Yusuf memegang pinggang Dilla dan memberdirikannya yang jatuh tersungkur ke tanah karena Ia sangat bersikeras masuk ke dalam Istana Yildiz.
"Dilla... Dilla... Kumohon dengarkan, Aku!" pinta Yusuf sembari menenangkan Dilla yang masih tantrum. "Aku janji nanti akan membawamu ke dalam namun tidak sekarang. Kau mengerti? Ini bukanlah hal yang mudah. Kita harus menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan pesanmu kepada Tuan Ahmed."
"Dilla... Kau harus mendengarkan Yusuf. Dia benar, Dia ingin membantumu. Kau harus mempercayainya."
"Tapi..." Dilla masih menangis.
Yusuf pun mengelus punggung Dilla. "Sudah ya Dilla..." Ia pun membawa Dilla ke dalam mobilnya dan mendudukan Dia di jok depan mobilnya.
Dilraba membantu Dilla duduk di kursi jok tersebut sembari sangat seat belt di mobil Yusuf. "Ku harus mendengar apa kata Tuan Yusuf..."
"Aku akan membawa Dilla pulang." Yusuf meyakinkan Dilraba.
"Tesekkur ederim." Dilraba sangat cemas melihat keadaan sahabatnya tersebut.
"Kau jaga diri ya Dilraba. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu." Yusuf memperingati Dilraba.
"Kau tak usah khawatir tentang Aku. Aku akan menjaga diriku sebaik mungkin."
Yusuf pun masuk ke dalam mobilnya duduk di bagian kemudi.
Dilraba menunggu Yusuf pergi baru Dia juga pergi.
Yusuf pun pergi membawa Dilla, sementara Dilraba melambaikan tangan tanda perpisahan.
Dilraba pun tetap memandangi mobil Yusuf yang berjalan semakin menjauh darinya. Ia pun menghela nafas panjang.
Ia menatap ke arah Istana Yildiz yang dibentengi oleh pagar yang amat tinggi dan kokoh. Dalam hati Dilraba menatap Istana Yildiz itu, suasana hatinya berkecamuk karena Ia tahu jika sebuah rahasia di dalam Istana ada di tangannya. Ia sadar jika pekerjaannya yang amat berbahaya ini amat mengancam nyawanya setiap saat.
Pilihan ini telah dipilih oleh Dilraba dalam hidupnya.
Ia pun berjalan lurus ke depan sembari menelpon seseorang.
"Halo..."
"Halo, Dilraba..."
"Panggil Aku Yasemin!"
Dilraba berbicara dengan seorang Pria.
"Dilraba, apa maksudmu?"
"Zhandos, sebentar lagi Aku tidak akan menjadi bonekamu lagi... Aku sudah katakan jika Aku akan memakai identitas asliku lagi."
Dilraba dengan tegas mengatakan apa yang Ia ingin katakan kepada Pria yang berperan sebagai tangan kanan bosnya tersebut.
"Dilraba..."
"Aku sudah mendapatkan alamat Maxim. Irina sudah jatuh dalam perangkap yang kupasang. Seperti yang kukatakan jika Aku tak akan pernah ingkar janji. Kau tak salah mempercayakan Aku."
"Baiklah, Aku mengerti Dilraba. Aku sangat berterimakasih dengan semua jasamu. Aku membayar Kau sangat mahal, tentu Kau harus menyelesaikan misimu. Selain itu, Kau harus bisa menjebak pimpinan QUDS. Itu salah satu misi Kita juga, ya Dilraba! Kau jangan sampai mengabaikan tugasmu yang itu!"
"Aku tentu tak pernah melupakan satu pun agendaku. Aku perlu sedikit waktu lagi untuk mengerjakan hal itu."
"Mengenai Pilpres yang juga semakin dekat, Kau harus semakin bersiap menghadapi segala serangan kemungkinan yang akan Kita terima dari para teroris yang akan semakin gencar dan brutal tentunya."
"Mereka tak akan berhasil melakukan invansi. Aku menjamin hal tersebut." Dilraba dengan penuh percaya diri meyakinkan Zhands.
Zhandos pun memberikan kepercayaan penuh pada Dilraba. "Aku tak akan meragukan kemampuanmu. Aku mempercayaimu!"
Dilraba menutup teleponnya. Dengan mengenakan coat panjang berwarna abu- abu dengan dalaman kemeja putih dan celana bahan hitam Ia berjalan sangat anggun dan melangkah ke depan tanpa ragu.
Ia berjalan seakan- akan tak ada orang yang dapat menyingkirkan dan menghalangi jalan di depannya.
