Tanpa terasa, sudah
satu minggu lebih Elis menjalankan pekerjaan barunya. Setiap subuh ia
mengambili botol plastik dan juga kaleng-kaleng susu atau minuman ringan di
sungai yang telah ia pasang jala di malam harinya. Mungkin warga yang belum sadar akan
pentingnya menjaga kebersihan sungai itu membuangnya pada malam hari, tanpa
mereka tahu, justru menjadi berkah tersendiri bagi Elis. Dengan hasil penjualan
barang-barang ini ia tidak perlu kerja keras berjalan jauh di bawah teriknya
matahari, hanya sedikit berkorban melawan dingin saja, karena sungai yang ia
masuki bagian tenganya lumayan dalam, kira-kira sebatas lututnya.
Pagi itu, sekitar pukul tujuh pagi, seperti biasa elis
membeli sarapan dari sebagian uang yang ia dapatkan dari menjual rosokannya. Usai
sarapan, Elis pun menyusuri jalan sambil mengorek-ngorek setiap tong sampah
yang ada. Gadis itu lebih menikmati pekerjaannya yang seperti ini daripada
harus mengamen sana-sini. Menjadi pengamen ia lebih banyak mendapat tatapan
sinis dan risih dari orang-orang. Bahkan hanya memberi lima ratus perak saja
sepertinhya mereka juga sangat keberatan dan tidak ikhlas, sama sepeti yang dia
rasakan sendiri di kampung. Sementara ketika ia menjadi pemulung, malah sering
menmui sosok yang baik hati memberikan banyak botol dan gelas bekas minuman
ringan padanya. Jadi, tanpa berjalan jauh menantang teriknya mentari pun ia
juga sudah mendapatkan penghasilan seperti ia mengamen seharian penuh.
Suatu siang, Elis keluar dari warung tegal pinggir jalan, melihat petugas kebersihan
dengan seragam orennya tengah membereskan sampah-sampah yang berserakan di
bawah tong samapah. Wanita tua itu harus membungkuk berkali-kali memungut dan
memasukan sampah -sampah itu ke tempat yang seharusnya. Sementara di
sebelahnya, sebuah mobil terparkir dengan jendela terbuka. Cukup lama Elis
mengamati, ternyata sampah plastik, bungkus makanan dan juga tissue -tissue
bekas itu berasal dari mobil itu. Merasa kasian pada ibu-ibu tua dan jengkel pada orang
yang sengaja mengerjainya itu pun Elis meletakan karung kosong dan besi Panjang
yang melengkung ujungnya untuk mengorak sampah itu di atas trotoar, ia berjalan
cepat mengambil secaruk sampah dari dalam tong dan memasukannya ke dalam mobil
tersebut melalui jendela yang terbuka itu sebagai luapan emossinya.
"Heh, apa-apaan ini? Kurang ajar banget!" seru seorang
wanita dari dalam. Bersamaan dengan itu, mobilpun terbuka, ia memaki-maki Elis,
yang tak peduli, dan justru membelakangi orang yang menurutnya gila itu, dengan
mengajak bicara si ibu yang mengenakan pakaian oren, khas petugas kebersihan
yang ada di ibu kota.
"Heh, bocah gila! Kamu sadar gak dah masukin sampah ke dalam
mobilku? Jorok ya jorok saja kamu, tapi ya jangan seenaknya masukin sampah ke
dalam mobil orang, donk!" Wanita itu marah sambil memukul punggung Elis dan
menariknya sampai keduanya saling berhadapan.
Begitu Elis menoleh dan berhadapan dengan wanita itu
keduanyanterkejut. Meskipun tidak saling kenal, mereka sering bertemu, dan
setiap pertemuan juga berujung dari pertengkaran.
"Heh, kamu?" ucap dua gadis itu bersamaan dan saling
menunjuk.
"Begitu ya kalau gembel dan tak berkelas gitu gak punya
aturan, kampungang banget," sindir Diana.
"Oh, ya? Benarkah aku tidak punya aturan? Kalau begitu kau
tidak punya tata krama dan etika. Tidakkah kau berfikir, jika ibu ini usianya
jauh lebih tua darimu, mungkin dengan ibumu di rumah ia lebih tua. Lalu, sopan
santunmu itu di mana? Tidakah kau bisa menghagai seorang yang jauh lebih tua?
