Chereads / Before The Dawn / Chapter 17 - Bab 16: Perburuan

Chapter 17 - Bab 16: Perburuan

Bian mengacak rambutnya dengan frustrasi. Dahinya yang terhalang sedikit rambut, berulang kali dia benturkan ke meja miliknya. Penyidik yang satu ini terlihat benar-benar kacau.

Kehilangan jejak pelaku kriminal, bukanlah hal yang bagus memang. Mereka harus bekerja dua kali lipat untuk menemukan orang itu. Sebelum dia membahayakan lebih banyak orang lagi.

Gurat lelah mulai terlihat dari wajahnya yang kembali menatap layar komputer. Benda itu masih menunjukkan rekaman lalu lintas di beberapa titik jalan utama. Bian bisa dengan mudah menyambungkan kamera-kamera pengawas itu ke komputernya.

Sebelumnya dia memang sudah mendapat izin mengenai hal itu dari pihak Satlantas. Untuk mempermudah pengawasan dan penyidikan tentu saja.

Matanya menatap nanar pada layar yang menampilkan kecelakaan beruntun tidak jauh dari lampu merah. Para petugas sudah mulai melakukan evakuasi. Dia belum mendengar kabar mengenai jumlah korban jiwa yang meninggal atau yang mengalami luka-luka.

Dari yang Bian lihat di rekaman, terdapat satu mobil sedan yang rusak parah di bagian depan. Jika orang yang mengendarai mobil itu selamat, maka itu bisa dikatakan sebagai keajaiban dari Yang Maha Kuasa.

Bian beralih pada komputer di meja Arvin. Dia sering menggunakannya jika Arvin bertugas di lapangan. Tentu atas izin penyidik itu. Lagi pula, tidak ada yang aneh di sana, selain data-data yang juga Bian miliki di komputernya.

Dia membaca setiap kata yang ada di sana. Sebuah informasi mengenai si sopir taksi. Kanit Gerdian yang memintanya untuk mengorek data mengenai orang itu. Dan ya, hasil yang mereka dapatkan cukup mengejutkan.

Trisna Sutisna. Seorang pria berkeluarga berumur 39 tahun. Tinggal di Rusun Kembang Wangi.

Memiliki dua orang anak. Satu orang anak perempuan yang baru menginjak sekolah dasar. Satu lagi anak laki-laki dan dia sudah meninggal di tahun 2014 lalu karena mengidap sebuah penyakit.

Trisna merupakan seorang sopir taksi di perusahaan PT Giotama Transport yang memang bergerak di bidang transportasi darat. Yang merupakan salah satu dari anak perusahaan Guta Corporation.

Itu hanya sederet informasi umum yang Bian dapatkan. Lebih jauh lagi, dia menemukan fakta bahwa Trisna ternyata pernah bekerja di perusahaan milik Indra Wijaya. Dalam riwayat pekerjaannya, dia bisa dikatakan sebagai karyawan yang rajin.

Hanya saja, dia beberapa kali berhutang pada Indra Wijaya untuk pengobatan putranya. Tidak ada yang salah dalam hal ini memang. Kebanyakan orang tua yang baik akan melakukan apa pun untuk anak-anak mereka. Sudah pasti seperti itu.

Sampai situ yang Bian dapatkan. Dia belum menemukan benang merah yang membuat Trisna nekat menghabisi satu keluarga itu. Ah, dia sudah yakin jika pria itu pelakunya.

Arvin bilang jika di mobilnya ada belati, bukan? Itu bisa menjadi salah satu bukti, dan juga alat yang pelaku gunakan untuk mengukir tanda di telapak tangan korban.

Untuk yang lainnya, mereka harus menggeledah mobil itu terlebih dahulu. Ditambah lagi, dia yang berusaha lari dari Arvin, semakin mendukung dugaannya.

Bian kembali pada komputer miliknya. Suasana jalan masih sama. Di beberapa titik terlihat macet total. Semua ini karena Trisna. Pria itu benar-benar pandai membuat kekacauan. Tidak habis pikir Bian dibuatnya.

Bagaimana seseorang bisa berbuat demikian? Menyakiti orang lain dengan mudahnya, tanpa penyesalan.