**
Yusuf membawa Dilla ke sebuah taman cantik yang tak jauh dari Besiktas yaitu ke Taman Macka yang merupakan taman cantik yang ramah terhadap para mengunjungnya karena menyediakan banyak pertunjukan artistik dari para musisi jalanan.
Taman yang didominasi oleh pohon- pohon besar tersebut terasa sangat sejuk, para pengunjungnya merasa sangat nyaman karena dapat menghirup udara bersih di taman tersebut tentunya.
Dilla berjalan menyusuri tangga yang cukup tinggi bersama Yusuf, menapaki anak tangga demi anak tangga yang terhampar di depannya. Yusuf menemani di sampingnya.
Ternyata pergi ke taman tersebut adalah permintaan dar Dilla sendiri. Yusuf yang berencana membawa Dilla kembali ke apartemen tempatnya menginap, namun ide itu ditolak oleh Dilla. Ia meminta Yusuf dibawa ke taman ini.
Yusuf hanya menatap Dilla dengan pandangan penuh rasa penasaran. Ia merasa jika banyak sekali rahasia yang masih belum Ia tahu mengenai Dilla. Ingin sekali Yusuf menjadi penjelajah waktu untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu Dilla. Seakan- akan membaca diri Dilla tak pernah cukup bila diberikan waktu satu abad.
"Yusuf, apabila Aku mati... Aku ingin dikuburkan di taman pemakaman dari taman ini."
Yusuf tersentak kaget mendengar apa yang dikatakan Dilla. "Dilla, kenapa Kau tiba- tiba membicarakan mengenai kematian?"
"Kenapa? Karena memang semua orang akan mati nantinya. Tidak peduli muda, tua, sehat, sudah sakit- sakitan... Semua orang pasti mati!" Dilla tak berhenti melangkah dan tetap sibuk menapaki anak tangga.
Yusuf memberhentikan langkah Dilla. "Dilla..." Ia menghalangi jalan Dilla dengan berhenti di depannya.
Dilla mencoba pindah ke samping agar Ia dapat berjalan ke depan, namun Yusuf juga ikutan pindah ke samping. Dilla pun pindah lagi ke samping, begitupun Yusuf yang juga ikutan pindah pergerakan mengikuti kemada Dilla hendak berjalan.
Namun tak sengaja Dilla hendak terdorong jatuh karena terlalu sibuk mencari jalan. Seketika Yusuf menarik tangan Dilla sehingga jatuh di pelukannya. Ia dengan kekuatannya dapat tetap berdiri tegak sementara Dilla ada di dekapannya. Tanpa ragu, Yusuf langsung menggendong Dilla dan menaiki anak tangga tersebut sambil menggendongnya.
Dilla tak bisa berontak banyak. "Ini memalukan..." ujarnya sambil menutup mukanya sehingga menatap ke arah jas Yusuf. Ia melihat kancing jas Yusuf terlepas dari tempatnya.
"Tidak memalukan... Kau sedang sakit, Aku tidak ingin Kau jatuh berguling ke bawah!" jawab Yusuf.
Akhirnya Yusuf mencapai anak tangga terakhir.
Dengan sesegera mungkin Dilla minta diturunkan dari gendongan Yusuf.
Yusuf pun melepaskan Dilla dan membiarkannya berjalan sendiri.
Dilla membetulkan blouse dan cardigan panjangnya yang tertekuk saat berdiri.
Dilla berjalan cepat meninggalkan Yusuf.
Yusuf mengejar Dilla. "Dilla... kumohon, Kau harus bicara denganku... Kau butuh teman untuk mengutarakan semua perasaanmu bukan?!"
Dilla pun menghela nafas panjang. "Kau tahu jika mendapatkan sebuah privilage sangat penting untuk dapat mengutarakan sebuah kebenaran?!" Ia menatap dalam kepada Yusuf.
"Aku percaya jika Kita berjalan di jalan yang benar maka Kita harus berani mengungkapkan kebenaran tersebut!" Yusuf menimpali perkataan Dilla.
"Aku tak mungkin jujur kepadamu. Seharusnya Aku dan Kau tak berada di satu kubu..." Dilla sangat putus asa dan mengalihkan pandangannya dengan cepat dari Yusuf.
Yusuf masih tak terima. "Tentang Kakekmu Tuan Sultan Abdul Hamid Khan. Aku tahu mengenai Beliau, Beliau sangat berjasa dalam memimpin Kesultanan Turki Utsmani. Aku pribadi juga sangat mengagumi Beliau dalam kepiawaiannya memimpin Kerajaan Utsmani. Aku tahu Dia adalah pemimpin sekaligus Imam yang baik dan sangat adil."
Dilla hanya tertawa menanggapi pernyataan Yusuf yang sangat serius tersebut
**