Sejak resmi putus dengan Diana kehidupan Aldo kini menjadi
berubah drastis. Tak ada sedikitpun keceriaan dalam dirinya, yang biasanya
sedikit rese' sama teman-temannya kini menjadi dingin dan cenderung jadi pribadi yang tertutup.
"Ikut gue nongkrong, yuk!" Tiba-tiba saja Riyan muncul dari
belakangnya dan merangkul pundak Aldo.
Aldo menoleh ke belakang sambil melemparkan paandangan malas,
yang mewakili suasana hatinya kepada Riyan. "Mau ke mana?" tanyanya, lalu
kembali pandangannya lurus ke depan, menyadarkan tubuhnya ke pagar balkon
bertumpu dengan kedua lengannya memandang gemerlib lampu yang menerangi ibu
kota di malam hari.
"Kamu jadi banyak berubah, dan selalu menyendiri, sebenernya
apa sih istimewanya Diana? Kalau kau mau, yang lebih dari dia pun kau bisa dapatkan. Kamu
ganteng, tinggi, kulit putih, keren juga macho, siapa sih yang mampu menolak
kamu, Al?"
Aldo diam, tidak menjawab.
"Kita sudah terlalu lama berpetualang selama ini, setiap
kali menemui wanita, ya seperti itu, kalau tidak matre ya egois. Sekarang aku mau tanya sama kamu, saat kamu senang siapa yang ada, dan di kala kau sedih dan
terjatuh seperti ini pun siapa? Aku kan? Aku selalu ada, dan benar-benar peduli tak
seperti yang lain. Coba kamu ingat-ingat dan kamu rasakan! Bagaimana rasanya
curhat denga sesama dan lawan jenis?
Jika memang curhat dengan sesama jenis itu lebih menyenangkan, apa salahnya
mencoba hubungan itu?" Riyan berjalan medekati Aldo, bahkan mulai berani
meletakan tangannya ke pundak, punggung dan bahkan sampai melingkarkan kedua
lengannya ke pinggang Aldo dari belakang.
"Riyan, apa yang kau lakukan?" Aldo merasa risih, tapi tidak
mau menyinggung sahabatnya, sebab, bawaannya Riyan sendiri juga sudah sensitive
banget orangnya, apalagi seorang gay, dia jauh lebih sensitive. Melebihi seorang cewek yang sedang PMS.
"Kamu nikmati saja pelukanku! Nyaman bukan?" Riyan kian
mendekap erat tubuh Aldo, sedangkan Aldo sudah tidak tahan melepaskan sepasang
tangan itu dan pergi turun dan masuk ke dalam kamarnya.
Riyan sangat marah dan kecewa. Tapi, ia tetap berusaha sabar
mendekati sahabatnya dengan kalem dan perlahan. Tidak mau terlalu gegabah atau,
ia akan hilang selamanya.
Malam itu Aldo merasa suntuk sudah lama ya tidak bekerja akhirnya ia pun bersiap untuk kembali bekerja, ia mengambil
jaket dan tas slempangnya dan bersiap sambil menenteng helmet teropong miliknya
yang berwarna merah maroon. Baru saja ia menyalakan motornya, dari belakang Riyan
yang sudah bersiap memanggilnya.
"Aldo! Aku nebeng kamu, ya?"
Aldo tidak menjawab dengan kata-kata selain hanya anggukan
saja.
Riyan tersenyum dan naik di belakang Aldo tangannya melilit
di pinggang teman prianya itu dan mereka pun akhirnya berangkat ke café
bersama.
"Aldo, kau sudah sampai?" Seorang gadis cantik bernama Julia
menyambutnya begitu ia dan Riyan tiba.
Riyan melirik kearah sahabatnya, ia nampak datar dan tak ada ekspresi apapun, mungkin masalahnya dengan Diana masih berdampak besar dalam
moodnya.
