Sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku dan mas akmal sampai dirumah. Rumah yang sudah beberapa minggu ini ku tempati, rumah itu peninggalan almarhum ayahnya mas akmal ketika hidup dulu.
Mas akmal berjalan didepan ku, dan aku mengekorinya di belakang. Ingat sekali saat pertama kali aku masuk ke rumah ini. Subhanallah, kata itu yang aku ucapkan ketika kakiku menginjak lantai rumah ini. Sungguh begitu mewah rumah yang disiapkan ayah mertua ku. Rumah yang bernuansa putih, dan terdapat beberapa kaca lebar disetiap ruangannya, belum lagi dengan halaman belakang dan depannya yang ditumbuhi beberapa tanaman hias dan juga pepohonan.
Harus kalian tahu aku dan mas akmal tidak tidur dalam kamar yang sama. Kita pisah kamar,
Flashback on
"Silahkan kamu pilih kamar yang kamu sukai Alina." Ucap mas akmal setelah kami sampai di lantai kedua. Di lantai itu terdapat dua kamar, satu di ujung barat dan satu di ujung timur. Kupilih kamar yang ada diujung timur, karena dengan begitu aku bisa melihat indahnya sang fajar saat terbit.
"Kamar mas dimana?" Tanyaku. Kenapa aku bertanya padanya. Karena aku yakin dia tidak akan timur sekamar dengan ku. Pernah aku tanya ketika menginap dirumah umi, mas kenapa tidur di sofa bukan diatas kasur? Karena saat itu aku mendapatinya tertidur disofa yang tersedia dikamarku. Apa jawabannya, ia hanya bilang tidak ingin menyakiti seseorang.
Aku tau siapa itu. Sandra, sahabat ku saat SMA. Pikirku kesitu. Tapi aku sudah lama tidak melihatnya setelah lulus. Mendengar ucapanya itu menyakiti hatiku. Istri mana yang tak kecewa jika dengan jelas suaminya masih mencintai wanita lain, dan begitu menghindari nya.
"Aku bisa tidur dimana saja, ini rumahku," katanya datar. Aku hanya mengangguk, mas akmal yang ku kenal sekarang sangatlah persis seperti Akmal yang dulu. Arogan, kasar dan dingin. Tapi kenapa dia tidak bisa berubah?
Tak banyak berbicara lagi aku langsung memasuki kamar yang sudah ku pilih, dan berniat untuk beristirahat didalam.
Flashback off
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas, tanpa mengganti baju aku pergi kekamar mandi untuk mencuci muka, dan setelah nya kupilih untuk turun menyiapkan makan siang untuk mas akmal. Karena yang kulihat sarapan yang ku buat pagi tadi masih utuh di piring, itu tandanya mas akmal belum makan.
Tangan ku sibuk memotong bawang ketika sebuah tangan mampir dipundakku. Mas akmal berdiri dengan tatapan tajamnya disampingku.
"Tidak perlu repot-repot memasak, aku tidak akan memakannya." Ucap Akmal dingin, lalu pergi meninggalkan Alina yang masih mematung di tempatnya.
Ingin sekali aku menangis dengan keras. Mengapa dia sebegitu dinginnya pada ku? Niat ku baik, ingin menyiapkan makan siang untuk nya. Tapi apa respon yang dia berikan, dengan seenaknya dia berbicara seperti itu pada ku. Apa dia benar-benar menganggap ku istri yang tidak sengaja tertulis disurat nikah saja.
Astaghfirullah. Aku mengusap gusar dada ku yang terasa sesak. "Sabar Alina, kamu harus yakin jika ini hanya masalah sepele, dan kamu bisa mengatasi nya. Bersabarlah menghadapi nya, kamu pasti bisa." Ucap ku berdialog dengan diri sendiri.
Aku melanjutkan acara masaknya tidak peduli dengan Akmal yang terus saja melihat tajam pada ku.
.....
Pagi ini aku bangun kesiangan, hingga aku melewatkan sholat malam. Setelahnya bersiap dan mengenakan pakaian rapi, kulangkahkan kakiku menuju lantai bawah. Tampaknya sepi seperti biasanya, karena selama aku dan mas akmal hidup dalam satu rumah ia tidak pernah meminta izin jika pergi keluar rumah. Makanya aku tidak pernah tau dia pergi kemana.