Mbak. Aku emang berasal dari kampung ya, tapi aku dididik oleh kedua orang
tuaku untuk menghargai orang yang lebih tua. Bukan orang kaya yang berada,
sekalipun kau sekarang adalah Wali Kota, dan seperti ini, tetap akan aku lawan,
Buat apa kau sekopah tinggi-tinggi masuk akademi keperawatan jika moral bejat
lebih buruk dari gelandangan, apakah orangtuamu mendidikmu seperti itu? Atau,
kau saja yang bebal karna kebanyakan formalin?"
Mendengar omelan Elis Diana yang sebenarnya juga sedang
patah hati dari Aldo pun kian meradang. Ia marah dan emosi tapi tidak dapat
berbuat apa-apa. Sebab, apa yang dikatakan Elis pun sebenarnya benar. Tapi, dia
yang terbiasa egois begitu, jelas enggan mengakui kesalahannya sendiri.
Tanpa sepatah kata pun Diana masuk ke dalam mobil dan pergi
meninggalkan Elis yang baginya dia adalah sosok yang sangat menyebalkan.
Padahaal, dia saja yang tak bisa menempatkan diri, hidup terlau di manja dan
selalu dalam kemewahan saja oleh kedua orang tuanya.
"Ibu, tidak apa-apa?" tanya Elis, pada wanita itu.
"Tidak apa-apa, Neng, terimakasih, ya? Lain kali tidak perlu
seperti itu biar tidak jadi rebut."
"Orang macam itu, Buk, kalau gak ditegur ya akan makin jadi,
dia, seenaknya sendiri memperlakukan orang tua, ga bisa menghargai orang lain
hanya karena dia merasa lebih kaya," jawab Elis kesal.
"Ibu itu hanya tersenyum. Apakah dia teman kamu?"
"Dih, teman? Amit-amit, Bu… Ya bukan lah."
"Oh, bukan ibu kira kalian saling kenal saja, sebab tadi kek
terkejut saja pas kalian ketemu."
"Ini kali ketiga saya ketemu makhluk itu, Bu. Dan setiap
ketemu dia selalu saja bikin darah mendidih, kali kedua dia malah melempar kepala
saya dengan sengaja pake botol yang masih ada isinya setengah. Bener-benr sakit
tuh cewek." Gerutu Elis.
Setelah cukup ngobrol dengan ibu-ibu itu dan memberinya uang
dua lembar duapuluh ribuan, Elis pun kembali berjalan mencari rosokan yang bsia
di jual.
Di tengah teriknya matahari yang terasa seolah berjarak
hanya sejengkal dari kepala, Elis melihat seorang wanita berusia empat puluh
tahunan yang masih terlihat modis dengan sepatu mahal dan tas brendet yang ia
kenakan, Nampak kebingungan di sebelah mobil mewah yang sepertinya milik wanita
itu.
Dari kejauhan, Elis mengawasi wanita itu, ia Nampak panik,
dan berkali-kali melakukan aktifitas seperti hendak menelfon, tapi, gagal. Sepertinya
yang di telfon tidak menjawab panggilannya.
Karena penasaran, Elis perlahan mendekatinya, dan bertanya
baik-baik dengan santun, "Ibu, ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?"
Sedikitpun tak .
ada kesombongan dan rasa angkuh di benak
wanita itu, justru malah sebaliknya, ia seperti takut saat melihat elis dengan
membawa karung dan di tangan kanannya besi yang ujungnya melengkung dan runcing
seperti tangan di film bajak laut saja.
"Eee… Anu, itu, anu…. " Hanya itu yang keluar dari bibir berpoles merah
cerah itu, Dari situ, barulah Elis paham, wanita itu panik karena takut.
Mungkin dia kebanyakan noton film aksi, dan takut besi di tangannya dengan Panjang
setengah meter itu ia gunakan untuk mengait lehernya.
Elis melangkah mundur, kira-kira tiga meteran meletakan barang
bawaannya dan kembali mendekati wanita itu. "Bu, apakah mobilnya mengalami
masalah? Ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak, sih. Mobil saya hanya kehabisan bensin saja," jawab
wanita itu, gugup dan juga takut.
