Air mata Lita kembali luruh mengingat saat Rahma menyemangatinya untuk bangkit kembali. Anak berumur 8 tahun begitu bersemangat untuk hidup tanpa memperdulikan penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya. "aku harus bisa menyembuhkannya, bagaimanapun caranya. Aku harus melakukan sesuatu" gumam Lita. "Apa jalan operasi akan berhasil?" tambahnya. Kepalanya terasa sangat pening memikirkan cara untuk menyembuhkan Rahma, karena Lita juga menyadari bahwa jalan operasi begitu beresiko. Disisi lain, Lita sangat ingin membantu Rahma, sesuai janjinya dulu. Tetapi di sisi lain tidak ada jalan apapun untuk membantunya menyelamatkan Rahma.
Keadaan Darurat, Ruang 115
Panggilan dari speaker rumah sakit itu menggema di seluruh rumah sakit, membuat Thalita terkesiap. Pasalnya itu ruangan Rahma dirawat, dengan segera Lita berlari keluar ruangannya menuju ruangan Rahma. Beberapa orang di tabrak Lita, dan tidak ia hiraukan hingga dia sampai diruang 115.
Terlihat tiga orang suster bersama Dhika tengah melakukan sesuatu ke pasien. Dengan nafas yang tersenggal-senggal, Lita berjalan mendekati brangkar. Terlihat Dhika tengah melakukan CPR kepada pasien.
"Berikan aku 1 ampul" ucap Dhika masih memberi CPR ke pasien..
"Dokter, dia adalah pasien DNR" ujar salah satu suster
"Jadi, apa aku harus diam saja tanpa melakukan apapun, hah?" bentak Dhika membuat suster ngeri. Dhika memang akan sangat emosi, kalau bersangkutan dengan keselamatan pasiennya. "beri saya 1 ampul F1 dan defibrillator. Sekarang !!!" bentak Dhika, membuat suster itu kelabakan dan mengambil alat yang di minta Dhika, sedangkan Thalita masih berdiri tak jauh dari sana dengan tangan dan tubuh yang gemetaran.
Ketakutan akan kehilangan adik kecilnya, dan janji dia ke Rahma terus memenuhi benaknya. Matanya sudah berkaca-kaca melihat Dhika yang terus berusaha mengembalikan detak jantung pasien, sedangkan pasien tidak menunjukkan respon apapun. Susterpun menyerahkan alat yang di minta Dhika. Dhika segera mengambilnya dan meletakkannya di dada pasien. Dhika mulai memancing jantung Rahma untuk berdetak kembali menggunakan defibrillator, tetapi tidak ada respon apapun dari pasien. "Sekali lagi" ucap Dhika, dan susterpun mematuhinya. Tetapi masih tidak ada respon "sekali lagi" ucap Dhika, dan susterpun melakukannya tetapi tetap tidak ada respon.
Dhika kembali melakukan CPR pada pasien, tetapi tidak ada respon apapun. Lita yang melihatnya sudah sangat lemas, jantungnya terasa berhenti saat itu juga. Melihat seorang gadis remaja yang terkulai lemah tanpa merespon apapun. 'please, kembalilah untuk kakak. Kakak mohon, biarkan kakak menyelamatkan kamu. Please kembalilah Rahma'. batin Lita sudah bergetar hebat, pandangannya terus terarah ke arah Dhika yang masih berusaha menyelamatkan pasien. Terlihat Dhika kembali mengambil defibrillator dan meletakkannya di dada pasien. "isi 200 joule" ucap Dhika dan susterpun menurutinya hingga...
Deg....Deg....Deg....
Detak jantung pasien telah kembali, Dhika memejamkan matanya bernafas lega. Tubuh dan dahinya sudah dipenuhi peluh. Para susterpun bernafas lega karena sudah melewati situasi yang sangat menegangkan. Thalita memejamkan matanya, bernafas lega saat mendengar suara detak jantung itu kembali, air matanya yang sempat luruh segera ia hapus. 'terima kasih karena masih bertahan' batin Lita menatap Rahma yang tengah dipasangi alat bantu pernafasan di hidungnya.
Dhika hendak beranjak, tetapi saat berbalik, gerakannya terhenti saat bertemu pandang dengan Lita. Dhika baru menyadari kalau Lita ada dibelakangnya, Dhika juga mampu melihat tatapan sendu milik Thalita. Tanpa berkata apapun, Dhika melewati Lita keluar dari ruangan. Dan tanpa pikir panjang, Lita mengikuti Dhika keluar dari ruangan Rahma.
