Aku terbangun ketika jam menunjukkan pukul 2:45 dini hari, ku usap mataku lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Alina menatap dirinya di cermin kamar mandi, ia tersenyum dengan bibir yang berhasil membentuk lekukan senyum itu. Manis.
Flashback on
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan." Suara bariton itu terdengar lantang di pendengaran ku. Seorang lelaki mengijab qobulku untuk pertama kalinya. Air mata mulai menetes kepipi ku, namun kalian salah jika menganggap ini air mata bahagia. Ini air mata kesedihan ku.
Mana ada wanita di dunia ini yang mau menikah tanpa hadirnya cinta, setiap wanita menginginkan dirinya dicintai. Namun aku?
Tangan Abi menggenggam tangan ku, "Alina, sekarang kamu sudah sah menjadi istrinya Akmal. Dan semua keperluan mu, mau itu lahir atau batin kini menjadi tanggung jawab Akmal, berbahagialah dengannya, serta berbakti kepadanya. Karena kini surga mu ada di telapak kakinya,"
Itu pesan Abi untuk terakhir kalinya pada ku.
Aku yang berdampingan dengan akmal, aku mencium tangannya dan dia mengecup dahiku.
Flashback off
"Alin, kamu di dalam?, Cepatlah keluar"
Suara itu berhasil membuyarkan lamunanku. "Astaghfirullah, iya mas bentar." Setelah nya aku keluar tapi sebelum keluar aku merapikan Khimar hitam yang sedang ku kenakan.
"Lama banget."
Ucapan singkat itu berasal dari mulut lelaki yang beberapa Minggu lalu menjabat sebagai dosen terbaik di universitas yang disanalah dia mengamalkan ilmunya. Lelaki yang membuat ku terjebak dalam kontrak konyolnya, lebih jelasnya aku terjebak dalam perjodohan Abi yang membuatku seperti bermain drama pernikahan di atas kertas.
"Kamu kalo sholat gak usah minta lebih ke Allah,"
"Maksud mas apa?"
"Iya, gak usah capek-capek minta Allah supaya aku membuka hati untuk mu."
Dor
Hatinya sakit, amat sakit rasanya bagi Alina. Sebegitu tidak sukakah dia kepadanya? Alina saja tidak mencintai nya tapi berusaha mencintai nya karena allah, apa dia tidak bisa seperti itu juga? Alina mengusap gusar dadanya, ia menghiraukan suaminya itu lalu berjalan ke tempat dimana sejadah dan mukena sudah terdapat disana.
Malam ini akan ku kesempurnakan dengan tahajjud dua rakaat dan ku tutup dengan witir tiga rakaat. Setelahnya ku ambil Al-Qur'an yang berada dimeja kecil dan membacanya.
Sambil menunggu waktu subuh masuk, ku lanjutkan dengan istighfar sebisa ku, Tasbis kecil yang kugenggam dan senantiasa ku bawa kemana-mana ini pemberian Abi, ketika aku berulang tahun yang ke 7 tahun saat itu. Kulantunkan istighfar dengan tasbis yang terus berputar, ketika adzan subuh berkumandang barulah aku beranjak untuk menunaikan sholat subuh.
.....
Alina menyingraikan gardeng kamarnya, Masyaallah, begitu indahnya langit pagi.
Alina terkagum karena penampakan indah atas kekuasaan Allah itu. Langit biru dengan suara kicauan burung kecil pagi ini.
Setelah usai menikmati keindahan langit pagi. Alina keluar kamar untuk menjalankan tugas nya sebagai istri, meski Alina tau jika suaminya tidak menerima dirinya. Entah sampai kapan dirinya akan seperti itu, menjadi istri sah tapi dengan batasan yang telah tertulis di atas kertas. Sakit.
"Mas, hari ini jadwal kamu padet gak? Aku pengen kamu anter aku ke rumah umi."
