Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 14 - DIANA (l)

Chapter 14 - DIANA (l)

Merasa telah ditolak dan tak ada harapan lagi bisa bersama

dengan Aldo, Diana pun turun dari atas motor ninja merah itu. Ia tak peduli meski banyak yeng

menontonnya, ia menangis sejadi-jadinya, berteriak memaki Aldo dan menampari

pria yang masih ada di atas sepeda motornya.

"Aldo, aku dah minta maaf sama kamu, aku dah mengakui

kesalahanku dan berjanji gak bakal ulangi lagi, tapi kenapa? Sedikitpun kamu

gak mau ngerti? Kamu uda bosen ya sama aku? Uda nemu cewek lain? Oh, atau

gembel itu yang kamu sukai sekarang? Dua tahun Al. dua tahun hubungan kita, apa akan

kandas begitu saja?" teriak Diana sambil menangis kencang.

Aldo yang sebenarnya sudah lelah dan ingin pergi, ia pun

jadi menjawab makian Diana. Sebab, jika tidak, mereka yang menonton adegan

dramanya pasti akan mengira kalau ia yang egois dan gak mau ngertiin cewek,

lagian Diana juga cantik kok.

"Dua tahun aku bertahan dan mencoba sabar dengan

keegoisan mu, apakah itu masih kurang untukmu menyakitiku?"

"Aldo?" gumam Diana dengan lirih menatap pria itu dengan

tatapan tak percaya dan bibir yang bergetar, ia tak lagi pedulikan mekapnya

yang mulai luntur karena air mata yang terus bercucuran dengan deras menghitam

mengenai kedua sisi pipinya.

Sementara Aldo hanya mengeraskan rahangnya berusaha menahan

diri untuk tidak menampar seorang wanita. Sudah banyak pria itu memiliki

hubungan dengan wanita dan berbagai karakternya, namun tak sekeras dan seegois

Diana.

"Aku benci sama kamu, Al." Sekali lagi gadis itu memukul

Aldo dan berlari ke arah mobilnya di parkirkan. Sesampainya di sana, ia menutup

pintu dengan keras dan berteriak meluapkan emosinya hingga puas. sementara Aldo sudah dari tadi meninggalkan tempat

itu, entah pergi kemana dia.

Puas menangis dan menggebrak-gebrak setir mobil, Diana pun

menyalakan mesin mobilnya dan hendak pulang ke rumah, sepanjang perjalanan

gadis itu terus menangis dan tak ada hentinya memikirkan Aldo. Diana mulai

mengingat bagaimana awal dia kenal dengan Aldo, saat pertama berjumpa di sebuah

café, tempat ia bekerja, wanita itu memiliki ketertarikan tersendiri dengan

pria tampan dan tampak cool itu.

Sejak saat itu, Diana jadi setiap hari datang ke café

tersebut setiap malam demi bisa melihat Aldo yang bekerja mengantarkan makanan

dan minuman para pelanggan, sampai pada akhirnya ia memberanikan diri mengajak

pria dingin itu berkenalan, meminta nomor hp bahkan sampai berkencan lalu

jadian.

'Selama ini memang dialah yang terbaik, tapi aku saja yang

tidak bisa menjaga dan memperlakukan dirinya. Dia pergi juga karena

kesalahanku, maafkan aku Aldo. Kau akan tetap kuingat sebagai yang terbaik

dalam hidupku, aku akan selalu menunggu sampai kau mau kembali bersamaku, aku

tahu, masih ada setitik cinta di hatimu untukku, hanya waktu yang akan

menyembuhkan semuanya, I will love you forever, Aldo.'

Tiba di depan sebuah

rumah dengan pagar besi yang tinggi, Diana menyalakan clakson berkali-kali,

membuat satpan yang bekerja di rumahnya jadi tersedak saat menyeruput kopi

buatannya sendiri, entah terkejut, buru-buru takut kena marah juga, mungkin

dua-duanya.

Pintu pun terbuka lebar, Diana memasukan mobilnya dan

memarkirkannya asal lalu pergi berlari masuk ke dalam rumah sambil terisak. Ia

masih tidak menyangka akan merasakan sakitnya kehilangan.

