocokkan dengan data orang hilang yang ada. Mereka memulainya dari laporan yang berasal dari Rusun Kembang Wangi terlebih dahulu. Mengingat, korban pertama memang berasal dari sana.
Kemudian, jika tidak kunjung menemukan yang cocok, mereka akan menyimpannya lagi. Beralih pada mayat selanjutnya. Dan begitu seterusnya.
Suasana di kantor Polres Metro pun tidak jauh berbeda. Unit yang menangani kasus ini dibuat kewalahan. Meski mereka telah mencurigai Guntur Adithama, tapi bukti yang diperlukan masih dirasa kurang.
Jika untuk memanggil dan meminta keterangan darinya selaku pemilik gedung, tentu mereka bisa. Hanya saja masalahnya adalah, apa orang itu akan bersedia memenuhi panggilan? Atau justru mangkir dan menyelamatkan nama baiknya?
Apa pun alasannya, orang itu harus tetap bersedia untuk hadir. Keterangannya sangat dibutuhkan di sini. Pun jika dia menolak untuk hadir, Unit II tidak akan berhenti sampai di sana.
Saat ini pun Kyra tengah mencari lebih banyak tentang Rusun Kembang Wangi. Kapan tempat itu dibangun. Pun julukan yang disematkan pada rumah susun itu sangat menarik perhatiannya. Dengan begitu, dia membuka beberapa arsip lama tentang penangkapan pelaku kriminal di tempat itu.
Tidak disangka sebelumnya. Banyak sekali yang dia dapatkan. Seperti halnya Trisna yang diduga pelaku pembunuhan keluarga Indra Wijaya. Dia tinggal di rusun itu juga.
"Bukankah kita seharusnya membuat laporan mengenai penculikan Mira dan anaknya?"
Tiba-tiba Kino mendatanginya dengan raut wajah murung. Di tangan pria itu terdapat sebuah kertas. Entah apa isinya.
"Benar juga." Kyra menimpali.
Disibukkan oleh kasus penjualan organ manusia, membuatnya hampir lupa jika awal mula kasus ini adalah sebuah penculikan. Mira dan anaknya diculik tepat di depan mata mereka. Lalu pengejaran berakhir di gedung terbengkalai. Fokus penyidikan seketika beralih pada gedung itu.
"Jika pelaku di balik sindikat penjualan organ ini memang Guntur Adithama, aku rasa penculikan Mira pun ada hubungannya dengan bisnis itu." Kino berucap dengan sedikit ragu.
"Karena dia istri dari Trisna. Kemungkinan besar dia tahu bisnis ilegal itu?" Kyra menimpali. Ada nada tidak yakin juga dari ucapannya itu.
Keduanya hanya saling tatap. Tidak ada yang mau mengiyakan asumsi yang mereka buat sendiri. Takut salah memang wajar, tapi jika memang salah dan tidak menyadarinya, itu akan sangat fatal.
"Selain orang hilang, aku mendapati lumayan banyak pelaku kriminal yang ditangkap di rumah susun itu," ucap Kyra. Fokusnya kembali pada komputer.
"Dan lagi, dari artikel yang sempat beredar pula, mengatakan jika Guntur Adithama membiarkan beberapa pelaku kriminal untuk bekerja di perusahaannya. Terutama di bagian sopir taksi." Kyra melanjutkan.
Kino hanya menyimak kali ini. Meski begitu, dia menyimpan semua informasi yang Kyra beberkan di dalam otaknya. Dia terus membiarkan gadis itu berceloteh, tanpa mau menyela. Sesekali mengangguk menyetujui pendapat rekannya itu.
"Apa menurutmu hal ini berhubungan satu sama lain?"
Pada akhirnya Kyra melempar pertanyaan. Dengan senang hati Kino menjawabnya. Pun memaparkan dugaan yang ada di dalam kepalanya.
"Tentu saja."
Fakta bahwa tidak sedikit pelaku kriminal yang tinggal di rusun itu. Pun para sopir taksi yang pernah melakukan kejahatan. Keduanya berada di naungan Guntur Adithama.
Orang-orang yang hilang ketika menyewa tempat tinggal di rusun itu, bisa saja sudah menjadi target utama. Penghuni lain di sana mengawasinya. Lalu, rekannya yang bertugas menjadi sopir taksi membawa mereka ke gedung terbengkalai itu untuk dieksekusi.
Bisa saja seperti itu, 'kan? Sebuah kerja sama yang lumayan bagus. Akan lebih sempurna lagi jika tidak ada yang ceroboh.
Ketika keduanya sedang asyik berdiskusi, Kanit Iva memasuki ruangan. Penyidik senior itu baru saja kembali dari ruangan AKBP Irwan. Menanyakan serta meminta izin untuk melakukan beberapa tahap yang akan dia lakukan pada proses penyelidikan ini.
"Aku sudah membuat surat panggilan untuk Guntur Adithama. Dijadwalkan dia akan memenuhi panggilan esok hari. Jadi, siapkan diri kalian."
Kanit Iva duduk di kursinya. Kertas yang dia bawa diletakkan begitu saja di atas meja. Sementara sebelah tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut.