Sepertinya memang benar yang selama ini Arvin bilang. Jika seseorang tidak pandai mengolah emosi mereka, maka emosi itu bisa keluar dengan meledak-ledak tak terkendali. Atau mungkin karena beban hidup mereka yang berat. Membuat lupa akan norma yang ada, dan berbuat seenaknya.

Padahal, bukan hanya orang lain yang akan dirugikan. Diri sendiri yang akan sangat merasakan dampaknya. Selain sanksi hukum, sanksi sosial biasanya lebih berat lagi.

***

Setelah memastikan Pak Budi baik-baik saja, Arvin bergegas pergi ke Rusun Kembang Wangi menyusul Kanit Gerdian. Jarak dari lokasi kecelakaan tidaklah begitu jauh. Hanya sekitar sembilan menit menggunakan kendaraan beroda dua dia sudah sampai di sana. Arvin meminta salah satu petugas untuk mengantarnya.

Melewati beberapa gang, akhirnya Arvin sampai di Rusun itu. Terlihat beberapa petugas berseragam berjaga di sekitar sana. Arvin mengabaikan mereka dan mulai berjalan naik menuju lantai tiga, tempat di mana rumah Trisna berada.

Di depan pintu, Kanit Gerdian terduduk diam dengan rokok di tangannya. Dia langsung menyambut kedatangan Arvin dengan raut khawatir.

"Kau baik-baik saja?"

Kanit Gerdian membuang rokok itu setelah mematikan apinya. Kedua tangannya memegang bahu Arvin. Dia memutar tubuh penyidik muda itu dan mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki.

"Aku baik-baik saja." Arvin langsung menepis perilaku dari Ketua Unitnya ini. Sedikit risi juga, mengingat di sana juga terdapat dua petugas lain tengah berdiri di depan pintu yang terbuka.

"Kudengar kita kehilangan jejaknya."

Arvin mengangguk. "Dia pandai sekali membuat kekacauan."

Mata Arvin beralih ke dalam rumah. Terlihat seorang perempuan dengan daster yang sedikit lusuh terduduk lesu di kursi. Mata serta hidungnya sudah tampak memerah. Pun di sekitar pipinya masih ada bekas air mata mengalir.

Perempuan itu pasti terpukul dengan apa yang telah diperbuat oleh suaminya. Ya meski belum dikonfirmasi secara langsung jika Trisna adalah pelaku pembunuhan itu, tapi beberapa bukti mulai mengarah padanya.

Berbeda dengan Daryo yang dicurigai karena kedapatan berada di TKP, kecurigaan pada Trisna lebih mendukung lagi. Di mobilnya terdapat belati, dan dia kabur ketika Arvin meminta keterangan darinya. Pun rekaman CCTV dan beberapa hal lain mendukung dugaan ini.

Selain itu, meski dia bukan pelaku yang mereka kejar, Trisna bisa tetap mendekam di penjara. Dia sudah melukai Pak Budi dan membuat kekacauan di jalan raya.

Menabrak petugas. Mengakibatkan kecelakaan beruntun, dan menyebabkan kemacetan. Hal itu tentu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Apalagi jika terdapat korban meninggal dunia dalam kecelakaan beruntun itu, maka habislah dia.

"Apa yang istrinya katakan, Komandan?" tanya Arvin.

Dia sudah meminta Bian untuk memberi tahu Kanit Gerdian mengenai alibi yang Trisna buat. Dan Kanit Gerdian tentu dengan senang hati akan mengonfirmasi hal itu.

"Trisna tidak ada di rumah ketika kejadian itu berlangsung." Mata Kanit Gerdian beralih pada perempuan itu, "Dan kau tahu hal paling mengejutkannya, Arvin?"

Arvin menatap Kanit Gerdian dengan tidak sabar. Berharap dia akan melanjutkan kalimatnya segera, dan memberitahukan semua informasi yang tidak dia ketahui.

"Sama halnya dengan Daryo, Trisna juga merupakan mantan karyawan di perusahaan Indra Wijaya."