Sesampainya di ruangan milik Dhika, Dhika langsung mengambil sebotol aqua berukuran sedang dari kulkas yang ada di ruangannya. Dalam sekali tegukan, Dhika menghabiskan air dalam botol aqua ukuran sedang itu. Thalita berdiri di ambang pintu dengan hanya menatap Dhika yang tengah meneguk air. Sejujurnya Lita sangat terpesona dan sangat menyukai saat Dhika tengah meminum minuman dari botol dengan peluh yang mengalir dari pelipis ke lehernya. Menurut Lita itu terlihat sangat seksi, apalagi saat Dhika menengadahkan kepalanya saat minum, memperlihatkan lehernya dan jakunnya yang terlihat naik turun.
"Ada apa?" suara Dhika menyadarkan lamunan Lita.
Lita menggelengkan kepalanya menghilangkan pikiran aneh yang sempat singgah dikepalanya. Membuat Dhika mengernyitkan dahinya, lalu Lita mendongakkan kembali kepalanya. "saya ingin bicara" ucap Lita sekuat tenaga mengatur detak jantungnya dan suaranya agar terdengar senormal mungkin.
"Masuklah, jangan hanya berdiri di ambang pintu" ujar Dhika, Litapun berjalan memasuki ruangan Dhika. "ada apa?" Dhika menyandarkan bokongnya di meja kerja miliknya dengan tangan yang di lipat di dada. Thalita kembali memalingkan wajahnya, 'Di saat seperti ini kenapa harus terpesona dengan ketampanan Dhika'. Batin Lita.
"Apa kamu bisa mengoperasinya?" Tanya Lita tanpa basa basi.
Dhika yang paham maksud pembicaraan Lita, langsung berdiri tegak tanpa memalingkan pandangannya dari Thalita. "aku ingin, tapi aku tidak bisa" ujar Dhika santai,
"Apa maksudmu?" Tanya Lita sinis.
"Tingkat keberhasilannya sangat rendah" ujar Dhika apa adanya.
"Tapi apa ada kemungkinan dia bisa tetap hidup?" Tanya Lita
"Kemungkinannya sangat kecil, operasi ini akan membuatnya merasakan sakit yang lebih parah" jelas Dhika. "maafkan aku, tetapi aku tidak bisa mengoperasinya" tambah Dhika dengan nada menyesal.
"Kamu bilang seorang dokter harus menyelamatkan pasiennya. Bahkan tadi saja kamu bilang, Apa seorang dokter hanya harus diam saja tanpa melakukan apapun" bentak Lita tak terima dengan jawaban Dhika.
"Sebut saja aku ini seorang pecundang, tetapi aku tidak bisa menyebabkan pasienku lebih tersiksa lagi" ujar Dhika beranjak memunggungi Lita. Tetapi Lita ikut beranjak kehadapan Dhika.
"Jadi maksudmu, kita akan diam saja dan membiarkan dia mati begitu saja???" bentak Thalita membuat Dhika terdiam, mata Lita sudah merah dan berkaca-kaca. "kamu bilang, dia masih punya harapan untuk hidup" ujar Lita sengit.
"Aku salah, maafkan aku, Lita" ujar Dhika menatap Lita dengan teduh.
"Aku tidak butuh maafmu, Dhika!!" bentak Lita. Ini petama kalinya Lita memanggil Dhika tanpa embel-embel dokter setelah sepuluh tahun berlalu. Dhika mengernyitkan dahiya heran dan bingung melihat sikap Thalita yang begitu marah. "tepati janjimu !!!" ujar Lita mencengkram kuat kerah jas dokter yang di pakai Dhika. Tatapan mereka bertemu, tatapan tajam penuh luka milik Thalita menusuk ke mata coklat teduh milik Dhika. Perlahan air mata Lita yang sudah menggenang di pelupuk matanya luruh membasahi pipi membuat Dhika semakin yakin kalau Lita ada hubungannya dengan pasien itu.
