Thalita menyeruput secangkir teh hangat khas Turki yang disajikan ke dalam cangkir khas Turki yang biasa disebut Armudu.
"Ini baru pertama kalinya kan Lo minum teh di cangkir yang bentuknya seperti ini?" tanya Thalita kepada Rayhan.
"Iya. Ini bentukannya kaya... tahu ga lo, tempat jam pasir?" terka Rayhan sembari memperhatian bentuk gelasnya.
"Iya, iya.... Gue paham. Emang mirip sih. Tapi kalo jam pasir kaya tabung nggak sih lekukannya? Kalo ini bener- bener kaya huruf Z lekukannya!" ujar Thalita
"Iya. Anjir, gelas aja dibahas..."
"Lo kan biasa, suka nggak jelas... apa aja bisa diobrolin!"
"Tehnya rasanya agak- agak sepet manis gitu ya!"
"Ini kan black tea, rasanya emang begini. Ini sensasi tehnya yang buat gue enak ya begini. Nyokap Gue suka banget minum black tea."
"Lo juga suka?"
"Biasa aja sih. Tapi Lo kan juga ga suka manis- manis?!"
"Iya emang! Tapi bukan berarti suka yang asem sih!"
Thalita tertawa mengikik.
"Ok deh!"
"Gue jujur belum familiar sama makanan- makanan yang ada di Turki."
"Emang beda. Gue akuin, gue kangen banget makanan Indo. Lidah Gue udah betawi banget! Suka kurang cocok sama makanan Turki! Enaknya makanan Turki itu, belum bisa senendang Gue makan nasi liwet pake ikan peda! Buset jadi kepikiran ikan peda digoreng atau dipepes kan Gue!"
"Betawi Lo, mau di negara mana aja juga tetep ya..."
"Iya lah! Gue anak betawi banget, makan sayur asem, sambel terasai, pake tempe goreng rasanya udah sedep banget. Disini makanannya baklava, sup tomat, atau enggak ya pasta... Nggak ada ikan asin atau sambel terasi, kalau pun ada, belum seenak buatan Babeh Gue!"
"Lo juga jago masak kan!"
"Gue disini jarang masak! Gue masak yang Nyokap Gue masakain atau di resto Turki aja. Resto Indonesia terbilang mahal kalo disini, lagian menunya juga nggak ada nasi liwet sama ikan pedanya!" Thalita tertawa mengikik.
"Gue harap Lo cepet nikah deh Tha! Gue harap Lo cepet dapet jodoh Lo!"
"Makasih Loh didoain Ray!"
"Apa jangan- jangan Lo udah punya calon tapi Gue yang nggak tahu?!"
Thalita menelan ludah, air keringatnya mengalir ke pelipis. "Doain aja..."
"Ya pastilah!"
Rayhan pun ditelepon oleh seseorang.
"Pasti bini Lo ya?"
"Iya bener. Bentar ya Tha."
Rayhan pun mengangkat teleponnya sembari pindah ke spot lain.
Thalita pun hanya duduk sembari menopang dagu di mejanya. Ia memperhatikan punggung Rayhan. Pikirnya. Kok, Gue ngeliat Rayhan sekarang kaya bukan ngelihat Rayhan dulu ya. Apa Gue beneran udah move on dari Rayhan makanya Gue begini? Harusnya sih emang udah move on.
Akhirnya Rayhan pun kembali.
"Tha, Gue harus balik ke hotel. Bini Gue udah nungguin disana. Kayanga Ville nggak bisa kesini. Sorry ya!"
"Nggak masalah, salam aja ya buat Ville!" ujar Thalita sembari ikut berdiri karena Rayhan juga berdiri beranjak dari kursinya.
"Thalita, entar malem Gue sama Bini Gue mau jalan ke Sortie Nightclub. Gue cari sih disana lumayan recomended night clubnya. Lo tahu nggak?"
"Lo nanya nightclub ke Gue, GA SALAH?" Thalita hanya tertawa. "Itu di daerah Sultan Korusu dekat dengan Emirgan Korusu kan kalau nggak salah nightclub nya?"
"Iya bener!"
"Harusnya kalau rated nya di google bagus ya berarti bagus!" ujar Thalita.
Akhirnya Thalita kembali sendiri setelah kepergian Rayhan.
**
Furkan datang menjemput Thalita.
Thalita sudah berada di depan Restoran tersebut. Dia dijemput oleh Furkan dengan menggunakan mobil Porsche nya.
Thalita tampak murung saat bertemu dengan Furkan.
"Thalita, ayo Kita ke rumahku. Nine sudah menunggu Kita." Furkan menggandeng tangan Thalita.
Thalita minta dilepaskan dari gandengan Furkan.
"Ada apa?" Furkan terkejut.
"Aku sedang tak ingin pergi ke rumahmu."
"Neden (why)?"
"Aku sedang tak mood saja. Ku minta maaf."