Arvin mematung untuk beberapa saat dan tidak memberi respons apa-apa. Lalu, dengan ekspresi datar dia justru berjalan ke arah kursi yang tadi Kanit Gerdian duduki. Menjatuhkan dirinya di sana.

Helaan napas terdengar dari mulutnya. Apa yang Kanit Gerdian tuturkan tidak terpikirkan olehnya. Sedikit pun. Dia justru berpikir jika ini pembunuhan acak.

Kanit Gerdian sudah bertanya banyak hal pada istri Trisna. Mengenai pekerjaan, sampai masa lalu yang pernah dia alami di perusahaan lamanya itu. Awalnya, Mira enggan membuka mulut, tapi setelah Kanit Gerdian menjelaskan mengenai apa yang menimpa suaminya, dia baru buka suara.

Dari penuturan Mira, dulu Trisna sering meminjam uang pada Indra Wijaya untuk pengobatan putra pertama mereka. Anak malang itu mengidap kanker otak. Mereka membutuhkan uang yang banyak untuk perawatannya, dan Indra Wijaya bisa dibilang satu-satunya penolong mereka.

Namun di suatu ketika, bosnya itu tidak memberinya lagi pinjaman. Beberapa minggu kemudian, dia mendadak menagih semua hutangnya dengan bunga yang naik dua kali lipat. Terang saja, dalam keadaan anak yang sakit parah, Trisna kebingungan dari mana dia akan membayar semua hutang itu.

Untuk pengobatan anak saja sudah kelabakan, ini malah ditagih hutang. Bukannya tidak ingin membayar, tapi setiap bulan gaji Trisna sudah dia relakan dipotong untuk mencicil hutangnya itu.

Bukan keringanan yang dia dapat, Indra Wijaya justru mengamuk. Dia menyuruh orang-orangnya untuk mengacak-acak rumah mereka. Mengambil semua barang berharga yang dimiliki, termasuk surat tanah. Pihak perusahaan mengambilnya tanpa persetujuan. Pun posisi Trisna di tempatnya bekerja, dipecat dengan cara tidak hormat.

Terbesit niat untuk melaporkan kejadian itu pada pihak kepolisian, tapi Trisna mengurungkan niatnya itu. Dia sadar hanya orang biasa. Berbanding terbalik dengan Indra Wijaya yang memiliki kekuasaan.

Trisna khawatir jika melapor dan tidak ada bukti yang kuat, bisa-bisa dia yang mendekam di penjara. Dengan pemikiran seperti itu, dan kondisi anak yang sedang buruk, dia mencoba merelakan semuanya.

Kemalangan yang menimpa keluarga itu tidak sampai di sana. Dua bulan setelahnya, putra mereka dipanggil kembali ke hadapan Sang Pencipta. Orang tua mana yang tidak terpukul dengan kepergian anak mereka? Begitu juga yang Trisna rasakan.

Dia sempat datang ke kantor dan menyalahkan Indra Wijaya, tapi semuanya sia-sia. Mantan bosnya itu justru menulikan telinga. Bahkan untuk berbelasungkawa saja tidak dia lakukan.

Dari hari itu, emosi Trisna menjadi tidak stabil. Pria itu menjadi lebih sensitif. Emosinya tidak mudah ditebak dan jika sudah marah cenderung meledak-ledak. Meski begitu, Mira selalu bisa membuatnya kembali tenang.

Dua tahun mereka hidup terombang-ambing di jalanan. Tidur di mana saja. Mencari makan di tempat sampah, dan jika bertemu dengan Satpol PP, mereka akan lari tunggang langgang. Keluarga yang hancur itu pada akhirnya memutuskan untuk tinggal di kolong jembatan. Akan tetapi, hal itu tidak berselang lama. Hanya sekitar tiga bulan.

Seseorang tak dikenal datang pada mereka, menawarkan sebuah pekerjaan pada Trisna. Terimpit ekonomi, tanpa berpikir panjang Trisna menyanggupinya. Namun, setelah tahu pekerjaan apa itu, Trisna mengundurkan diri. Jangankan mengemudikan mobil, bermimpi memegang kemudinya saja dia tidak pernah.

