Suasana makan malam disebuah rumah bergaya minimalis tampak sunyi, kedua orang itu tampak khusyuk dengan makanannya. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar dari ruang makan itu.
"Mas, aku lihat kamu begitu dingin terhadap Alina?" Tanya seorang wanita berparas cantik, yang tak lain Sandra. Dia adalah mantan akmal saat di SMA.
Lelaki yang dipanggil Mas itu menoleh dengan pandangan tidak suka, ia menaruh keras sendok dan garpu sehingga menyebabkan suara dentingan yang keras.
"Stop Sandra, udah cukup aku tersiksa karena masalah kita dulu, aku tidak ingin hubungan kita hancur karena kamu terus membicarakan nya." Bentaknya dengan suara tinggi.
"Mas, tapi Alina itu istri mu, Mas harus memperlakukannya dengan baik," balas Sandra.
"Tapi Mas tidak mencintainya San, Mas menikahinya karena perjanjian Abi dan ayahku." Akmal menyentuh kedua bahu Sandra dan mendekapnya.
"Sandra, please balik lagi pada Mas, Mas sudah tersiksa dengan pernikahan ini dengan Alina."
"Aku siap menjadi istri Mas, tapi Mas harus meminta izin pada Alina terlebih dulu. Jika Alina mengizinkan, maka aku siap menjadi istri kedua Mas."
.....
Operasi yang berjalan hampir tiga jam itu akhirnya selesai, kuregangkan sedikit ototku yang terasa kaku, meski aku tidak selelah dokter yang melakukan operasi nya tapi membantunya lumayan menyita tenaga ku. Operasi selesai tepat ketika waktu istirahat makan siang.
Kulangkahkan kakiku menuju kantin, tapi sebelumnya aku menjemput Dinda dahulu karna ku sudah janji akan neraktik nya. Namun belum sampai kakiku melangkah menuju ruangan Dinda, seseorang memeluk ku dari belakang menghentikan langkahku.
"Alin," bisiknya dan memeluk erat tubuhku. Rupanya dia Sandra, mantan Mas Akmal dan kemungkinan akan segera menjadi istrinya.
"Loh san, ngapain disini, sama siapa kesini?" Tanyaku. Sandra menunjuk kearah koridor tempatku datang tadi. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada Mas Akmal dan seorang anak kecil, Mas Akmal menatapku.
Siapa anak itu? Apa anaknya Mas Akmal?. Dapat aku rasakan sedikit sentakan yang kurasakan dihatiku.
"Assalamu'alaikum, ngapain kalian disini, ada yang sakit?" Tanyaku gugup. Mas Akmal menatapku dengan wajah datarnya.
"Waalaikumsalam, hai bunda, Alina" jawab anak kecil itu. Mas Akmal hanya diam.
"Ini siapa?" Tanyaku, aku berjongkok menyesuaikan posisi dengan anak yang tadi memanggil ku 'bunda'
"Aku shiran." Balasnya. Ketika melihatnya tersenyum padaku, hatiku sakit, perihnya begitu menyambar kenyataan diriku yang dianggap sebelah mata oleh Mas Akmal. Namun berusaha keras aku menahan rasa sakit itu, aku tetap tersenyum.
"Dia anak ku." Belum sempat aku berbicara lagi, Sandra berseru. Aku menolehnya sedikit dan kembali lagi melihat shiran yang masih tersenyum padaku.
"A-anak, Ma---" dengan cepat Sandra memotong ucapan ku.
"Di bukan anak dari Mas Akmal." Katanya, dengan tatapan matanya menyakinkan.
Huh. Setelah mendengar itu aku sedikit lega. Entah bagaimana aku bisa merasakan perasaan ini.
"Iya bunda, shiran bukan anaknya ayah ini." Ucapnya sambil menunjuk kearah Mas Akmal.
"Papa shiran pergi, ninggalin shiran pas shiran masih diperut mama." Ucapnya lagi, begitu lucu melihatnya berbicara. Namun mendengar ceritanya aku merasa kasihan.
Aku tersenyum, "shiran gak usah sedih, gak usah pikirin papanya shiran yang pergi ninggalin shiran. Birlah dia pergi, itu memang pilihannya, disinikan masih ada mama, ayah Akmal." Perih rasanya ketika mengucap itu, aku sudah tak kuasa menahan air mata. Shiran yang melihat ku menangis dia memeluk erat.
