Flashback
"Mas udah pulang... Ara gak denger mas masuk, Ara udah bikinin kopi spesial dari satu-satunya istri cantiknya mas" ujar Ara terkejut saat lelakinya menunduk mengambil air di lemari pendingin
"Hmmm... "
Akhir-akhir ini Kinara tidak bisa memahami mood suaminya. suaminya nampak tenang diluar namun menyimpan banyak hal didalam matanya. Kinara sadar ia belum bisa menjadi istri impian, masakannya kalah enak dibandingkan masakan suaminya sendiri. Sehingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja demi mengurus rumah tangganya. Apakah keputusannya salah, sehingga beban suaminya menjadi kian berat. Ia sudah berusaha menahan diri untuk membeli apapun kecuali yang diberikan oleh suaminya. Cicilan rumah dan kendaraan sudah cukup menguras, dia tidak masalah harus mengatur uang yang ada, tapi ia begitu khawatir takut suaminya belum siap menerima gaya hidup mereka yang baru. Meskipun Arka selama ini hidup sederhana namun, ia juga tidak kekurangan apapun. Suatu hari suaminya pernah bercerita bahwa perusahaan bonafit, enggan menerimanya meski kualifikasinya di atas rata-rata. Ia tau penyebab itu semua adalah kekuasaan Pramodya. Ia selalu berusaha mencari cara agar suami bisa memperbaiki hubungannya dengan keluarganya terutama sang mama mertua. Bagaimanapun Arka adalah anak berbakti sebelum ini, dan ia berharap Arka akan selalu menjadi anak yang berbakti. Mereka membutuhkan restu orang tua untuk melanjutkan rumah tangga mereka.
+++++
Kinara gemetaran saat ini. Ia tidak bisa berpikir jernih, sahabatnya Naima sedang bertugas di luar negeri. Ia tidak mungkin membuat gadis itu berlari panik dari sana. Ia harus mencari tempat berteduh secepatnya.
Drrrt... drrtt....
Kinara semakin gemetar menatap nomor ponsel yang tertera disana. Ia bisa memgingatnya meski sudah menghapus namamya, angka spesial sebagai pengingat pristiwa sakral merek 2 tahun yang lalu.
Pesan: 08xxxx0202
Rumah itu sudah jadi milikmu Ara dan sudah tertulis atas namamu. Aku tidak akan mengambil rumah itu. Kau berhak tinggal disana dan jangan egois melarikan diri seperti anak kecil. Kau harus menjaga dirimu.
Air mata Kinara menetes menatap pesan wa dari laki-laki yang masih dicintai sampai membuatnya merasa begitu bodoh saat ini. Bagaimana pria itu bisa menghakiminya seperti ini. Apakah setelah dipaksa menerima kenyataan pahit ia harus dibelenggu juga dalam neraka kenangan menyakitkan itu. Lebih penting lagi ia sudah mantap merelakan rumah itu dan segalanya karena ia akan memulai hidup baru dengan si kecil. Ia tidak akan membiarkan secuil luka mengganggu hidup barunya nanti. Tapi ia belum bisa memutuskan akan pergi kemana, apalagi alarm perutnya sudah berdentang, dengan kehadiran babynya kebiasaan makannya pun berubah.
Ia pergi ke sebuah restoran yang tak jauh dari jangkauan kakinya. Ia bersiap mengeluarkan dompetnya untuk membeli makanan
Hilang!!! dompetnya hilang, entah sejak kapan, di bus atau di trotoar tadi. Ia mesti marah atau bersyukur karen feelingnya mengatakan untuk memisahkan atm dan ktpnya didalam kantong tas dalamnya. Hormon ibu hamil cepat menguasainya ia berjongkok lemas dan menangis tersedu-sedu lengkap sudah semua sudah dicuri darinya direbut paksa seperti mimpi.
"Huaaaaa!!!!! hiks.... " Kinara merasa terpojok sepertinya dunia berkomplot menyudutkannya.
" Nak... " panggil seorang perempuan menepuk bahus Kinara
Kinara tidak bisa melihat dengan jelas karena air matanya yang tumpah dan pikirannya yang kacau. Ia hanya mengikuti saat ditarik duduk dikursi di depan restoran itu.
"Ini minum lalu makanlah dulu... Ara... "
" Terima kasih.. bun... da..??? "
" Kamu seperti tanggul jebol, bunda kira kamu gak inget bunda lagi"
"Mana mungkin hiks... Ara ngelupain bundanya kak Kiara"
"Bunda selalu suka saat memanggil kalian berdua, bunda seperti memiliki dua orang putri"
"Maaf bun... udah lama gak ngabarin bunda, waktu itu semuanya sulit... ayah... hiks... "
" Nanti saja, kamu harus makan dulu, habis ini nginep ya bareng bunda, bunda lagi nginep di penginapan dekat sini, bunda kangen sekali sama kamu"
"Ara juga kangen, kak Kia juga ikut??"