Alina menatap tidak enak pada lelaki yang tengah sibuk membenarkan dasinya. Pernikahan mereka masih berumur satu Minggu dan sejauh ini suaminya tidak pernah menggapnya sebagai istri. Bahkan dia tak pernah makan makanan yang Alina masak, jangankan untuk mencicipi melihatnya saja dia tidak pernah.
"Aku sibuk."
Jawaban singkat itu berhasil membuat goresan kecil di hati Alina.
"Tapi, mas. Aku cuma minta nganterin aja, kamu gak perlu nginep di rumah umi biar aku aja. Aku rin..."
"Jangan melewati batas, Alina! Jangan berharap lebih, atau hatimu yang akan terluka."
Sontak Alina membisu. Kenyataan itu kembali menghantam telak dada Alina. Harus bagaimana lagi ia berusaha menarik perhatian suaminya, harus dengan cara apalagi supaya suaminya menerima nya. Harus seberapa Sholehah nya dia pada suaminya? Padahal seminggu ini Alina sudah seperti wanita murahan yang bisa-bisanya dengan keras merayu suaminya. Bagaimana aku tidak seperti jalang, bukan? Seperti wanita yang haus kasih sayang. Tapi hasilnya apa? Berkali-kali penolakan yang dia terima.
"Tidak mas aku hanya..."
"Saya berangkat," potong Akmal datar, lalu mendekat. "Status kita memang suami istri. Tapi, bukan berarti kamu bisa memiliki ku. Bagi ku pernikahan ini cuma status di atas kertas. Bagiku kau hanya seorang wanita yang ku nikahi karena permintaan Abi mu, intinya kau hanya istri yang tidak sengaja tertulis dalam surat nikah. Tidak lebih, jangan lupakan batasan mu, jika tidak." Ucap Akmal dingin.
"Jika tidak, kenapa?" Alina seakan menantangnya. Dia sudah tidak peduli dengan Akmal yang menganggapnya seperti apa. Yang pasti dia ingin Akmal menganggap nya istri sah dimata agama. Bukan istri yang hanya tertulis di surat nikah!
Saat ini aku memang tidak belum menjadi mentari dalam hidup mu. Tidak akan pernah menjadi seterang bintang malam juga, tapi percayalah, aku bisa menjadi istri Sholehah yang di rindukan surganya Allah. Setelah kau menerima ku nanti, yakinlah jika hanya aku wanita yang bisa menjadi lentara dalam hidup mu. Alina mendesah berat, sesak sekali dadanya.
.....
Setelah kepergian sang suami ke kampus, Alina juga keluar rumah untuk bertemu uminya. Untuk melepas rindu, memang setelah pernikahannya Alina belum lagi berkunjung ke rumah. Rumah dimana Alina di besarkan penuh kasih sayang oleh Abi dan umi. Tapi kini Alina malah kesulitan mencari kasih sayang itu. Jarak rumah umi tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu 30menit saja untuk sampai kesana.
"Assalamu'alaikum, umi, ini Alina." Terlihat didalam sana wanita paruh baya yang tengah menjahit dengan keuletan tangannya. Itu umi,
"Waalaikumsalam, Alina." Jawaban dengan suara lembutnya, suara yang beberapa Minggu ini Alina rindukan. Karena tak kuasa dengan rasa rindu Alina memeluk erat uminya.
"Alina rindu, umi" suaranya berat. Tangisnya pun mengiringi suasana saat ini.
"Umi juga rindu sayang, ayok masuk, gak baik ngobrol di luar."
Kini Alina sudah duduk di kursi panjang.
Umi pun duduk di hadapan Alina, sambil membuat teh manis yang memang kesukaan Alina sejak kecil.
"Bagaimana keadaannya, Akmal?" Tanya umi kepada Alina. Alina hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Oh iya, kenapa kamu kesini sendiri. Kenapa gak minta anterin Akmal aja, biar sekalian umi juga pengen ketemu dia" lanjut umi.
"Mas akmal sibuk, mi."
