Mobil itu terparkir di bahu kiri jalan, dekat permukiman padat penduduk. Dengan kondisi yang sudah tidak semulus sebelumnya. Terdapat beberapa goresan di badan mobil, dan juga penyok di sana sini. Bahkan lampu depan sudah pecah. Semua ini akibat dari kekacauan yang Trisna buat di jalanan tadi.
Dua orang polisi lalu lintas tampak berjaga di sekitar kendaraan itu. Mereka tidak lain adalah petugas yang menemukan taksi ini, ketika tengah berpatroli. Salah satu dari mereka terlihat fokus mengawasi sekitar, dan yang satu lagi berusaha mengecek ke dalam mobil.
Kendaraan itu terkunci. Mereka tentu tidak bisa membukanya. Sekalipun bisa, keduanya harus menunggu kedatangan dari Unit I dan tim forensik terlebih dahulu.
Kendaraan yang terkunci, membuat satu di antara keduanya berpikir jika pelaku akan kembali mengambil taksi ini. Oleh sebab itu, dia sudah bersiap dengan senjata di tangannya. Semua kemungkinan bisa terjadi, bukan? Jadi lebih baik untuk mengantisipasinya daripada terlambat.
Benar saja. Dari arah pemukiman tampak seorang pria berjalan dengan tergesa menuju arah kedua petugas itu. Pria itu mengenakan topi. Meski begitu, seragam sebagai sopir taksi tidak bisa menyamarkan identitasnya.
Petugas itu langsung menyadari jika itu adalah Trisna. Si terduga pelaku pembunuhan yang berusaha kabur.
Trisna berjalan dengan cepat. Dia terlihat panik. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Seolah tengah dikejar oleh seseorang. Dia sampai tidak menyadari jika di depan ada dua polisi yang sudah bersiap untuk meringkusnya.
Hanya sekitar tujuh meter lagi, Trisna menyadari hal itu. Dia berhenti seketika. Tubuhnya menegang dengan raut panik semakin terpancar dari sorot matanya. Dia terdiam di tempat, tapi kepalanya terus menengok ke belakang. Bergantian pada dua petugas itu.
"Angkat tangan Anda!"
Salah satu dari kedua polisi itu menodongkan senjata miliknya pada Trisna. Terang saja, pria itu gelagapan. Dengan ragu, dia mengangkat kedua tangannya ke udara dengan posisi berlutut.
Rekan dari polisi itu berjalan ke arah Trisna. Berbarengan dengan si polisi yang memegang senjata. Mereka mendekat, dan yang satu mengeluarkan borgol miliknya.
Ketika dia hendak memborgolnya, Trisna segera bangkit dan menendang polisi yang memegang senjata. Dia menendangnya tepat di perut. Sampai membuat petugas itu tersungkur ke belakang. Pun senjata yang sedari tadi dia pegang, terlempar entah ke mana.
Melihat rekannya yang meringis kesakitan, polisi satunya lagi berinisiatif untuk mengeluarkan senjata miliknya. Namun sayang, dia terlambat. Lagi-lagi Trisna memberinya sebuah tendangan.
Setelah kedua polisi itu tersungkur di aspal, Trisna mencari dua senjata yang terjatuh. Dia memungutnya, dan menodongkan benda itu pada mereka.
Dengan terpaksa, kedua polisi itu mengangkat tangan. Mereka sempat melakukan perlawanan, tapi Trisna tanpa belas kasihan menembak salah satu dari mereka. Tentu saja hal itu membuat polisi yang satu lagi terkejut.
Dia tidak tega melihat rekannya, tapi tidak mau juga jika harus bernasib sama. Maka dengan begitu, dia pasrah diperintah oleh Trisna.
Borgol yang tadi hampir meringkus tangannya, sekarang sudah berpindah meringkus kedua polisi ini. Trisna tersenyum puas melihat apa yang dia lakukan. Berpikir jika dirinya telah lolos.
Kesenangan itu tidak berlangsung lama. Deru mesin mobil menginterupsi. Trisna terdiam untuk beberapa saat, otaknya mendadak lambat. Atau justru dia ingin memastikan sesuatu? Entah. Yang jelas pria itu hanya menatap mobil yang baru datang.
Sampai ketika mobil itu berhenti, dan Arvin keluar dari dalamnya, baru Trisna dibuat lari tunggang langgang. Arvin mengejarnya dengan senang hati.
Sementara Kanit Gerdian, yang sudah semangat untuk memburu Trisna, mengurungkan niatnya tatkala melihat kondisi dua polisi lalu lintas itu. Dia segera menghubungi ambulans, dan setelah memastikan keadaan mereka aman, Kanit Gerdian menyusul Arvin.
Sempat beberapa kali mengikuti perlombaan lari, membuat Trisna berlari jauh di depan Arvin. Pria itu sangat gesit. Mudah baginya melewati beberapa area jalan yang sulit. Dengan senang hati, dia pun menambah tingkat kesulitan untuk Arvin lalui.
