Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian salah paham yang terjadi di rumah umi, panasnya itu masih ada. Rasa benci semakin membara, subur terpupuk oleh rasa sakit yang seakan merejam hati. Perjuangan Alina belum berhenti sampai di situ saja, ia masih saja bertahan dengan sikap Akmal yang setiap harinya membuat Alina menangis. Tapi, Alina sabar, ia terus berusaha membuat Akmal mencintai nya. Setiap hari, setiap saat, tidak peduli rasa sakit itu seberapa besar. Tidak peduli dengan hinaan yang ia dapat secara bertubi-tubi, satu hal yang pasti! Perempuan ini memilih bertahan.
"Mas, hari ini aku minta izin untuk mengikuti reuni bersama teman SMA, ku." Ucap Alina tanpa menghentikan kegiatannya membuat sarapan.
"Terserah,"
"Terimakasih, mas. Tapi, mas aku pengen kamu juga ikut bersama ku."
"Aku sibuk! Kamu pergi saja sendiri." Kata yang keluar jadi mulut Akmal begitu dingin.
"Tapi, mas."
"Berhentilah, memaksa Alina!" Seru Akmal sedikit membentak.
Alina mengalah, dia mencoba acuh pada sikap Akmal yang terus saja berteriak dan membentaknya sesuka hati.
"Mas, aku tidak memaksa. Aku hanya meminta kamu menemani ku saja, kamu sendirikan yang meminta ku untuk bersikap baik di hadapan orang? Itukan keinginan kamu, apa aku harus tunjukkan saja kalo sebenarnya mas tertekan dengan pernikahan ini." Alina sedikit membenarkan perihal pernikahan mereka, membuat sang suami terdiam. Kenyataannya ikatan mereka dimata Akmal hanya sekedar perjanjian.
Detik berikutnya Akmal angkat bicara, "Perjanjian itu hanya di buat untuk keluarga saja, untuk orang lain, tidak! Jangan sampai ada yang mengetahui pernikahan kita." Ucapnya tetap fokus pada layar TV di depannya. Mengacuhkan Alina yang tengah sibuk membuat sarapan.
"Kenapa, kamu malu mengakui aku sebagai istri mu, mas? Ya sudah kalo gitu, biar aku saja yang pergi. Kamu tidak perlu khawatir, aku jamin teman-teman ku tidak akan tau tentang pernikahan ini." Alina bergegas dengan membuat sarapannya. Baru tiga langkah Alina berjalan, ucapan Akmal menghentikan Alina.
"Aku akan mengantar mu"
"Tidak usah, mas," jawab Alina singkat lalu berjalan ke arah kamar. Ketika Akmal berada di ruang tv, beberapa kali ia mencuri pandang pada Alina. Dia sadar gadis itu cantik, dan juga sangat telaten dengan tugasnya.
"Maaf, mas. Aku pamit" Alina menunggu uluran tangan Akmal tapi tangan itu tak kunjung Akmal berikan untuk Alina.
Alina pun berjalan meninggalkan suaminya. Kini Alina sudah berada di jalan raya menunggu anggutan umum, namun tak kunjung datang. Detik berikutnya terdengar klakson mobil, jendela mobil itu terbuka. Dan terlihat jelas itu akmal, Alina hanya diam mengacuhkan suaminya. Ia berpura-pura tidak melihatnya, beberapa menit mobil itu tak pergi hanya terdiam tepat di depan Alina.
Akmal angkat bicara yang posisinya di dalam mobil, "naiklah."
Alina hanya terdiam, dia sudah terlanjur kesal.
"Alina, kau mendengar aku tidak? Naik aku bilang!" Alina melihat ke arah Akmal. Akmal sudah mulai geram karena di acuhkan sang istri.
"Baiklah." Alina mengalah lagi. Ia pun naik kedalam mobil. Di perjalanan tidak ada pembicaraan. Menit berikutnya suara telpon terdengar dari ponsel akmal. Alina masih acuh tidak peduli, ia hanya mengarah ke luar jalanan.
Ponsel milik Akmal terus saja berbunyi namun tak kunjung Akmal angkat pula.
