Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 13 - BROKEN HEART

Chapter 13 - BROKEN HEART

Tanpa terasa, sudah

satu minggu lebih Elis menjalankan pekerjaan barunya. Setiap subuh ia

mengambili botol plastik dan juga kaleng-kaleng susu atau minuman ringan di

sungai yang telah ia pasang jala di malam harinya.  Mungkin warga yang belum sadar akan

pentingnya menjaga kebersihan sungai itu membuangnya pada malam hari, tanpa

mereka tahu, justru menjadi berkah tersendiri bagi Elis. Dengan hasil penjualan

barang-barang ini ia tidak perlu kerja keras berjalan jauh di bawah teriknya

matahari, hanya sedikit berkorban melawan dingin saja, karena sungai yang ia

masuki bagian tenganya lumayan dalam, kira-kira sebatas lututnya.

Pagi itu, sekitar pukul tujuh pagi, seperti biasa elis

membeli sarapan dari sebagian uang yang ia dapatkan dari menjual rosokannya. Usai

sarapan, Elis pun menyusuri jalan sambil mengorek-ngorek setiap tong sampah

yang ada. Gadis itu lebih menikmati pekerjaannya yang seperti ini daripada

harus mengamen sana-sini. Menjadi pengamen ia lebih banyak mendapat tatapan

sinis dan risih dari orang-orang. Bahkan hanya memberi lima ratus perak saja

sepertinhya mereka juga sangat keberatan dan tidak ikhlas, sama sepeti yang dia

rasakan sendiri di kampung. Sementara ketika ia menjadi pemulung, malah sering

menmui sosok yang baik hati memberikan banyak botol dan gelas bekas minuman

ringan padanya. Jadi, tanpa berjalan jauh menantang teriknya mentari pun ia

juga sudah mendapatkan penghasilan seperti ia mengamen seharian penuh.

Suatu siang, Elis keluar dari warung tegal  pinggir jalan, melihat petugas kebersihan

dengan seragam orennya tengah membereskan sampah-sampah yang berserakan di

bawah tong samapah. Wanita tua itu harus membungkuk berkali-kali memungut dan

memasukan sampah -sampah itu ke tempat yang seharusnya. Sementara di

sebelahnya, sebuah mobil terparkir dengan jendela terbuka. Cukup lama Elis

mengamati, ternyata sampah plastik, bungkus makanan dan juga tissue -tissue

bekas itu berasal dari mobil itu. Merasa kasian pada ibu-ibu tua dan jengkel pada orang

yang sengaja mengerjainya itu pun Elis meletakan karung kosong dan besi Panjang

yang melengkung ujungnya untuk mengorak sampah itu di atas trotoar, ia berjalan

cepat mengambil secaruk sampah dari dalam tong dan memasukannya ke dalam mobil

tersebut melalui jendela yang terbuka itu sebagai luapan emossinya.

"Heh, apa-apaan ini? Kurang ajar banget!" seru seorang

wanita dari dalam. Bersamaan dengan itu, mobilpun terbuka, ia memaki-maki Elis,

yang tak peduli, dan justru membelakangi orang yang menurutnya gila itu, dengan

mengajak bicara si ibu yang mengenakan pakaian oren, khas petugas kebersihan

yang ada di ibu kota.

"Heh, bocah gila! Kamu sadar gak dah masukin sampah ke dalam

mobilku? Jorok ya jorok saja kamu, tapi ya jangan seenaknya masukin sampah ke

dalam mobil orang, donk!" Wanita itu marah sambil memukul punggung Elis dan

menariknya sampai keduanya saling berhadapan.

Begitu Elis menoleh dan berhadapan dengan wanita itu

keduanyanterkejut. Meskipun tidak saling kenal, mereka sering bertemu, dan

setiap pertemuan juga berujung dari pertengkaran.

"Heh, kamu?" ucap dua gadis itu bersamaan dan saling

menunjuk.

"Begitu ya kalau gembel dan tak berkelas gitu gak punya

aturan, kampungang banget," sindir Diana.

"Oh, ya? Benarkah aku tidak punya aturan? Kalau begitu kau

tidak punya tata krama dan etika. Tidakkah kau berfikir, jika ibu ini usianya

jauh lebih tua darimu, mungkin dengan ibumu di rumah ia lebih tua. Lalu, sopan

santunmu itu di mana? Tidakah kau bisa menghagai seorang yang jauh lebih tua?