"Kamu kan sudah tahu
dan melihatnya sendiri kalau kita sudah sampai, Jul. Kenapa masih nanya?" sahut
Riyan, ia tidak suka dengan siapapun yang berusaha mengambil perhatian Aldo.
Karena ia ingin selalu menjadi prioritas utamanya.
"Dih, kamu kenapa, sih Yan? Aku nanya nya tuh sama Aldo,
bukan sama kamu, kenapa kamu yang sewot gitu?" protes Julia. Julia adalah barista
cewek yang paling cantik di antara tiga barista perempuan di sini..
Aldo hanya tersenyum lalu berkata, "Apa kabar kamu, Julia?"
"Baik, Al, tumben kamu telat? Aku kira kamu memang tidak
akan datang, kenapa beberapa hari ini tidak masuk kerja?" tanya Julia, keduaya
pun berjalan ke dalam, dan diikuti Riyan yang ada di belakang mereka.
"Aku lagi tidak enak badan, Jul. Tapi, habis ini aku janji
bakal kembali rajin bekerja seperti dulu lagi."
Riyan hanya diam mengamati Aldo dan Julia yang tengah
mengobrol sambil tertawa bersama, memang, sudah sejak lama kabarnya Julia itu
naksir sama Aldo, hanya saja Aldo yang tidak mau, entah mungkin karena bodi
cewek itu yang terlalu tipis sperti triplek, atau apalah Riyan tidak tahu
persis alasannya. Sebab, sejauh ini pacar Aldo selalu para cewek yang memiliki
bodi montok dan dada besar tentunya.
"Permisi!" Merasa cemburu dan tidak tahan melihat hal
seperti itu, Riyan pun berjalan menerobos diantara Aldo dan Julia yang yang
berjalan sejajar dengan jarak yang cukup dekat.
"Heh, kalau jalan liat-liat dikit napa?" teriak Julia, saat
merasa sakit dibagian pundaknya karena ditabrak dengan keras oleh Riyan.
Aldo merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya, ia pun
meminta maaf kepada Julia atas nama Riyan. Lalu kemudian pria itu bergegas
menyusul sahabatnya yang telah melewatinya tadi.
"Riyan!" sapa Aldo, saat melihat pria itu meletakkan tasnya
ke dalam loker miliknya.
Riyan enggan menjawab, ia hanya mlengos membuang muka dan
pergi begitu saja meninggalkan Aldo sambil memasang celemek berwarna Putih.
Sementara Aldo hanya menggelengkan kepala saja, merasa heran
dengan sahabatnya, ia tidak berani begitu membujuknya saat berada di tempat
seperti ini juga semata-mata hanya demi melindungi identitas sahabatnya yang
berubah belok.
Selama empat jam bekerja, Riyan juga cenderung mendiamkan
Aldo, berbicara seperlunya saja dan itupun jika dalam keadaan kepepet. Jika tida, ia lebih
cenderung diam dan berbicara dengan barista lain.
Usai jam kerja, dan semua karyawan kantor tersebut pergi,
Aldo menghampiri Riyan yang tengah memakai jaket dan masker di depan lemari
lokernya.
"Yan, kenapa sih harus berantem gitu sama Julia? Kan mereka
sama-sama teman, ya wajar dong kalau
tanya kabar dan kasih perhatian selalu begitu, terlebih sudah empat hari aku tidak masuk kerja
dengan izin yang kurang jelas
"Buat pria normal sepertimu mana tahu rasanya, Al? Aku tidak
suka jika kamu dekat dengan siapapun, entah itu laki-laki, atau pria sekalipun.
Aku mau selalu jadi prioritas kamu seperti aku meprioritaskan kamu."
Pria itu diam tak langsung menjawab. Ia tersenyum kemudian
merangkul pundak Riyan dan mengajaknmya pulang. "Ya sudah, kita balik ke
kos-kosan sekarang yuk!" ajak Aldo.
