Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 21 - BAYI TERTUKAR

Chapter 21 - BAYI TERTUKAR

Merasa ada

kejanggalan, Pak Doni melemparkan pertanyaan kepada putrinya, "Diana, kamu baru

saja dari kamar, bagaimana bisa tahu kalau kamu dari kamar?"

Marissa yang sedari tadi marah-marah pun juga merasakan

kejanggalan tersebut. Tapi, ia masih diam, mengamati mimik wajah Diana dan juga

Elis.

"Emmm… Diana nebak aja, kok Pi," jawab Diana dengan tergagap

sambil melihat kea rah maminya ragu-ragu.

"Elis jawab dengan jujur, bagaimana kronologi kebakaran

tadi?" tanya Marissa masih dengan nada yang emosional.

"Tadi, saat semua masakan sudah selesai, dan tiunggal hanya

membuat telur dadar saja, suara bel mesin cuci berbuny. Saya matikan kompor dan

meletakkan adonan telur dadar dekat kompor dan naik ke atas."

"Barangkali kamu lupa mematikannya, Elis. Siapa tahu kompor

itu sudah mati, tapi malah kamu nytalaiin," timpal Diana sambil tertawa sinis.

Elis memandang Diana dengan tatapan mata tak percaya,

bagaimana bisa bu Marissa dan pak Doni yang baik bisa memiliki anak seperti

iblis begini? Apakah  dulu saat melahirkan

anaknya dia tertukar dengan anak seorang bajingan, sehingga seperti ini? Bisa

memiliki wajah yang persis dengan ibunya hanya karena diasuh sejak kecil?

"Saya masih ingat, Non. Jika pun saya lupa, harusnya anda

tadi bisa mengingatkan saya, bukan? Dan adonan telur dadar tadi juga saya

letakan di atas kompor dekat Teflon, kenapa bisa berceceran menjadi rata ke

seluruh dapur begitu? Jika memang jatuh harusnya bentuknya tidak seperti itu,

mangkuk juga pasti sudah pecah di lantai."

Mata Elis menatap tegas kea rah Diana, ia tidak mau mengalah

terus sekalipun dia adalah anak majikannya. Sebab, ini menyangkut kepercayaan

bosnya terhadap dirinya. Sejak awal ia datang, Diana sudah mencoba cari-cari

kesalahannya. Jadi, dalam hati ia memutuskan untuk tidak menyerah pada sosok

seperti Diana begini. Hah, memang siapa dia? Jika memang di rumah ini sudah tak

ada lagi keadilan, pergi lebih baik. Tak masalah jika harus jadi pemulung

selama itu halal dan membuat ia tenang.

"Apakah ini ulah kamu, Diana?" tanya Marissa yang memang

sudah hafal banget dengan kebiasaan buruk putrinya.

"Kenapa aku sih, Mi? Lagian sensi banget apa-apa aku yang di

salahin," jawab Diana sambil melengos.

"Ya sudah, dari pada kita saling menyalahkan, kita lihat

kondisi dapur seperti apa," usul pak Doni. Akrinya semuanya pun ikut ke dapur,

tak terkecuali Diana.

Sesampainya di dapur, asap sudah mereda. Tapi, posisi

mangkuk bekas telur dadar, Teflon dan juga telur yang berceceran merata jadi

sampai hampir ke seluruh lantai dapur. Bahkan, di semua pintu lemari kitchen

set bagian bawahnya juga penuh dengan telur. Dengan bentuk seperti ini saja,

jika mereak semua waras juga sudah pasti dapat membedakannya, bukan? Ini di

sengaja atau memang sebuah kecelakaan.

Bu Marissa dan pak Doni tercengang melihat kondisi dapur,

dan benar saja, mangkuk bekas adonan telur dadar yang mulai mengering juga

masih tetap berada di posisinya. Elis hanya menunggu apa yang bakalan terjadi

selanjutnya.

Sementara diana menepuk jidatnya sendiri dambil berseru

dalam hati, 'bodoh, kenapa mangkuknya tadi aku kembalikan ke tempatnya? Kan,

kalau sudah begini jadi mencolok.'

"Mi, Pi… Diana kan baru saja keluar dari kamar, Diana baru

bangun. Mungkin dia saja merasa keberatan bekerja di sini dan sengaja melakukan

agar dipecat. Dah kasih saja dia pesangon suruh pulang kampung, atau kembali

menggembel saja."

