"Katakan kado ulang tahun apa yang Anda inginkan?"
Prof. Sian meneguk wine seolah mengabaikan dokter Ming. Ia meminum habis red wine berumur seratus tahun lebih yang Ming tuangkan untuknya.
"Hadiah ya? Bagaimana kalau kematian?" jawab Prof. Sian sambil meletakkan gelas wine dan menatap tajam ke arah Ming.
"Ha ha ha ha , sudah berlalu ribuan tahun dan sepertinya Yang Mulia Ratu, tetap saja menginginkan hal tersebut. Apakah menerima kenyataan begitu buruk bagi anda?"
"Entahlah Ming, katakan apa yang tidak perna aku dapatkan? Atau yang tidak pernah aku alami?"
"Anda benar", Ming mengambil gelas wine dan mengisinya kembali. Ini adalah gelas kedua yang ia minum. Tentu saja, hidup ribuan tahun membuat Ming kebal terhadap efek alkohol. Bahkan mungkin, ia juga kebal terhadao efek racun apapun.
"Bagaimana hubunganmu dengan Tia?" tanya Prof. Sian mengalihkan pembicaraan. Baginya, diskusi hidup dan mati sangat membosankan. Mengingat, ia tidak bisa mati.
"Oh, kami selalu bertengkar akhir-akhir ini. Ia merengek terus, bertanya. Mengapa aku tidak menua? Apa yang aku pakai? Apa rahasiaku? Apa aku memiliki wanita lain selain dirinya? Yah, begitulah. Ia merengek meminta ramuan agar terlihat sama sepertiku"
"Itu wajar, kau tidak terlihat tua Ming. Sementara Tia, berapa usianya sekarang?
"65 Tahun, dia sudah melakukan operasi plastik. Tapi tetap saja, ia kurang merasa puas dengan hasilnya" terang Ming lagi tentang istri yang ia cintai.
"Itu wajar, operasi platik memang terlihat seolah sempurna, tapi sebenarnya tidak. Semua orang ingin tetap muda dan tidak mati. Tapi mereka lupa, saat mereka abadi apa benar mereka akan bahagia?"
"Begitulah, aku sudah mencoba menjelaskan berkali-kali. Bahwa aku mencintainya meski ia bertambah tua. Bagiku tidak masalah. Tapi ia terus menyalahkan dirinya dan merengek ingin sepertiku."
"Apa rencamu?" tanya Sian.
"Aku akan membuat diriku mati dalam kecelakaan." Jawab Ming. "Kali ini, seperti biasa aku membutuhkan bantuan anda Yang Mulia"
Siane berdiri dari kursi.
"Mengapa tak menunggunya meninggal? Ia sudah 65 tahun, Jika kau meninggalkannya, apa kau yakin ia kan baik-baik saja?"
Ming menggeleng.
"Jika aku menundanya lagi, ia akan terus mencari tahu. Beberapa hari yang lalau, ia mengambil sampel darahku untuk uji lab secara diam-diam. Aku lebih khawatir, jika ia tahu aku abadi maka…"
Prof. Sian meninggalkan Ming. Ia naik ke tangga. Ia tahu apa yang Ming akan katakan selanjutnya. Jika orang-orang tahu bahwa Ming abadi, maka mereka akan menyiksanya dan membawanya dalam laboratorium untuk objek penelitian.
Dulu, saat di mana kerajaan mengalami kejayaan, pernah suatu ketika seseorang memergoki keabadian mereka. Saat itu, Siane melihat Ming dibakar hidup-hidup berkali-kali. Mereka menganggapnya setan. Oleh karena itu, Siane dan Ming memutuskan untuk selalu pura-pura mati dan mengangganti identitas mereka secara berkala.
Siane merebahkan diri di atas kasur, ia merasa lelah sekali. Ia menutup mata untuk mencoba tidur.
~Tok Tok Tok~
Mata Siane terbuka, Ming masuk ke kamar wanita itu. Ia mendekati Siane dan mengeluarkan sesuatu.
"Ini adalah obat yang baru saja aku temukan. Aku tak yakin apakah ini akan bisa membunuh Yang Mulia atau tidak. Tapi yang pasti, ini sangat beracun." Kata Ming.
Siane duduk perlahan dan melihat sebuat pil yang Ming letakkan pada sebuah tempat kaca.
"Kau sudah mengujinya?"
