Riyan menunduk dengan eksprasi penuh rasa bersalah.
Sedikitpun ia tak berani mengangkat wajahnya meski hanya sekedar memandang
Aldo. Aldo berjalan mendekati Riyan setelah teman prianya sudah pergi tanpa
dia usir.
"Pakai dulu pakaianmu!" seru Aldo pada sahabatnya yang masih
membeku dengan tubuh telanjangnya yang berbalut dengan selimut.
Riyan tidak menjawab, ia langsung memunguti pakaiannya yang
berserakan di lantai dan buru-buru mengenakannya.
"Kamu kenapa sih jadi begini?" tanya Aldo dengan tenang. Namun,
wajahnya tetap saja tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya.
Riyan masih diam enggan menjawab.
"Ayo kita kembali ke kos saja, kamu boleh ceriatakan apa masalahmu, dan apa yang telah membuatmu seperti ini. Ini tu salah, Yan," ucap Aldo, berusaha membujuk sahabatnya.
"Aku Lelah, Al. Aku capek jalani kehidupan asmara seperti
ini terus, aku Lelah jika selalu jadi buli-bulian para wanita. Aku sadar aku
anak orang biasa dan status juga masih pelajar tak sama sepertimu yang bisa
melakukan apa saja jika kau mau meminta pada orang tuamu yang cukup berada.
Cewek jaman sekarang tak lihat tampang, dan ketulusan. Tapi, hanya harta saja yang mereka incar, Al," ucap Riyan Panjang lebar.
"Tidak semua cewek seperti itu, Riyan. Kita itu hidup di dunia ditakdirkan berpasang-pasangan wanita dan perempuan, mungkin mereka belum tepat saja untuk kamu."
"Kau tak tahu gimana rasanya jadi aku, Al. Jika saja kau
mengerti maka kau tidak akan seperti ini," kilah Riyan sambil mengambil sling
bagnya dan menyangklongkannya di depan dadanya.
Aldo memperhatikan Riyan, sekilas memang dia terlihat normal
dan cenderung jantan banget. Tapi, memang benar jika dia berubah, ada hal yang
sedikit berbeda, apakah seperti ini orang tidak normal, itu? sekilas sama namun tetap memiliki ciri-ciri khusus.
"Ya sudah, maaf. Kita sudah lama bersahabat, aku tidak mau
hanya karena perbedaan ini persahabatan
kita rusak. Kita pulang ke kosan saja yuk."
Dengan enggan Riyan pun menuruti permintaan sahabatnya itu.
Mereka tidak langsung ke kos-kosan. Aldo
mengajak Riyan untuk makan terlebih dahulu sambil mengobrolkan sesuatu yang
ringan.
"Besok kamu jadwal masuk kuliah apa? Aku masuk pagi jam
Sembilan," ucap Aldo memulai percakapan. Meski sebenarnya ia pun sebenarnya
juga canggung. Sebab, sedari tadi Riyan masih menunduk dengan tampang penuh
rasa bersalah.
"Aku besok masuk siang," jawab Riyan singkat.
Sejak saat itu, hubungan antara Aldo dan Riyan seperti
memiliki jarak, jika biasanya jam segini mereka berkumpul di salah satu kamar
mereka bercengkrama, membahas apapun yang bisa didiskusikan, entah itu soal
kampus, teman cewek sexi, dosen kiler, atau soal di tempat kerjaan, biasanya gak
jauh-jauh juga dari pengunjung café cewek. Namun sekarang mereka menyibukan
diri sendiri-sendiri di dalam kamar masing-masing.
Aldo menjadi merasa kesepian. Meskipun Riyan masih satu
kos-kosan bahkan kamar mereka pun juga tetap bersebelahan. Bukan karena ia
menjauhi atau berubah malas dengan sahabatnya itu, melainkan sahabatnya saja
yang sudah berubah haluan. Tak lagi tertarik membicarakan cewek, melainkan
cowok six pack. Bahkan saat ini Riyan juga menjadi rajin pergi ke GYM untuk membentuk tubuhnya, itu pun
tanpa mengajakserta dirinya.
