Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 16 - Perjalanan hidup

Chapter 16 - Perjalanan hidup

Sejak resmi putus dengan Diana kehidupan Aldo kini menjadi

berubah drastis. Tak ada sedikitpun keceriaan dalam dirinya, yang biasanya

sedikit rese' sama teman-temannya kini menjadi dingin dan cenderung jadi pribadi yang tertutup.

"Ikut gue nongkrong, yuk!" Tiba-tiba saja Riyan muncul dari

belakangnya dan merangkul pundak Aldo.

Aldo menoleh ke belakang sambil melemparkan paandangan malas,

yang mewakili suasana hatinya kepada Riyan. "Mau ke mana?" tanyanya, lalu

kembali pandangannya lurus ke depan, menyadarkan tubuhnya ke pagar balkon

bertumpu dengan kedua lengannya memandang gemerlib lampu yang menerangi ibu

kota di malam hari.

"Kamu jadi banyak berubah, dan selalu menyendiri, sebenernya

apa sih istimewanya Diana? Kalau kau mau, yang lebih dari dia pun kau bisa dapatkan. Kamu

ganteng, tinggi, kulit putih, keren juga macho, siapa sih yang mampu menolak

kamu, Al?"

Aldo diam, tidak menjawab.

"Kita sudah terlalu lama berpetualang selama ini, setiap

kali menemui wanita, ya seperti itu, kalau tidak matre ya egois. Sekarang aku mau tanya sama kamu, saat kamu senang siapa yang ada, dan di kala kau sedih dan

terjatuh seperti ini pun siapa? Aku kan? Aku selalu ada, dan benar-benar peduli tak

seperti yang lain. Coba kamu ingat-ingat dan kamu rasakan! Bagaimana rasanya

curhat denga  sesama dan lawan jenis?

Jika memang curhat dengan sesama jenis itu lebih menyenangkan, apa salahnya

mencoba hubungan itu?" Riyan berjalan medekati Aldo, bahkan mulai berani

meletakan tangannya ke pundak, punggung dan bahkan sampai melingkarkan kedua

lengannya ke pinggang Aldo dari belakang.

"Riyan, apa yang kau lakukan?" Aldo merasa risih, tapi tidak

mau menyinggung sahabatnya, sebab, bawaannya Riyan sendiri juga sudah sensitive

banget orangnya, apalagi seorang gay, dia jauh lebih sensitive. Melebihi seorang cewek yang sedang PMS.

"Kamu nikmati saja pelukanku! Nyaman bukan?" Riyan kian

mendekap erat tubuh Aldo, sedangkan Aldo sudah tidak tahan melepaskan sepasang

tangan itu dan pergi turun dan masuk ke dalam kamarnya.

Riyan sangat marah dan kecewa. Tapi, ia tetap berusaha sabar

mendekati sahabatnya dengan kalem dan perlahan. Tidak mau terlalu gegabah atau,

ia akan hilang selamanya.

Malam itu Aldo merasa suntuk sudah lama ya tidak bekerja akhirnya ia pun bersiap untuk kembali bekerja, ia mengambil

jaket dan tas slempangnya dan bersiap sambil menenteng helmet teropong miliknya

yang berwarna merah maroon. Baru saja ia menyalakan motornya, dari belakang Riyan

yang sudah bersiap memanggilnya.

"Aldo! Aku nebeng kamu, ya?"

Aldo tidak menjawab dengan kata-kata selain hanya anggukan

saja.

Riyan tersenyum dan naik di belakang Aldo tangannya melilit

di pinggang teman prianya itu dan mereka pun akhirnya berangkat ke café

bersama.

"Aldo, kau sudah sampai?" Seorang gadis cantik bernama Julia

menyambutnya begitu ia dan Riyan tiba.

Riyan melirik kearah sahabatnya, ia nampak datar dan tak ada ekspresi apapun, mungkin masalahnya dengan Diana masih berdampak besar dalam

moodnya.