"Ya sudahlah, minum tehnya sayang" Alina mengambil teh itu dan langsung ia cicipi segera. Seger.
"Terimakasih, umi" umi hanya mengangguk
"Assalamu'alaikum," suara seseorang diluar rumah.
Umi beranjak dari duduknya tapi Alina menghentikan nya. "Biar Alina saja yang melihatnya," alinapun berjalan ke arah pintu utama rumahnya.
Lelaki tampan dengan baju sederhana. Itu Azka lelaki yang Alina kagumi. Entah kenapa waktu seakan berhenti detik itu juga. Suasana sangat tegang sampai akhirnya suara umi berhasil mencairkan waktu seketika berubah jadi canggung.
"Nak Azka,"
"Kok malah di biarin sih, kenapa gak disuruh masuk Alina?" Aku melirik umi tersenyum, malu. Setelahnya aku mempersilahkan Azka masuk.
Kini posisinya aku tengah berhadapan dengan Azka. Entah kenapa rasanya perasaan ku tak karuan, dan hati ini...
"Kok ngelamun, mikirin apa?" Lelaki yang mekai baju kemeja putih garis-garis dan celana jeans itu terus menarik turunkan alisnya. "Ada masalah dengan suami mu?"
Alina menarik diri dari lamunannya, "oh enggak,"
"Udah lama?"
"Baru banget kok. Oh iya, mau minum apa?" Tawar Alina. Lelaki itu bernama lengkap Azka Renra Putra, penerus yayasan Al-Furqon milik ayahnya. Lelaki ini tampan dan baik di mata Alina, ia juga sudah saling kenal sejak kecil. Usia Alina memang di bawah Azka.
"Air putih boleh," jawabnya
Alina hanya tersenyum. Melihat wajah Alina yang tersenyum manis Azka sangat terpesona. Namun dengan cepat Azka menundukkan pandangan nya, karena ia tahu jika wanita yang dulu ia cintai kini sudah dimiliki orang lain. Dan ia sadar jika cintanya dengan Alina telah kandas ketika alina menikah dengan Akmal. Tapi, jika boleh jujur sampai saat ini Azka masih mencintainya, dan berharap Alina juga masih memiliki perasaan yang sama.
"Ini minumnya," segelas air putih Alina berikan kepada Azka. Ketika menerima air itu tidak sengala Azka menyentuh tangannya,
Tangan yang amat sangat Azka ingin pakaikan cincin di jari manisnya. Belum sempat Azka menjauhkan tangannya, tatapan mereka beradu dan saling mengunci begitu dalam.
Detik itu juga seorang lelaki berjas hitam masuk. Entah kenapa waktu seakan berhenti. Muka Alina pucat, ia takut jika Sang suami salah paham padanya. Suasana sangatlah tegang namun Alina berhasil membuyarkan suanasanya, dan melepas tangan yang tadi bersentuhan dengan Azka.
"Umi," panggil lelaki itu yang kebetulan umi baru saja tiba disana.
"Nak akmal, sejak kapan disini, kok suaranya gak kedengaran sama umi." Akmal mencium tangan umi, meski lelaki itu dingin seperti es tapi ia sangat menghormati umi.
"Mungkin tadi gak kedengaran aja, mi." Jawab Akmal. "Akmal cuma mau jemput Alina." Lanjut Akmal dingin rahangnya mengeras tersirat amarah yang akan meluap. Tapi, tertahan.
"Ya sudah boleh." Jawab umi.
Tanpa banyak bicara Akmal langsung menggenggam tangan Alina. Cukup keras genggamanya, hingga membuat Alina menahan sakitnya. Desahan terdengar kentara dari raut wajah Alina. Jika seperti ini, salah paham terus akan sulit bagi Alina untuk menaklukkan suaminya.
"Umi masuk ya, masih ada piring kotor di belakang." Ucap umi. "Hati-hati ya, sayang," Alina tersenyum dan mengangguk.