"Kenapa gak di angkat, mas?"
Akmal melihat ke arah Alina, lalu melihat ke arah ponsel setelah nya. "Tidak penting juga,"
Alina hanya mengangguk lalu fokus kembali pada jalanan. Sampai sudah di sebuah kafe yang cukup luas, mobil yang Alina tumpangi berhenti. Alina keluar dari mobil, hari ini Alina memakai gamis warna biru muda dengan Khimar yang senada.
"Makasih mas." Ucap alina, lalu mencium punggung tangan sang suami. Baru saja Alina akan berjalan, suara Akmal menghentikan nya.
"Aku tunggu disini, sampai acara kamu selesai."
Apa? Hati Alina tiba-tiba tak karuan, senang rasanya suaminya seperti itu. Meski tidak ikut bersamanya ke dalam sana setidaknya tetap saja di temani. Alina tersenyum lalu berjalan masuk ke kafe.
Disana sudah berkumpul semua orang, teman-teman Alina saat SMA. Alina duduk dekat tempat memesan makanan, di temani dengan dua teman dekatnya. Annisa dan wita.
"Lin, kok masih sendiri?" Tanya wita.
Alina ingin sekali memberi tahu jika ia sudah menikah, dan memiliki suami yang tampan. Tapi, ia tahan. Alina tidak ingin membuat masalahnya semakin berat.
"Mungkin Allah masih menahan laki-laki yang akan menjadi imam ku." Jawaban Alina, sangatlah menyakiti hati nya sendiri. Alina memang tidak menginginkan perjodohan ini, tapi demi Allah sang dzat yang membolak-balikkan hati. Ia menerima takdir-nya, dan ia berusaha akan mencintai suaminya karena Allah. Meski hasilnya nihil.
"Bener, Lin, oh iya aku mau nanti pas acara lamaran ku kalian datang ya." Seru Annisa.
Alina tersenyum, "Alhamdulillah nis, akhirnya kamu bertemu seseorang yang berniat baik untuk menjadikan mu, bidadari. Insyaallah aku datang," jawab Alina sembari memegang tangan Annisa.
Wahai suamiku, imam ku. Semoga Allah segera membukakan hati mu untuk ku. Gumam Alina dalam hati. Sambil melihat ke arah mobil yang terparkir didepan kafe.
"Assalamu'alaikum," suara itu..
Suara yang sangat Alina kenal, itu Azka lelaki yang dulu pernah menjadi pengisi hatinya. Laki-laki yang selalu mengajarkan sulitnya menjalani kehidupan. Lelaki yang sangat Alina ingin menjadi imamnya.
Azka menghampiri Alina tidak lupa dengan senyuman manisnya, "assalamualaikum, Alina. Apa kabar?"
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah aku sehat." Jawaban Alina dengan suara lembutnya.
"Kok yang di tanya cuma Alina, padahal disini ada kita-kita loh." Ujar wita, diikuti dengan kekehan Annisa.
"Assalamu'alaikum ukhti, gimana kabarnya?" Ucapan Azka malah membuat Alina terkekeh karena menurut Alina suaranya sangat menggemaskan.
"Waalaikumsalam ya akhi, Alhamdulillah ana sehat walafiat. Hehe" jawab Annisa.
Azka menggeleng melihat kelakuan temannya yang sama sekali tidak berubah.
"Ka, jangan lupa ya nanti datang kalo calon imam gue ngelamar." Ucap Annisa. "Btw kapan nih, Lo mau lamar Alina? Jangan lama-lama dibiarin dong, nanti keburu sama orang." Lanjut Annisa yang membuat Azka mengangkat sebelah alisnya.
"Maksudnya?"
"Lo udah lamakan deket sama Alina, dari pada jadi dosa, mending cepet halalin."
Deg
Alina benar-benar kaget, seperti ada Sambaran kilat yang menyengat hatinya. Alina rasa hatinya sesak, dadanya sakit. Bukan karena pembicaraan Annisa, tapi, karena perihnya kenyataan tentang dirinya. Ia kini memiliki suami dan statusnya juga sudah berubah, tapi kenyataan hidupnya sangatlah jauh dari kata bahagia.