"Oh, begitu? Ya sudah, ibu masuk saja ke dalam, di depan
sana ada pom bensin, biar saya yang mendorong mobil ibu," ucap Elis sambil tersenyum
ramah pada wanita itu.
"Serius? Pom bensin jauh, loh, sekitar dua kilo meter dari
sini," ucap wanita itu, Nampak terkejut.
"Iya, saya tahu, saya dorong sampai sana ya, Bu, Sepertinya
anda juga sedang buru-buru." Setelah berhasil meyakinkan wanita itu, Elis pun
mendorong mobil milik wanita tersebut sampai di pom bensin, tiba di sana, si
ibu memasrahkan mobilnya kepada petugas pom dan meminta supaya mobilnya diisi
BBM sampai full, sedangkana dia sendiri mengejar Elis yang langsung nyelonong
pergi begitu saja.
"Hey, Nak! Tunggu dulu, kamu mau ke mana? Tunggu sebentar,
ini kamu terima, ya anggap saja ini ucapan terimakasih saya ke kamu," ucap
wanita itu, seraya menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.
"Sebelumnya terimakasih, Bu. Tadi saya melakukannya
benar-benar ikhlas, tak ada niat apapun selain membantu," jawab Elis menolak
dengan santun.
"Kalau begitu, anggap saja ini sebagai uang lelah kamu, ya?"
Wanita itu rupanya masih bersikeras membujuk Elis.
Elis memperhatikan daerah sekitar, di ujung sana, di pinngir
pintu keluar , ada terdapat banyak penjuaal makanan, mulai dari jagung rebus,
cilok, es dawet dan juga bakso, berjajar rapi di sana. Elis tersenyum saat
melihat ke arah sana dan berkata dengan girang pada ibu-ibu yang dari penampilannya
sudah bisa ditebak kalau ia adalah wanita karir itu pun berkata sambil menunjuk
ke arah penjual es cendol, "Kalau begitu, traktir saja saya satu bungkus es
cendol itu Bu, sebagai ucapan terimakasih anda."
Wanita itu Nampak bengong, ia hampirr tak mempercayai perkataan
Elis. "Apa? Kamu cuma minta itu saja? Bagaimana kalau kita makan saja dulu ke
restoran?'' tawar wanita itu.
"Oh, jangan, Bu… Tidak usah, cukup es cendol itu saja," ucap Elis meyakinkan.
Akhirnya, wanita itu pun menuruti permintaan Elis.
Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya memikirkan gadis
itu, sampai ia tiba di rumah, ia menyesali satu hal, Ia melupakan bertanya
siapa nama gadis itu. "Hah, semoga lain kali ada kesempatan untuk bisa bertemu
dengannya lagi," gumamnya seorang diri, lalu masuk ke dalam rumah mewahnya itu.
🍁🍁🍁Aldo
Karena tidak ada jadwal kuliah dan libur bekrja sampingan di
Cafe, seharian Aldo hanya menghambiskan waktunya di dalam kamar
kosnya, kamar itu sampai pengap karena sedari pagi, dia sudah menghabiskan
sekitar dua pak rokok yang berisi 16batang itu, atau bahkan lebih. Pria itu
sudah enggan ngapa-ngapain. Ia tidak makan apapun seharian selain menghisap
rokok yang ditemani dengan bebrapa cangkir kopi saja.
"Tok..took…tok!"
Aldo mengangkat kepalanya , melihat ke arah pintu yang
diketuk tiga kali. Ia berfikir itu adalah Riyan, dengan malas ia pun beranjak
untuk membuka kuncinya saja, lalu kembali duduk dan menyalakan sebatang rokok
lagi.
"Kreeeeek''
Pintu terbuka, seorang gadis berbapkaian outfit kaus putih
lengan pendek dimasukan ke dalam rok selututnya berdiri di sana sambil
memanggil namany. "Aldo."
Aldo menoleh, memastikan suara itu, ketika benar itu suara
mantan pacarnya, ia pun buang muka tak mau peduli lagi. Beruntung, pria itu
cinta kebersihan, sertidaknya tak ada kain dan sampah yang berserakan di dalam
kamar seperti para pria yang tengah patah hati pada umumnya yang malas
ngapa-ngapain.