Mbak. Aku emang berasal dari kampung ya, tapi aku dididik oleh kedua orang

tuaku untuk menghargai orang yang lebih tua. Bukan orang kaya yang berada,

sekalipun kau sekarang adalah Wali Kota, dan seperti ini, tetap akan aku lawan,

Buat apa kau sekopah tinggi-tinggi masuk akademi keperawatan jika moral bejat

lebih buruk dari gelandangan, apakah orangtuamu mendidikmu seperti itu? Atau,

kau saja yang bebal karna kebanyakan formalin?"

Mendengar omelan Elis Diana yang sebenarnya juga sedang

patah hati dari Aldo pun kian meradang. Ia marah dan emosi tapi tidak dapat

berbuat apa-apa. Sebab, apa yang dikatakan Elis pun sebenarnya benar. Tapi, dia

yang terbiasa egois begitu, jelas enggan mengakui kesalahannya sendiri.

Tanpa sepatah kata pun Diana masuk ke dalam mobil dan pergi

meninggalkan Elis yang baginya dia adalah sosok yang sangat menyebalkan.

Padahaal, dia saja yang tak bisa menempatkan diri, hidup terlau di manja dan

selalu dalam kemewahan saja oleh kedua orang tuanya.

"Ibu, tidak apa-apa?" tanya Elis, pada wanita itu.

"Tidak apa-apa, Neng, terimakasih, ya? Lain kali tidak perlu

seperti itu biar tidak jadi rebut."

"Orang macam itu, Buk, kalau gak ditegur ya akan makin jadi,

dia, seenaknya sendiri memperlakukan orang tua, ga bisa menghargai orang lain

hanya karena dia merasa lebih kaya," jawab Elis kesal.

"Ibu itu hanya tersenyum. Apakah dia teman kamu?"

"Dih, teman? Amit-amit, Bu… Ya bukan lah."

"Oh, bukan ibu kira kalian saling kenal saja, sebab tadi kek

terkejut saja pas kalian ketemu."

"Ini kali ketiga saya ketemu makhluk itu, Bu. Dan setiap

ketemu dia selalu saja bikin darah mendidih, kali kedua dia malah melempar kepala

saya dengan sengaja pake botol yang masih ada isinya setengah. Bener-benr sakit

tuh cewek." Gerutu Elis.

Setelah cukup ngobrol dengan ibu-ibu itu dan memberinya uang

dua lembar duapuluh ribuan, Elis pun kembali berjalan mencari rosokan yang bsia

di jual.

Di tengah teriknya matahari yang terasa seolah berjarak

hanya sejengkal dari kepala, Elis melihat seorang wanita berusia empat puluh

tahunan yang masih terlihat modis dengan sepatu mahal dan tas brendet yang ia

kenakan, Nampak kebingungan di sebelah mobil mewah yang sepertinya milik wanita

itu.

Dari kejauhan, Elis mengawasi wanita itu, ia Nampak panik,

dan berkali-kali melakukan aktifitas seperti hendak menelfon, tapi, gagal. Sepertinya

yang di telfon tidak menjawab panggilannya.

Karena penasaran, Elis perlahan mendekatinya, dan bertanya

baik-baik dengan santun, "Ibu, ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?"

Sedikitpun tak .

ada kesombongan dan rasa angkuh di benak

wanita itu, justru malah sebaliknya, ia seperti takut saat melihat elis dengan

membawa karung dan di tangan kanannya besi yang ujungnya melengkung dan runcing

seperti tangan di film bajak laut saja.

"Eee… Anu, itu, anu…. "  Hanya itu yang keluar dari bibir berpoles merah

cerah itu, Dari situ, barulah Elis paham, wanita itu panik karena takut.

Mungkin dia kebanyakan noton film aksi, dan takut besi di tangannya dengan Panjang

setengah meter itu ia gunakan untuk mengait lehernya.

Elis melangkah mundur, kira-kira tiga meteran meletakan barang

bawaannya dan kembali mendekati wanita itu. "Bu, apakah mobilnya mengalami

masalah? Ada yang bisa saya bantu?"

"Tidak, sih. Mobil saya hanya kehabisan bensin saja," jawab

wanita itu, gugup dan juga takut.