"Kamu  kan sudah tahu

dan melihatnya sendiri kalau kita sudah sampai, Jul. Kenapa masih nanya?" sahut

Riyan, ia tidak suka dengan siapapun yang berusaha mengambil perhatian Aldo.

Karena ia ingin selalu menjadi prioritas utamanya.

"Dih, kamu kenapa, sih Yan? Aku nanya nya tuh sama Aldo,

bukan sama kamu, kenapa kamu yang sewot gitu?" protes Julia. Julia adalah barista

cewek yang paling cantik di antara tiga barista perempuan di sini..

Aldo hanya tersenyum lalu berkata, "Apa kabar kamu, Julia?"

"Baik, Al, tumben kamu telat? Aku kira kamu memang tidak

akan datang, kenapa beberapa hari ini tidak masuk kerja?" tanya Julia, keduaya

pun berjalan ke dalam, dan diikuti Riyan yang ada di belakang mereka.

"Aku lagi tidak enak badan, Jul. Tapi, habis ini aku janji

bakal kembali rajin bekerja seperti dulu lagi."

Riyan hanya diam mengamati Aldo dan Julia yang tengah

mengobrol sambil tertawa bersama, memang, sudah sejak lama kabarnya Julia itu

naksir sama Aldo, hanya saja Aldo yang tidak mau, entah mungkin karena bodi

cewek itu yang terlalu tipis sperti triplek, atau apalah Riyan tidak tahu

persis alasannya. Sebab, sejauh ini pacar Aldo selalu para cewek yang memiliki

bodi montok dan dada besar tentunya.

"Permisi!" Merasa cemburu dan tidak tahan melihat hal

seperti itu, Riyan pun berjalan menerobos diantara Aldo dan Julia yang yang

berjalan sejajar dengan jarak yang cukup dekat.

"Heh, kalau jalan liat-liat dikit napa?" teriak Julia, saat

merasa sakit dibagian pundaknya karena ditabrak dengan keras oleh Riyan.

Aldo merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya, ia pun

meminta maaf kepada Julia atas nama Riyan. Lalu kemudian pria itu bergegas

menyusul sahabatnya yang telah melewatinya tadi.

"Riyan!" sapa Aldo, saat melihat pria itu meletakkan tasnya

ke dalam loker miliknya.

Riyan enggan menjawab, ia hanya mlengos membuang muka dan

pergi begitu saja meninggalkan Aldo sambil memasang celemek berwarna Putih.

Sementara Aldo hanya menggelengkan kepala saja, merasa heran

dengan sahabatnya, ia tidak berani begitu membujuknya saat berada di tempat

seperti ini juga semata-mata hanya demi melindungi identitas sahabatnya yang

berubah belok.

Selama empat jam bekerja, Riyan juga cenderung mendiamkan

Aldo, berbicara seperlunya saja dan itupun jika dalam keadaan kepepet. Jika tida, ia lebih

cenderung diam dan berbicara dengan barista lain.

Usai jam kerja, dan semua karyawan kantor tersebut pergi,

Aldo menghampiri Riyan yang tengah memakai jaket dan masker di depan lemari

lokernya.

"Yan, kenapa sih harus berantem gitu sama Julia? Kan mereka

sama-sama teman, ya wajar dong  kalau

tanya kabar dan kasih perhatian selalu begitu, terlebih sudah empat hari aku tidak masuk kerja

dengan izin yang kurang jelas

"Buat pria normal sepertimu mana tahu rasanya, Al? Aku tidak

suka jika kamu dekat dengan siapapun, entah itu laki-laki, atau pria sekalipun.

Aku mau selalu jadi prioritas kamu seperti aku meprioritaskan kamu."

Pria itu diam tak langsung menjawab. Ia tersenyum kemudian

merangkul pundak Riyan dan mengajaknmya pulang. "Ya sudah, kita balik ke

kos-kosan sekarang yuk!" ajak Aldo.