"Aku mengujinya pada beberpa mamalia, mereka tidur dan tidak terbangun sama sekali"
"Berikan padaku" kata Siane.
Ming memberikan obat dan mengambilakn air minum. Siane meminum obat itu tanpa rasa takut sama sekali.
~Apakah kali ini akan berhasil? Batin Siane~
"Ming? Apakah obat ini akan membuat tubuhku sakit?"
Ming menggeleng. "Obat itu hanya akan membuat anda tidur dan tidak akan pernah terbangun"
"Terima kasih, Dokter Ming"
Dokter Ming keluar dari kamar Siane sambil membawa gelas. Ia berharap, oat yang ia temukan di lab farmasi miliknya benar-benar bekerja seperti yang ia harapkan. Kini, gilirannya. Ia sudah mempersiapkan kematiannya juga.
"Bapak, saya sudah membuat surat wasiat sesuai dengan permintaan anda" kata seseorang dari ponsel pintar Ming.
"Apakah saya perlu ke rumah anda, agar bapak bisa menandatanginya?"
"Tidak perlu, Alda akau akan datang ke tempatmu saja. Kebetulan aku tidak terlalu sibuk hari ini"
Alda menyetujui hal itu. Ming segera mengambil kunci mobil dan melaju secepat mungkin agar tiba di tempat Alda.
"Selamat malam dok," sambut Alda yang membawa payung untuk memanyungi Ming karena hujan mulai turun dengan deras.
"Malam Alda, mengapa tak suruh orang lain untuk mengantarkan payung?"
Wajah Alda memerah. Ming tahu betul, Alda pengacara yang ia tunjuk sebenarnya memiliki perasaan terhadap dirinya. Hanya saja, Ming tidak memiliki perasaan apapun padanya. Jadi, setiap kali Alda mencoba memberikan perhatian lebih Ming selalu berusaha menolak dengan halus.
"Sa…saya….���
"Sudahlah, ayo kita masuk. Aku buru-buru!" kata Ming.
Alda yang gelagapan segera menyetujui permintaan kliennya. Setibanya di dalam rumah, Alda langsung membawa pria itu ke ruangannya. Di sana telah terdapat asisten Alda, Rio. Ia akan menjadi saksi penandatanganan wasit yang ia buat.
"Boleh saya tahu, mengapa dokter membuat surat wasiat? Apa dokter merasa tidak sehat?" tanya Alda penasaran.
"Aku sudah tua. Aku sudah tujuh puluh tahun. Apa pria tujuh puluh tahun bisa kau katakan muda?"
Alda menggeleng.
"Aku hanya ingin, berjaga-jaga. Di dunia ini banyak hal yang tidak bisa kita control. Hidup, mati, cinta kelahiran dan masih banyak lagi. Hari ini kau mencintai seseorang, esok kau bisa membencinya. Hari ini kau sehat, esok siapa tahu kau sekarat. Aku hanya tidak ingin, Tia menderita."
"Anda sangat mencintai istri anda dok?" sahut Rio.
"Tentu saja, bukankah aku yang telah memilihnya untuk menjadi pendanping hidupku?"
Alda bungkam seketika. Ia begitu iri dengan Tia. Ia berhasil mendapatkan cinta dari dokter Ming, dan juga mendapatkan semua warisan darinya.
"Jadi, anda menyerahkan semua saham kepemilikan Rumah Sakit Sehat Abadi kepada Nyonya Tia? Anda juga menyerahkan seluruh properti kepada istri anda jika anda meninggal?"
"Benar Rio"
"Apa anda tidak memiliki anak?" tanya Rio lagi.
Ming tersenyum.
"Tidak, dokter Ming tidak memiliki keturunan karena nyonya Tia sangat lemah" jawab Alda menyerobot.
Ming yang mendengar hal itu, seketika ingin marah. Jika saja, ia mengatakan hal itu di depan umun maka habislah Alda. Tapi kini, karena ia sudah merencanakan untuk meninggal dalam kecelakaan, maka Ming memutuskan untuk membiarkan wanita ini.
"Saya turut prihatin dok" kata Rio.
"Sudahlah, itu bukan salah Tia, tapi salah saya yang tidak bisa memberinya keturunan. Alda, terima kasih sudah sudah membantu saya mengurus semua ini dengan baik. Saya akan memberikan bonus untuk kalian berdua"