Saat ini kami sedang berkumpul di kantin bersama-sama. Di sini ada aku, Ratu, Serli, Irene dan Okta. Kami sedang bercanda bersama, hingga Chacha dan Amel melewat dan dengan sengaja menumpahkan jus strawberry pada bajuku, membuatku terpekik kaget.
"ops,, sorry" ujar Amel dengan gaya so polosnya yang membuatku muak melihatnya.
"Apa maksud loe?" pekik Serli kesal. aku langsung berdiri dan mengelap pakaianku dengan tissue.
"Kalian lagi, dua saudara pencari keributan. Pergi kalian berdua dari sini," pekik Okta kesal.
"Jangan ikut campur Crocodile, ini jelas bukan kesalahan Amel," bela Chacha.
"Heh nenek lampir cerewet, gue punya mata dan gue lihat sahabat penyihir loe ini yang sengaja menyiram baju Lita," bela Okta.
"Berarti mata loe katarak, Crocodile" ujar Chacha.
"Loe benar-benar buat gue naik darah yah nenek lampir, loe bukan hanya titisan dari penyihir jahat. Tapi loe juga titisan unggas, udah kayak bebek saja cerewet loe," ujar Okta kesal.
"Loe!!!!!" Chacha emosi dan hendak memukul Okta tetapi di tahan oleh Okta.
"Dan sekolakan juga tangan cantik loe ini, sayang sekali kan gunanya hanya buat mukul orang," ujar Okta menghempaskan tangan Chacha membuatnya semakin kesal.
"Loe bisa jaga sikap loe gak sih Cha, gue makin gak kenal saja sama loe sekarang," ujar Ratu.
"Bela saja terus wanita murahan ini. Kalian semua belum ngerasain gimana rasa sakitnya ditusuk dari belakang oleh seseorang yang mengakunya sahabat sendiri" ucap Chacha tajam menatap Ratu dan Serli, aku mencoba menekan hatiku yang terasa perih mendengar ucapan Chacha.
"Susah memang bicara sama nenek lampir" ujar Okta.
"Sudahlah guys, biarin saja" ujarku menengahi mereka yang terlihat kesal.
"Ayo Cha, kita pergi dari sini" Amel mengajak Chacha pergi.
"Pergi loe sono yang jauh, sekalian pergi ke neraka jahanam" teriak Okta kesal.
"Loe yang harusnya pergi Crocodile gila,," balas Chacha membuat Okta ingin membalasnya tetapi di tahan Irene.
"Loe kayak cewek, Gator" celetuk Irene membuat yang lain terkikik.
"Gue sebel sama kedua titisan penyihir jahat itu. Heh Lita, loe yang jadi putri saljunya kan. Siram deh mereka sama air kobokan atau comberan biar meleleh tubuhnya," ujar Okta kesal membuat kami terkekeh.
"Ada-ada saja loe, udah ah gue ke toilet dulu," ucapku dan beranjak pergi meninggalkan mereka semua.
Di dalam kamar mandi aku menangis sejadi-jadinya, aku mengeluarkan segala kesakitan yang ada di hatiku. Ucapan Chacha begitu menyakitkan, kita bersahabat sudah sangat lama dan dia begitu tega menilaiku serendah ini. Aku berusaha tegar di hadapan Serli, Ratu, dan yang lainnya, aku tidak ingin mereka mengasihaniku. Aku tidak ingin mereka jadi ikut membenci Chacha karena aku.
Setelah merasa cukup lega, akupun keluar dari toilet dan membasuh muka mengerikanku ini. Aku harus bisa menekan sakit hati ini dalam-dalam, aku harus menjadi wanita yang kuat dan tidak cengeng.
Setelah merasa lebih baik, akupun keluar dari toilet dan kaget saat melihat kak Dhika sedang berdiri tak jauh di depanku. Dia tersenyum manis padaku, membuatku membalas senyumannya dengan gugup. Aku berjalan mendekatinya, dan kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Pakai ini," tiba-tiba saja kak Dhika memakaikan jaketnya ke tubuhku, membuatku kebingungan.. "baju kamu basah dan kotor, jadi pakai jaket ini untuk menutupi baju kamu yang kotor," ujarnya tersenyum manis membuatku merona mendapatkan perhatian dari kak Dhika.