Berhadapan dengan pengusaha sekaya Guntur Adithama, akan cukup menguras emosi. Mereka biasanya sangat pintar berkelit. Kekuasaan serta kekayaan yang dimiliki, tidak jarang dipergunakan dengan tidak semestinya. Oleh karena itu, pihaknya harus mengumpulkan bukti sebanyak dan seakurat mungkin. Sebelum menetapkan orang itu sebagai tersangka.
Tidak terasa waktu berlalu begitu saja. Jarum pendek pada jam di dinding sudah menunjuk pada angka satu. Namun, kesibukan Unit II sama sekali tidak mereda.
Beberapa laporan baru mereka dapatkan. Entah itu dari tim forensik yang berhasil mengidentifikasi korban lain. Atau laporan mengenai pelacakan Mira yang dilakukan oleh Asep.
Tinggalkan sejenak kesibukan di ruangan Unit II. Kita beralih pada suasana di area parkir yang cukup ramai. Mobil patroli beserta mobil milik Unit I terlihat baru memasuki area itu. Mereka memarkirkannya dengan sejajar.
Lalu, satu per satu petugas keluar. Pun beberapa orang dengan baju yang sudah terlepas dari tubuh bagian atas, terlihat berjalan dengan kepala menunduk. Tangan mereka semua diborgol, dan terdapat dua orang yang duduk di kursi roda. Perban melilit di kedua kakinya.
Mereka semua diketahui sebagai komplotan perampok bersenjata. Telah beraksi di beberapa kawasan dan sangat meresahkan. Bagaimana tidak? Dalam setiap aksi yang dilakukan, selalu saja ada korban yang jatuh. Mulai dari mendapat luka ringan, sampai ada yang meregang nyawa.
"Kita panen lagi hari ini." Bian berseloroh.
Arvin menimpali kawannya itu dengan tawa ringan. Panen dia bilang. Sudah seperti para petani saja, tapi jika dipikir lagi, ada benarnya juga ucapan Bian. Menangkap penjahat yang berkelompok seperti ini, memang sudah seperti panen.
Tidak berapa lama mereka berdiam di area parkir. Arvin dan Bian ikut menggiring hasil panennya menuju balik jeruji besi. Mereka akan diproses lagi tentu saja. Meminta keterangan. Motif. Pun sudah berapa lama aksi mereka berlangsung. Semua itu sangatlah penting.
Ketika hendak memasuki ruangannya, ponsel Arvin tiba-tiba berbunyi. Sontak saja, kedua penyidik itu menghentikan langkah mereka.
Arvin merogoh saku jaketnya. Mengambil benda pipih canggih miliknya. Membuka layar dan mendapati satu panggilan masuk.
Tautan alis Arvin muncul seketika. Dia tidak mengenal nomor yang tertera di sana. Akan tetapi, sebelum panggilan itu berakhir Arvin mengangkatnya. Penasaran siapa yang menelepon di malam selarut ini.
"Kau penasaran kenapa aku tidak menghubungimu pada kasus pertama? Itu karena aku memang tidak menyaksikannya."
Tautan di kening Arvin semakin terlihat jelas. Apa maksud dari ucapan si penelepon? Sungguh. Sepertinya otak penyidik itu sedang berjalan lambat.
Belum sempat dia membuka mulutnya untuk bertanya, sambungan telepon sudah terputus. Menyisakan Arvin dengan tanda tanya di kepalanya.
"Siapa?" tanya Bian.
"Tidak tahu."
Arvin masih sibuk dengan pikirannya. Sampai pada akhirnya dia menyadari apa maksud dari ucapan penelepon barusan. Pria itu kembali mengecek ponselnya dengan terburu-buru.
Dua Februari. Tanggal yang tertera di layar. Dan pria yang menghubunginya menyinggung kasus pertama. Itu berarti mengenai korban pembunuhan pada tanggal dua Januari lalu. Dewi Intan Wijaya.
"Hey, kau baik-baik saja?"
Bian menepuk bahu Arvin. Gelagat rekannya itu cukup aneh. Hingga membuat dia sedikit khawatir.
"Korban keempat." Arvin bergumam dengan lirih.
"Apanya?"
Bian yang mendengar gumaman itu dibuat semakin tidak paham. Ada yang salah dengan Arvin. Setidaknya dia berpikir demikian.
"Dia menghubungiku lagi. Pria misterius itu."
Mulut Bian menganga seketika. Otak pria itu berjalan lebih cepat dari biasanya. Tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia terkejut dan hanya bisa mematung.
Sementara itu, ekspresi panik terlihat jelas di wajah Arvin. Dia tidak tenang saat ini. Pria misterius itu menghubunginya lagi. Korban keempat telah jatuh. Kasus bulan lalu kembali terulang.
Itu berarti dugaannya memang benar. Trisna bukanlah pelaku dari kasus pembunuhan keluarga Indra Wijaya. Ada orang lain.
Namun, pertanyaan yang terpenting saat ini bukanlah mengenai pelaku. Melainkan siapa korban keempat itu? Dan di mana lokasi pembunuhan itu tengah berlangsung?
Arvin mengacak rambutnya frustrasi. Dia mencoba menghubungi nomor itu kembali, tapi nihil. Nomor yang dituju tidak dapat dihubungi.