Chereads / Aku Hidup Kembali Di Dunia Lain Bersama Teman Lamaku / Chapter 19 - Chap 19: Modernisasi 1

Chapter 19 - Chap 19: Modernisasi 1

Pagi hari seperti biasa di kerajaan damai ini. Kicauan burung, suara nyanyian anak-anak yang berkunjung ke kastil. Tapi pagi ini aku melewatkan sesuatu, aku tidak mengunjungi kamar ibuku dan langsung bergegas keluar kastil. Tidak juga di temani oleh Hilda atau Regina, mereka berdua paling sedang mandi saat ini. Aku keluar kastil hanya dengan memakai jaket dan celana jeans, juga sepatu sneaker agar lebih mudah dan ringan. Pagi ini rencananya aku akan pergi ke tempat paman Howard dan Antonie. Mereka berdua adalah orang kepercayaan kakek dan ibuku. Howard adalah pandai besi yang menghabiskan separuh hidupnya sebagai penempa kerajaan. Sementara Antonie adalah perancang busana dan gaun kerajaan Heiken. Beberapa baju modern yang aku pakai juga dibuatkan olehnya berdasarkan desain buatanku. Keduanya tinggal dan bekerja di kota bawah istana jika tidak sedang bertugas di kastil. Mereka juga bukan hanya pengrajin biasa, sebelum menjadi pengusaha keduanya adalah mantan jenderal perang di zaman kejayaan kakekku dan pensiun saat ibuku menjabat. Hari ini aku ingin melihat hasil pesananku tempo hari kepada mereka berdua.

Aku harus pintar-pintar mencari celah. Aku tidak bisa keluar lewat pintu rahasia karena akan bertemu ibu atau bibiku. Sekarang aku berada di dalam kastil dan tinggal keluar beberapa ratus meter lagi sampai tiba di gerbang utama. Sebenarnya bisa saja pakai sihir menghilang, tapi itu bisa membuat orang yang melihatku muncul tiba-tiba terkejut dan akan menjadi berita heboh. Sihir menghilang itu sihir langka yang hanya bisa digunakan oleh penyihir kelas 6 keatas. Sekelas ibuku. Aku hanya harus keluar pelan-pelan.

"Sistine? Hendak kemana kau sepagi ini?"

Seorang wanita menegurku. Aku berbalik melihat siapa yang menghalangi rencana kaburku. Wanita berambut coklat panjang yang di ikat ke bahunya dengan gaun sederhana. Dia membawa buku tebal di tangannya.

"Bibi Miliana?! Uhm! Selamat pagi bibi" Aku membungkuk memberinya hormat.

Dia adalah putri Heiken ke-4 yang juga adalah ratu Heiken. Memang aneh terdengarnya. Tapi dia adalah istri dari paman Jonathan, raja Heiken. Keduanya adalah saudara kandung yang lahir selang setahun. Keduanya menjalani pernikahan sedarah dan dikaruniai dua orang anak yang lucu dan aktif. Di dunia ini pernikahan sedarah masih legal, walaupun tabu. Terutama di kalangan bangsawan sekelas raja, mereka harus melestarikan darah murni mereka pada satu keturunan. Kakek dan nenek pun sebenarnya adalah sepupu. Karena ibu dan ketiga bibi tertua mereka tidak menikah, maka kewajiban itu diturunkan pada paman Jonathan dan bibi Miliana. Walaupun mereka ini adalah suami istri, namun tetap saja mereka menjalani kesehariannya sebagai kakak-adik.

"Hendak pergi kemana kau dengan pakaian aneh itu lagi Sistine?"

"Anu bibi.. um- aku hanya akan mengunjungi teman lamaku."

"Teman lamamu kan ada di dalam kastil?"

Gawat. Aku tidak pandai mengelabui orang terutama yang seperti bibi Miliana ini. Dia adalah orang yang sangat pintar. Kulihat dia seperti sedang kumat-kamit. Mantra! Mampus aku, ini dia pasti sedang telepati dengan bibiku atau ibuku.

"Maaf bibi aku pergi dulu!"

"Eh!! SITINE!!"

Aku terpaksa memakai sihir untuk mempercepat lariku dan meringankan tubuhku. Aku melompati tembok kastil yang sangat tinggi kemudian melompati rumah-rumah warga.

"Pergi kemana kau Sistine!"

Bibiku ternyata mengejarku. Aku lupa dia juga bisa sihir murahan seperti ini. Ah maafkan aku bibi, tapi kalau bibi sampai tahu nanti jadi tidak asyik. Aku kemudian mengeluarkan sihir pengikat. Hampir sama seperti milik Zaki, tapi punyaku itu sejenis ilusi dan merupakan turunan dari sihir cahaya.

"Kyaa!! Sistine!! Kau tidak akan bisa lari dari ini!" Bibiku terhenti. Kulihat kakinya terikat oleh rantai emas bercahaya. Dia menggerutu sambil memantrai kakinya, namun itu tidak akan bisa membantu, tingkat sihirku jauh diatas bibi Miliana.