Andai yang memeluk ku saat ini, adalah anakku sendiri. Begitu bahagia nya aku. Aku segera menyeka air mata yang jatuh dipipi, dan segera kuusir keinginan itu. Karena keinginan itu hanya mimpi untuk ku, aku tidak mungkin memiliki buah hati dari Mas Akmal, dia tidur sekamar dengan ku saja sudah tak mau. Bagaimana aku bisa memiliki buah hati darinya.
"Shiran!" Bentak Sandra yang membuat anak itu terkaget, sehingga melepas pelukannya dariku. Akupun berdiri.
"Eh kita makan siang bareng yuk!" Ajak Sandra.
"Ehmm..."
"Lin, dicariin dari tadi, eh malah disini. Katanya mau terakhir gue!" Potong Dinda tanpa mengetahui kehadiran tiga orang disekitarku. "Eh ada sahabat nya Alina."
"San, aku sudah ada janji dengan Dinda, maaf ya," kulihat ia tersenyum memaklumi. Setelah pamit kulangkahkan kakiku dengan Dinda meninggalkan tiga orang yang menatap kepergian ku.
.....
Baru saja kututup salat ku dengan salam, dering telpon mengalihkan pandangan ku. Sederetan angka terpampang di layar ponsel. Tanpa menunggu lama, kuangkat telpon itu dan mendekatkan ponsel itu ke telinga.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, Lin, shiran deman badannya panas banget, kamu bisa bantu bawa dokter gak?" Suara yang kudengar itu suara Sandra.
"Oh, iya-iya. Kirim aja alamatnya." Setelah menutup telpon. Tanpa menunggu lama, ku pergi keruangan dokter Rehan, karena Dinda sudah pulang lebih awal.
"Assalamu'alaikum, dok." Ucapku, ku buka pintu ruangannya dan Alhamdulillah nya dokter Rehan tidak sibuk, jadi dengan begitu aku tidak sungkan meminta bantuannya.
"Waalaikumsalam, adaapa sust?"
"Gini dok, saya mau minta bantuan buat datang ke alamat ini." Ujarku sambil memperlihatkan alamat rumah Sandra yang di kirim pia SMS.
"Siapa yang sakit?"
"Anak temen saya," jawabku, entah kenapanya aku sangat gelisah terhadap shiran, padahal aku dengannya baru sekali bertemu tadi siang. Dan ku lihat juga tadi keadaannya baik-baik saja.
Aku dan dokter Rehan berangkat masing-masing, dia memakai mobilnya dan aku dengan motor favorit ku. Tadinya dokter Rehan memang meminta ku untuk pergi dengannya, tapi aku menolak. Jadinya aku mengendarai motor ku untuk membelah kota Jakarta yang mulai diguyur gerimis-gerimis kecil.
Aku sampai di rumah Sandra, dan mobil dokter Rehan sudah terparkir disana. Aku sampai disana dengan keadaan setengah basah. Kulihat Sandra sudah menunggu didepan rumah.
"Akhirnya kamu sampai juga, Lin. Dari tadi aku tunggu-tunggu, shiran udah ditangani sama dokter Rehan." Ucap Sandra ketika kakiku menginjak rumahnya. Benar saja, aku dapat mendengar suara shiran dan Rehan yang tertawa lepas didalam rumah.
Sandra menarik ku masuk kedalam rumahnya, kulihat shiran berada dipelukan Mas Akmal. Untuk apa Mas Akmal dirumah Sandra?
"Bunda!" Teriak shiran ketika melihatku datang. " Badan shiran panas bunda," adunya dengan air mata yang terus mengalir dari mata bulatnya.
"Kan, udah dokter rehan obatin, nanti panasnya pasti turun kok. Shiran jangan nangis lagi ya," ucapku. Dan kini tangisnya mulai mereda.
"Iya shiran, bener kata suster Alina, nanti juga bakal sembuh. Shiran juga harus pinter minum obatnya, supaya sakitnya hilang." Seru Rehan sambil mencubit gemas pipi shiran, shiran pun mengangguk.