Sesampainya di kos-kosan, Aldo mengajak Riyan ke kamarnya,

mungkin bisa sambil menunggu ngantuk bercengkrama sebentar, sambil sedikit

memberi nasehat kepada sahabatnya itu.

"Kamu kok kaya musuh bebuyutan begitu sih, Yan sama Julia?

Santai saja lah kita ini teman satu kerja, jangan suka berantem."

"Apa kau diam-diam mulai suka sama gadis itu?"

"Kamu kok bilang gitu?"

"Aku gak suka liat kamu dekat dengan siapapun, Al. Berapa

kali kau disakiti wanita? Kenapa kau masih saja dekat dengan wanita Al? Mau

sampai mati ditindas kau hawa?"

Aldo hanya diam tak membalas, yang dikatakan Riyan memang

tidak salah. Tapi, bukankah yang dia lakukan itu salah dan dianggap penyakit?

"Apa salahnya kita menjalin asmara sesama? Kita sudah lama

kenal dan bersama. Tidakkah kau merasa kalau aku adalah orang yang paling

mengerti kamu?" Entah sejak kapan Riyan mendekati Aldo, tahu-tahu dia sudah

merambat pada tubuhnya dan mencumbu Aldo, layaknya pria yang telah mencumu

kekasihnya.

Sejak saat itu, demi menjaga perasaan sahabatnya dan juga

demi menjaga identitas sahabatnya Aldo pun menuruti kemauan Riyan. Namun, siapa

sangka sesuatu yang awalnya ia lakukan karena terpaksa agar tak ada yang

curiga dengan Riyan yang nampak marah dan menunjukan kejelasannya di depan umum

terlebih pada saat bekerja itu justru membuat ia merasa nyamaan.

Dalam hati, ia membetulkan kalau apa yang Riyan katakana

dulu itu benar. Tak perlu menjalin hubungan dengan wanita. Cukup berteman saja dengan teman sejenis memang lebih nyaman karena pria

itu pola pikirnya sama, tidak ribet dan selalu too the point. Lain halnya

dengan wanita yang apa maunya bahkan susah dipahami dan dimengerti. Bilangnya

terserah, iya marah, tidak makin parah kalau marah.

🍀🍀🍀

Tanpa terasa, sudah empat bulan Elis menjalani hidup sebagai

pemulung di ibu kota. Sebenarnya ia rindu dengan ibu dan juga kampung

halamannya. Namun untuk pulang ia masih belum memiliki cukup uang. Jadi, tidak

ada pilihan selain menahan rindu dan mengesampingkan keininannya dulu untuk

memberi hp baru agar bisa berkomunikasi dengan Yoga, ia yakin kalau Yoga pun

juga rindu padanya. Tapi, apa daya, rindunya masih terhalangkan dengan

cita-cita yang masih belum terwujut.

"Sabar dulu ya mas? Di sini aku berjuang mengumpulkan uang

untuk bayar hutang bapak agar aku terhindar dari perjodohan itu. Kau di sana

jaga hati untukku, ya?"ucap wanita itu sambil memandag sebuah foto berukuran

kira-kira 7x5cm itu.

"Copeeet….. copeeeet…..!"

Elis menoleh ke suara teriakan orang-orang yang tengah

mengejar satu orang dengan membawa sebuat tas dengan brand ternama.

Merasa kalau itu adalah seorang copet, Elis pun beranjak

meloncati pagar tanaman kira-kira sepanjang setengah meteran yang jadi

pembatas jalan satu dan sebelahnya yang berlawanan arah.

Dengan begitu, Elis posisi menghadang copet tersebut dan

dengan beraninya ia merebut tas itu. Sempat terjadi adegan Tarik menarik  tas antara Elis dan seorang pria dengan

pawakan tinggi kurus itu sampai hampir lima menit. Sekencang apapaun pria itu

mempertahankan tasnya, sekuat itu pula Elis merebutnya. Jalan terakhir, Elis pun

terpaksa menendang perut pria itu sampai tubuhnya roboh, dan tas ada di tangan

Elis.