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum dengan pandangan mata yang menerawang jauh.
"Kamu makan dulu nak... "
Sepanjang perjalanan pulang Kinara seperti mendapat kekuatan tambahan dari pelukan wanita itu. Ia tidak harus banyak bicara, dan wanita itu dapat memahaminya, kesedihannya.
Kinara sudah membersihkan tubuhnya ketika sampai. Wanita paruh baya itu menunggunya duduk di atas pembaringan.
"Kiara... seperti yang kamu tahu... dia terguncang saat kehilangan bayinya... Bunda bersyukur saat itu kami bertemu kamu, kamu memberikan darahmu, perhatian dan semangat, saat itu bunda juga mengalami kesulitan jadi bunda minta maaf tidak bisa memperhatikanmu dengan benar. Dia menjadi lebih baik setelah bertemu seorang teman yang bisa ia ajak bicara, kamu adalah gadis ceria yang membuat bunda kuat. Tapi langit lebih menginginkannya tinggal disana... bunda tidak menyesalinya karena Kiara pergi setelah ia berjuang, tidak lagi putus asa..."
"Kinara rindu kak Kiara... meski cuma sebentar dan pertemuan kita dalam kondisi yang sulit... senang mengenal kak Ki dan bunda, almarhum ayah juga senang waktu membicarakan kak Ki, dulu sempat ayah pesen buat cari alamat bunda, tapi kondisi, situasi sampai akhirnya ki jadi gini... Ara bersyukur bisa ketemu bunda lagi meski dengan kondisi Ara yang kaya gini... "
" Cerita sama bunda ada apa.... "
Kinara duduk tegak, meski mengulang ingatan tadi terasa begitu sulit, namun melihat tatapan kasih sayang bunda, ia tahu ia begitu membutuhkan seorang pendengar yang tulus. Menceritakan rentetan drama penghinaan dan penghianatan, ia merasa sedang menceritakan sinema ftv yang biasa tayang di televisi.
"Kamu anak yang kuat, kamu cantik dan muda kamu juga punya bunda sekarang, jangan takut, jangan menyerah, mulai kehidupan yang baru, ikut bunda ya, bantu bunda di usaha bunda"
"Tapi bun... Ara masih punya simpenan sedikit ara gak mau... "
"Ssst... jangan berpikir utang budi, saat ini kamu membutuhkan bantuan bunda, suatu hari saat bunda renta bunda pasti juga membutuhkan Ara, hmmm... manusia diciptakan karena tidak bisa hidup sendiri. Tabungan kamu untuk persiapan melahirkan dan asuransi cucu bunda saja. Melihat situasinya keluarga mantan mertua kamu, bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Kamu harus mempersiapkan segalanya agar menjadi orang tua yang layak dimata hukum... "
Kinara merenung, ia tidak boleh egois saat ini. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan seorang wanita hamil dan ia tidak bisa mengambil resiko untuk cahaya hidupnya kelak.
" Terimakasih bunda, Ara paham, Ara akan bicarakan ini dengan Naima, sahabat Ara dia pasti akan mengamuk seperti banteng kalau Ara tidak bertanya kepadanya"
"Tentu saja... sekarang kita istirahat"
++++
Pagi-pagi setelah menelpon Naima dan disambut dengan amukan gilanya, Kinara berdiri di depan pemakaman. Ia sudah siap dipaksa siap menyambut hidup baru, ia tidak sendiri ada Naima dan bunda Rena dan bertambah lagi alasan penting dalam hidupnya untuk tetap bersyukur, calon buah hatinya. Ia tidak boleh picik berpikir di dunia ini hanya dirinya saja yang paling menderita dan melupakan rasa syukur dari perhatian orang-orang yang masih memedulikannya.
Kinara berjalan perlahan menuju peristirahatan terakhir ayahnya. Ia akan berpamitan untuk melangkah di hidup yang barunya.
DEGGG!!!!
Hatinya yang mulai tenang kembali berkecambuk melihat sosok yang tengah berjongkok duduk menaburkan bunga. Pria gagah dengan jas biru dengan kemeja hitam dan kacamata hitam berdiri saat melihatnya datang

"Mas tau kalau kamu cepat atau lambat akan datang kesini"
Tidak adil!!! hanya karena kau terlalu memahamiku... kau bisa berbuat seenaknya begini
Kekuatan Kinara seolah menjadi lilin yang diterpa badai. Perasaan tidak mungkin hilang hanya sehari sekalipun penghianatan berusaha membunihanguskannya. Arka masih memiliki tempat istimewa. Pria itu terlalu mengenalnya dan ia tidak mampu mengenali siapa suaminya itu sebenarnya
"Apa yang mas inginkan... lagi"
"Ambilah rumah itu, atau jualah untuk tempat tinggal yang baru aku sudah!... "
" Jangan merasa bertanggung jawab kepada seorang figuran mas, aku merasa seperti beban mengganggu yang harus kau cungkil dari telapak kakimu"
"Kalau tidak ingin menjadi beban jangan egois dan keras kepala Ara!!! "

Ara terhenyak dengan nada dingin pria itu. Nada suara asing yang tidak dikenalinya selama 2 tahun ini. Membuat matanya berkaca-kaca hatinya serasa disayat pisau tak kasat mata.
