Chereads / Ratu Tanah Jawa / Chapter 9 - Berita Duka

Chapter 9 - Berita Duka

"Apa kau tidak ada pria lain yang bisa kau ganggu selain Ming?" tanya Rio

"Diam dan tutup mulutmu jika masih ingin bekerja di sini" ancam Alda.

"Lagi pula, apa gunanya wanita yang tidak bisa memberinya anak. Kurasa dokter Ming terlalu memanjakan istrinya. Istrinya itu hanya wanita yang tidak punya apa-apa. Mengapa ia begitu mencintainya?"

Rio mengambil beberapa berkas. Sembari berjalan keluar ia bergumam lirih.

"Mungkin wanita itu tidak memiliki apa-apa, tapi ketahuilah. Hati yang baik jauh lebih penting ketimbang 1001 kemapuan."

Tak lama setelah Rio keluar pegawai Alda yang lain masuk dengan terburu-buru. Wanita berkacamata dengan rambut diikat.

"Nona, klien kita meninggal" kata wanita itu.

Alda yang melamun segera melihat ke arah pegawai yang masuk dengan wajah gusarnya.

"Ada apa? Bukankah hidup dan mati adalah hal biasa?" tanya Alda dengan santai.

Ana mendekati Alda. Ia membawa beberapa berkas.

"Siapa yang meninggal?" tanya Alda dingin. Bagi Alda, jika ada klien yang meninggal, ia hanya tinggal datang dan menyerahkan segala wasiat atau pun menyelesaikan sengeketa.

"Dokter Ming"

"Apa?"

Ana meletakkan beberapa berkas di depan meja Alda.

"Tunggu, Kau pasti bercanda. Katakan apa yang terjadi?"

Ana duduk di depan Alda dan menjelasakan dengan singkat. Seketika itu juga, Alda merasa kesal. Setelah menyuruh Ana keluar ia meraih vas bunga dan memecahkannya ke lantai.

~Mengapa harus seperti ini!~

Mendengar suara sesuatu dibanting, Rio masuk ke ruang Alda. Ia melihat vas bunga hancur di lantai. Ia melirik ke arah Alda dan mendekati wanita itu.

"Dia meninggal" kata Alda singkat.

"Meninggal?"

"Benar, dokter itu meninggal."

Rio yang mendengar hal itu segera mengambil berkas yang ada di meja. Ia segera melakukan pekerjaannya. Sebagai assiten Alda lima tahun, ia cukup tahu benar apa yang harus ia lakukan. Melihat emosi pada Alda, akan sangat baik jika ia segera melakukan pekerjaan tanpa bertanya.

"Tunggu" panggil Alda saat Rio beranjak pergi.

"Ajukan kasus pembunuhan" kata Alda.

"Apa kau gila?"

"Tidak, aku hanya ingin tahu. Jangan-jangan Tia ini membunuh dokter Ming seketika ia tahu bahwa suaminya itu membuat surat wasiat tadi malam."

Rio menggelengkan kepala.

"Terserah kau saja Bos"

Beberapa jam kemudian, Rio mengantar Alda mendatangi rumah duka. Bersama beberapa polisi Alda mengajukan beberapa pertanyaan. Dan tentu saja, atas arahan Alda polisi mulai mencuriagai Tia. Tapi wanita itu terlihat sangat sedih dan terpukul.

"Tidak, suami saya berangkat bekerja seperti biasa. Dengan mobilnya dan satu jam kemudian saya mendengar kabar berita dari pihak rumah sakit. Suami saya tidak selamat.

Ia mencoba menghindari anak kecil yang menyeberang dan menabrak pohon. Dan …." tangis Tia pecah menjadi-jadi.

Alda yang melihat itu begitu tenang. Baginya yang pengacara, tangisan adalah hal paling konyol. Maka meski Tia sudah menjelasakan berung kali, Alda masih saja tetap menanyakan beberapa pertanyaan dan memaksa wanita itu untuk menjawabnya.

