Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Seorang Kultivator di Dunia Sihir : Hidup Baru

🇮🇩Spartan445
--
chs / week
--
NOT RATINGS
50.7k
Views
Synopsis
Seorang Kultivator berbakat dari benua para pesilat tiba-tiba saja menemukan dirinya terbangun di tempat yang asing. Dengan basis Kultivasi serta bakatnya yang menakjubkan, ia berkeinginan untuk menyelidiki dunia baru tersebut dan mendirikan padepokan silatnya sendiri. .... "Anak-anak di sini benar-benar hebat. Di usia mereka yang belum genap tujuh tahun, mereka bisa leluasa menciptakan api dari ketiadaan." .... "Wah, di sini banyak sekali kesatria yang pandai menggunakan pedang. Oh, ada tombak serta panah juga?" .... "Aneh, kenapa aku tidak bisa merasakan energi bumi dan langit di tubuh mereka? Apakah mereka bukan Kultivator?" .... Ini adalah perjalanan dari seseorang yang tidak tahu apa-apa, menjadi seseorang yang di hormati seluruh negeri.
VIEW MORE

Chapter 1 - Dunia Lain

Di tengah hujan salju yang membawa dinginnya dunia, di dalam sebuah rumah kecil bertembok bata, kini seorang pemuda yang nampaknya berusia 17 atau 18 tahun sedang duduk memandang ke luar dari jendela rumah.

Dia tampak mengagumi butiran-butiran salju yang turun malam ini. Entah karena dia terlalu antusias atau karena sudah terbiasa, pemuda itu sepertinya sama sekali tidak terpengaruh udara malam yang sangat dingin. Bahkan air sungai di dekat rumahnya membeku.

Meski begitu kulitnya tetap terlihat penuh kehangatan dan tidak pucat sama sekali. Dia juga tidak menggigil. Seolah-olah sebuah selimut tebal melingkupi seluruh tubuhnya.

"Surga memberkati semua mahkluk di dunia ini dengan empat musim. Meski beberapa orang tidak menyukai musim-musim tertentu karena mereka terbatas melakukan kegiatan dan tak dapat mencari uang, surga tetap memberikan anugrahnya. Hanya orang-orang yang tak menyadarinya." Tiba-tiba seseorang datang dari balik pintu dan berkata padanya.

"Kau benar."

Itu adalah satu-satunya kalimat yang ia ucapkan. Setelahnya dia sama sekali tidak berkata apa-apa, diam dan memandang ke luar jendela.

"Sudahlah, memang sulit bicara denganmu." Tanpa menunggu balasan darinya, seseorang itu berbalik dan pergi, menutup pintunya. Pemuda itu sedikit menengok saat ia pergi, namun tetap diam.

Nama pemuda itu adalah Jie Rui dan rumah yang sedang ia tinggali saat ini adalah milik saudaranya yang tadi beranjak pergi. Jie Rui sebenarnya bukan seorang pendiam, namun karena kejadian tak terduga yang menimpanya baru-baru ini dia sedikit berubah.

Sekte tempat ia berlatih yang telah memberinya berbagai ilmu dunia persilatan tiba-tiba saja diserang dan dihancurkan. Hanya sedikit tetua dan anggota sekte yang selamat termasuk dirinya. Tapi tak sesuai dengan yang ia harapkan, tetua sekte malah meminta semua orang yang selamat untuk berpencar dan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri, bukannya berkumpul dan membalas dendam.

Tidak ada yang menolak saat itu, karena kata-kata tetua sekte adalah perintah. Lagipula dia pasti memiliki alasan di baliknya. Dia juga orang bijak, jadi semua orang menurut dan berpencar.

Setelah mereka bubar, Jie Rui memilih datang ke rumah saudaranya di sebuah desa kecil di atas gunung. Saudaranya adalah keluarga terakhir yang ia miliki, sedangkan orangtuanya sudah lama meninggal.

Sejak nasib mereka berubah, Jie Rui jarang sekali menghubungi saudaranya yang hanya orang biasa. Namun mereka tetap saling kirim surat, meski tidak sering.

"Aku ingin berlatih," gumamnya. Jie Rui berbalik dan mengambil jubah yang berwarna putih. Dia lalu berjalan ke pintu dan membukanya. Tepat pada saat Jie Rui membuka pintu, seorang wanita berdiri di depannya. Wanita itu cantik dan ia membawa nampan dengan gelas berisi kopi panas.

"Ah, kakak Jie Rui ingin ke luar?" tanyanya sembari tersenyum lembut.

"Iya. Aku akan keluar berlatih," jawab Jie Rui.