"Tunggu, akmal." Azka mengejar lelaki yang terus menarik tangan Alina.
Akmal menghentikan langkahnya.
"Jangan salah paham tadi kejadian yang tidak disengaja," jelas Azka.
Akmal menghempaskan tangan Alina. "Kenapa?"
"Maksudnya?" Azka bingung.
"Kenapa anda menjelaskannya pada saya? Saya tidak peduli, terserah mau apa yang kalian lakukan. Saya memang tidak peduli dan tidak ingin tau juga, dia hanya istri tertulis saja di surat nikah. Tidak lebih!" Ucapan itu meluncur lancar dari mulut Akmal.
Azka mengepalkan kedua tangannya, ternyata keputusan nya membiarkan Alina menikah dengan lelaki itu, salah. Seharusnya dia tidak menuruti keputusan gila yang diambil saat itu, jika akhirnya akan seperti ini, lelaki ini hanya menyakiti Alina wanita yang sudah ia kenal sejak kecil sekaligus wanita yang dia cintai.
Alina yang sejak tadi berada di belakang sudah tak kuasa menahan, sakit dan perihnya hati ini. Rasa yang bergejolak dalam dadanya yang ia rasa. Namun amanah sudah terlanjur ia makan dan pantang untuk mundur, itu mustahil. Takdir yang dia pilih memang salah, karena memaksakan kehendak untuk melangkah tanpa menyerah. Dengan cepat Alina mengusap air matanya, lalu menghampiri Akmal.
"Mas, ayo pulang." Ajak Alina sembari menggandeng tangan Akmal.
Dengan cepat Akmal menepis tangan Alina. Lalu meninggalkan Alina berdiri mematung, saat hendak mengejar Akmal tangan Alina di cengkram azka hingga menghentikan langkahnya.
"Ka, please... Jangan buat aku semakin sulit. Langkah ku ini sudah sangat sulit, jadi mohon jangan lebih mempersulitnya." Alina memelas.
Mendengar permohonan pilu Alina Azka melepaskan genggaman nya. Dan entah kenapa setiap melihat Alina sedih dia merasa seperti tertusuk beribuan pedang hatinya, air mata itu harusnya tidaklah menetes.
Alina berlari ke arah Akmal, masuk kedalam mobil dan mengacuhkan tatapan tak suka dari Akmal.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan, hanya tepisan angin saja yang dapat Alina rasakan. Berada lama-lama di dalam mobil dengan suasana seperti itu membuat alina sesak. Entah berapa menit mereka hanya diam saja, sampai akhirnya suara pesan masuk ke ponsel Alina.
Maaf, Alina, aku tidak bermaksud membuat mu semakin sulit. Aku hanya tidak ingin kamu terus tersakiti karena pernikahan itu. Jika kamu sudah tidak tahan dengan suamimu, kembalilah padaku, insyaallah aku menerima mu karena Allah.
Tidak tahu sebab yang pasti, tiba-tiba Akmal menjinak rem mendadak, menghentikan mobilnya ke pinggir jalan, saking kagetnya Alina hampir saja menjatuhkan ponselnya.
"Mas! Kenapa?"
"Jika kamu ingin berpisah dengan saya, maka mintalah baik-baik! Dengan senang hati saya akan menceraikan mu, tapi saat ini saya belum menceraikan mu, jadi kamu harus tau batasana sebagai istri!" Ucapan Akmal begitu menegaskan.
Alina kaget, begitu bencinya Akmal pada dirinya. Sampai sebesar itukah?
"Astaghfirullah, mas sadar tidak? Hanya karena ketidak sengajaan itu mas hampir mengeluarkan kata-kata yang sangat Allah benci. Aku akan tetap bertahan mas, aku tidak akan menyerah dan aku akan menjalankan amanah Abi!"
.....
Thanks u all udah mampir ke cerita ini๐๐ป
Jangan lupa lovenya, komentarnya juga ya๐ see you part berikutnya ๐