"kebesaran yah" Tanya kak Dhika lagi, karenan memang terlihat kebesaran di tubuhku yang kecil. Kak Dhika mulai merapihkan jaket yang ku pakai sehingga membuatku nyaman memakainya dan tidak terlalu kelihatan kebesaran. "seperti ini tidak terlalu buruk" komentarnya membuatku tersenyum senang.
"Makasih yah, Kak." cicitku dan dia hanya tersenyum saja memandangku.
"Masih ada kelas?" Tanyanya.
"Masih kak, satu mata kuliah lagi" seruku
"Baiklah, aku tunggu di ruang senat yah. Kalau selesai kabarin." ucapnya membelai kepalaku dan berlalu pergi dengan senyuman manisnya.
Ya tuhan, apa yang baru saja kak Dhika lakukan padaku? Aku merasa terbang ke awang-awang. Dia benar-benar berhasil mengembalikan moodku menjadi lebih baik.
Akupun kembali berjalan menuju kelasku dengan sangat bahagia.
***
Aku berjalan di sebuah taman tak jauh dari rumahku, karena tadi kak Dhika menghubungiku dan memintaku untuk datang ke taman.
Dengan hanya menggunakan celana jeans berwarna hitam dan t-shirt di padu dengan cardigan hitam yang melekat ditubuhku. Saat sampai di taman, aku celingak celinguk mencari keberadaan kak Dhika, karena ditaman itu terlihat sepi sekali. "kak,,," panggilku tetapi tidak ada sahutan apapun. " kak Dhika,," panggilku lagi dan terus berjalan mencari keberadaan kak dhika tetapi tidak ada jawaban.
"kok nggak ada sih, apa tadi bukan kak Dhika yang telpon? Tapi kan itu nomornya," aku menimbang-nimbang.
Saat tengah kebingungan, tiba-tiba saja lampu menyala di atas pohon tepat di hadapanku, aku mengamati setiap lampu itu yang membentuk tulisan 'I Love You' membuatku mematung ditempat.
Tunggu !! apa aku salah lihat? Itu beneran kata I Love You kan? Aku cinta kamu kan maksudnya, tapi untuk siapa. Aku masih sibuk memikirkan tulisan di depanku ini, siapa kira-kira yang menyiapkan ini semua dan untuk siapa??
"I love you, Thalita,"
Deg...aku mematung di tempatku berdiri, barusan ada yang berbisik di belakangku. Apa itu sejenis makhluk halus yang menyukai anak perawan? Tante tolong,, Lita takut. Tapi tunggu !!!
Suara ini.....
Aku langsung berbalik dan tepat sekali, jelmaan iblis tampan itu berdiri di belakangku dengan sebucket bunga mawar merah indah di tangannya. Dia terlalu tampan untuk di sebut iblis, dia benar-benar sosok malaikat tanpa sayap,
Apa aku boleh pingsan? Rasanya aku kehabisan nafas dan pasokan oksigen. Bagaimana ini? aku tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi senyumannya membuat jantungku ingin meloncat keluar dari tempatnya..
"Detak jantung kita berdetak seirama," ujarnya menyadarkanku,
Tunggu !! dia bilang apa? detak jantung? Kita? Maksudnya aku dan dia?
Dia?
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, memastikan kalau ini bukan mimpi. Tetapi kalau memang benar ini mimpi, maka jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini, tuhan. "Kamu lucu," ujarnya terkekeh ringan sambil menoel hidungku membuatku semakin tercekat.
"Kak-," aku mencoba mengeluarkan suaraku dengan sekuat tenaga.
"Aku cinta sama kamu, Lita." ujarnya membuatku semakin kehabisan nafas, apa telingaku saat ini sedang terganggu? Kenapa aku mendengar ungkapan cinta dari kak Dhika?