"Oh, begitu? Ya sudah, ibu masuk saja ke dalam, di depan

sana ada pom bensin, biar saya yang mendorong mobil ibu," ucap Elis sambil tersenyum

ramah pada wanita itu.

"Serius? Pom bensin jauh, loh, sekitar dua kilo meter dari

sini," ucap wanita itu, Nampak terkejut.

"Iya, saya tahu, saya dorong sampai sana ya, Bu, Sepertinya

anda juga sedang buru-buru." Setelah berhasil meyakinkan wanita itu, Elis pun

mendorong mobil milik wanita tersebut sampai di pom bensin, tiba di sana, si

ibu memasrahkan mobilnya kepada petugas pom dan meminta supaya mobilnya diisi

BBM sampai full, sedangkana dia sendiri mengejar Elis yang langsung nyelonong

pergi begitu saja.

"Hey, Nak! Tunggu dulu, kamu mau ke mana? Tunggu sebentar,

ini kamu terima, ya anggap saja ini ucapan terimakasih saya ke kamu," ucap

wanita itu, seraya menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.

"Sebelumnya terimakasih, Bu. Tadi saya melakukannya

benar-benar ikhlas, tak ada niat apapun selain membantu," jawab Elis menolak

dengan santun.

"Kalau begitu, anggap saja ini sebagai uang lelah kamu, ya?"

Wanita itu rupanya masih bersikeras membujuk Elis.

Elis memperhatikan daerah sekitar, di ujung sana, di pinngir

pintu keluar , ada terdapat banyak penjuaal makanan, mulai dari jagung rebus,

cilok, es dawet dan juga bakso, berjajar rapi di sana. Elis tersenyum saat

melihat ke arah sana dan berkata dengan girang pada ibu-ibu yang dari penampilannya

sudah bisa ditebak kalau ia adalah wanita karir itu pun berkata sambil menunjuk

ke arah penjual es cendol, "Kalau begitu, traktir saja saya satu bungkus es

cendol itu Bu, sebagai ucapan terimakasih anda."

Wanita itu Nampak bengong, ia hampirr tak mempercayai perkataan

Elis. "Apa? Kamu cuma minta itu saja? Bagaimana kalau kita makan saja dulu ke

restoran?'' tawar wanita itu.

"Oh, jangan, Bu… Tidak usah, cukup  es cendol itu saja," ucap Elis meyakinkan.

Akhirnya, wanita itu pun menuruti permintaan Elis.

Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya memikirkan gadis

itu, sampai ia tiba di rumah, ia menyesali satu hal, Ia melupakan bertanya

siapa nama gadis itu. "Hah, semoga lain kali ada kesempatan untuk bisa bertemu

dengannya lagi," gumamnya seorang diri, lalu masuk ke dalam rumah mewahnya itu.

🍁🍁🍁Aldo

Karena tidak ada jadwal kuliah dan libur bekrja sampingan di

Cafe, seharian Aldo hanya menghambiskan waktunya di dalam kamar

kosnya, kamar itu sampai pengap karena sedari pagi, dia sudah menghabiskan

sekitar dua pak rokok yang berisi 16batang itu, atau bahkan lebih. Pria itu

sudah enggan ngapa-ngapain. Ia tidak makan apapun seharian selain menghisap

rokok yang ditemani dengan bebrapa cangkir kopi saja.

"Tok..took…tok!"

Aldo mengangkat kepalanya , melihat ke arah pintu yang

diketuk tiga kali. Ia berfikir itu adalah Riyan, dengan malas ia pun beranjak

untuk membuka kuncinya saja, lalu kembali duduk dan menyalakan sebatang rokok

lagi.

"Kreeeeek''

Pintu terbuka, seorang gadis berbapkaian outfit kaus putih

lengan pendek dimasukan ke dalam rok selututnya berdiri di sana sambil

memanggil namany. "Aldo."

Aldo menoleh, memastikan suara itu, ketika benar itu suara

mantan pacarnya, ia pun buang muka tak mau peduli lagi. Beruntung, pria itu

cinta kebersihan, sertidaknya tak ada kain dan sampah yang berserakan di dalam

kamar seperti para pria yang tengah patah hati pada umumnya yang malas

ngapa-ngapain.