Untuk mengusir rasa
bosan, Aldo pun membuka laptopnya dan mulai memainkan game. Tapi, baru mulai bermainan beberapa menit tiba-tiba saja
ponselnya berdering. Ia lihat pada layar lcdnya muncul foto dirinya berpose
dengan seorang gadis tengah memegang ice cream cone.
Bibir pria itu membentuk sebuah senyuman, dengan antusias
mengankat panggilan itu dan begitu saja game ia tinggalkan.
"Halo, my princes." Pria itu mengeliatkan badannya dan mulai
merebah.
"Al, kamu lagi apa?"
"Gak ada, ini lagi di kamar kos Sayang. Ada apa?" tanya Aldo penuh perhatian.
"Gak ada, sih. Aku lagi di rumah sendian, nih. Papa dan mamaku lagi perjalanan bisnis ke luar kota, dan lusa baru pulang," ucap gadis itu, sangat
ambigu dan penuh akan maksud.
"Oh, tapi kamu ada pembantu, bukan?"
"Kata siapa? Yang ada Cuma tukang kebun, itupun pagi datang
sore pulang. Aku di rumah sendirian, nih."
Aldo diam, kemudian ia berkata, "Kamu baik-baik saja, kan
sayang?"
"Ya, harusnya gitu. Tapi aku takut sendirian di rumah, Al."
"Ya udah, aku temani ngobrol, anggap saja aku ada di situ.
Sekarang kamu mau apa? Uda makan apa belum?"
"Belum, mana laper, nih. Aku takut ke dapur, temani aku
napa?" rengek Diana dengan manja.
"Kan ini sudah, Sayang."
"Akum au kamu ke sini, bobok sama aku," jawab gadis itu, to
the point.
Aldo sedikit terkejut, ia mengusab wajahnya bebrapa kali dan
membatin, 'Apa? Aku tidur di rumahnya? Kalau saja tiba-tiba orangtuanya pulang,
apa gak jadi masalah, nih?'
"Sayang , gak baik lah kalau aku sekarang bermalam di tempat
kamu, apalagi keadaan orangtua kamu tidak ada di rumah."
"Memang kenapa? Lalu apa yang selama ini kita lakukan? Kita
sudah sama-sama kotor dan sering berbuat seperti itu. Kenapa kau tiba-tiba
berubah sok suci gitu, Al?" ucap Diana, ia benar-benar marah pada pacarnya yang
aneh.
"Din… Dengarkan aku dulu! Iya, aku juga sering berbuat begitu
sama kamu, tapi setidaknya, kita jangan bawa sampah ke rumah orang tua kita.
Untuk penginapan saja bahkan aku juga pilih tempat yang eklusif agar apa? Agar
tak ada Razia. Hubungan kita ini terlarang, kalau sampai kita terciduk, kau aku
boleh saja tidak malu, kita sama-sama suka dan bersedia di nikahkan tapi,
bagaimana dengan kedua orang tua kita?"
"Aku gak mau denger lagi apa yang kau katakana. Kita putus
saja," ucap Diana sambil menangis lalu mematikan telfonnya.
"Din… Diana, dengerin aku, kamu gak bisa dong asal main
putus gitu. Aku gak nyelingkuhin kamu, tidak baik juga jika aku ke rumahmu
malam-malam begini, coba kamu pikirkan! Din… Din… " Aldo pun emosi, ia merasa
kesabarannya pada pacarnya yang super itu seperti sudah habis. Ia pun
melemparkan hp nya ke arah pintu.
"Aduh!"
Aldo terkkejut dengan suara itu. Buru-buru ia bangkit dan
menghampiri pria itu dengan raut wajah panik dan merasa bersalah.
"Yan, kamu gak apa-apa? Duh sorry, aku tidak sengaja
melemparkannya."