"Cukup, kita tidak perlu lanjutkan" kata Rio saat mengantar Alda kembali ke kantornya.

"Mengapa? Aku hanya melakukan tugasku"

"Alda, Kau melakukan tugasmu atau Kau berusaha membuat wanita itu masuk ke penjara!" teriak Rio yang sudah tidak sabar lagi.

Alda yang seketika bungkam. Rio tidak salah salah menduga kali ini.

"Maaf" kata Rio menurunkan nada suaranya.

"Bukan aku melarangmu. Tapi yang sudah biarlah sudah.

Dokter Ming tidak mencintaimu. Bukankah beliau pernah berkata? Cinta tidak bisa memilih tuannya. Hentikan penyelidikan ini. Biarkan beliau tenang di alam sana" bujuk Rio.

"Aku.."

"Alda, banyak orang yan lebih baik dari dokter Ming. Biarkan dia tenang. Aku yakin, kau bisa mendapatkan mereka"

Alda tak berkata-kata. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi selama perjalanan.

Sementara itu, ayah Lintang mendatangi seorang ahli perhiasan.

"Hanya mengecek saja?" tanya pria itu.

"Benar, aku ingin tahu apa benda ini asli atau tidak. Apakah Anda bisa melakukannya?"

Pria di depan ayan Lintang mengangguk.

"Serahkan pada kami. Secepatnya akan kami sampaikan hasilnya. Anda pasti seorang kolektor bukan? Jangan takut, aku sudah banyak meneliti, tak akan salah menafasir harga."

"Saya bukan kolektor" jawab ayah Lintang.

"Bukan?" jawab pria di depannya. "Lalu, mengapa Anda bisa memiliki barang antik seperti ini?"

Ayah Lintan tidak bisa menjawab. Ia hanya meminta tolong kepada pria itu untuk memastikan apakah itu asli atau palsu. Setelah memastikan bahwa pria itu setuju, ayah Lintang kembali ke kantornya.

Selama perjalanan, ayah Lintang terus terngiang-ngiang perkataan pria yang tadi ia temui.

~Mengapa ia mengira aku adalah kolektor? Dari mana Lintang mendapatkan gelang itu? Apa itu dari pacarnya?~

Tiba di kantor, ayah Lintang disambut oleh sekertarinya, Widia.

"Bapak, saya ada kabar duka." Kata Widia.

"Kabar duka?"

"Benar" jawab Widia sambil mengikuti bosnya berjalan ke arah ruangannya.

"Dokter Ming, yang bisa menangani Anda meninggal dalam kecelakaan pagi ini"

Aya Lintang seketika terhenti. Ia menoleh ke Widia dan memintanya untuk mengirim karangan bunga. Bukan tanpa alasan, selama ini dokter Ming lah yang membantunya menjaga kesehatan dengan baik.

"Pria malang, apa yang telah terjadi padanya?"

"Ia menabarak sebuah pohon untuk menghindari anak yang sedang menyeberang. Beruntung, tidak ada korban lain selain beliau. Beritanya sudah tanyang di televisi"

"Baiklah, tolong bantu aku mengosongkan jadwal untuk berkunjung ke rumah duka"

"Baik saya mengerti"

Widia segera pergi kembali ke ruangannya, sementara ayah Lintang masuk keruang kerja untuk memeriksa beberapa hal. Selama bekerja, rasa penasaran menghantuinya.

Penasaran akan pemilik gelang tersebut dan bagaimana putrinya mendapatkan benda semacam itu. Tak kuat menahan rasa ingin tahu, ayah Lintang pun menghubungi putrinya.

"Ayah?"

"Lintang, katakan pada ayah dengan jujur. Bagaimana Kau mendapatkan gelang itu?"

Lintang yang mendengar hal itu seketika diam. Ia tidak mungkin memberitahu bahwa ia mengambilnya dari orang lain secara sengaja.

"Putriku, mengapa Kau diam saja?"