"Aku mohon, selamatkan dia" ucap Lita dengan suara yang bergetar, seraya menundukkan kepalanya dan mulai melepas cengkramannya di kerah jas yang di pakai Dhika. "dia mempunyai impian dan cita-cita yang besar" terdengar isakan kecil keluar dari mulut Lita. Membuat Dhika mematung ditempatnya, Hatinya merasakan perih dan teriris mendengar isakan Lita.
Perlahan Lita menengadahkan kepalanya kembali menatap mata coklat Dhika. "Aku akan melakukan apapun yang kamu mau, asalkan kamu mau mengoperasinya?"ucap Lita memelas menatap Dhika, membuat Dhika serba salah. Di sisi lain, ingin sekali ia mengabulkan permohonan Lita. Tetapi Dhika juga tidak mungkin memaksakan diri untuk mengoperasi pasien yang sudah tak mungkin di selamatkan. Melihat kondisi pasien saat ini, tidak ada harapan lagi untuk di operasi, yang ada pasien akan meninggal saat operasi berlangsung.
"Maafkan aku Lita. Tapi aku tidak bisa" ucap Dhika lembut, Lita menundukkan kepalanya dan kembali menangis.
"Aku mohon" isak Lita terbata-bata.
"Siapa dia?" Tanya Dhika, karena yakin sekali kalau Lita sangat mengenal pasien remaja ini.
"Dia gadis yang menyelamatkanku sepuluh tahun yang lalu" ucap Lita menatap Dhika dengan sendu. "aku ingin menyelamatkannya, seperti dia menyelamatkanku saat kebakaran itu" isak Lita.
"Aku mohon, Dhik. Selamatkan gadis kecil itu" isak Lita memelas membuat Dhika tidak tega melihatnya.
"Baiklah, kita akan mengoperasinya sore ini juga" ujar Dhika akhirnya membuat Lita berbinar senang. "tapi aku tidak bisa berjanji untuk keselamatan dan kesembuhannya" tambah Dhika membuat Lita ingin berkata sesuatu tetapi Dhika segera mendahuluinya. "kita serahkan semuanya kepada allah" ujar Dhika membuat Lita terdiam.
"Tersenyumlah, kamu terlihat jelek saat menangis" gurau Dhika membuat Lita segera menghapus air matanya dan sedikit salah tingkah.
"Terima kasih" ucapnya. "a-aku permisi" tambah Lita dan segera keluar dari ruangan Dhika. Dhika hanya bisa tersenyum melihat tingkah Lita yang masih gengsi dan menuruti egonya.
***
Kini semua dokter sudah pada posisinya masing-masing di dalam ruang operasi. Dhika menatap Lita yang masih terlihat sendu, semua dokterpun ikut terlihat tegang. Pasalnya mereka mengetahui kondisi pasien yang akan mereka tangani ini. "kenapa ekspresi kalian semua sangat mengerikan seperti itu" ujar Dhika membuat para dokter melihat ke arahnya. Dhika selalu bisa membuat dokter lain kembali dalam mood baiknya. "semangatlah guys," tambahnya bersemangat.
Lita tersenyum dibalik masker yang menutupi mulut dan hidungnya sambil menatap ke arah Dhika. "operasi sudah bisa dimulai, dokter" ujar Claudya ikut bersemangat.
"Baiklah, ayo kita fokus menyelamatkan pasien." Dhika menatap satu per satu mata orang disekitarnya hingga terakhir matanya beradu dengan mata hitam milik lita. Lita memejamkan matanya sekedap, seakan mewakilkan ucapan terima kasihnya.
"Pisau bedah" ucap Dhika dan suster di samping Dhika memberikannya. Dhika di bantu Thalita mulai melakukan bedah di dada pasien. Semuanya terasa sangat menegangkan setiap detiknya. Pasalnya sedikit saja ada kesalahan maka nyawa pasien taruhannya. Satu jam sudah berlalu, tetapi Dhika dan Lita masih sibuk dengan aktivitasnya. Dengan perlahan Dhika memotong tumor yang ada diparu-paru itu.
Sreettt.... Darah memuncrat keluar hingga mengenai baju operasi Dhika membuat Dhika maupun Lita terpekik kaget.
Tuuuuuttttt......
"Detak jantung dan tekanan darahnya menurun drastis" ujar Claudya panik.
"Suntikan epinefrin dan tingkatkan konsentrasi oksigennya" ujar Dhika membuat Claudya segera melakukannya.
"Tekanannya terus menurun dari 60%" ucap Lita mulai ketakutan dan resah.