"Sust, sudah malam sebaiknya kita pulang. Tidak enak mengganggu ibu Sandra dan suaminya, lagian shiran juga butuh istirahat." Ucapan Rehan benar-benar menggores hatiku. Heh, ingin sekali aku berteriak jika akulah istrinya, bukan Sandra atau siapapun! Tapi aku tak bisa menyerukan nya.
Ya Allah, bantu aku melewati masa ini, kuatkan aku dengan ujian dari mu, jangan buat aku meresa menyesal menjalankan ini semua.Aku ikhlas, ikhlas untuk luka yang terus menyayat hati ini. Gumam Alina dalam hatinya yang rapuh, tapi dengan ketabahannya ia masih tetap tersenyum.
"Dia bu---" aku menutup rapat mulut Sandra. Aku tidak ingin dia mengatakan yang sebenarnya dihadapan Rehan, karena aku tidak ingin Mas Akmal semakin marah pada ku. Aku menatap sandra berusaha memberitahu jangan mengatakan nya. Dan untungnya Sandra mengerti.
"Kita pamit ya," ucapku.
"Bunda udah malam, bunda nginep aja disini." Ujar shiran yang masih berada dipelukan Mas Akmal.
"Maaf, sayang, tapi Tante shif pagi besok,' jawabku tak sepenuhnya berbohong, memang benar besok aku shif pagi.
"Yah, padahal shiran pengen bunda nginep," jawab gadis kecil itu sedih.
"Maaf ya sayang, kalau shiran pengen ketemu tante. Shira mampir aja kerumah Tante," jawabku. Shiran tampaknya begitu semangat, bahkan ia berteriak bahagia mendengar ajakan ku untuk berkunjung ke rumah ku.
"Kamu aja yang sering main kesini, jangan sungkan Alina, kamu udah aku anggap seperti kakak ku sendiri." Timbal Sandra. Kulihat Mas Akmal kurang suka dengan ucapan Sandra.
"Insyaallah..."
.....
"Alin, lebih baik kau pulang bersama ku." Ajak Rehan, suaranya keras sehingga masih bisa terdengar oleh Mas Akmal, yang masih saja berada didekat Sandra. Dia menghiraukan ku, tidak sedikit saja dia menghargai ku sebagai istrinya. Mas Akmal menatapku datar.
"Tidak usah, dokter Rehan. Saya bisa pulang sendiri, lagian saya bawa motor." Jawabku.
"Ya sudah, kalo begitu hati-hati." Rehanpun masuk kemobilnya.
"Sandra, aku pamit ya, Shiran Tante pulang ya." Ucapku tersenyum pada keduanya. Aku melihat Mas Akmal yang hanya menatap datar. "M-mas, aku pamit." Aku menangis, tapi untungnya tidak terlihat karena jarak aku dengan mereka lumayan jauh.
Yang ku lihat dari mereka seperti keluarga kecil yang hangat penuh kemesraan. Bahkan aku sempat berpikir sebenarnya aku atau Sandra yang istrinya disini. Aku juga membayangkan jika aku bisa memiliki keluarga yang hagat seperti itu sedangkan suamiku saja lebih memilih wanita lain.
Hatiku sakit, mataku semakin memanas sehingga tangisku semakin dalam.
Setelah berpamitan, kukendarakan motorku untuk kembali kerumah. Namun sayang, dipertengahan jalan. Gerimis yang dari turun berubah menjadi hujan deras.
Dengan suasana hujan begini, hatiku ikut bersedih. Kejadian di rumah Sandra tadi kembali berputar di kepalaku. memberi goresan yang menoreh hatiku, air mataku yang tadi sudah mereda kini jatuh lagi seriing air hujan yang ikut turun mengguyur tubuh ku.
Tubuhku basah kuyup, wajahku pucat. Tapi untungnya aku sudah sampai didepan rumah. Dan dapat kurasakan kepala ku berdenyut-denyut dan berputar. Belum sempat aku melangkah menuju dalam rumah, tiba-tiba dunia ku menjadi gelap dan aku tidak ingat apa-apa. Hanya satu yang ku dengar, teriakan Azka.
.....
Next✨
Gimana, siap dengan cerita berikutnya gak?