"Jangan terburu-buru kak, di luar masih turun salju. Setidaknya tunggu sampai saljunya berhenti, dan saat itu kakak Jie Rui dapat menikmati kopi buatanku." Meski mendapat tanggapan dingin dari Jie Rui, gadis itu tetap tersenyum dan bersikap baik.

Dia adalah Yu Wei, istri saudaranya yang artinya adalah adik ipar Jie Rui. Yu Wei adalah wanita yang baik, Jie Rui mengakui itu. Tak dapat dipungkiri bahwa saudaranya, Jie Ran, sangat pintar mencari pasangan hidup. Mereka baru menikah setahun yang lalu dan kelihatannya kehidupan keluarga mereka harmonis.

"Maaf Yu Wei, tapi aku ingin keluar." Jie Rui tetap bersikeras tapi saat itu ia juga mengambil gelas kopi buatan Yu Wei yang masih panas dan meneguknya dalam sekali minum.

"Kultivator memang hebat," desah Yu Wei dalam hati. Kopi itu masih panas dan dia minum dalam sekali teguk? hanya Kultivator yang bisa melakukannya.

Jie Rui segera beranjak meninggalkan Yu Wei. Dia melewati ruang keluarga namun tak melihat Jie Ran di sana. Ia terus melangkah dan menuju pintu depan. Rumah ini tak terlalu besar, jadi Jie Rui hanya membutuhkan beberapa tarikan napas untuk sampai di teras rumah.

Saat itulah Jie Rui melihat adiknya, Jie Ran. Pemuda itu sedang memotong gelondongan kayu untuk perapian. Jie Ran melirik kakaknya yang keluar dari rumah mengenakan jubah putih sektenya.

"Kau mau ke mana?" tanyanya.

"Aku ingin berlatih di dekat sungai. Kau tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri." Sambil berjalan, Jie Rui menjawab pertanyaan adiknya.

"Siapa juga yang mengkhawatirkanmu, kau kan Kultivator, seharusnya aku yang kau khawatirkan," ucap Jie Ran sedikit jengkel. "Kenapa kamu tidak pergi dari rumah kami, sehingga kami dapat hidup tenang?" lanjutnya.

Belakangan ada kabar tersebar bahwa anggota sekte Bintang Hitam kakaknya sedang diburu oleh sekte Matahari Pagi, sekte yang sama yang menyerang kakaknya tempo hari. Tentu saja Jie Ran mengkhawatirkan keluarganya. Ditambah mereka adalah keluarga baru, dia tak ingin tiba-tiba harus berpisah dengan istrinya hanya karena konflik sekte Matahari Pagi dengan kakaknya.

"Aku tak lama. Mungkin besok aku pergi." Jie Rui masih sama dinginnya dengan salju malam ini.

Lentera-lentera rumah Jie Ran berkelap-kelip saat angin malam datang menerpa. Di dalam penerangan itu, sosok Jie Rui semakin samar terlihat di kejauhan. Dia menuju sungai, membawa berbagi pikirannya yang berkecamuk.

Beberapa saat kemudian, dalam kemampuan penglihatan malam Jie Rui dapat terlihat sebuah sungai panjang dan lebar yang membeku tertutup es. Dia duduk di sebuah sudut yang terlindung ranting tebal pohon tua. Tidak ada salju di atas batu itu, namun batunya tetap terasa dingin. Tapi seakan tak merasakan dinginnya batu itu, dia langsung duduk bersila.

Jie Rui mulai memejamkan matanya dan masuk dalam kondisi meditasi. Lama, lama sekali, seolah-olah waktu berjalan sangat lambat, Jie Rui terus bermeditasi hingga ia mulai kehilangan kesadarannya. Dia seperti masuk ke dalam sebuah dimensi, di mana kesadarannya melihat sebuah bulan yang sangat indah, seperti berlian. Permukaannya berkilau.

Dia sangat tenang, bagai mengambang di air danau.

Saat itu, tiba-tiba saja bulan terpecah belah dan Jie Rui merasa dia semakin gelisah. Jie Rui tak tahu kenapa gelisah, namun semakin lama Jie Rui tidak bisa menahannya dan dia mulai berteriak. "Jangan! Jangan lakukan itu! Siapa pun, tolong hentikan!" Jie Rui merasa frustasi karena ia tak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan pecahnya bulan. Dia akhirnya kembali merasakan bagaimana rasanya kembali menjadi manusia biasa.

....

Lama sekali, entah berapa lama, namun ia merasa ratusan tahun telah berlalu. Jie Rui membuka matanya, tapi kemudian dia kembali menutup mata cepat karena ada sebuah cahaya terang mengganggu pupil matanya.