Area pemukiman itu cukup padat. Hingga beberapa kali mereka berpapasan dengan warga. Ada yang bertabrakan dengan Trisna, begitu pun dengan Arvin. Bedanya, Trisna tidak meminta maaf atau apa. Justru semakin menambah kecepatan larinya. Arvin meski tertinggal, dia masih menyempatkan diri membantu orang yang ditabrak untuk kembali berdiri.
Namun lama kelamaan, dia kesal sendiri. Mulai tidak memedulikan apa-apa lagi selain Trisna. Dia tidak mau kembali kehilangan jejak pria itu.
Menemukan pelaku kriminal yang berusaha kabur di hari yang sama, bisa dibilang merupakan hal yang jarang mereka alami. Oleh karena itu, dia akan sangat menyesal jika tidak berhasil menangkapnya hari ini juga.
Trisna masih berlari ke sembarang arah. Dia tidak tahu area ini, sampai membuatnya harus berpikir cepat. Mengambil arah yang tepat, dan tidak menggiringnya pada jalan buntu. Adalah hal yang lumayan sulit memang.
Terutama ketika terdesak. Sampai di ujung perumahan dengan jalan buntu. Trisna berbalik mengambil jalan ke arah kanan tanpa berpikir lagi. Arvin sudah semakin dekat, dia tidak bisa memikirkan hal lain lagi selain harus lolos.
Kanit Gerdian, penyidik yang satu ini sudah kehilangan jejak sedari tadi. Dia berjalan dengan napas terengah-engah. Sesekali berjongkok dan menetralkan napas. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan stamina yang dimiliki Arvin.
Ketika hendak mulai berlari lagi, dia justru mendapati Trisna berlari ke arahnya. Tampaknya, jalan yang Trisna ambil tadi adalah rute lain untuk kembali ke titik awal. Pantas saja Arvin merasa tidak asing dengan jalan yang dia lewati saat ini.
Trisna langsung berhenti. Wajahnya yang memerah akibat rasa lelah, mengucurkan keringat dengan sangat deras. Dengan napas terburu, dia menatap Kanit Gerdian yang juga sedang menatapnya.
Raut lelah di wajah penyidik itu seolah sirna seketika. Jika tahu Trisna akan kembali, seharusnya tadi dia berdiam diri dan menyergapnya diam-diam.
Arvin memelankan laju larinya ketika mendapati Trisna telah terkepung. Dia membungkuk dengan kedua tangan diletakan di lutut. Napasnya memburu. Meski begitu tatapannya tidak lepas dari Trisna. Ketiga pria itu, seolah melakukan telepati untuk beristirahat sejenak. Tenaga mereka hampir habis.
"Aku tidak ingin berlari lagi."
Tiba-tiba kalimat yang pernah Kino ucapkan ketika mengejar Daryo bersamanya, terngiang di telinga Arvin. Dia juga sudah tidak mau berlari lagi sekarang. Lelah. Lututnya meminta berhenti.
"Mari ... hentikan ini. Dan ... dan ikut kami ke kantor polisi." Arvin berucap dengan napas yang masih terengah. Tubuhnya bersandar di tembok. Berusaha agar tidak ambruk.
Kanit Gerdian yang tenaganya sudah kembali terisi, berjalan ke arah Trisna. Dia sudah gemas dengan tingkah pria ini. Membuat kekacauan. Membuat orang lain kelelahan. Beberapa kali melukai petugas juga.
Awas saja di ruang interogasi nanti. Setidaknya ada beberapa hal yang Kanit Gerdian pikirkan untuk membuat Trisna menyesal telah mempermainkan mereka.
Arvin pun kembali berjalan dengan langkah cepat. Dia akan menangkapnya. Harus! Namun lagi-lagi Trisna mendapat celah untuk kabur.
Dia memanjat tembok setinggi satu meter setengah yang merupakan batas masing-masing rumah yang ada. Arvin dengan sigap menarik baju pria itu. Satu meter setengah bukanlah tembok yang tinggi untuknya. Dia dengan mudah menarik Trisna agar kembali turun.
Trisna memberontak. Hal itu justru membuat Arvin semakin gencar mencengkeram bahunya. Kanit Gerdian, dia hendak memegang kaki pria itu, tapi sialnya dia berada di posisi yang salah.
Dengan mudah Trisna menendang dadanya. Lagi, tiga polisi terjungkal karena tendangannya. Pria ini sudah seperti sapi yang tidak mau susunya diperah. Hobi sekali menendang.
Arvin sempat lengah melihat Kanit-nya tersungkur dan membentur tembok. Hal itu tentu dimanfaatkan oleh Trisna untuk merogoh saku celananya dan mengeluarkan belati yang sedari tadi dia bawa.
Tanpa sempat menghindar, belati itu menggores dahi kiri Arvin. Membuat penyidik itu mundur seketika. Rasa perih mulai menjalar di dahinya. Pun darah segar mulai menetes dari sana.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Trisna kembali berlari kabur. Begitu pun dengan Arvin, dia mengabaikan rasa sakit di dahinya dan mulai mengejar lagi.