Hari ini aku kembali masuk kerja, karena sebelumnya aku sudah mengambil cuti tiga minggu, seminggu sebelum menikah, dua minggu lagi sesudah menikah. Ya, saat ini pernikahan ku sudah menginjak dua minggu, semenjak aku tinggal disini tak pernah sekalipun mas akmal tidur sekamar dengan ku.
Memang, perihal larangan tidur sekamar dengan nya itu tercantum dalam kontrak perjanjian. Tapi apa itu tidak berlebihan? Aku ini kan istrinya. Entahlah, mungkin dia jijik dekat-dekat dengan ku.
Selepas sarapan, kukemudikan motor merah favorit ku untuk membelah jalanan pagi yang mulai padat. Sekitar jam delapan, motor favorit ku sudah terparkir rapi di tempatnya berjejer dengan motor lainnya.
"Suster Alina, sudah lama tidak terlihat, kemana saja?" Sapa suster andin ketika bertemu didepan lobi rumah sakit. Ya, aku berkerja disana sebagai suster.
"Ada urusan keluarga sust," jawabku, suster andin mengangguk lalu undur diri untuk memeriksa pasien. Aku memang tidak memberitahu pihak rumah sakit bahwa ijin ku untuk menikah, hanya satu orang yang mengetahui jika aku menikah. Dinda, teman dekat ku dia seorang dokter sini.
"Alina, cieee pengantin baru yang baru keliatan," teriak Dinda ketika baru saja memasuki lobi. Untung suaranya tidak terlalu keras dan kebetulan disana tidak ada oranglain, jika tidak. Berita ini akan cepat tersebar ke rumah sakit.
"Dinda! Bagaimana jika ada yang mendengarnya," tegurku, Dinda nampak kaget ia baru sadar dengan apa yang baru saja dilakukannya. Dengan cepat ia memukul bibir nya dan duduk di kursi tunggu yang memang sudah disediakan disana.
"Maaf, ni bibir emang lemes, Lin. Btw gimana pernikahannya?"
Aku menggeleng, "makanya kalo punya mulut di jaga dengan baik." Kataku.
"Iya Lin, gue aja yang punya mulutnya sering hilaf, sukanya kebanyakan lupa kalo ni mulut lemes banget. Makanya gue sering ngomong gak jelas," jawab Dinda sembari menampilkan senyum malunya.
"Udahlah, harus di syukuri Din." Ucap ku, "masih untung tu mulut masih nempel disana." Sambil menunjuk ke arah bibir Dinda. Dengan refleks Dinda langsung menutup penuh bibirnya.
"Becanda.." ujar ku sambil tertawa.
"Gimana pernikahannya?" Tanya dinda, kembali pada topik awal pembicaraan.
"Seperti yang kamu ketahui, din" jawabku, Dinda memang mengetahui latar belakang pernikahanku, tapi ia tidak mengetahui siapa lelaki yang menjadi suamiku itu. Karena ia tidak sempat datang pada hari pernikahan ku dilangsungkan, jadwal padat yang membuat nya tak sempat hadir.
"Yang sabar ya Alina gue yang super sholehah, gue selalu berdoa buat Lo," ucap Dinda dengan nada lebay.
"Udah, udah sana, bukannya ada jadwal bedah ya? Gak kasian sama pasien kamu yang lagi butuhin bantuan." Ucapku dengan nada mengusir, Dinda memajukan bibirnya tanda ia merajuk.
"Oh iya, hampir lupa." Jawab Dinda sambil menepuk jidatnya.
"Ya udah sana pergi."
"Oke, aku pergi ya, nanti siang jangan lupa traktir makan!" Dinda melambaikan tangannya dan menghilang dengan cepat. Dinda memang begitu kekanak-kanakan, padahal ia sudah memiliki seorang anak yang berumur 2 tahun. Tapi jiwa keibuannya belum begitu terlihat. Dinda umurnya memang di bawah ku, jadi aku mewajarkan jika dia seperti itu.