Nmaun si jampret

masih tidak mau mengalah. Ia kembali merebut barang copetannya yang telah berada

di tangan gadis yang sama sekali tidak dia kenal. Merasa panik karena warga

sudah dekat, sedangkan Elis masih kekeh memegang barang rampasannya, Pria itu

pun nekat melukai Elis dengan menggores lengannya dengan pisau dan lari tanpa

mendapatkan apa-apa.

"Oke, kau menang sekarang. Tapi, jangan harap kau bisa

lolos dariku, urusan kita masih belum selesai," ucap pria itu lalu pergi,

menghindari amukan masa.

Elis meringis kesakitan memegangi lengannya yang terkena

pisau, lukanya lumayan dalam, sehingga darah di lengannya mengucur dengan

deras.

"Pak, ini tasnya," ucap Elis memberikan tas tersebut entah

kepada siapa, meskipun ia tahu kalau itu bukanlah pemiliknya.

Merasa kesakitan yang baginya luar biasa, ditambah lagi

lelah dan juga belum makan sedari pagi, membuat Elis hilang kesadaran. Mungkin

juga sebagian karena dia shock, karena tidak pernah mengalami kejadian seperti

ini selama hidupnya.

"Ini, Bu tas anda, lain kali lebihlah hati-hati jika membawa

barang, jaman sekarang rawan copet dan penculikkan." Seorang pria memberikan ta

situ pada pemiliknya, seorang wanita dengan gaya modish dan menujukan status

sosisalnya yang tinggi.

"Terimakasih ya pak," ucap wanita itu merasa sangat

bersukur.

"Jangan berterimasih pada saya, Bu. Berterimakasihlah pada

gadis yang ada di sana yang telah menyelamatkan tas anda.

Wanita itu mendongak menoleh kea rah suaminya. Lalu, dengan

isyarat anggukan sang suami mengajaknya untuk datang ke kerumunan orang-orang

yang ditunjukan pada bapak-bapak yang telah menyerahkan tas kepadanya.

"Mih, coba lihat, di tasmu ada noda darah, jangan-jangan dia

terluka saat menyelamatkan tasmu, ayo cpat!" seru pria itu.

Begitu mereka  berhasil menembus kereumunan orang-orang, wanita itu terkejut ketika

melihat Elis yang lengannya terluka dan tak sadarkan diri.

"Ya ampun, Pih, dia itu yang  mami ceritakan tempo hari lalu…"

"Yang mana?" tanya Pak Dion, berusaha mengingat karena

terlalu banyak orag yang diceritakan oleh istrinya, mulai dari yang baik,

judes sampai menyebalkan. Jadi, dia bingung gadis itu yang mana.

"Itu, Pih, yang mendorong mobil mama sampai ke pom saat mami

cerita pas kehabisan bensin di jalan itu."

Mendengar penjelasan dari istrinya, Pak Doni pun segera

meminta bantuan pada orang-orang  yang

ikut berkerumun agar membawa Elis masuk ke dalam mobilnya untuk di bawa ke

rumah sakit.

"Mih, di dalam mobil ada persediaan P3K, bukan?

"I… Iya, Pih ada," jawab Marissa, gugup.

Usai membalut lengan Elis, Doni pun mengemudikan

kendaraannya ke rumah sakit untuk memeriksakan gadis malang yang telah

menyelamatkan tas istrinya tersebut. Sementara Marissa hanya diam tak dapat

berkata apa-apa saking shock nya.

Sesampai di rumah sakit dan mendapatkan penanganan Gadis

belia itu pun sudah sadar, karena lukanya tidak begitu serius, jadi Elis tidak

perlu dirawat inap. Hanya saja, karena goresan pisau itu terlalu dalam, ia pun

menerima beberapa jahitan guna menghentikan pendarahan.