"Di mana ini?" Jie Rui bergumam lirih. Dia meraba-raba, sepertinya ia tengah berbaring di tempat yang empuk. Pupil matanya segera menyesuaikan dengan cahaya putih yang sangat terang. Lalu dia mulai melihat sekeliling.

Ah, ternyata dia berbaring di kasur, seprainya warna merah. Dan ini, sepertinya di dalam kamar, kamar perempuan. Semua benda di sini terlihat feminim, di pojok bawah dekat kakinya, di sana ada boneka beruang lucu warna coklat.

Jie Rui hanya menengok sisi kanannya. Sedangkan dia memperhatikan, dia juga melihat tidak jauh dari ranjang ada sebuah lemari dari kayu jati dan meja rias, berisi berbagai produk kecantikan. Tapi tunggu dulu, kenapa semuanya terlihat aneh? Wadah apa yang mereka pakai itu? Jie Rui merasa asing sekaligus bingung.

Setelah tak menemukan jawaban, Jie Rui akhirnya menengok ke kiri. Betapa terkejutnya ia menemukan seorang wanita tengah terlelap di samping tempat tidur, dia sepertinya tertidur di kursi ketika menunggu Jie Rui terbangun. Pemuda itu memperhatikan dengan seksama, wanita ini benar-benar manis dan cantik, sepertinya dia sedikit lebih muda dari Jie Rui.

Jie Rui mengalihkan pandangannya dari si wanita. Ia melihat ke luar jendela di belakang wanita itu, sepertinya mentari baru saja terbit.

"Uah..." tiba-tiba wanita itu terbangun. Dia merenggangkan tangan dan punggungnya sedikit. Posisi tidur seperti itu memang tidak nyaman. Wanita itu lalu menguap dan mengucek matanya. Wah, ini benar-benar surga, wanita itu sangat menawan meski ia baru bangun tidur dan rambutnya berantakan. Ditambah cahaya fajar di belakangnya, itu sukses membuat Jie Rui kagum.

"Ma-maaf, bisa kaujelaskan, saat ini aku ada di mana?" tanyanya ragu-ragu.

Si wanita tak menjawab pertanyaan Jie Rui, tapi dia tiba-tiba berteriak antusias saat matanya terbelalak senang, "Akhirnya kau bangun! Bagaimana perasaanmu? Apakah ada bagian tubuhmu yang sakit? Apa kau hilang ingatan? Bagaimana kau bisa mengambang di sungai dan masih hidup?!"

Jie Rui diberondong pertanyaan oleh si wanita tanpa diberi kesempatan untuk menjawab. Dia bahkan tak mengenalnya, tapi kenapa wanita ini sangat antusias seolah dia adalah keajaiban?

Melihat raut wajah Jie Rui yang bingung dan sedikit takut, wanita itu langsung tenang dan memasang senyum cerah. "Maaf atas kelakuanku tadi, aku terlalu senang karena akhirnya kau bangun," ucapnya lembut, sangat berbeda dengan yang pertama. Dia kemudian menjulurkan tangannya dan berkata, "Perkenalkan, namaku Anna. Aku menemukanmu di sungai tiga hari yang lalu saat akan berenang. Kamu terus pingsan selama tiga hari berikutnya, aku benar-benar khawatir."

Jie Rui tau, wanita ini, Anna benar-benar tulus. "Terimakasih banyak atas pertolongannya, nona Anna. Perkenalkan juga, aku Jie Rui." Dia menyambut tangan Anna yang sehalus sutra.

Dahi Anna berkerut, "Jie Rui? Nama yang aneh."

"Nama yang aneh? Bukankah itu adalah nama biasa di negara ini?" Jie Rui bingung. Sebelumnya tak pernah ada yang mengatakan bahwa namanya aneh, namun setelah ia memikirkan kembali nama wanita itu, Jie Rui juga merasa namanya aneh.

Apa aku tidak lagi berada di negara Jiang?

"Nama yang biasa?" Anna mengingat-ingat sesuatu. "Sepertinya aku tak pernah mendengar ada nama Jie Rui atau sejenisnya di negara Leidenshaflitch," dia akhirnya berkata.

"Jadi begitu. Aku benar-benar tak berada di negeri Jiang lagi." Jie Rui mendesah namun ia tetap tenang. Leidenshaflitch? Tidak hanya Jie Rui tak pernah mendengar nama kota itu, bahkan ia juga tidak dapat mengejanya.

"Mohon maaf nona Anna, bisakah kau memberiku waktu sendirian sebentar?" tanya Jie Rui. "Baiklah, semoga kau lekas sembuh."