"Baiklah, Aku mengerti. Kalau Kau memang tak ingin pergi ke rumahku Aku tak ingin mmemksamu." Furkan membuka pintu mobilnya kembali untuk Thalita. "Kau ingin pergi kemana jadinya? Aku akan membawamu ke tempat manapun yang ingin Kau tuju."
Thalita malah menutup kembali pintu mobil Furkan. "Tuan Furkan, ajari Aku soal bisnis keluargamu." Ia menatap tajam Furkan.
Furkan mengernyitkan dahinya sembari melipat tangannya di dada. "Iyi (Bagus). Kau benar ingin serius belajar bisnis?"
"Evet . Aku harus mempelajari Bisnis keluarga, bukan?!" ujar Thalita dengan penuh ambisi.
"Evet. Kau harus mempelajari bisnis keluarga Athagul. Kau juga akan membantu mengurus urusan Perusahaan kelak."
"Baiklah."
"Aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat dimana Kita bisa beljar memulai dari awal." Furkan kembali membuka pintu mobilnya. "Naiklah!"
Thalita pun naik ke dalam mobil Furkan.
"Mau kemana Kita?"
"Sudah, Kau tenang saja. Kita akan pergi ke suatu tempat yang menyenangkan pastinya."
"Menyenangkan? Kok Aku jadi curiga?" Thalita memandangi Furkan yang hanya tersenyum- senyum sendiri.
Furkan tak menjawab apapun. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang sedang dan tak memberikan jawaban pasti Ia akan membawa Thalita.
Akhirnya setelah 45 menit Mereka pun tiba di sebuah peternakan kuda yang merupakan peternakan kuda milik keluarga Atahgul.
"Ini pacuan kuda? Kau tak salah mebawaku kemari?" tanya Thalita yang merasa keheranan dengan tujuannya.
"Tidak. Kita akan mulai belajar bisnis dari sini." Furkan pun memarkirkan mobilnya di lapangab luas yang ada di depan lapangan pacuan kuda sekaligus peternakan kuda tersebut.
Ia pun keluar dari mobilnya.
Thalita juga keluar dari mobil Furkan.
"Kua sudah pernah menaiki kuda?"
"Pernah. Ada banyak kuda di daerah tempat tinggalku."
Batinku. Naik delman masudnya, waktu kecil Aku sering keliling- keliling nak delma, di condet banyak kuda juga yang punya tetanggaku.
"Kau bisa mengendarai kuda?"
Aku menggeleng. "Not really. Tidak benar- benar bisa!"
"Baiklah, Kita akan belajar berkuda ya hari ini."
Aku pun menurut saja.
Mereka berdua pun masuk ke dalam peternakan kuda tersebut dan menuju langsung ke kandang kudanya.
Furkan menghampiri kuda berwarna coklat tua yang ada dalam kandang yang paling depan. Ia mengelus kepala kuda tersebut.
Thalita memberikan kode jika Dia ingin juga menyentuh kuda tersebut namun itu terlalu tinggi untuknya.
"Kau ingin kugendong agar Kau bisa menyentuh kudanya?" goda Furkan.
"Tidak usah!" jawab Thalita ketus.
Furkan hanya tersenyum menggoda menatap Thalita.
"Kudamu besar- besar ya. Kuda yang kujumpai tak sebesar ini."
"Tentu uda yang kupelihara ini jenisnya adalah yang terbesar di dunia. Contohnya ini adalah kuda Shire, lalu ada kuda spesie Dole yang juga tak kalah besar seperti yang ini." Jelas Furkan. Ia masih terus mengelus kuda tersebut. "Namanya Corey."
"Halo Corey!" sapa Thalita.
"Kau pakai boots saja dulu untuk mempermudah naik kudanya," ujar Furkan.
"Baik." Thalita pun mencoba boots yang sekiranya ukurannya. Ia pun menemukan boots berwarna merah yang sangat pas dengan ukuran kakinya.
Sementara sang penjaga mengeluarkan kuda jenis Dole yang akan dipakai oleh Furkan untuk berkuda.
Furkan pun memanggil Thalita. "Thalita, ayo!"
"Baik tunggu Tuan!"
Furkan pun memberikan ancang- ancang penyangga yang dapat mempermudah Thalita untuk menaiki kuda tersebut.
"Thalita, naik sini!"
Thalita pun hanya menurut saja dan mencoba menaiki kuda tersebut. "Tinggi sekali kudanya untukku.
Furkan tiba- tiba menaikan Thalita dengan memegang pinggang Thalita.
Thalita terkejut, "Terima kasih Tuan."
Furkan –pun naik di belakang Thalita. Ia pun mulai memacu kuda tersebut dengan pelan.
Thalita seakan- akan seperti terbang saat Furkan memancu kudanya semakin kencang. Hembusan angin di pacuan kuda membuatnya semakin terasa sedang melayang.
Furkan membawa Thalita ke dalam sebuah dunia yang baru yang tak bia dideskripssikan dengan mudah oleh Thalita.
**