Diana membuka pintu dengan kasar dan menutup pintu rumahnya

dengan lebih kasar lagi. Mamanya yang tengah bersantai di ruang tamu, rebahan

sambil memakai masker wajah pun sampai kaget dibuatnya.

"Diana! Kamu bisa gak sih kalem dikit," bentak Marissa , Mommy

Diana yang kaget dengan ulahnya.

Alih-alih menjawab, peduli saja gadis itu tidak, ia malah

terus berjalan sambil menghentakkan kakinya. Gadis itu masuk ke dalam kamar dan

menangis sangat kencang sekali, membuat Marissa sedikit terganggu.

"Hah, ini bocah kenapa lagi? Pulang-pulang sudah ngamuk,

nangis dikenceng-kencengin pula?" Wanita paruh baya itu pun bangkit dari

rebahannya, masih dengan wajah yang rata dengan masker yang ia kenakan, ia pun

menyusul putri semata wayangnya.

"Diana, Sayang. What is wrong with you? Why you are you

crying so loudly? (ada apa denganmu? Kenapa kau menangis sangat kencang)?"

Marissa pun duduk di tepi ranjang putrinya, sementara Diana kian kencang

menangis. Seperti bayi yang belum juga diganti popoknya saat pup sekaligus

kehausan belum mendapatkan susu.

"Huaaaaaaaaa Momy, aku putus sama Aldo… Aku dua minta maaf

dan minta satu kali lagi kesempatan padanya tapi ia masih saja gak mau maafin

aku, balikan juga gak mau, Mom." Gadis itu kian kencang dan menjadi-jadi saja,

mungkin ia lupa kalau usianya sekarang sudah menginjak duapuluh dua tahun.

Marissa pun memeluk putrinya sambil mengelus-elus

punggungnya, ia tahu betul bagaimana karakter Diana, ia tidak bisa menyalahkan

Aldo yang mungkin sudah muak dengan putrinya. Tapi, di saat seperti ini, dia

juga tidak bisa menasehati Diana selain menenangkannya, malah yang ada dia

merasa dihakimi dan makin ngamuk saja.

"Huuu… huuuu… huuu… Sroooot."

"Hih, Diana! Kamu jorok banget, sih? Nangis ya nangis saja,

tapi ya jangan ingus dibuang ke bajunya Momy, dong!" Protes Marissa merasa

jijik sampai ia bergidik.

"Ah, Momy, ingus anak sendiri aja kek gitu amat, sayang

beneran apa Cuma setingan sih sama aku?" protes Diana, lalu kembali menangis

lagi dengan kencang.

Marissa yang sebenarnya merasa lelah karena ia juga baru sampai di rumah pun

akhirnya memilih pergi ninggalin Diana seorang diri di dalam kamarnya, itung-itung melatih

ia berfikir dan intropeksi diri.

"Ya Allah, Din… Di mana ada Momy sayangnya Cuma setingan,

sih? Sama anak orang aja real masa ma anak sendiri setingan?"

"Cuma kena sedikit ingus aja langsung gitu banget

reaksinya."

"Kamu mau, Momy kenai ingus? Momy yang lahirin kamu, ya

bukan Momy lahir dari kamu!" Wanita itu pun akhirnya keluar, sedangkan Diana si

cewek manja itu kembali menangis kencang sampai lelah dan tertidur.

Krena tidak memiliki pembantu, pukul tiga sore, Marissa pun

mulai bersih-bersih lalu menyiapkan makan malam untuk keluarga, sudah pukul

17.25. sepertinya Diana putrinya juga belum bangun.

"Masak apa istriku? Harumnya sampai kecium dari depan saat papi

buka pintu loh.'' Seorang pria tiba-tiba menghampiri Marissa dan memeluk erat

pinggangnya dari belakang.

"Eh, Pi, udah pulang?" Wanita itu mendongakkan kepalnya ke

belakang untuk mencium suaminya yang baru saja pulang dari kantor, sementara

kedua tangannya masih sibuk dengan sayur dan lauk yang masih ia masak di atas

kompor.