Sesampainya di kos-kosan, Aldo mengajak Riyan ke kamarnya,
mungkin bisa sambil menunggu ngantuk bercengkrama sebentar, sambil sedikit
memberi nasehat kepada sahabatnya itu.
"Kamu kok kaya musuh bebuyutan begitu sih, Yan sama Julia?
Santai saja lah kita ini teman satu kerja, jangan suka berantem."
"Apa kau diam-diam mulai suka sama gadis itu?"
"Kamu kok bilang gitu?"
"Aku gak suka liat kamu dekat dengan siapapun, Al. Berapa
kali kau disakiti wanita? Kenapa kau masih saja dekat dengan wanita Al? Mau
sampai mati ditindas kau hawa?"
Aldo hanya diam tak membalas, yang dikatakan Riyan memang
tidak salah. Tapi, bukankah yang dia lakukan itu salah dan dianggap penyakit?
"Apa salahnya kita menjalin asmara sesama? Kita sudah lama
kenal dan bersama. Tidakkah kau merasa kalau aku adalah orang yang paling
mengerti kamu?" Entah sejak kapan Riyan mendekati Aldo, tahu-tahu dia sudah
merambat pada tubuhnya dan mencumbu Aldo, layaknya pria yang telah mencumu
kekasihnya.
Sejak saat itu, demi menjaga perasaan sahabatnya dan juga
demi menjaga identitas sahabatnya Aldo pun menuruti kemauan Riyan. Namun, siapa
sangka sesuatu yang awalnya ia lakukan karena terpaksa agar tak ada yang
curiga dengan Riyan yang nampak marah dan menunjukan kejelasannya di depan umum
terlebih pada saat bekerja itu justru membuat ia merasa nyamaan.
Dalam hati, ia membetulkan kalau apa yang Riyan katakana
dulu itu benar. Tak perlu menjalin hubungan dengan wanita. Cukup berteman saja dengan teman sejenis memang lebih nyaman karena pria
itu pola pikirnya sama, tidak ribet dan selalu too the point. Lain halnya
dengan wanita yang apa maunya bahkan susah dipahami dan dimengerti. Bilangnya
terserah, iya marah, tidak makin parah kalau marah.
🍀🍀🍀
Tanpa terasa, sudah empat bulan Elis menjalani hidup sebagai
pemulung di ibu kota. Sebenarnya ia rindu dengan ibu dan juga kampung
halamannya. Namun untuk pulang ia masih belum memiliki cukup uang. Jadi, tidak
ada pilihan selain menahan rindu dan mengesampingkan keininannya dulu untuk
memberi hp baru agar bisa berkomunikasi dengan Yoga, ia yakin kalau Yoga pun
juga rindu padanya. Tapi, apa daya, rindunya masih terhalangkan dengan
cita-cita yang masih belum terwujut.
"Sabar dulu ya mas? Di sini aku berjuang mengumpulkan uang
untuk bayar hutang bapak agar aku terhindar dari perjodohan itu. Kau di sana
jaga hati untukku, ya?"ucap wanita itu sambil memandag sebuah foto berukuran
kira-kira 7x5cm itu.
"Copeeet….. copeeeet…..!"
Elis menoleh ke suara teriakan orang-orang yang tengah
mengejar satu orang dengan membawa sebuat tas dengan brand ternama.
Merasa kalau itu adalah seorang copet, Elis pun beranjak
meloncati pagar tanaman kira-kira sepanjang setengah meteran yang jadi
pembatas jalan satu dan sebelahnya yang berlawanan arah.
Dengan begitu, Elis posisi menghadang copet tersebut dan
dengan beraninya ia merebut tas itu. Sempat terjadi adegan Tarik menarik tas antara Elis dan seorang pria dengan
pawakan tinggi kurus itu sampai hampir lima menit. Sekencang apapaun pria itu
mempertahankan tasnya, sekuat itu pula Elis merebutnya. Jalan terakhir, Elis pun
terpaksa menendang perut pria itu sampai tubuhnya roboh, dan tas ada di tangan
Elis.