"Berikan aku epinefrin defibrillator" ujar Dhika membuat suster segera menyodorkannya. Dhika memasang alat itu didaerah jantung pasien. "naikkan 20 joule" ujar Dhika. "Shock,"
Deg..... tetapi garis yang muncul dilayar hanya gerakan garis yang terus menurun dan melemah.
"50 joule" ucap Dhika lagi. "Shock,"
Deg.... Dan tetap saja tidak ada respon apapun.
"Shitt !!!" umpat Dhika,
Dhika menyerahkan kembali defibrillator ke suster dan memasukkan tangan kanannya ke dalam tubuh pasien dan menekan-nekan jantung pasien. Tetapi pasien tetap tidak menunjukkan apa-apa, Dhika terus berusaha mengembalikan detak jantung pasien ke posisi normal. Sedangkan dokter lain terlihat sangat tegang dan Lita sudah berkaca-kaca karena ketakutan. Kedua tangannya yang penuh darah bergetar hebat.
"Defibrillator" ucap Dhika dan suster segera memberikan alat pendetak jantung itu ke Dhika. Dhika kembali memasangkan alat itu disekitar jantung. "50 joule" ujarnya. "shock"
Deg... masih tak ada respon apapun dan tekanannya semakin menurun. "Sekali lagi" bentak Dhika dan susterpun menurutinya.
Deg....tetapi hanya garis luruh yang muncul dilayar mesin. Dhika mengembalikan lagi alat itu ke suster dan memeriksa denyut nadi pasien. Dhika memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Kenapa berhenti?" Tanya Lita heran saat melihat Dhika tidak melakukan apa-apapun lagi.
"Detak jantungnya tak kembali, denyut nadinyapun sudah menghilang" ucap Dhika lemah.
"Lalu kenapa berhenti? Ayo lakukan lagi" bentak Lita. Dhika tidak membalas tatapan tajam Lita, ia memilih melirik semua dokter dan suster lain yang terlihat tegang.
"Terima kasih atas kerja sama kalian" ujar Dhika ke semua timnya seraya melepas sarung tangannya yang di penuhi darah.
"Apa maksudmu???" bentak Lita tak percaya dengan apa yang Dhika lakukan.
"Kalian semua boleh keluar, biar saya yang membersihkan semuanya" ucap Dhika membuat satu persatu orang diruangan itu keluar. Hingga menyisakan dokter Claudya yang masih tetap berdiri disana. "Kau juga boleh keluar, dokter Claudya" ujar Dhika membuat Claudya dengan berat hati keluar dari ruangan.
Hingga kini hanya menyisakan Lita dan Dhika berdua, Lita masih menatap Dhika dengan tajam, air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Dhika membalas tatapan Lita dengan tatapan teduh miliknya.
"Tidak, ini belum berakhir" Lita beranjak ke tempat Dhika sambil melepas masker yang menutup hidung dan mulutnya., hingga kini berdiri disamping Dhika. "operasinya belum berakhir" bentak Lita,
"Ini sudah berakhir, Lita" ucap Dhika menatap ke arah Lita.
"BELUM!!!" bentak Lita dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
"Maafkan aku" ucap Dhika lembut, tetapi Lita hanya menatapnya dengan sengit.
"Minggir!!!" lita mendorong tubuh Dhika untuk menjauh dari brangkar. Lita memasukkan kedua tangannya ke dalam tubuh pasien dan menekan-nekan jantung pasien berkali-kali. "please, kembalilah !! Kembalilah dengan kakak, kakak akan bantu kamu untuk mencapai cita-cita kamu. Ayo Rahma kembalilah" isak Lita terus menekan jantung pasien. "bukankah kamu pernah bilang, kalau kakak sudah menjadi dokter. Kakak harus menyembuhkan kamu dan membuat kamu mencapai cita-cita kamu. Jadi kembalilah,, kembalilah Rahma" bentak Lita.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Dhika yang melihat Lita terus menekan jantung pasien. Darah sudah menggenang didalam sana.
"Kamu tidak lihat????" ucap Lita ketus dan masih terus melakukan kegiatannya.
"Hentikan" ucap Dhika tetapi Lita tidak memperdulikannya. "Hentikan!!" Dhika menarik lengan Lita karena Lita tidak berhenti.