"Di mana Diana? Mobilnya ada, anaknya kok gak ikut

bantu-bantu Momy, sih?"

"Ada,  dia ada

dikamar."

"Kenapa memangnya Mih?"

"Hemmmbb… biasa, Pi, patah hati." Marissa melihat suaminya

terlihat panik, mungkin ia akan menyalahkan Aldo. Sebab , selama ini Diana

memang terlalu dimanjakan oleh papainya, ia menggunakan kekuasaan untuk

mengancam pria yang disukai putrinya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan putrinya tentunya. Hanya saja, jika Marissa menilai, sepertinya pria itu benar-benar tulus pada Diana. jika ia Uda memutuskan untuk pergi, artinya sudah jengah. Jadi, hal itulah membuat

Diana tidak pernah bisa dewasa dan selalu mengedapankan keegoisannya. "pih..

Tenang dulu, putri kita yang memutuskan Aldo, dan ini sudah terjadi

berulang-ulang, sudah jangan ikut campur urusan anak kita."

"Mana bisa papi diam saja, Mih? Ini putri kita satu-satunya,

bagaimana mungkin kita biarkan dia sakit hati gitu?"

Marissa meletakan sendok sup dan mematikan kompor, lalu

membawa segelas teh manis yang baru saja dia buat untuk suaminya yang baru saja

datang.

"Nih, Pi, minum dulu, biar badan anget, lagi mendung kan di

luar? Makanya gak mami butain es teh," ujar wanita itu sambil duduk di sebelah suaminya.

Dion pun menerima segelas teh hangat yang disorokan

istrinya, menyeruputnya sedikit lalu melonggarkan dasinya dan melepas dua

kancing teratasnya. Masih dengan ekspresi penuh emosi karena tak pernah sejalan

dan sepimikiran dengan istrinya, ia pun memalingkan wajahnya.

"Begini, lo, Pih, kita ini sudah tua, usia juga udah empat

puluh lebih, sedangkan Diana, dia baru menginjak usia duapuluh dua tahun,

beruntung dia terlahir dalam keluarga kaya dan seba ada kaya kita, kan? Coba

kalau gak gimana coba? Berapa banyak laki-laki yang pasti sudah akan

menolaknya. Tapi, karena dia punya papi yang tajir, mama wanita karir dan kita

semua yang sayang sama dia, kita bisa aja mengancam mereka yang dicintai diana agar

tak meninggalkan dia dalam keadaan apapun tapi, jika kita sudah mati gimana? Ok

bisa lah dia ngandalin duit warisan tapi jika nemu laki-laki ga bener putri

kita Cuma diporotin saja, papiiiiiii. dan ditinggalkan setelah semua aset dialihnamakan atas nama itu orang kan ngeri."

"Lalu solusinya apa, Mih?" tanya pak Dion.

"Biarkan saja semua mengalir, kasian juga Aldo selama dua

tahun ada dalam ancaman papi, jika seandainya Aldo yang putra kita dibegitukan orang lain,

papi rela gak?" Sekali-kali biarlah Diana itu berubah dewasa dan bisa

menghargai pasangan, so, nanti pas dia ketemu jodoh laki-laki benar gak hanya

lihat wajah cantiknya dan harta orang tuanya saja, tapi karena mencintai dia

karena hatinya, Pih."

"Ya ya ya. Ok mih, kalau gitu papi mau mandi dulu, ya?" Pria

paruh baya itu pun bangkit dari dudduknya dan mencium kening istrinya lalu

beranjak ke kamarnya untuk mandi dan bersiap makan malam.

Diana malam itu merasa sangat malas terlihat tak semangat

sedikitpun  untuk ikut makan malam

bersama kedua orangtuanya, sepatahpun dia sama sekali tidak berbicara apa-apa,

bahkan matanya pun juga terlihat sembab.

Usai makan Malam, Diana pun lanssung masuk ke dalam

kamarnya, papanya sengaja diam tidak menanyainya lebih, hanya dua kali

bertanya, tapi putrinya mengabaikan tak mau menjawab.