Nmaun si jampret
masih tidak mau mengalah. Ia kembali merebut barang copetannya yang telah berada
di tangan gadis yang sama sekali tidak dia kenal. Merasa panik karena warga
sudah dekat, sedangkan Elis masih kekeh memegang barang rampasannya, Pria itu
pun nekat melukai Elis dengan menggores lengannya dengan pisau dan lari tanpa
mendapatkan apa-apa.
"Oke, kau menang sekarang. Tapi, jangan harap kau bisa
lolos dariku, urusan kita masih belum selesai," ucap pria itu lalu pergi,
menghindari amukan masa.
Elis meringis kesakitan memegangi lengannya yang terkena
pisau, lukanya lumayan dalam, sehingga darah di lengannya mengucur dengan
deras.
"Pak, ini tasnya," ucap Elis memberikan tas tersebut entah
kepada siapa, meskipun ia tahu kalau itu bukanlah pemiliknya.
Merasa kesakitan yang baginya luar biasa, ditambah lagi
lelah dan juga belum makan sedari pagi, membuat Elis hilang kesadaran. Mungkin
juga sebagian karena dia shock, karena tidak pernah mengalami kejadian seperti
ini selama hidupnya.
"Ini, Bu tas anda, lain kali lebihlah hati-hati jika membawa
barang, jaman sekarang rawan copet dan penculikkan." Seorang pria memberikan ta
situ pada pemiliknya, seorang wanita dengan gaya modish dan menujukan status
sosisalnya yang tinggi.
"Terimakasih ya pak," ucap wanita itu merasa sangat
bersukur.
"Jangan berterimasih pada saya, Bu. Berterimakasihlah pada
gadis yang ada di sana yang telah menyelamatkan tas anda.
Wanita itu mendongak menoleh kea rah suaminya. Lalu, dengan
isyarat anggukan sang suami mengajaknya untuk datang ke kerumunan orang-orang
yang ditunjukan pada bapak-bapak yang telah menyerahkan tas kepadanya.
"Mih, coba lihat, di tasmu ada noda darah, jangan-jangan dia
terluka saat menyelamatkan tasmu, ayo cpat!" seru pria itu.
Begitu mereka berhasil menembus kereumunan orang-orang, wanita itu terkejut ketika
melihat Elis yang lengannya terluka dan tak sadarkan diri.
"Ya ampun, Pih, dia itu yang mami ceritakan tempo hari lalu…"
"Yang mana?" tanya Pak Dion, berusaha mengingat karena
terlalu banyak orag yang diceritakan oleh istrinya, mulai dari yang baik,
judes sampai menyebalkan. Jadi, dia bingung gadis itu yang mana.
"Itu, Pih, yang mendorong mobil mama sampai ke pom saat mami
cerita pas kehabisan bensin di jalan itu."
Mendengar penjelasan dari istrinya, Pak Doni pun segera
meminta bantuan pada orang-orang yang
ikut berkerumun agar membawa Elis masuk ke dalam mobilnya untuk di bawa ke
rumah sakit.
"Mih, di dalam mobil ada persediaan P3K, bukan?
"I… Iya, Pih ada," jawab Marissa, gugup.
Usai membalut lengan Elis, Doni pun mengemudikan
kendaraannya ke rumah sakit untuk memeriksakan gadis malang yang telah
menyelamatkan tas istrinya tersebut. Sementara Marissa hanya diam tak dapat
berkata apa-apa saking shock nya.
Sesampai di rumah sakit dan mendapatkan penanganan Gadis
belia itu pun sudah sadar, karena lukanya tidak begitu serius, jadi Elis tidak
perlu dirawat inap. Hanya saja, karena goresan pisau itu terlalu dalam, ia pun
menerima beberapa jahitan guna menghentikan pendarahan.