Diana mengibaskan tangan kanannya di depan hidung saat beberapa

langkah masuk kamar Aldo, aroma pengap dari asab rokok yang bercampur nikotin

itu menyeruak indra penciumannya.

"Al, kamu jangan gitu, dong! Aku mau minta maaf sama kamu,

kasih aku satu kesempatan lagi, aku mau kita balikan," ucap gadis itu yang tiba-tiba

saja sudah duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalanya di pundaknya.

Aldo menggerakan pundak yang dibuat sandaran Diana, sampai

kepala gadis itu tersingkir dari sana.

"Aldo, kamu mau kan kasih aku kesempatan satu kali lagi?"

tanya Diana, tetap ngotot bahkan, kali ini dia sampai harus menggadaikan rasa

malunya. Dia berani duduk di pangkuan Aldo dalam posisi berhadapan. "Al, lihat

aku, aku yakin kau juga sebenarnya masih sayang dan cinta sama aku, kan? Kenapa

kamu seperti ini, aku janji sama kamu aku gak akan ulangin kesalahan yang sama

lagi, kasih aku ksempatan Al."

Aldo yang semula memalingkan wajahnya, kini ia menatap lusus

di depannya. Melihat wajah Diana yang menjadi pengisi hatinya selama hampir dua

tahun ini Aldo menatap wajah Diana yang penuh dengan ekpresi memohon, pandangannya

kian turun, sampai ke dagu dan tiba ke sepasang bukin tepat di hadapannya,

bahkan hampir menyetuh wahanya.

Hampir saja, Aldo tergoda dengan sepasang bukit itu, lagian,

di mana ada cowok normal yang tidak tertarik sama yang kek gitu? "Din… Apa yang

kau lakukan? Pergilah!" ucapnya sambil mengangkat tubuh itu dan meletakannya di

samping. Aldo, yang sedari tadi hanya mengenakan celana jeans Panjang tanpa

atasan, beranjak mengambil kaus dan mengenakannya. Lalu pergi meninggalkan

Diana yang masih ada di sana.

"Aldo, kamu mau ke mana?" Gadis itu pun Nampak buru-buru mengejar mantan

pacarnya yang mulai menaiki motor ninja

merah empat tagnya.

Pria itu tidak menjawab, ia malah menyalakan mesin, dan

melajukan begitu saja, tak pedulikan Diana yang mengejarnya.

Sebelum Aldo sampai di depan gerbang, dengan sigap Diana

ikut naik di jog belakang dan memeluk erat tubuh Aldo sambil berkata, "Aku

butuh jawaban, bukan dicuekin gini, aku masih sayang sama kamu, Al. Aku gak mau

putus sama kamu, uda berapa kali aku minta maaf dan minta kesempatan satu kali

lagi ke kamu, Tapi, kamu gak pernah menghiraukan aku, Al." Gadis itu pun mulai

menangis terisak dan menenggelamkan wajahnya di punggung Aldo.

"Din, aku sudah bilang sama kamu, aku gak bisa balikan lagi

sama kamu, aku lagi butuh diam sendiri untuk berfikir."

"Aku nyesel, Al. Jujur dari dalam hatiku yang paling dalam,

aku tuh masih sayang banget sama kamu, plis jangan tinggalin aku, harus lakukan

apa aku supaya kau tidak pergi dariku?"

"Berhentilah merendahkan dirimu sendiri, ingat! Kau ini

seorang wanita, tak pantas bagimu mengemis seperti itu kepada seorang pria,

turun atau… "

"Atau apa? Kamu mau apa? Lakukan saja biar kau puas, Al,

jika kau ingin meyakitiku, lakukan saja jika memang itu satu-satunya cara agar

aku bisa kembali lagi padamu." Diana menangis semakin menjadi, Ia tak pedulikan

harga dirinya, bagi dia, Aldo adalah segalanya, dan hanya pria itulah satu-satunya

pria yang paling bisa mengerti dirnya, tak ada yang lain.

"Din, turunlah, jangan paksa aku berbuat kasar sama kamu!

Kau lihat di sekeliling, orang-orang pada melihatmu, tidakkah kau malu?"

Merasa benar-benar ditolak dan tak lagi mendapatkan

kesempatan, Diana pun turun dari motor dan berlari ke arah mobilnya, dan segera

pergi pulang kerumahnya.