Merasa ada
kejanggalan, Pak Doni melemparkan pertanyaan kepada putrinya, "Diana, kamu baru
saja dari kamar, bagaimana bisa tahu kalau kamu dari kamar?"
Marissa yang sedari tadi marah-marah pun juga merasakan
kejanggalan tersebut. Tapi, ia masih diam, mengamati mimik wajah Diana dan juga
Elis.
"Emmm… Diana nebak aja, kok Pi," jawab Diana dengan tergagap
sambil melihat kea rah maminya ragu-ragu.
"Elis jawab dengan jujur, bagaimana kronologi kebakaran
tadi?" tanya Marissa masih dengan nada yang emosional.
"Tadi, saat semua masakan sudah selesai, dan tiunggal hanya
membuat telur dadar saja, suara bel mesin cuci berbuny. Saya matikan kompor dan
meletakkan adonan telur dadar dekat kompor dan naik ke atas."
"Barangkali kamu lupa mematikannya, Elis. Siapa tahu kompor
itu sudah mati, tapi malah kamu nytalaiin," timpal Diana sambil tertawa sinis.
Elis memandang Diana dengan tatapan mata tak percaya,
bagaimana bisa bu Marissa dan pak Doni yang baik bisa memiliki anak seperti
iblis begini? Apakah dulu saat melahirkan
anaknya dia tertukar dengan anak seorang bajingan, sehingga seperti ini? Bisa
memiliki wajah yang persis dengan ibunya hanya karena diasuh sejak kecil?
"Saya masih ingat, Non. Jika pun saya lupa, harusnya anda
tadi bisa mengingatkan saya, bukan? Dan adonan telur dadar tadi juga saya
letakan di atas kompor dekat Teflon, kenapa bisa berceceran menjadi rata ke
seluruh dapur begitu? Jika memang jatuh harusnya bentuknya tidak seperti itu,
mangkuk juga pasti sudah pecah di lantai."
Mata Elis menatap tegas kea rah Diana, ia tidak mau mengalah
terus sekalipun dia adalah anak majikannya. Sebab, ini menyangkut kepercayaan
bosnya terhadap dirinya. Sejak awal ia datang, Diana sudah mencoba cari-cari
kesalahannya. Jadi, dalam hati ia memutuskan untuk tidak menyerah pada sosok
seperti Diana begini. Hah, memang siapa dia? Jika memang di rumah ini sudah tak
ada lagi keadilan, pergi lebih baik. Tak masalah jika harus jadi pemulung
selama itu halal dan membuat ia tenang.
"Apakah ini ulah kamu, Diana?" tanya Marissa yang memang
sudah hafal banget dengan kebiasaan buruk putrinya.
"Kenapa aku sih, Mi? Lagian sensi banget apa-apa aku yang di
salahin," jawab Diana sambil melengos.
"Ya sudah, dari pada kita saling menyalahkan, kita lihat
kondisi dapur seperti apa," usul pak Doni. Akrinya semuanya pun ikut ke dapur,
tak terkecuali Diana.
Sesampainya di dapur, asap sudah mereda. Tapi, posisi
mangkuk bekas telur dadar, Teflon dan juga telur yang berceceran merata jadi
sampai hampir ke seluruh lantai dapur. Bahkan, di semua pintu lemari kitchen
set bagian bawahnya juga penuh dengan telur. Dengan bentuk seperti ini saja,
jika mereak semua waras juga sudah pasti dapat membedakannya, bukan? Ini di
sengaja atau memang sebuah kecelakaan.
Bu Marissa dan pak Doni tercengang melihat kondisi dapur,
dan benar saja, mangkuk bekas adonan telur dadar yang mulai mengering juga
masih tetap berada di posisinya. Elis hanya menunggu apa yang bakalan terjadi
selanjutnya.
Sementara diana menepuk jidatnya sendiri dambil berseru
dalam hati, 'bodoh, kenapa mangkuknya tadi aku kembalikan ke tempatnya? Kan,
kalau sudah begini jadi mencolok.'
"Mi, Pi… Diana kan baru saja keluar dari kamar, Diana baru
bangun. Mungkin dia saja merasa keberatan bekerja di sini dan sengaja melakukan
agar dipecat. Dah kasih saja dia pesangon suruh pulang kampung, atau kembali
menggembel saja."