"Minggir !!" bentak Lita menepis tangan Dhika dengan air mata yang terus mengalir deras. "aku ingin menyelamatkannya... hikz !!" Lita berhenti menekan jantung pasien, karena pasien tidak merespon. "hikz....hikz....hikz...." Lita mulai terisak membuat Dhika menatap Lita dengan tatapan sedihnya. Dhika merasa tidak tega melihat Lita seperti ini. "kenapa kamu tidak bertahan sebentar lagi" ucap Lita lirih. "kenapa kamu tidak menahan sakitnya sebentar saja" isak Lita,
"hikz.... Kenapa kamu membiarkan aku gagal untuk menyelamatkanmu?" bentak Lita ditengah tangisnya. "hikz....hikz...hikz...." isak Lita disamping tubuh pasien.
Dhika beranjak membuka kain yang menghalangi wajah pasien, sehingga Lita mampu melihat wajah polos Rahma yang tengah memejamkan matanya, meskipun masih ada alat medis yang terpasang di mulutnya. Lita melihat sebulir air mata keluar dari sudut mata gadis remaja itu. Membuat Lita menatap kosong ke arah Rahma.
"13 Agustus 2016. 22.30 PM. Pasien meninggal karena gagal jantung" ujar Dhika lirih. " selama operasi pengangkatan tumor."
"TIDAK !!" bentak Lita. "dia belum meninggal!!" ucap Lita sengit menatap Dhika, ia kembali hendak mengambil alat defibrillator untuk kembali memancingkan detak jantung Rahma.
"Hentikan" Dhika menarik lengan Lita. "apa yang mau kamu lakukan, hah?" Tanya Dhika
"Lepaskan !!" bentak Lita menepis tangan Dhika.
"Hentikan !!" bentak Dhika kembali menarik lengan Lita. Membuat Lita terdiam menatap mata Dhika dengan tatapan kosong.
"Lepaskan aku,, hikzz" tangis Lita kembali pecah di hadapan Dhika. Ia terus mencoba melepaskan cengkraman Dhika di lengannya. Tetapi karena tenaga Dhika terlalu kuat, membuatnya kesulitan untuk melepaskan cengkraman Dhika. "hikz....hikzz....hikzz...." Lita menundukkan kepalanya terisak.
Dhika yang tidak tega melihat Lita yang semakin terluka, langsung menarik Lita ke dalam pelukannya. Dhika mendekap tubuh Thalita dengan sangat erat dan mengelus punggung Lita dengan lembut.
"Selamatkan dia,, hikzz" Lita memukul punggung Dhika, tetapi bagi Dhika pukulan Lita tidak seberapa dengan rasa sakit saat melihat Lita menangis seperti ini. "selamatkan dia,,, selamatkan adik kecilku..." isak Lita terus memukuli punggung Dhika.
"Maaf,,, tapi dia sudah pergi untuk selamanya. Maafkan aku" ucap Dhika mempererat pelukannya.
Lita sudah kelelahan dan menghentikan pukulannya pada Dhika dan membalas pelukan Dhika dengan erat. Dhika mengelus lembut punggung Lita, memberinya kekuatan. Lita juga merasa sangat nyaman dalam dekapan ini. Dekapan yang selalu keduanya rindukan, dekapan yang sudah sangat lama menghilang. Dhika ingin waktu berhenti saat ini juga, ia ingin terus dalam posisi seperti ini. Apalagi detak jantung keduanya terdengar jelas, berdetak sangat cepat.
Isakan Lita mulai berhenti, tetapi tangannya semakin erat memeluk tubuh Dhika yang sangat hangat, ia tidak memungkiri kalau ia juga merindukan pelukan hangat dari Dhika. Dokter Claudya memasuki ruang operasi, berniat membantu Dhika menyelesaikan tugasnya. Tetapi langkahnya terhenti dan mematung di tempatnya saat melihat Lita dan Dhika tengah berpelukan dengan sangat intim.
Cukup lama Claudya menatap Dhika dan Lita dengan tatapan terlukanya, Claudya segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan menghapus air matanya yang entah sejak kapan sudah luruh membasahi pipi.
Khem.... Deheman Claudya membuat Lita dan Dhika tersadar. Dengan kesadaran penuh Lita mendorong tubuh Dhika menjauhinya, membuat Dhika merasa sangat kehilangan. Lita menghapus air matanya dan melirik Claudya yang tengah menatapnya tajam.