Usai membereskan sisa-sisa makan malam dan mencucinya,

Marissa dan suaminya santai sejenak di balkon depan kamar mereka sambil

memceritakan aktifitas masih-masih selama di kantor.

"Pih, tadi mami tu kehabisan bensin di jalan, coba nelfon

golega mami ga ada yang angkat, mana pas panas-panasnya lagi, sama pom bensin

juga pas jauh, bayangin deh Pih, betapa paniknya mami saat itu!"

"iya, terus gimana Mami kok bisa pulang, beli bensin via

ojol?"

"Gak, pih.. ada anak gadis muda, paling usinya juga Sembilan

belas tahunan, ngedorong mobil mami sampe ke pom bensin mana sejauh dua kilometer

lebih lo Pih."

"Hah, serius?" Pak Dion pun meletakan gadget di tangannya

dan menatap takjub sekaligus tak percaya ke arah istrinya.

"Kok bisa ketemu nak seperti itu, tuh gimana ceritanya, Mih?"

"Dia pemulung keknya Pih. Suka rela ngedektin Mami buat

nawarin bantuan, jujur ya awalnya mami juga ilfeel sama dia. Tapi, dia

bener-bener menunjukan ketulusannya , pih."

"Terus mami kasih dia uang berapa? Pasti dia capek banget ya

Mi?"

"Dia Cuma minta traktir es cendol yang harganya Cuma lima

ribu saja, lo pih.Padahal ya, Mami dah maksa buat nrima duit duaratus ribu. dia ngotot nolak. Heran mami tuh, jaman sekarang kok masih saja ada anak kek

gitu, ya?"

"Lalu, apa yang Mami pikirkan tentang bocah itu?"

"Modus, Pih," jawab Marissa dengan enteng. Sementara Dion

hanya mengelengkan kepala saja.

"Modusnya di mana sih, Mih? Jelas-jelas dia sudah bantuin Mami

dengan ikhlas gitu, dipaksa klasih duit duaratus ribu nolak dan Cuma minta es

cendol seharga limaribu perak, pemulung saja ttiodak keberatan jika dia hidup

seorang diri, Mih. Pokoknya papi gak suka kalau mami masih saja suka

berprasangka buruk sama orang lain terlebih mereka yang sudah bantu mami, titik."

Pria itu pun bangkit dari kursi lalu pergi ke kamarnya, di sana ia membuka

laptop.

Sedangkan Marissa masih saja ngedumel sendiri, sebelum

akhirnya ia pun juga turut menyusul suaminya masuk ke dalam kamar "Hah, papi

mah selalu saja gitu, mami tuh Cuma antisipasi bukan suudzon."

"Iya deh, Pi. Mami minta maaf. besok-besok gak bakal gitu lagi."

"Kamu tahu tidak dimana tinggalnya bocah itu?" tanya Dion, tanpa memalingkan pandangannya dari layar monitor di depannya.

"Ya tentu saja tidak Papi sayaaaaang! Setelah itu ya udah, kelar urusan mami pulang dong."

"Kalau papi yang jadi mami, akan papi ikuti tuh bocah, tinggal di mana, sekali-kali datang sama bawa makanan, kali saja dia tinggal dengan bapaknibu dan adik-adiknya yang masih kecil, kan siapa tahu juga?"

"Terus, apa hubungannya kita dengan dia, Pih?"

"Anggap saja itu ucapan terimakasih, membahagiakan orang itu pahalanya besar. Sodaqoh yang afdol dan akan jadi amal itu pada orang-orang yang membutuhkan seperti mereka, bukan yang sudah kaya seperti teman-teman mami."

"Iya papi sayang. lain kali kalau kita ketemu lagi, akan mami ikuti dia. ya sudah lah ayo kita bobok sini, udah malam ini."

"Sebentar, Mi... "

"Naik sini gak? Atau libur satu bulan?"

Dion pun mendesah kesal lalu menyimpan filenya dan mematikan komputernya dan naik ke ranjang menyusul istrinya.