Bersyukurnya, seseorang tak dikenal itu dengan senang hati mengajari Trisna cara mengemudi sampai dia lancar. Tidak lama setelahnya, Trisna melamar pekerjaan di PT Giotama Transport sebagai sopir taksi. Dia diterima

Perekonomian keluarga itu pun perlahan membaik. Meski begitu, Trisna justru mengajak Mira untuk tinggal di Rusun ini. Sebagai istri yang baik, Mira tidak banyak tanya. Dia hanya menurut saja.

Apakah di awal bulan ini Trisna terlihat mencurigakan? Mira hanya mengatakan jika suaminya sering telat pulang ke rumah. Dia tidak curiga sama sekali, dan menganggap jika Trisna bekerja lebur. Sedikit pun tidak terlintas di benaknya jika Trisna terlibat tindak kriminal. Bahkan secara terang-terangan, dia menolak kenyataan ini.

Mendengar cerita dari Kanit Gerdian, Arvin bangkit dari duduknya. Tanpa berucap, dia bergegas masuk ke dalam rumah. Lalu duduk di dekat Mira yang masih menangis.

"Bu, apa Anda pernah bertemu langsung dengan pria yang mengajari suami Anda mengemudikan mobil?" tanya Arvin dengan lembut. Tangannya meraih kotak tisu yang terdapat di meja. Kemudian, mengambil beberapa lembar dan memberikannya pada wanita itu.

Mira menerimanya, dan langsung dia gunakan untuk mengelap air mata di pipi. Cairan itu seolah tidak mau berhenti mengalir.

"Saya hanya pernah bertemu dengannya sekali. Ketika dia datang menawarkan pekerjaan. Saya masih ingat betul akan hari itu," ucap Mira berusaha tegar.

"Seperti apa ciri-cirinya?"

Mira menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Dia harus tenang. Meski tidak bisa, harus tetap dia coba. Dan wanita itu mulai mengingat-ingat.

Sementara Kanit Gerdian, dia menyimak di ambang pintu. Apa lagi yang ada di pikiran Arvin? Daryo dan Trisna saja sudah cukup membuat pusing, jangan ditambah lagi dengan mengorek informasi dari orang yang menawari Trisna pekerjaan. Bisa saja orang itu memang tulus mengajarinya mengemudi sampai mendapat pekerjaan, tapi di zaman seperti ini, rasanya sedikit mustahil memang.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Kanit Gerdian langsung merogoh saku jaketnya, dan mendapati satu panggilan masuk dari Bian. Dengan sedikit tergesa, dia mengangkatnya dan berjalan keluar.

"Bian, apa yang kamu dapatkan?" Kanit Gerdian bertanya lebih dahulu.

Jika Bian yang menghubungi, sudah jelas itu mengenai perkembangan dari keberadaan Trisna.

"Seorang petugas lalu lintas menemukan mobil yang Trisna bawa. Dia sudah mengamankan mobil itu, tapi Trisna tidak ada di sana," tutur Bian.

Dia baru saja mendapat laporan itu kurang dari dua menit yang lalu.

Setelah mendapat lokasi ditemukannya kendaraan beroda empat itu, Kanit Gerdian langsung memberi tahu Arvin. Dan dengan bergegas mereka meninggalkan Rusun itu. Tentu saja dengan berpamitan pada pemilik rumah terlebih dahulu. Tidak lupa, keduanya meminta Mira agar bisa diajak kerja sama jika Trisna pulang ke rumah nantinya.

Meski tidak banyak yang mereka dapatkan hari ini, tapi sepertinya itu lebih dari cukup. Dengan ditemukannya taksi yang dia bawa, itu berarti dua hal. Pertama, menggeledahnya untuk menemukan senjata yang tengah mereka cari. Kedua, pemburuan yang sesungguhnya telah dimulai.

Setelah yakin Trisna pelakunya, mereka tidak akan segan lagi. Unit I juga dikenal dengan kelihaiannya dalam hal ini, Trisna bisa saja dibuat kewalahan dan kehabisan tempat untuk bersembunyi. Namun, siapa yang tahu? Bisa saja kali ini terbalik, bukan?