"Di mana ada orang baru bangun tidur muka sudah fresh
begitu? Di dalam kamar mu kan tidak ada toiletnya. Kamu cuci muka juga ke kamar
mani sana kan?" ucap Elis sambil menujuk ke pintu kamar mandi yang letaknya
berdekatan dengan dapur.
Bu Marissa dan pak Doni masih diam, melihat bagaimana cara
Diana menjatuhkan Elis. Serta, mengamati bagaimana cara Elis melindungi diri.
Rupanya apa yang Elis katakana juga benar, muka Diana tidak terlihat kucel sama
sekali, bahkan rambutnya juga rapih seperti sudah di sisir.
"Elis, kalau kamu memang tidak suka sama aku, ya sudah, gak
usah main fitnah. Apa mungkin kau sengaja memberantakkan adonan telur dadar ini
dan menyalahkan aku? Agar kau dapat simpatik dan pembelaan kedua orantuaku? Kau
sudah ambil pacarku, dan sekarang kau malah mau merampas kedua orangtuaku."
Elis menyeringai melihat sandiwara Diana. Ia berfikir kenapa
gadis ini tidak jadi artis saja? Walau kepribadiannya dapat dikata buruk. Tapi,
ia memerankan tokoh protagonist dan tertindas juga pantas. Pasti ia akan
mendapat banyak penghargaan piala kelas Oscar nantinya.
"Pacarmu yang mana? Siapa? Ini Cuma urusan telur dan dapur
yang hampir terbakar, kenapa kamu malah kemana-mana? Apa kau pikir kau kurang
kerjaan sampai mau-maunya lakukan ini? Untuk apa aku merampas kedua orangtuamu?
Bia raku gelandangan aku juga punya ayah dan ibu yang baim di kampung."
"Itu alasan kamu, kan? Kamu… "
"Cukup!" seru Marissa memotong kalimat putrinya. Ia merasa
pusing dengan argument Diana dan Elis."Diana, berfikirlah dari sekarang, ada
waktu tigapuluh detik, kau akui kesalahan. Atau Momy akan panggil om Mario
kemari."
Diana terkejut sampai mulutnya menganga saat momynya menyebut
nama om Mario. Sebab, dia adalah seorang detektif swasta dengan gaji mahal yang
biasa dipakai untuk menyelidiki sebuah kasus yang rumit yang kepolisian saja
tak mampu mengungkapnya. Apalagi hanya soal sepele seeperti ini, tidak menunggu
waktu lama cukup lima menit saja juga sudah dapat mengungkapnya.
"Iya, aku yang lakukan agar dia kena marah oleh kalian dan diusir
dari rumah ini!" Diana yang merasa kesal pun pergi berlari menuju kamarnya.
Sementara Elis, ia
masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Ia merasa heran, salah apa dia
sebenarnya? Kenapa harus berjumpa dengan makhluk seperti Diana? Gadi itu berusaha
tegar atas apa yang telah menimpanya. Sekuat tenaga ia mencoba untuk tidak
menangi. Tapi, air mata it uterus mengalir walau tak pernah diminta. Bahkan,
mati-matian ia mencoba mencegahnya.
"Elis, atas nama Diana, bapak sama ibu minta maaf, ya?" ucap
pak Doni dengan pelan.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa." Gadis itu tersenyum. Namun,
matanya masih mengeluarkan buliran bening yang membasai kedua pipinya. Bagaimana pun, Elis juga ,asih baru dan belum
terbiasa dengan sikap orang yang seperti ini. Jadi, wajar lah perlu penyesuaian
untuknya.
"Maafin ibu juga yang
tadi sempat marah-marah sama kamu, ya Lis?" ucap Marissa pula, turut merasa
bersalah.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya gak sedih, kok."
"Kamu menangis, bagaimana mungkin kamu tidak bersedih?"
"Saya Cuma ingat teman-teman di kampung sama mereka yang di
gubuk kardus."
***123
Tanpa terasa, sudah hampir dua tahun lamanya Elis bekerja di
rumah itu. Awalnya dia memang selalu ditindas oleh anak majikan yang liarnya
kebangetan itu. Tapi, itu hanya berselang beberapa bulan saja, selebihnya ia
pun berani melawan bahkan mengerjai balik. Terlebih ketika keduanyonya dan tuannya
sedang berada di luar kota, Elis manfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya.