"Aku akan menemui wali pasien" ujar Lita berlalu pergi meninggalkan Dhika dan Claudya yang masih mematung.
"Sa-saya mau membantu membersihkan jenazah" ujar Claudya, tetapi tidak dijawab oleh Dhika. Dhika memilih langsung menyelesaikan pekerjaannya dan membereskan semuanya.
Thalita keluar ruang operasi, di sana terlihat ibu Sari dan bapak Ahmad tengah menunggunya penuh keresahan. Melihat Lita yang sudah keluar dari ruang operasi membuat keduanya segera menghampiri Lita. Thalita berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Rahma, seketika tangis ibu Sari dan suaminya pecah memenuhi ruangan itu.
Thalita berkali-kali meminta maaf karena telah gagal menyelamatkan Rahma. Kedua orangtua Rahma memakluminya, karena memang keadaan Rahma sudah tak bisa di selamatkan lagi. Tak lama Dhika keluar bersama Claudya sambil mendorong brangkar yang Rahma tempati. Wajah dan tubuh Rahma sudah di tutupi kain putih. Ibu Sari dan bapak Ahmad menghampirinya sambil menangis terisak.
"Beristirahatlah dengan tenang sayang, berbahagialah disana. Sekarang kamu tidak akan pernah merasakan sakit lagi." Ujar Ahmad menangis dalam diam.
"Pergilah dengan damai sayang, ibu akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu ditempatkan disurganya allah," Sari mencium wajah Rahma.
Dhika menatap Lita yang tengah menatap Rahma dengan tatapan kosong sambil menangis. Claudyapun kembali mendorong brangkar membawanya pergi ke kamar mayar.
Di dalam kamar jenazah, setelah menyimpan brangkar Rahma, Dhika beranjak keluar ruangan. Tetapi Claudya memanggilnya, membuat Dhika menghentikan langkahnya. Dhika membalikkan badannya menghadap Claudya yang masih berdiri di belakangnya. "Ada apa?" Tanya Dhika,
"Dhik, aku sering melihat kamu dan dokter Thalita berdua. Apa sebelumnya kalian pernah ada hubungan? Kenapa kamu begitu mudah akrab dengannya? Bahkan aku saja butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan kamu" ujar Claudya sangat penasaran.
"Maaf Claud, tapi ini bukan urusanmu" ujar Dhika datar hendak beranjak tetapi Claudya menahan tangan Dhika. Saat yang bersamaan Thalita masuk ke dalam ruangan itu tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu saat melihat Dhika dan Claudya.
"Dhik, aku mohon beritahu aku ada hubungan apa kamu dengan dokter Lita?" cicit Claudya menatap manik mata Dhika. Lita yang berdiri di depan pintu hanya mematung mendengar dan melihat mereka berdua. Dadanya terasa nyeri dan ngilu melihat bagian dari tubuh Dhika disentuh oleh wanita lain.
"Claud, aku mohon jangan seperti ini. Aku sedang tidak ingin membahas ini" ujar Dhika melepaskan tangan Claudya. Lita juga seakan bingung dan kaku, kakinya seakan tidak mampu dia langkahkan, tubuhnya sangat lemas dan hatinya sakit. Seperti peribahasa mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang Lita rasakan saat ini. Sakit hati karena kehilangan sosok adik kecilnya dan di saat bersamaan Lita juga merasakan sakit mendengar wanita lain bersama Dhika dan terlihat seperti mereka memiliki hubungan.
Dhika melepas pegangan Claudya dan beranjak keluar, tetapi baru dua langkah, Dhika menghentikan langkahnya saat melihat Lita berdiri diambang pintu. Pandangan mereka beradu, tetapi Lita langsung memalingkannya wajahnya dengan sinis. Dhika hanya menghela nafasnya dan beranjak pergi melewati Lita tanpa berkata apapun.
Kini hanya Lita dan Claudya yang tengah bertatapan dengan sengit. Claudya langsung beranjak hendak keluar ruangan tetapi langkahnya terhenti saat berdampingan dengan Lita.
"Jangan harap aku akan biarkan kamu memiliki Dhika" ujar Claudya sengit dan berlalu pergi meninggalkan Lita sendiri.
Lita tak menggubrisnya dan memilih melanjutkan langkahnya mendekati brangkar Rahma.
***