"Kamu mau gak jadi pacar aku? Jadi seseorang yang berarti di hidup aku?" Tanyanya lagi membuatku semakin meleleh,
Help me!! Aku membutuhkan pasokan udara saat ini juga sebelum aku pingsan karena tak sanggup mendengar sihir cinta yang keluar dari bibir kak Dhika.
Otakku bahkan mendadak macet dan lambat untuk mencerna ucapannya, apa maksudnya barusan? Dia.. aku.. kita.. maksudnya? Pacaran.
"Hei,, kenapa bengong," ujarnya membelai pipiku lembut dan terasa sangat hangat. " pipimu terasa dingin, apa kamu kedinginan?" tanyanya.
Bukan kak, lebih tepatnya aku demam panggung dengan ucapan kakak.
"A-apa ini mimpi Kak?" ujarku memastikan tetapi kak Dhika malah terkekeh.
Cup
Deg...
A-apa barusan? Dia,, bibirku? Aku memegang bibirku yang baru saja di kecup oleh sesuatu yang kenyal dan lembut. Kita..
First kissku.....!!
"Apa ini terasa mimpi?" bisiknya tiba-tiba membuat pipiku memanas, dan aku sadar ini nyata. Ini bukan mimpi,
"I-ini kan ciuman pertamaku, Kak." gumamku karena sangat malu dan gugup.
"Oh ya? Kalau begitu mau dong jadi pacar aku?" ucapnya dengan senyuman khasnya yang membuatku begitu terbuai. "Lita, apa kamu mau memberi aku kesempatan untuk selalu membuat kamu tersenyum?" Tanya kak Dhika. "aku ingin selalu di samping kamu, menemani kamu dikala susah dan senang. Melindungi kamu, Dan berusaha membuat kamu selalu tersenyum dan bahagia," ujarnya membuatku semakin tercekat mendengar ungkapannya yang begitu menyentuh hatiku.
"Aku-" aku menatap mata coklat itu, berusaha mencari kebohongan di dalamnya, tetapi tak aku temukan sedikitpun. Jadi itu tandanya dia tulus mencintaiku? Mencintai upik abu yang tak ada apa-apanya ini.
"Apa?" Tanya kak Dhika terlihat tak sabar, aku mengangguk dan tersipu malu.
"Arti anggukannya apa?" Tanya kak Dhika membuatku semakin gugup.
"I-iya aku mau," cicitku seraya menunduk, tak mampu menatap wajah tampannya itu.
"Jangan menunduk, tatap mata aku." kak Dhika memegang daguku, membuatku mendongakkan kepalaku dan kini mataku kembali beradu dengan mata miliknya yang sangat memabukkan. Aku tersenyum malu saat melihat wajahnya yang juga tengah tersenyum.
"Dengarkan detak jantung kita, iramanya sama dalam satu tarikan dan berdetak sangat cepat. Aku berharap yang aku rasakan, dirasakan oleh kamu juga," ujarnya menempelkan tanganku di dadanya, dan benar saja. Detak jantungnya berpacu dengan cepat seperti jantungku."awalnya aku gak tau, apa yang aku rasakan ini. Tetapi semakin lama perasaan ini semakin besar dan aku yakin kalau aku memang jatuh cinta sama kamu, Tha." ujarnya dengan sangat lembut membuatku semakin bahagia. Ingin rasanya aku jingkrak jingkrakan disini, tetapi tidak di hadapan kak Dhika.
"Sebenarnya aku juga menyukai kakak saat pertama kali bertemu," cicitku berusaha berkata jujur walau sangat sulit untuk aku ungkapkan.
"Oh ya? Aku senang mendengarnya. Jangan panggil kakak lagi, panggil Dhika saja yah," ujarnya
"iya Dhi-ka," ujarku ragu-ragu karena belum terbiasa dan merasa kaku.
"Ini untukmu," dia menyerahkan sebucket bunga yang sejak tadi dia pegang.
"Makasih kak," ucapku tersenyum manis dan kak Dhika tiba-tiba saja memeluk tubuhku membuatku kembali mematung.
"Jadi sekarang kita berpacaran yah," bisiknya membuatku tersenyum bahagia, aku mengangguk kecil sebagai jawaban.
***