"Aduh, gak apa-apa gimananya? Benjol nih jidat gua
bisa-bisa. Lagian lu kenapa, sih Al?" tanya Riyan sambil mengusap-ngusap
keningnya yang terkena hantaman benda pipih yang berbobot kurang lebih duaratu
gram itu.
"Iya, aku ngaku salah, aku gak sengaja. Tadi kan aku juga
sudah minta maaf," ucap Aldo dimelas-melasin.
"Ada masalah ma Diana? Malam-malam itu suara pelan aja dah
dengar, apalagi kamu teriak-teriak kek gitu. Suaramu membahana sampai seantero
kos-kosan, Al," cetus Riyan.
"Iya, nih. Diana minta aku ke ruumahnya sekarang. Aku jawab
gak bisa, malam-malam gini aku ke sana dalam kondisi orang tua ga ada, dia juga
gak ada pembantu, yang ada gua digrebek sama satpam dan warga komplek
perumahannya dong."
"Cewek lo yang ini keknya gede ya, napsunya? Hehehe," jawab Riyan.
Aldo menyikut dada Riyan yang nyengir menertawainya. Lalu
pria dengan tinggi badan 180cm itu pun beranjak ke ranjangnya dan rebahan.
Sementara Riyan meraih ponsel Adlo yang baru saja mendarat bebas di keningnya.
Ponsel itu utuh, tidak cacat sedikitpun, hanya saja pelindungnya saja yang
hancur.
Riyan mengamati ponsel itu, ada beberapa pesan dari Diana,
lalu kemudian layar benda pipih di tangannya itu berkelip. Ia melihat Aldo yang sepertinya lagi
badmood.
"Al, Diana telfon tu!"
Aldo hanya melihat sekilas ke arah ponsel yang disodorkan
oleh Riyan lalu kembali ke posisinya, ia malah telungkup dan menyembunyikan wajahnya pada bantal yang ia peluk.
"Al, dia nelfon tuh, juga banyak chat yang ia kirim. Mungkin
dia juga meminta maaf sama kamu," bujuk Riyan.
Aldo mendesah kesal dan meraih benda pipih berwarna biru
senja itu dari tangan Riyan. Ia membuka satu persatu chat dari Diana yang masuk
dari bawah.
"Kamu marah sama aku Al? Harusnya kamu tahu diri, kau uda
ambil segalanya. Bahkan keperawananku juga kuberikan padamu, tapi kenapa kamu
gak bisa sih sekali aja ngertiin aku?"
"Kalau kamu emang uda bosen dan nemu yang baru, ya sudah.
Silahkan saja kamu pergi cari penggantiku, Kurasa jaman sekarang nikah dah ga
prawan juga bukanlah aib lagi, kan?'
"Bahkan juga ada kok, hamilnya ma siapa dan nikahnya sama
siapa, tenang aja aku gak sedang hamil anak kamu, jadi kamu gak usah takut."
Berselang sepuluh menit kemudian.
"Ado, maafin aku, aku khilaf, aku minta maaf."
"Aldo, balas chat aku dong! Aku gak mau putus sama kamu, aku
sayang sama kamu, Al."
Aldo mendesah kesal setelah membaca banyak pesan dari Diana.
Gadis itu juga sepertinya tidak menyerah, ia kembali menelfon Aldo. Sampai
panggilan ketiga, barulah pria dengan paras tampan, rahang yang kokoh serta
hidung mancung dan memiliki sorot mata tajam itu pun mengangkat paggilan itu.
"Halo, ada apa?" jawab Aldo dingin.
"Aldo, aku minta maaf sama kamu, tolong maafinnaku, ya?"
ucap Diana penuh dengan penyesalan.
"Iya, aku maafin kamu, tapi kamu dah mutusin aku," jawab
Aldo dengan datar.
"Gak, Al. Aku narik perkataanku, pokoknya aku gak mau putus
sama kamu, apapun yang terjadi, kamu gak boleh ninggalin aku."