"Di mana ada orang baru bangun tidur muka sudah fresh

begitu? Di dalam kamar mu kan tidak ada toiletnya. Kamu cuci muka juga ke kamar

mani sana kan?" ucap Elis sambil menujuk ke pintu kamar mandi yang letaknya

berdekatan dengan dapur.

Bu Marissa dan pak Doni masih diam, melihat bagaimana cara

Diana menjatuhkan Elis. Serta, mengamati bagaimana cara Elis melindungi diri.

Rupanya apa yang Elis katakana juga benar, muka Diana tidak terlihat kucel sama

sekali, bahkan rambutnya juga rapih seperti sudah di sisir.

"Elis, kalau kamu memang tidak suka sama aku, ya sudah, gak

usah main fitnah. Apa mungkin kau sengaja memberantakkan adonan telur dadar ini

dan menyalahkan aku? Agar kau dapat simpatik dan pembelaan kedua orantuaku? Kau

sudah ambil pacarku, dan sekarang kau malah mau merampas kedua orangtuaku."

Elis menyeringai melihat sandiwara Diana. Ia berfikir kenapa

gadis ini tidak jadi artis saja? Walau kepribadiannya dapat dikata buruk. Tapi,

ia memerankan tokoh protagonist dan tertindas juga pantas. Pasti ia akan

mendapat banyak penghargaan piala kelas Oscar nantinya.

"Pacarmu yang mana? Siapa? Ini Cuma urusan telur dan dapur

yang hampir terbakar, kenapa kamu malah kemana-mana? Apa kau pikir kau kurang

kerjaan sampai mau-maunya lakukan ini? Untuk apa aku merampas kedua orangtuamu?

Bia raku gelandangan aku juga punya ayah dan ibu yang baim di kampung."

"Itu alasan kamu, kan? Kamu… "

"Cukup!" seru Marissa memotong kalimat putrinya. Ia merasa

pusing dengan argument Diana dan Elis."Diana, berfikirlah dari sekarang, ada

waktu tigapuluh detik, kau akui kesalahan. Atau Momy akan panggil om Mario

kemari."

Diana terkejut sampai mulutnya menganga saat momynya menyebut

nama om Mario. Sebab, dia adalah seorang detektif swasta dengan gaji mahal yang

biasa dipakai untuk menyelidiki sebuah kasus yang rumit yang kepolisian saja

tak mampu mengungkapnya. Apalagi hanya soal sepele seeperti ini, tidak menunggu

waktu lama cukup lima menit saja juga sudah dapat mengungkapnya.

"Iya, aku yang lakukan agar dia kena marah oleh kalian dan diusir

dari rumah ini!" Diana yang merasa kesal pun pergi berlari menuju kamarnya.

Sementara Elis, ia

masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Ia merasa heran, salah apa dia

sebenarnya? Kenapa harus berjumpa dengan makhluk seperti Diana? Gadi itu berusaha

tegar atas apa yang telah menimpanya. Sekuat tenaga ia mencoba untuk tidak

menangi. Tapi, air mata it uterus mengalir walau tak pernah diminta. Bahkan,

mati-matian ia mencoba mencegahnya.

"Elis, atas nama Diana, bapak sama ibu minta maaf, ya?" ucap

pak Doni dengan pelan.

"Iya, Pak. Tidak apa-apa." Gadis itu tersenyum. Namun,

matanya masih mengeluarkan buliran bening yang membasai kedua pipinya.  Bagaimana pun, Elis juga ,asih baru dan belum

terbiasa dengan sikap orang yang seperti ini. Jadi, wajar lah perlu penyesuaian

untuknya.

"Maafin ibu juga yang

tadi sempat marah-marah sama kamu, ya Lis?" ucap Marissa pula, turut merasa

bersalah.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya gak sedih, kok."

"Kamu menangis, bagaimana mungkin kamu tidak bersedih?"

"Saya Cuma ingat teman-teman di kampung sama mereka yang di

gubuk kardus."

***123

Tanpa terasa, sudah hampir dua tahun lamanya Elis bekerja di

rumah itu. Awalnya dia memang selalu ditindas oleh anak majikan yang liarnya

kebangetan itu. Tapi, itu hanya berselang beberapa bulan saja, selebihnya ia

pun berani melawan bahkan mengerjai balik. Terlebih ketika keduanyonya dan tuannya

sedang berada di luar kota, Elis manfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya.

