Thalita pun merasa gundah gulana akan apa yang terjadi dengan Ayahnya. Ia akan segera menikah setelah Idul Fitri ini dan itu berarti dia tak akan ada disana mendampingi Sang Ayah untuk menikah.
Ia bahkan tak percaya jika yang dinikahi Ayahnya adalah gadis 20 tahun yang masih belia. Ia menaruh rasa kecewa karena ini kepada sang Ayah.
Entah bagaimana kepercayaannya terhadap Ayahnya tersebut akan balik lagi atau tidak. Ia tahu jika sang Ayah pun lelaki biasa yang pasti ingin berumah tangga juga namun Ia tak menyangka jika jodoh Ayahnya adalah...
Thalita tak henti- hentinya memikirkan soal Ayahnya tersebut dimana pun Ia berada, termasuk di kantor.
Ia pun meremas dokumen yang ada di mejanya tak sadar masih terbawa emosi memikirkan sang Ayah.
Pelin memperhatikan Thalita.
"Thalita..."
Ia pun memanggil- manggil Thalita dengan pelan.
Thalita masih tak menggubris.
"Thalita..."
Tiba- tiba bos mereka, Furkan sudah berada di belakang Thalita.
Pelin terkejut karena kedatangan sang Bos.
Ia pun melirik ke arah Thalita lagi, namun Thalita tetap melamun dan tak memperhatikan Pelin.
Furkan pun akhirnya berdeham namun Thalita belum juga sadar.
Akhirnya Furkan pun berjongkok dan menatap wajah Thalita.
Wajah mereka pun saling berhadapan.
Sontak Thalita pun terkejut mengetahui sang Bos sudah ada di hadapannya dengan jarak yang sedekat itu dari wajahnya.
"Maaf Fukan Bay..." Thalita pun mendadak mundur menjauhkan wajahnya dari hadapan Furkan.
"Kau melamun ya?"
Thalita pun panik. "Hayir..." elaknya. "Saya... saya..."
"Thalita, saya mau... mau ke toilet dulu ya Pak..." Thalita berusaha menghindar.
Furkan pun menaikan alisnya sebelah.
"Silahkan..."
Thalita pun berdiri buru- buru menuju ke toilet.
"Saya tunggu..."
Furkan pun menunggu Thalita di meja Thalita.
Pelin memperhatikan Bos besarnya tersebut.
Dalam pikirannya. Tampan sekali... benar- benar tampan...
Furkan benar- benar sangat sempurna, semua ada di Furkan, tak ada wanita yang tak jatuh cinta melihat ketampanan Furkan.
Furkan sembari menunggu Thalita, Ia membuka ponselnya.
Ia melakukan chatting dengan Sang Kekasih, Dilraba.
[Sayang, kau sedang apa?]
[Aku kerja dong!]
[Kau?]
Tak lama Thalita kembali dari toilet.
"Furkan Bay, maaf telah membuatmu menunggu lama."
"Tidak masalah!"
"Ada urusan apa ya mencari saya?"
"Temui saya di ruangan saya, ada hal penting yang ingin saya bicarakan!"
Thalita keheranan dan kebingungan. "Hal apa?"
"Pokoknya ke ruangan saya saja dulu!"
Furkan pun pergi.
Thalita masih tak mengerti mengapa Furkan harus ke ruangannya untuk mencarinya.
Namun Thalita pun dengan sigap pergi ke ruangan Furkan.
"Pelin, aku titip ya... kalau ada yang cari aku, bilang aku di ruangan Pak Furkan."
"Sip beres!" Pelin pun menyanggupinya.
Thalita bergegas ke ruangan Furkan.
**
Ia pun menarik nafas dalam- dalam masuk ke ruanga Furkan.
Melissa memandangi Thalita yang wajahnya tampak cemas.
"Kau kenapa Thalita?"
"Tidak apa- apa Nona Melissa..."
"Tuan Furkan di dalam kan?"
"Tentu!"
"Aku disuruh ke dalam!"
"Silahkan!"
Thalita pun membuka ruangan Furkan dengan pelan- pelan dan mengintip dahulu sebelum benar- benar masuk ke dalam.
Melissa keheranan.
"Masuk saja Thalita!" Melissa geleng- geleng kepala.
"Ba... Baik..."
Thalita merasa gugup.