Aldo hanya tertawa miring mendengar apa yang Diana katakana,
sudah berulang kali gadis itu seperti itu, pikirannya masih saja labil dan
tidak pernah mau berubah, Ia terlalu egois sehingga membuat Aldo merasa muak
dan bosan saja pada gadis itu.
"Diana, sudah hampir dua tahun kita hidup bersama, dan dari
awal sampai sekarang kau selalu saja beggitu. Aku ini manusia biasa yang punya
perasaan dan pikiran, akan lelah dan bosan juga jika kau perlakukan aku seperti
itu. Kau pernah gak berfikir, andai aku ini kamu, atau kau yang kuperlakukan
begitu? Menjadikan keprawanan ancaman, lagi pula kalau dipikir-pikir kenapa aku
merasa rugi dan malu? Aku ini laki-laki, tidak membawa bekas, sedangkan
perempuan? Lagipula banyak kan pria yang suka sama kamu dan mau nrima kamu apa
adanya, mulai dari kalangan sesame mahasiswa, dosen bahkan dokter di tempatmu
magang juga ada yang ngejar-ngejar kamu, kan?"
"Aku gak peduli sama mereka, Al. Di hatiku hanya ada kamu saja, aku Cuma mau
kamu saja pokoknya. Aku sayangnya cuma sama kamu," jawab Diana dari seberang
sambil terisak.
"Kalau kamu sayang sama aku, kenapa sifatmu seperti itu?" Kali
ini Aldo berkata dengan suara meninggi.
"Aldo… " sedangkan Diana kian terisak saja saat mendengar
Aldo seperti itu, selama hampir dua tahun juga baru kali ini Aldo membentaknya
dengan suara tinggi. Makanya, saat awal hubungan mreka terjali, Dianalah yang
menyerahkan dirinya pada Aldo, ia berfikir dengan memberikan harga diri dan
kehormatannya akan membuat pria itu selamanya akan bertahan dengannya dan tidak
akan berpaling padanya, tapi, ternyata ia salah. Justru pria yang semula tunduk dan serba mengalah kini pergi karena keegoisannya sendiri.
"Maafkan aku, Diana. Aku tak bisa." Pria itu pun mematikan
panggilannya dan menonaktifkan ponselanya. Lalu kembali merebah dan menutup
wajahnya dengan lengan atasnya.
"Yaaaah, begitulah cewek, mahkluk yang maha benar, mereka
egois, kuharap kau bisa mengerti kenapa aku begini, wanita dan pria itu pola
pikirnya berbeda, Al. Aku merasa kalau
sesama pria itu bisa saling ngerti karena sepemikiran. Aku juga sayang sama
kamu, selama ini kamulah yang paling baik dan paling mengerti aku, tapi, selama
kau masih ingin berburu wanita, silahkan saja. Aku akan selalu siap menunggumu
dalam keadaan apapun. Aku juga siap meninggalkan mereka jika kau mau jadi teman
hidupku."
Setelah menebar racun di pikiran sahabatnya, Riyan pun pergi meninggalkan kamar
Aldo, dan menutup pintu dengan perlahan.
Aldo menoleh ke arah pintu, ia bangkit memaksakan diri dan
mengunci pintu tersebut. Dan kembali ke ranjangnya, menghempaskan tubuhnya di
atas lantai dan bersandar di tempat tidurnya. Ia sudah tidak mood melakukan
apapun, berusaha mencari pengalihan fikiran agar tidak lagi memikirkan Diana.
Bahkan nomor dan semua akun media social gadis itu pun juga telah ia blokir.
Berhari-hari Aldo hanya mengurung diri di dalam kamar
kosnya. Ia hanya akan keluar jika memang ada kepentingan, pergi ke kampus, ke café
untuk bekerja, selebihnya, mencari makan
jika perutnya terasa lapar.