Tak lama akupun pergi dari sana menuju salah satu ruangan pasien yang mengidap penyakit jantung. Ketika mendengar nya, aku teringat Abi. Ingat sekali, ketika Abi berjuang dengan penyakitnya itu. Dan sekarang aku bertugas untuk menjaga pasien yang menderita penyakit itu. Penyakit yang sangat sulit disembuhkan, andai saat itu jantung ku bisa diberikan pada abi, aku ikhlas memberinya. Tapi itu tidak diperbolehkan karena resikonya sangatlah patal.
Setelah sampai di ruangan, dan aku sudah memeriksa pasien. Deretan pintu terdengar, aku melihat kearah itu. Aku mendapati seseorang yang tengah menyengir.
"Hai na, sorry. Aku lupa sampein, nanti malam pergi bareng ya"
"Mau apa? Kemana?"
"Kamu masa lupa, Azka anak fakultas sebelah. Yang super bagus agamanya itu," ucap Dinda.
"Iya, aku tahu, Azka Renra Putra kan? Yang terusin yayasan abinya, kemarin aku ketemu dia di acara reunian." Jelas ku.
"Nah iya, jangan lupa dong satu lagi." Jawab Dinda sambil senyam-senyum tak jelas.
"Apalagi yang lupa?"
"Kalo Azka naksir kamu, hehe" ujar Dinda sambil mempermainkan ku dengan mengedip-ngedipkan matanya jahil. "Dia ngundang kita keacaranya nanti malam," lanjutnya.
"Buat acara pengesahan dia jadi penerus abinya? Hmmm ya udah, kamu jemput aku ya, nanti alamatnya aku kirim lewat WhatsApp." Jawabku. Dinda mengangguk kan kepalanya dan kini dia benar-benar menghilang dibalik pintu.
Akupun melanjutkan acara pemeriksaan, karena tadi sempat tertunda akibat dinda.
.....
Sekitar pukul tujuh malam, aku sudah rapi dan bersiap dengan gamis panjang berwarna pink dusty dan khimarnya yang senada. Tak berapa lama klakson mobil menyadarkan ku, kebetulan hari ini mas akmal tidak ada di rumah. Aku juga tidak tahu dia kemana, jadi aku tidak bisa berpamitan padanya. Aku dan Dinda berangkat dengan mobil yang Dinda bawa.
Acara ini sangatlah mewah karena ini acara pengesahan Azka sebagai penerus abinya, menjadi pemegang yayasan Al-Furqon.
Al-Furqon ini merupakan pondok pesantren yang memang tidak diragukan lagi oleh orang-orang, semuanya yang lulus dari sana pasti sudah lancar 30 juznya. Akupun pernah mondok disana, namun tidak lama, karena aku dulu tidak menyukai hal-hal yang bersangkut paut dengan ilmu agama. Intinya aku malas menghapal dan bangun malam. Tapi untuk sekarang sifat itu berhasil aku buang, dan sholat malam sudah terbiasa aku tunaikan setiap harinya.
"Assalamu'alaikum dokter Dinda!" Suara itu membuatku dan Dinda memutar tubuh kami dan menemukan Azka yang tengah tersenyum kearah kami.
"Waalaikumsalam Azka."
"Hai Alina, assalamualaikum." Kata Azka sembari memangutkan kepalanya.
"Hadeh... Kalo ke Alina nyapanya lembut banget, lah ke aku biasanya aja." Sindir Dinda, Azka tertawa melihat tingkah Dinda.
"Kalo aku sapa kamu sok-sok manis, nanti yang ada suami tersayang kamu marah," sindir balik Azka.
"Eh Azka, Kan sekarang Alina juga udah punya suami" timbal Dinda, dengan mimik konyolnya. Kedua insan ini dari dulu memang selalu berantem jika bertemu, seperti kucing dan tikus. Yang kukira dulu mereka akan berjodoh tapi ternyata tidak.
"Alina?"
.....
Terimakasih udah mampir dicerita ku๐
Jangan lupa lovenya dan komen๐๐ป