"Lihat siapa yang sedang menghakimiku egois dan keras kepala... apakah hanya itu yang ingin kau bicarakan mas, jangan datang lagi kesini... jangan... lupakan saja... !" Kinara menarik nafas kuat, amarah tidak boleh membakarnya "Mas bisa dengan mudah mengingkari janji mas dengan Tuhan sebagai seorang suami kepada istri, kenapa hal ini menjadi sangat menyulitkan, percayalah mas tidak akan sesulit itu untuk yang kedua kalinya dan aku tidak akan pernah lagi menagihnya, sekalipun di akhirat nanti"
"Ara... haruskah kau bersikap defensif seperti ini kau harusnya seperti...
"Maaf mas, satu-satunya kekuranganku aku tidak pernah menjadi seperti Nadia saat menjadi istrimu tidak akan pernah bisa menyamai dirinya dalam pikiranmu, benakmu apalagi prioritasmu!!! "
"Kau bukan dia... jangan berusaha... tidak akan bisa... " ucap suara pria itu getir dan terasa jauh
"Aku sudah menerimanya saat kita menikah, membagi hati dan pikiran suamiku dengan kenangan masa lalunya, meredam kecemburuanku saat suamiku menyebut nama kekasihnya saat terlelap memeluk istrinya, tapi ketabahanku tidak sekuat itu menerima hal ini darimu terus menerus, aku tidak setegar itu karena aku tidak cukup memiliki posisi yang berharga dalam hidupmu, seberapa banyak lagi harus kurendahkan harga diriku sampai kau merasa cukup puas??? "
Pria itu hanya tercenung ditempatnya, Kinara tidak bisa melihat bagaimana ekspresi sebenarnya pria itu karena tertutup kaca mata hitam.
"Bisakah kau pergi, aku hanya ingin berdua dengan ayah, jangan datang lagi kemari, Pramodya dan istrimu tidak akan senang melihatmu kesini, jangan egois" ujar Kinara dingin menekankan kata-kata itu bukan untuk Arka tapi dirinya sendiri.
Ia harus menusukkan kata-kata itu pada dirinya agar tidak begitu berharap pria itu memilihnya untuk kedua kalinya.
"Untuk kebaikanmu, aku hanya memikirkan hal yang telah kita lalui Ara... "
"Kebaikan yang mana?? untuk siapa?? Tidak perlu, kalau mas memang memikirkannya, situasinya tidak akan pernah menjadi seperti ini... " Kinara hampir tumbang saat pria itu mengucapkan namanya dengan nada yang paling dia sukai saat ia sedang marah.
Pria itu masih punya kuasa untuk membolak balik hatinya. Kinara berbalik, kalau ia menatap pria itu sedetik lagi saja, ia mungkin akan mengemis untuk kembali.
"Media mungkin sudah mengendus hal ini, mereka akan terus menggonggong, sebaiknya... "
"Apakah jauh-jauh kamu datang kesini dan berbicara tentang segala kebaikan untukku hanya ingin mengunci mulutku"
" Yang terpenting saat ini... "
" Aku tahu... istrimu sedang mengandung kau tidak ingin berita buruk menimpanya dan merusak kebahagiaan dan karirnya bukan??
"Ya baguslah kalau kamu mengerti Ara... "
"Biar hanya aku yang menelan berita buruk itu maksudnya bukan ?? aku tidak mungkin menumpahkan nanah penghianatan ini, aku cukup tau ini busuk dan ini aibku juga... jadi berhentilah untuk datang! kau bisa memegang kata-kataku dan aku ingin kau berhenti memperlihatkan semua tentang dirimu di hidupku"
Ia bisa memuntahkan kata-kata itu dengan perlahan dan dingin meski hatinya menangis terisak dan koyak sampai serpihan. Tidak ada yang tersisa lagi dari rumah tangganya.
"Kau harus menjaga dirimu... kau harus berjanji padaku"
"Aku tidak butuh janjimu untuk menjaga hidupku sendiri, urus saja keluargamu sendiri"
Tidak ada kata-kata yang keluar hanya langkah kaki yang menjauh yang terdengar dan aroma parfum yang sangat ia kenal. Parfum yang ia belikan di hari ulang tahun pria itu di tahun pertama pernikahan mereka.
Sampai seniat inikah kamu menyakitiku mas???
+++++