Ia pun memberanikan diri masuk ke dalam.
"Aku tak akan memakanamu Nona Thalita! Masuklah!" ujar Furkan sembari menyeruput kopinya. Furkan sadar. ""Ma... maaf... kau sedang puasa ya?"
Thalita menggeleng. "Tidak.... tidak masalah... silahkan Tuan... saya tak terganggu kok, minum saja!"
"Kau benar- benar sempurna..."
"Sempurna apanya Tuan?" Thalita merasa kebingungan dengan maksud Furkan.
"Saya tak akan banyak membuang waktu memberitahukan maksud saya kenapa memanggilmu kemari!"
"Jadi bagaimana Tuan?"
"Thalita, saya mau minta tolong sesuatu kepadamu.."
"Apa itu Tuan?"
"Saya ingin minta tolong..."
"Tolong apa Tuan?"
"Datanglah ke rumah saya..."
"Untuk?"
"Berpura- pura menjadi calon istri yang dipilihkan oleh Ibu saya."
Thalita tak mengerti. "Tu... tunggu Tuan... calon istri?"
"Iya..."
"Sa... saya tak mengerti..." Thalita bingung maksud Furkan.
"Begini... "
Furkan pun menceritakan perjodohannya dengan seorang wanita pilihan sang Nenek ataupun Ibunya.
Furkan sebenarnya sudah bersekongkol dengan sang Ibu jika Ia tak mungkin menikah dengan pilihan sang Nenek yang bisa jadi bukan wanita yang akan disukai Furkan.
Sang Ibu pun juga telah mencari beberapa wanita yang akan bersaing dengan wanita yang akan dijodohkan oleh Furkan berdsarkan pilihan sang Nenek.
Ibu Furkan, Burcu sebenarnya juga tak terima jika sampai anaknya dijodohkan oleh mertuanya. Ia ingin Furkan menikah dengan wanita modern dan tak suka yang terlalu agamis dan tidak open minded. Burcu memilih beberapa wanita untuk dipilih Furkan namun setelah dilihat- lihat semua pilihan Ibunya tak ada yang mungkin dapat disukai sang Nenek.
Maka Furkan pun punya ide jika dia saja yang mencari wanita yang akan pura- pura menjadi calon yang dipilihkan sang Ibu. Furkan pun teringat dengan Thalita. Ia yakin jika Sang Nenek pasti akan menyetujui hubungannya dengan gadis seperti Thalita.
Ia ingin Thalita bersandiwara menjadi wanita yang dijodohkan sang Ibu dengannya dan meyakinkan Sang Nenek jika dia dia yang harus terpilih menjadi calon istri Furkan ketimbang calon yang akan dipilih sang Nenek.
"Tu... Tunggu Tuan...." Thalita masih tak percaya dan tak bisa mencerna maksud dan tujuan Furkan. "Ini anda benar meminta bantuan saya?"
"Saya minta tolong Thalita... Kau bisa tidak membantu saya?"
"Me... mengapa saya? Mengapa harus saya?"
"Karena kau adalah yang paling tepat menurutku!"
"Tuan... saya itu bukan siapa- siapa! Saya bukan anak pengusaha apalagi pejabat. Saya tidak mungkin sepadan dengan keluarga Anda..."
"Kau berpura- pura menjadi anak dari seorang anak pejabat di Indonesia yang bekerja di Turki, mudah saja! Nenekku tak akan tahu dan bisa mengeceknya, aku yakin dia tak akan curiga!"
"Tu... Tuan... tapi jika seandainya... senandainya... benar Nenek Anda akan menerima saya menjadi menantunya bagaimana?" Thalita sangat ketautan dengan ide gila Furkan.
"Itu kita pikirkan nanti... kau tak usah takut.. kau tak akan benar- benar menjadi calon istriku!" Furkan menenangkan Thalita.
"Tuan... Lalu saya harus?" Thalita masih kebingungan.
"Aku akan menjemputmu besok malam, maksudku kita buka puasa di rumahku! Aku akan memperkenalkan ke Ibuku sebelum menemui Nenekku!" ujar Furkan.
"Tapi Tuan... bagaimana kalau saya menolaknya?" Thalita berusaha mengehentikannya.
"Aku tak akan memaksamu... namun aku akan memberikanmu uang berapapun yang kau mau!"