Toh itu juga hanya terjadi sengit di antara mereka berdua saja. Selebihnya,
Diana tidak aka nada keberanian melapor kepada papi ataupun momynya lagi.
Sebeb, mereka semua sudah faham, Elis tidak akan berulah kalau tidak di dahului
oleh Diana.
Suatu hari, Elis tengah mengepel lantai. Sebenarnya ia sudah
sangat kelelahan hari ini karena, selama lima hari kedua majikannya keluar
negeri. Diana malah dengan semena-mena membuat kotor rumah, memberantkkan isi lemari
dan dalam waktu sehari saja dia biusa berganti pakaian sampai duapuluh kali.
Elis hanya diam. Tapi, enth ide iseng dari mana, Diana yang
baru saja kembali dari kolam renang yang terletak di belakang rumahnya, ia
sengaja berjalan dari belakang menuju kamarnya dalam keadaan basah tanpa
mengeringkan diri dulu. Padahal sudah jelas sekali Elis baru saja mengepel
lantai tersebut.
Karena tidak mau ribut, Elis cukup mengulang kembali bagaian
yang basah bekas dilewati Diana. Tapi, Diana tidak cukup begitu saja, ia malah
dengan sengaja menendang ember tempat air yang digunakan Elis untuk mengepel.
Elis hanya menghela napas Panjang, dan kemudioa berkata
dengan nada datar. "Aku sudah lelah mengepel seluruh rumah ini."
"Lalu, kamu mau aku membersihkannya, begitu?" ledek Diana.
"Iya," jawab Elis, singkat.
"Aku tidak mau. Ini pekerjaan kamu sebagai pembantu, kan?"
"Iya, tapi kau keterlaluan. Bukannya seharusnya semua sudah
beres? Beberapa hari ini kau me bikinj ulah aku hanya diam saja. Dan kali I ni
kau sungguh kelewatan!"
Diana hanya tersenyum di bawah penderitaan Elis. Ia tak mau
tahu, dan sedikit pun juga gak mau peduli.
"Cepat kamu bersihkan latainya, atau… " Elis menghentikan
kalimatnya. Ia berusaha keras untuk tidak terbawa emosi. Meski bagaimana pun
benar apa yang di katakana Diana. Ia hanyalah seorang pembantu.
"Atau apa?"
"Atau akan kugunakan wajahmu untuk membersihkan lantai ini!"
seru Elis begitu saja, seperti orang yang tak sadar saja.
"Apa kau berani? Coba kulihat seperti apa?"
"Baiklah. Ini karena kau yang memintanya. Lagi pula, kau
juga tak akan berani mengadu pada kedua orang tuamu, kan? Jika pun kau berani, sama
hal nya kau akan menggali lubang kuburmu sendiri." Elis pun mulai menjabak
rambut Diana dan hebdak mendorongnya ke
lantai.
Sekalipun Elis tidak
akan benar-benar melakukannya. Rupanya hal itu cukup membuat gadis manja yang
hanya mampu bertengger di atas kekuasaan yang dimiliki kedua orang tuanya pun
juga merasa gentar juga. Elis tersenyum seorang diri saat melihat bagaimana
cara Diana membersihkan lantai dari genangan air. Sangat kaku seperti kanebo
kering. Jelas saja, sebab ia memang tidak pernah mengerjakan semua pekerjaan
rumah. Tapi, lama-lama Elis melihatnya juga tidak tega. Ia pun mengambil spon
di depan yang biasa pak Jupri gunakan untuk mencuci mobil. Kemuadian ia kembali.
Ia gunakan spons tersebut untuk menyerap air dari lantai dan memerasnya dalam
ember. Toh, kalau di pikir-pikir setelah ngepel lantai dia juga sudah beres
semua pekerjaan.
"Kenapa kamu memantuku?" tanya Diana dengan pelan. Nada
angkuh dan sombongnya bahkan sudah tidak ada lagi.
"Aku kasihan sama kamu."
Diana terdiam, ia merasa sedikit tersentuh, bagaimana
mungkin Elis yang selama ini selalu ia repotkan dengan hal-hal yang aneh-aneh, ini
malah dengan suka rela membantunya. Jika saja bukan dia, pasti ia sudah merasa
menang dan sok berkuasa. Seperti adegan di sinetron pembantunya pada nglunjak
dan tak tahu diri.