Sudah cukup jauh aku kabur dari bibiku, sekarang aku sudah berada di kawasan kota baru. Jalan Sistine kavling III. Nama jalan yang dulunya jalan Greysour ini diganti jadi namaku oleh ibunda karena di tempat ini adalah tempat dimana ekonomi kota Heiken

berjalan. Aku dianggap menjadi pelopor inovasi setelah kebijakan simpan-pinjam yang aku tawarkan pada menteri ekonomi. Koperasi versi medieval tidak buruk juga jika dikelola dengan baik dan benar. Sekarang orang-orang menengah kebawah bisa memiliki usaha mereka sendiri dengan pelunasan dicicil dengan bunga sangat ringab hingga tanpa bunga. Bunga itu sendiri akan dikembalikan sebagai hadiah kepada mereka yang berjasa atau sebagai bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Hal pertama yang aku lakukan adalah langsung mengunjungi Paman Howard. Rumah sederhana dari batu alam dan kayu jati berkualitas. Benar-benar bergaya abad pertengahan. Memang aku sedang di abad pertengahan sih. Aku dan paman Howard sudah saling kenal sejak pertama hari penobatanku. Di minggu pertamaku menjadi putri aku pernah memesan sebuah pena kepadanya dan aku berikan pada ibuku. Kini pena itu menjadi barang populer di kerajaan ini dan dipakai sebagai benda wajib untuk para pelajar akademi sihir dan ksatria. Merk pertama pena di dunia ini adalah Pilot, ditulis dengan ukiran emas dan huruf rune khas Prestia. Merk yang aku usulkan pada ibuku. Pulpen yang membantuku sekolah selama 12 tahun.

"Pamaaan!" Aku menyapa pria tua seusia kakek Vladimir yang sedang berdiri menempa besi di samping rumahnya yang merupakan toko senjata miliknya.

"Tuan Putri? Mengapa kau datang sendirian?" Dia berbalik lalu menghampiriku meninggalkan besi yang sedang ia tempa.

"Aku tidak ingin kejutan kita diketahui oleh ibuku atau orang suruhannya" jawabku.

"Dasar.. Setidaknya ajaklah seorang ksatria bersamamu. Berbahaya sekali berjalan di kota tanpa penjagaan apalagi untukmu."

"Tidak apa! Aku kan kuat!"

"Kalau kau sebegitu kuatnya, kau tidak akan berdarah hanya karena terpeleset di tangga rumahku" Dia meledekku karena aku terjatuh saat pertama kali datang kerumahnya.

"Ehehe.. Oh iya paman, bagaimana pesananku?"

"Tentu saja sudah aku selesaikan"

Uwaaaaaah indah sekali!! Senjata api sejenis karabiner 98 milik Jerman yang sangat legendaris di tiga zaman. Aku meminta paman Howard membuatnya berdasarkan blueprint yang kudapat dari kemampuan browsing-ku. Lengkap dengan pelurunya yang diisi bahan mesiu dari gudang kerajaan yang biasa di pakai untuk pelontar peluru meriam atau drum peledak.

"Jadi Putri, sebenarnya bagaimana cara kerja senjata api ini dan kenapa kau bersikeras ingin membuat benda ini?"

"Sebenarnya paman, bulan depan aku akan pergi ke pertempuran pertamaku".

Lalu kami mengobrol cukup panjang di ruang tempa yang panas dan bau besi ini. Aku menjelaskan bagaimana bisa aku terlibat dalam pertempuran. Juga kondisiku yang sedang di kejar deadline untuk mengumpulkan pasukan kompeten sebanyak 500 orang dan tak boleh lebih. Jika aku gagal maka pilihanku hanya menikah dengan pria yang bahkan tidak aku kenal.

"Sulit juga ternyata kondisinya" ujar Paman Howard berdiri bersandar pada meja besi yang diatasnya berserakan alat-alat tempa dan ukir.

"Ya. Aku juga bingung" balasku yang duduk diatas kursi kecil.

"Aku akan menceritakan kepada istriku saat dia pulang nanti. Dia mengenalmu lebih dekat daripada aku, mungkin saja dia punya saran yang tak tersampaikan padamu"

Istri paman Howard namanya Lodie. Dia adalah salah satu juru masak senior kerajaan yang biasa membuatkanku makanan sehari-hari. Dia juga katanya pernah menjadi agen khusus Ratu Alexandra, mendiang nenekku saat masih muda.

"Sekarang lebih baik putri pulang saja. Segera tunjukan penemuan barumu yang luar biasa itu pada ibumu!"

"Paman tidak ingin lihat hasilnya?"

"Aku tidak pantas bertemu Yang Mulia, terlebih dengan tubuhku yang sudah bau besi"

"Siapa yang bilang?! Paman adalah orang yang membuat benda-benda ini menjadi nyata! Paman adalah bagian yang berharga yang tidak boleh ketinggalan momen ini!"

"Jika aku memaksa. Izinkan aku menyusul karena aku harus menutup toko dan membersihkan tubuhku terlebih dahulu"

Akhirnya aku dan paman Howard berpisah. Aku membawa senjata laras panjang ini di punggungku, dibungkus oleh kain hitam. Sementara pelurunya yang baru dibuat lima butir saja aku masukan kedalam tas. Bergegas aku menuju ke toko butik milik paman Antonie, atau harus kubilang Sis.