Bukan ia tidak bersyukur pada takdir-nya tapi kenyataan pahitnya hidup ini begitu terasa. Apalagi saat teman-temannya asik membicarakan calon imam nya, asik membicarakan betapa bahagianya mereka, dan asik memperkenalkan calon imamnya pada teman-teman lain. Namun aku?
Hanya bisa terdiam. Sedih rasanya menjadi diri Alina yang saat ini.
3 jam berlalu acara reuni itu. Alinapun keluar dari kafe. Tidak lupa ia berpamitan pada temannya, "aku duluan ya, assalamualaikum" setelahnya Alina berjalan ke arah mobil yang terparkir tepat di bawah pohon. Alina masuk.
"Mas." Ujar Alina pelan.
Tanpa menjawab Akmal langsung menyalakan mobilnya, dan melaju cepat.
Mas bisa saat ini mengacuhkan aku, tapi aku yakin suatu saat mas sendiri yang akan merasa rindu dengan suara ku. Batin Alina.
"Seneng ya, bisa kumpul bareng temen?" Tanya Akmal.
"Alhamdulillah, Allah masih memberi aku rasa bahagia. Apalagi kamu udah mau nganterin aku, mas" Jawaban Alina berhasil membuat hati Akmal tersentuh. Ia tersenyum kecil tapi Alina tidak melihatnya.
"Aku hanya kasian pada mu, jangan berharap lebih." Ujar Akmal dingin. Tapi Alina masih bisa tersenyum menghadapi sang suami yang masih dingin sikapnya.
Tanpa sebab rasanya waktu tiba-tiba berhenti. Kedua mata hamba Allah itu bertemu pada satu titik. Namun Akmal buru-buru mengalihkan pandangan pada jalan lagi, Alina masih pada posisinya. Alina tak mengalihkan tatapannya. Entah kenapa memandang sang suami begitu meneduhkan hatinya, jika saja suaminya ini begitu mencintainya ingin sekali ia menyentuh wajah tampanya. Itu mustahil.
Akmal mulai merasa risih dengan tatapan Alina itu. "Jangan melihat ku seperti itu? Jika sampai kamu jatuh cinta, aku tidak akan bertanggung jawab." Akmal berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang lumayan cukup ramai.
"Alin gak butuh mas bertanggung jawab. Karena yang Alina tahu, tidak salah jika seorang istri jatuh cinta pada suaminya. Dalam perjanjian itu juga tidak ada larangan kan untuk aku tidak jatuh cinta pada siapapun, meski itu mas sendiri." Alina membenarkan.
"Tapi saya tidak suka dan melarangnya."
"Tapi dalam agama Islam tidak melarang seorang istri mencintai suaminya. Bahkan dimata hukum juga tidak ada undang-undang nya yang menegaskan hal itu."
"Aku harap kamu sadar akan posisi mu, batasan mu juga. Dan ingat akan tujuan dari pernikahan ini." Ucapan Akmal begitu menusuk relung hati Alina. Tapi, yang Alina lakukan hanyalah tersenyum dan bersabar.
"Aku menjalankan perjodohan ini sebagai amanah dari Abi dan insyaallah itu karena Allah, aku juga yakini perjodohan ini dengan keyakinan sepenuh hati dan keimanan yang kuat, mas. Walaupun ada perjanjian yang kamu buat untuk ku." Alina terdiam sejenak. "Jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang menentukan. Kita sebagai umatnya hanya bisa berencana selepasnya Allah yang menentukan. Meski kita berstatus suami istri, bukan berarti kita berjodoh. Ya, meski ikatan ini lewat perjodohan yang tidak didasari cinta, tapi aku yakin inilah yang Allah inginkan untuk kita." Gadis itu melanjutkan ucapanya. Perihal kontrak itu memang benar, meski sampai saat ini Alina sudah tidak melihat lagi kertas putih bermaterai itu.
.....
Gimana untuk cerita bagian ini? aku harap kalian tetap stay dan suka.😊 Kalo ada typo mohon koreksi ya.
Jangan lupa vote, komen dan share ke teman-temannya 👌