Panti Asuhan Young Generous
Anne berjalan terburu-buru sambil membawa beberapa obat dan suntikan insulin di dalam tangannya. Nafasnya tersengal-sengal saat ia sampai di depan kamar Suster Hua dan ia lalu berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya. Perlahan, ia lalu mengetuk pintu dan mendengar suara lirih Suster Hua yang menyuruhnya masuk.
Suster Hua terbaring lemah di atas kasurnya. Ia tergelincir jatuh saat hendak keluar dari kamar mandi dan saat mencoba menahan keseimbangan tubuhnya, ia gagal dan malah betisnya tersayat karena terkena lembaran besi pintu yang setengah terbuka. Sialnya lagi, ia adalah seorang penderita diabetes tipe 2 atau dikenal sebagai penderita diabetes basah. Lukanya terus mengucur keluar dan Anne terus menerus harus mengganti perbannya supaya tidak infeksi.
Untunglah Arissa cepat mengirim uang tepat pada waktunya sehingga Anne bisa menggunakan uang tersebut untuk belanja obat-obatan.
Melihat sejumlah besar obat-obatan dan suntikan insulin yang dibawa oleh Anne, mata Suster Hua menyipit. Ia tahu betul kalau keadaan keuangan mereka saat ini benar-benar payah. Bahkan, untuk makan besok saja, mereka sama sekali tak punya apa-apa.
"Darimana kau mendapat uang untuk membeli semua obat-obatan ini?" tanya Suster Hua dengan curiga.
"Ini….." balas Anne ragu. Wajahnya terlihat salah tingkah dan gugup.
Melihat Anne yang gelagapan saat menjawab pertanyaannya, Suster Hua langsung memperoleh jawabannya.
"Arissa kan?"
Anne mengangguk lemah tanpa bisa membantah lagi.
"Dasar anak bodoh! Sudah kubilang jangan pernah meneleponnya untuk minta uang!! Kau tidak tahu kalau ia baru saja mulai bekerja.. hah?? Sekarang bagaimana ia bisa mengurus dirinya?"
Mendengar bentakan Suster Hua, Anne hanya bisa menangis tersedu-sedu dan langsung berlari keluar ruangan. Sementara Suster Hua hanya bisa mendesah nafas dengan berat hati. Mereka memang miskin, tapi sama sekali tidak mau membuat dirinya untuk menjadi beban bagi orang lain. Hal itu yang selalu dipegang teguh oleh Suster Hua. Sambil mengganti perban lukanya sendiri, ingatan Suster Hua lalu mengalir pelan ke masa lalu.
..............
Pelabuhan Torres, 15 tahun yang lalu.
Malam itu hujan gerimis turun dan berkabut. Seperti biasa, pelabuhan terlihat sibuk dengan banyaknya kapal-kapal kargo yang berlabuh di dermaga dan banyaknya kuli panggul dari berbagai usia yang sibuk menaikkan atau menurunkan barang-barang di punggung mereka.
Suster Hua saat itu, sibuk membagi-bagikan jatah makanan di dapur umum kepada para kuli yang tengah beristirahat. Tubuhnya masih kuat dan ia sangat bersemangat saat menjalankan tugasnya sebagai salah satu tenaga sukarelawan bersama dengan Peace Corps. Beberapa rekan sejawatnya juga tengah sibuk melakukan hal yang sama.
Beberapa saat kemudian, Suster Hua merasakan dorongan kuat untuk buang air kecil dan setelah berpamitan singkat, ia buru-buru mencari kamar mandi terdekat. Setelah ia selesai, Suster Hua lalu menutup pintu kamar mandi dan segera berjalan menuju tempatnya semula ketika ia tiba-tiba mendengar suara asing di dekatnya.
Suara isakan tangis yang lemah dan lirih. Didorong oleh rasa penasaran yang kuat, Suster Hua lalu mencari asal sumber suara tersebut. Di sebuah pojok gudang, tampak seorang gadis remaja berambut panjang tengah meringkuk sambil memeluk sesuatu. Kepalanya tertunduk ke bawah tapi suara isakan tangisnya terdengar cukup jelas.
"Shhh… hei…"
Perlahan, Suster Hua berjalan pelan mendekati gadis itu sambil menjulurkan tangannya. Sebuah rasa prihatin jelas terlihat di sorot matanya. Mendengar suara asing di hadapannya, gadis asing itu bereaksi. Refleks, ia melindungi benda yang tengah digendongnya semakin erat dan beringsut menjauh. Sontak, ia langsung memandang pada wanita paruh baya yang ada di hadapannya dengan ekspresi curiga dan takut.
Melihat sepasang mata berwarna biru cerah di hadapannya, Suster Hua terpana. Kedua mata itu begitu cantik dan jernih bagaikan warna langit musim panas tapi mata yang sama juga menyiratkan keputusasaan dan penderitaan yang sangat dalam. Belum lagi penampilannya yang dekil dan kusut dengan baju yang compang-camping. Dalam sekali pandang, Suster Hua tahu kalau gadis muda ini tengah melarikan diri. Dari apa? Siapa?
Suster Hua tidak bisa membayangkan seberapa besar penderitaan gadis muda itu sebelumnya. Kedua mata gadis itu bengkak tapi kedua tangannya tetap erat memeluk sebuah benda. Juluran tangannya tetap tidak memberikan respon apapun. Gadis itu hanya memandanginya dengan diam dan rasa curiga yang sama.
Perlahan, Suster Hua lalu menurunkan tangannya dan merogoh sesuatu dari dalam kantung bajunya. Sebuah roti coklat. Ini adalah bekal makan malamnya tapi karena ia sibuk sekali, Suster Hua lupa memakannya.
"Ini… untukmu…"
Suster Hua lalu menjulurkan tangannya sambil memberikan roti pada gadis tersebut. Ia sedikit berharap kalau gadis itu akan menyambut hadiah kecilnya dan bisa sedikit membuka dirinya.
Melihat uluran tangan berisi roti yang ada di hadapannya, pertahanan diri gadis itu meluruh. Perlahan, ia membuka pelukannya dan memberikan benda yang dari tadi dipeluknya kepada Suster Hua sambil menangis pilu. Seorang bayi mungil tapi bibirnya sudah sedikit membiru.
"Tolong….. selamatkan dia…"