Diana mengibaskan tangan kanannya di depan hidung saat beberapa
langkah masuk kamar Aldo, aroma pengap dari asab rokok yang bercampur nikotin
itu menyeruak indra penciumannya.
"Al, kamu jangan gitu, dong! Aku mau minta maaf sama kamu,
kasih aku satu kesempatan lagi, aku mau kita balikan," ucap gadis itu yang tiba-tiba
saja sudah duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalanya di pundaknya.
Aldo menggerakan pundak yang dibuat sandaran Diana, sampai
kepala gadis itu tersingkir dari sana.
"Aldo, kamu mau kan kasih aku kesempatan satu kali lagi?"
tanya Diana, tetap ngotot bahkan, kali ini dia sampai harus menggadaikan rasa
malunya. Dia berani duduk di pangkuan Aldo dalam posisi berhadapan. "Al, lihat
aku, aku yakin kau juga sebenarnya masih sayang dan cinta sama aku, kan? Kenapa
kamu seperti ini, aku janji sama kamu aku gak akan ulangin kesalahan yang sama
lagi, kasih aku ksempatan Al."
Aldo yang semula memalingkan wajahnya, kini ia menatap lusus
di depannya. Melihat wajah Diana yang menjadi pengisi hatinya selama hampir dua
tahun ini Aldo menatap wajah Diana yang penuh dengan ekpresi memohon, pandangannya
kian turun, sampai ke dagu dan tiba ke sepasang bukin tepat di hadapannya,
bahkan hampir menyetuh wahanya.
Hampir saja, Aldo tergoda dengan sepasang bukit itu, lagian,
di mana ada cowok normal yang tidak tertarik sama yang kek gitu? "Din… Apa yang
kau lakukan? Pergilah!" ucapnya sambil mengangkat tubuh itu dan meletakannya di
samping. Aldo, yang sedari tadi hanya mengenakan celana jeans Panjang tanpa
atasan, beranjak mengambil kaus dan mengenakannya. Lalu pergi meninggalkan
Diana yang masih ada di sana.
"Aldo, kamu mau ke mana?" Gadis itu pun Nampak buru-buru mengejar mantan
pacarnya yang mulai menaiki motor ninja
merah empat tagnya.
Pria itu tidak menjawab, ia malah menyalakan mesin, dan
melajukan begitu saja, tak pedulikan Diana yang mengejarnya.
Sebelum Aldo sampai di depan gerbang, dengan sigap Diana
ikut naik di jog belakang dan memeluk erat tubuh Aldo sambil berkata, "Aku
butuh jawaban, bukan dicuekin gini, aku masih sayang sama kamu, Al. Aku gak mau
putus sama kamu, uda berapa kali aku minta maaf dan minta kesempatan satu kali
lagi ke kamu, Tapi, kamu gak pernah menghiraukan aku, Al." Gadis itu pun mulai
menangis terisak dan menenggelamkan wajahnya di punggung Aldo.
"Din, aku sudah bilang sama kamu, aku gak bisa balikan lagi
sama kamu, aku lagi butuh diam sendiri untuk berfikir."
"Aku nyesel, Al. Jujur dari dalam hatiku yang paling dalam,
aku tuh masih sayang banget sama kamu, plis jangan tinggalin aku, harus lakukan
apa aku supaya kau tidak pergi dariku?"
"Berhentilah merendahkan dirimu sendiri, ingat! Kau ini
seorang wanita, tak pantas bagimu mengemis seperti itu kepada seorang pria,
turun atau… "
"Atau apa? Kamu mau apa? Lakukan saja biar kau puas, Al,
jika kau ingin meyakitiku, lakukan saja jika memang itu satu-satunya cara agar
aku bisa kembali lagi padamu." Diana menangis semakin menjadi, Ia tak pedulikan
harga dirinya, bagi dia, Aldo adalah segalanya, dan hanya pria itulah satu-satunya
pria yang paling bisa mengerti dirnya, tak ada yang lain.
"Din, turunlah, jangan paksa aku berbuat kasar sama kamu!
Kau lihat di sekeliling, orang-orang pada melihatmu, tidakkah kau malu?"
Merasa benar-benar ditolak dan tak lagi mendapatkan
kesempatan, Diana pun turun dari motor dan berlari ke arah mobilnya, dan segera
pergi pulang kerumahnya.