Dia bahkan lupa pada Kanit Gerdian yang tengah berusaha untuk bangkit. Tenaga penyidik senior itu terkuras dengan mudah. Mungkin karena sedari pagi perutnya belum terisi apa-apa selain satu bungkus roti dan segelas kopi dari Bian.
Sekarang dia paham kenapa Bian selalu mendahulukan makan sebelum melakukan sesuatu. Agar tenaganya penuh dan tidak menyusahkan diri sendiri atau orang lain. Jika sudah seperti ini, dia merasa tidak berguna. Kendati demikian, Kanit Gerdian kembali berlari mengambil jalan yang berbeda.
Benar saja dugaan Kanit Gerdian, Trisna berlari meninggalkan area perumahan. Dia bisa melihat kedua orang itu berlarian di trotoar jalan yang ramai. Hari sudah mulai senja. Orang-orang yang baru pulang bekerja mulai memenuhi jalanan.
Dia dengan tergesa menaiki mobilnya. Menghadang Trisna menggunakan mobil tidak salahnya dia coba. Meski nantinya pria itu tertabrak dan terluka, dia tidak akan disalahkan.
Sampai di persimpangan jalan dengan lampu merah. Trisna berlari menerjang jalan raya di depannya. Dia benar-benar berani melakukan itu.
Beberapa mobil sampai harus mengerem mendadak agar tidak menabraknya. Umpatan keluar dengan lantang dari para pengemudi itu. Lalu lintas pun sepertinya akan dibuat kacau lagi.
Arvin menyusulnya dengan susah payah. Beberapa mobil yang sudah terhenti, membuatnya kesusahan memilih jalan. Karena bisa saja, ketika dia lewat si pengemudi hendak kembali melajukan kendaraannya. Jika seperti itu, dia bisa tertabrak.
Trisna sudah hampir sampai di seberang, ketika sebuah mobil sport berwarna hitam keluaran perusahaan Jerman melaju dengan cepat ke arahnya. Meski mobil itu terlihat berusaha menghindari Trisna, tetap saja tabrakan pun tidak terelakkan lagi. Tubuh Trisna terpental ke tengah jalan. Dan mobil sport itu menabrak tiang lampu jalan.
Arvin yang melihat kejadian itu di depan matanya, hanya bisa menahan napas dengan wajah pucat. Begitu pun Kanit Gerdian yang mendadak menghentikan laju mobilnya tidak jauh dari posisi Arvin. Wajahnya pun tidak kalah pucat.
Sesuatu yang membuat kedua penyidik itu bereaksi serupa adalah, sebuah truk gandeng yang melaju ke arah Trisna. Pria itu sempat duduk di aspal dan meringis, tapi dia tidak sempat menghindar dari truk itu.
Hal yang ditakutkan Arvin dan Kanit Gerdian pun tidak bisa dihindari lagi. Bahkan beberapa orang yang melihat kejadian itu pun, terdengar menjerit dengan pilu.
Tubuh Trisna terlindas truk gandeng tersebut. Darah seketika menggenang di sana. Pun tubuhnya remuk. Terutama di bagian kepala.
Arvin langsung mual melihat pemandangan itu. Seketika dia berbalik dan kepalanya mendadak terasa pusing.
Melihat reaksi Arvin, Kanit Gerdian bergegas menghampirinya. Menenangkan penyidik yang wajahnya semakin pucat seperti mayat. Tidak berselang lama, dia terkulai lemas di pelukan Kanit Gerdian dengan mata terpejam. Tidak sadarkan diri.
Sementara di depan sana, kerumunan sudah mulai terbentuk. Beberapa dari mereka mengarahkan ponsel yang dibawa ke arah Trisna, yang tergeletak berlumur darah. Tidak habis pikir. Demi update di sosial media, kemalangan yang menimpa orang lain pun seolah dijadikan tontonan.
Ada juga yang mengerumuni si pengemudi mobil sport yang baru saja keluar dari mobilnya. Pria itu menatap kondisi Trisna dengan horor. Lalu, beralih pada Kanit Gerdian yang terlihat membawa Arvin ke dalam mobil mereka.
Setelah memastikan Arvin di tempat aman, Kanit Gerdian menghubungi Bian. Mengabarkan apa yang telah terjadi. Dia juga menghubungi ambulans dan tim dari Inafis.
Kemudian, Kanit Gerdian berjalan ke arah pengemudi mobil sport tadi. Dia sempat melihat kondisi Trisna yang badan bagian atasnya hancur. Perutnya mendadak mual melihat darah yang berceceran sedekat ini.
Pada akhirnya, pelarian Trisna berakhir sia-sia. Dia berusaha melepaskan diri dari kejaran polisi sampai berbuat nekat, justru tewas terlindas truk. Jika saja dia rela menyerahkan diri, mungkin saat ini mereka berada di ruang interogasi. Namun apa boleh buat, waktu tidak bisa diulang kembali. Inilah akhir dari pelarian Trisna. Tewas mengenaskan.