Toh itu juga hanya terjadi sengit di antara mereka berdua saja. Selebihnya,

Diana tidak aka nada keberanian melapor kepada papi ataupun momynya lagi.

Sebeb, mereka semua sudah faham, Elis tidak akan berulah kalau tidak di dahului

oleh Diana.

Suatu hari, Elis tengah mengepel lantai. Sebenarnya ia sudah

sangat kelelahan hari ini karena, selama lima hari kedua majikannya keluar

negeri. Diana malah dengan semena-mena membuat kotor rumah, memberantkkan isi lemari

dan dalam waktu sehari saja dia biusa berganti pakaian sampai duapuluh kali.

Elis hanya diam. Tapi, enth ide iseng dari mana, Diana yang

baru saja kembali dari kolam renang yang terletak di belakang rumahnya, ia

sengaja berjalan dari belakang menuju kamarnya dalam keadaan basah tanpa

mengeringkan diri dulu. Padahal sudah jelas sekali Elis baru saja mengepel

lantai tersebut.

Karena tidak mau ribut, Elis cukup mengulang kembali bagaian

yang basah bekas dilewati Diana. Tapi, Diana tidak cukup begitu saja, ia malah

dengan sengaja menendang ember tempat air yang digunakan Elis untuk mengepel.

Elis hanya menghela napas Panjang, dan kemudioa berkata

dengan nada datar. "Aku sudah lelah mengepel seluruh rumah ini."

"Lalu, kamu mau aku membersihkannya, begitu?" ledek Diana.

"Iya," jawab Elis, singkat.

"Aku tidak mau. Ini pekerjaan kamu sebagai pembantu, kan?"

"Iya, tapi kau keterlaluan. Bukannya seharusnya semua sudah

beres? Beberapa hari ini kau me bikinj ulah aku hanya diam saja. Dan kali I ni

kau sungguh kelewatan!"

Diana hanya tersenyum di bawah penderitaan Elis. Ia tak mau

tahu, dan sedikit pun juga gak mau peduli.

"Cepat kamu bersihkan latainya, atau… " Elis menghentikan

kalimatnya. Ia berusaha keras untuk tidak terbawa emosi. Meski bagaimana pun

benar apa yang di katakana Diana. Ia hanyalah seorang pembantu.

"Atau apa?"

"Atau akan kugunakan wajahmu untuk membersihkan lantai ini!"

seru Elis begitu saja, seperti orang yang tak sadar saja.

"Apa kau berani? Coba kulihat seperti apa?"

"Baiklah. Ini karena kau yang memintanya. Lagi pula, kau

juga tak akan berani mengadu pada kedua orang tuamu, kan? Jika pun kau berani, sama

hal nya kau akan menggali lubang kuburmu sendiri." Elis pun mulai menjabak

rambut Diana dan  hebdak mendorongnya ke

lantai.

Sekalipun Elis tidak

akan benar-benar melakukannya. Rupanya hal itu cukup membuat gadis manja yang

hanya mampu bertengger di atas kekuasaan yang dimiliki kedua orang tuanya pun

juga merasa gentar juga. Elis tersenyum seorang diri saat melihat bagaimana

cara Diana membersihkan lantai dari genangan air. Sangat kaku seperti kanebo

kering. Jelas saja, sebab ia memang tidak pernah mengerjakan semua pekerjaan

rumah. Tapi, lama-lama Elis melihatnya juga tidak tega. Ia pun mengambil spon

di depan yang biasa pak Jupri gunakan untuk mencuci mobil. Kemuadian ia kembali.

Ia gunakan spons tersebut untuk menyerap air dari lantai dan memerasnya dalam

ember. Toh, kalau di pikir-pikir setelah ngepel lantai dia juga sudah beres

semua pekerjaan.

"Kenapa kamu memantuku?" tanya Diana dengan pelan. Nada

angkuh dan sombongnya bahkan sudah tidak ada lagi.

"Aku kasihan sama kamu."

Diana terdiam, ia merasa sedikit tersentuh, bagaimana

mungkin Elis yang selama ini selalu ia repotkan dengan hal-hal yang aneh-aneh, ini

malah dengan suka rela membantunya. Jika saja bukan dia, pasti ia sudah merasa

menang dan sok berkuasa. Seperti adegan di sinetron pembantunya pada nglunjak

dan tak tahu diri.