"Kamu sudah sadar, Nak? Terimakasih ya kamu sudah
menyelamatkan tas istri saya, dan kami minta maaf, gara-gara itu kamu jadi
terluka," ucap Doni, sementara Marissa
istrinya ia masih keluar untuk membeli minuman.
"Tidak apa-apa, Pak, memang sudah seharusnya sebagai manusia
kita harus saling membantu, kebetulan jambret itu tadi lewat di jalan sebelah
saya istirahat, jadi saya tinggal melompati pagar tanaman saja untuk menghadangnya,"
jawab Elis sambil tersenyum. Tangannya tidak merasa sakit sedikitpun karena
masih ada efek bius saat djahit tadi.
Tidak berselang lama, Marissa pun sudah kembali dengan membawa
makanan dan minuman serta obat-obatan yang baru saja ditebusnya.
"Nak, kamu masih ingat saya tidak? Dulu, sekitar hampir satu
bulan yang lalu kamu loh yang membantu saya mendorongkan mobil saya sampai pom
bensin. Sekarang kita bertemu lagi dengan kamu menyelamatkan tas saya dari jambret,"
sapa Marissa.
"Oh, iya, Bu,'' kjawab gadis itu dengan santun. Membuat Dony
dan Marissa saling pandang dan tersenyum
satu sama lain.
Usai makan, Marissa dan Dony mengantarkan Elis kembali ke
tempat dimana gadis itu tinggal. Awalnya Elis menolak, lantaran takut
merepotkan Elis pun menolak, hanya saja karena dipaksa, Elis pun akhirnya mau
juga.
Setiba di gang tempat tinggal dia di lingkungan kumuh Elis
pun meminta mereka menghentikan mobilnya karena mobil juga tak akan dapat
masuk.
"Nak, tunggu dulu! Siapa namamu?" teriak Marissa dari dalam
mabil sambil turun.
"Nama saya Elis, Bu."
"elis, tunggu dulu, biarkan kami mengantarmu sampai rumah."
Gadis itu tersenyum, lalu barkata, "Saya tidak punya rumah,
Bu, tinggal saya di sebuah gubuk pinggiraan sungai, saya khawatir anda nanti
kotor jika ke sana, cukup antar saya sampi sini saja terimakasih karena sudah
membawa saya ke rumah sakit untuk berobat."
"Tidak apa-apa, kami akan mengantarkanmu," ucap Marissa
ngotot.
Lagi-lagi Elis tak ada pilihan selain mengiyakan permintaan
dua orang yang berasal dari kalangan atas itu untuk mengantarkannya. Setba di
sana, Marissa dan Doni diajak masuk di mana Elis biasa tidur, beruntung sekali,
sejak dari kampung Elis memang sudah diajarkan hidup bersih, jadi sekalipun
hanya tinggal di sebuah gubuk dengan Luas 3x3 meter pun tempat itu bersih dan
rapi, tak ada kain yang berserakan selain mukna dan sajadah yang dibeber pada tali
raffia yang melintang dekat dinding.
Marissa dan Doni hanya diam melihat kehidupan Elis yang
sangat sederhana. Mereka berdua merasa sudah mendapat tamparan keras setelah
mengenal Elis bagaimana tidak, dengan kehidupan yang serba dipas-paskan bahkan
mungkin juga kekurangan, Elis masih saja bisa berlaku ikhlas menolak pemberian
uang dalam jumblah banyak, padahal jika anak jalanan lain pasti jelas akan
sangat menerima dengan senang hati.
Apalagi mereka sudah kelelahan dorong mobil sejauh dua kilometer lebih, dan Bahkan tadi, di dalam mobil, Elis juga menolak diberi sejumlah uang oleh Marissa dengan alasan dia dan suaminya sudah mau membawa berobat sudah lebih dari cukup. apalagi tadi juga membelikan makanan yang sepertinya harganya pun mahal.