"Kamu sudah sadar, Nak? Terimakasih ya kamu sudah

menyelamatkan tas istri saya, dan kami minta maaf, gara-gara itu kamu jadi

terluka,"  ucap Doni, sementara Marissa

istrinya ia masih keluar untuk membeli minuman.

"Tidak apa-apa, Pak, memang sudah seharusnya sebagai manusia

kita harus saling membantu, kebetulan jambret itu tadi lewat di jalan sebelah

saya istirahat, jadi saya tinggal melompati pagar tanaman saja untuk menghadangnya,"

jawab Elis sambil tersenyum. Tangannya tidak merasa sakit sedikitpun karena

masih ada efek bius saat djahit tadi.

Tidak berselang lama, Marissa pun sudah kembali dengan membawa

makanan dan minuman serta obat-obatan yang baru saja ditebusnya.

"Nak, kamu masih ingat saya tidak? Dulu, sekitar hampir satu

bulan yang lalu kamu loh yang membantu saya mendorongkan mobil saya sampai pom

bensin. Sekarang kita bertemu lagi dengan kamu menyelamatkan tas saya dari jambret,"

sapa Marissa.

"Oh, iya, Bu,'' kjawab gadis itu dengan santun. Membuat Dony

dan Marissa saling pandang  dan tersenyum

satu sama lain.

Usai makan, Marissa dan Dony mengantarkan Elis kembali ke

tempat dimana gadis itu tinggal. Awalnya Elis menolak, lantaran takut

merepotkan Elis pun menolak, hanya saja karena dipaksa, Elis pun akhirnya mau

juga.

Setiba di gang tempat tinggal dia di lingkungan kumuh Elis

pun meminta mereka menghentikan mobilnya karena mobil juga tak akan dapat

masuk.

"Nak, tunggu dulu! Siapa namamu?" teriak Marissa dari dalam

mabil sambil turun.

"Nama saya Elis, Bu."

"elis, tunggu dulu, biarkan kami mengantarmu sampai rumah."

Gadis itu tersenyum, lalu barkata, "Saya tidak punya rumah,

Bu, tinggal saya di sebuah gubuk pinggiraan sungai, saya khawatir anda nanti

kotor jika ke sana, cukup antar saya sampi sini saja terimakasih karena sudah

membawa saya ke rumah sakit untuk berobat."

"Tidak apa-apa, kami akan mengantarkanmu," ucap Marissa

ngotot.

Lagi-lagi Elis tak ada pilihan selain mengiyakan permintaan

dua orang yang berasal dari kalangan atas itu untuk mengantarkannya. Setba di

sana, Marissa dan Doni diajak masuk di mana Elis biasa tidur, beruntung sekali,

sejak dari kampung Elis memang sudah diajarkan hidup bersih, jadi sekalipun

hanya tinggal di sebuah gubuk dengan Luas 3x3 meter pun tempat itu bersih dan

rapi, tak ada kain yang berserakan selain mukna dan sajadah yang dibeber pada tali

raffia yang melintang dekat dinding.

Marissa dan Doni hanya diam melihat kehidupan Elis yang

sangat sederhana. Mereka berdua merasa sudah mendapat tamparan keras setelah

mengenal Elis bagaimana tidak, dengan kehidupan yang serba dipas-paskan bahkan

mungkin juga kekurangan, Elis masih saja bisa berlaku ikhlas menolak pemberian

uang dalam jumblah banyak, padahal jika anak jalanan lain pasti jelas akan

sangat menerima dengan senang hati.

Apalagi mereka sudah kelelahan dorong mobil sejauh dua kilometer lebih, dan Bahkan tadi, di dalam mobil, Elis juga menolak diberi sejumlah uang oleh Marissa dengan alasan dia dan suaminya sudah mau membawa berobat sudah lebih dari cukup. apalagi tadi juga membelikan makanan yang sepertinya harganya pun mahal.