Berhari-hari Diana berusaha menghubungi Aldo kekasihnya, ia
merasa menyesal dan ingin meminta balikan tapi, nomornya tak bisa digunakan,
menggunakan akun media social baru juga tak ada tanggapan, sepertinya pria itu
juga tidak mengaktifkan semua jejaring sosialnya.
Namun gadis itu tidak kehilangan akal, ia berusaha
menghubungi Riyan dan mengajaknya bertemu untuk mencurahkan isi hatinya dengan
tujuan supaya Riyan menyampaikan kepada sahabatnya dan mereka bisa balikan.
Tapi, Diana yang tidak mengerti tentang perunbahan Riyan bukannya mendapatkan
solusi melainkan caci maki.
Riyan yang sudah diam-diam mengagumi dan menyukai sahabatnya
itu sendiri tak ingin Aldo bersama cewek atau cowok manapun, ia sebenarnya
marah dan cemburu jika dinomor duakan. Ia ingin selalu jadi prioritasnya.
Namun, karena hubungan mereka belum pasti, dan ia juga masih belum dapat menakhlukkan
hati Aldo, jadi ia hanya bisa menahan rasa sakit dan cemburunya saja saat
melihat Aldo bisa bercanda dan tertawa dengan yang lain, tak peduli itu sesame
lelaki atau pun perempuan.
"Riyan, tolong dong, bantu aku bujuk Aldo. Sumpah aku tuh
nyesel banget, bilang sama dia kalau aku sudah mau janji gak bakalan ngulangin
kesalahan yang sama, aku akan belajar bersikap dewasa dan gak egois lagi,
mintakan aku kesempatan sekali lagi," ucap Diana sambil menangis tersedu-sedu
di depan pria yang diam-diam juga mencintai Aldo.
"Haaah… Din, bukannya aku gak mau bantu kamu, Aldo itu
sahabatku dari jaman kita masih di dalam Rahim, aku ngerti dia dan bagaimana
dia, ada bnyak hal yang tidak orang lain ketahui termasuk kamu. Tapi, hanya
diketahui olehku saja."
"Makanya, bantu aku ngebujuk dia, Yan," rengek gadis itu
terus memohon.
"aku kasihan sama kamu yang begini sebenarnya, Din. Tapi, aku
juga tidak tega jika kau memperlakukan shabatku seenak jidatmu, dia itu juga
manusia punya hati dan perasaan. Orang tuanya berjuang membesarkan dia,
menyekolahkan dia tinggi sampai kuliah bukan untuk disakiti wanita sepertimu
saja, kalau aku boleh jujur, ya. Ada seseorang yang dekat dengan Aldo sejak
lama, dia sangat mencintai Aldo, dan kurasa dia tidak akan seegois kamu, tidak
akan banyak menuntut dan tidak suka ngatur-ngatur kek kamu. Tapi Aldo cuek padanya karena apa? Dia bertahan dan tetap
berusaha setia sama kamu, cewek yang tak tahu diri. Jika Aldo sudah tak mau
lagi denganmu, jadi jangan salahkan dia, tapi lihat seperti apa kamu, posisikan
jika saja kau ada di posisi Aldo, bagaimana? Betah gak kamu selama hampir dua
tahun diperlakukan seperti itu?"
Mendengar amarah Riyan yang panjangnya melebihi kereta api
Al-Malabar Diana kian hebat menangisnya. Ia sadar betapa egoisnya dia selama
ini. Sedangkan Riyan sendiri mengomel seperti itu juga sudah sangat gemas
terhadap wanita di depannya.
Merasa sudah tak akan ada lagi yang ingin dia katakana,
Riyan pun pergi meninggalkan Diana yang masih duduk di sudut café sambil
menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. "Selama kamu tidak bisa
berubah, jangan hara pada pria yang mau sama kamu," pesan Riyan sebelum
benar-benar pergi ninggalin Diana.
Sementara hanya bisa menangis tak bisa berbuat apapun, ia
benar-benar menyesal atas apa yang pernah ia lakukan dulu terhadap Aldo.