Thalita kesal. Ia menyipitkan matanya. "Saya bukan wanita yang mata duitan Tuan!" tegasnya.
"Jadi intinya kau menolak?" Furkan merasa frustasi.
"Ba... bagaimanapun... ini sama saja dengan tindakan penipuan Tuan!" tegas Thalita sekali lagi.
"Tak masalah! Baiklah jika kau tidak mau!"
Thalita merasa kebingungan, Ia melihat wajah Furkan sudah sangat kecewa mendengar penolakannya.
"Begini saja... saya sebenarnya tak akan memaksa namun saya akan memberikanmu sehari saja kesempatan untuk berpikir."
"Kalau saya tak berubah pikiran?"
"Pokoknya saya akan tetap menunggumu di lobi kantor sampai maghrib. Jika kau tidak mau datang juga, ya sudah... namun pikirkan tawaran uangnya, aku akan membayar berapapun yang kau mau!" ujar Furkan untuk terakhir kalinya menawari Thalita.
Thalita pun belum mengiayakan tawaran Furkan.
Ia pun akhirnya keluar dari ruangan Furkan.
Ia membuang nafas dalam- dalam.
"Ini gila... gila..." gerutunya dengan Bahasa Indonesia sehingga tak ada orang yang mengerti.
Batinnya. Thalita, lu jangan aneh- aneh deh di negara orang!
**
Dilraba pun akhirnya membantu Dilla untuk menghadapi kedatangan orang tua Dilla ke Istanbul.
Dilla terpaksa berbohong kepada orang tuanya jika dia sudah sukses di Istanbul dan berhasil menyewa apartemen di apartemen Conrad yang memang terkenal sangat mewah di Istanbul.
Ia takut disuruh kembali pulang ke Inggris jika sampai orang tuanya tahu jika nasib Dilla tak jelas di Turki dan kini hanya mengandalkan hidup dari Dilraba dan belum memiliki pekerjaan yang tetap lagi di Turki.
Sekarnag ini keadaan ekonomi Turki sedang carut marut akibat sedang adanya kampanye pilpres yang akan digelar bulan Agustus awal.
Dua partai beradu, antara Partai Keadilan yang berbasis partai keagamaan yang sangat kental yang mana pemimpinnya adalah Presiden Turki yang sekarang, Presiden Ahmet Albayrak yang telah menajdi Presiden Turki sejak tahun 2014, sedangkan partai oposisinya yang tak kalah kuat adalah Partai Republik yang mana merupakan Partai yang berbasis sekuler yang dipimpin oleh seorang Politikus handal Turki, Mansur Gul. Sekuler yang sekarang tidak seperti dulu dimana sudah tak ada lagi pelarangan hijab seperti yang terjadi 10 tahun dimana Pemerintah Turki sekuler melarang hijab di pemerintahan dan tempat publik seperti sekolah dan universitas. Namun pada tahun 2008, perlahan larangan tersebut dihapuskan.
Sekarang pertempuran baru dimulai lagi, babak baru dimana Presiden Ahmet Albayrak harus bertariung lagi untuk menduduki kursi orang nomor satu di Turki dengan lawannya yang sangat kuat dari Partai sekuler, Mansur Gul. Semua orang berdebat dengan pilihan mereka masing- masing dan merasa paling benar dengan pilihan mereka.
Para warga asing seperti Dilraba dan Dilla tentunya tak ikut campur dengan carut marut politik Turki tersebut karena mereka lebih memikirkan nasib mereka hidup di Turki siapapun Presidennya kelak.
"Aku harap pilpres segera berlalu... siapapun presidennya pokoknya harus segera berlalu!" ujar Dilla sembari menutup kedua wajahnya.
"Dilla... aku juga inginnya begitu! Namun aku pikir aku ingin Presiden Ahmet lagi saja yang berkuasa setelah ini!" ujar Dilraba.
"Kenapa kau memilih Presiden Ahmet?"
"Entahlah... aku merasa jika Presiden Ahmet sangat bagus dan membuat kemajuan yang pesat bagi Turki!"
"Kau tahu apa tentang politik Dilraba?" Dilla mengabaikan Dilraba.
"Dilla... aku tahu kau jauh lebih pintar dariku.. namun kau harus tahu jika Presiden Ahmet itu benar- benar bagus performanya! Kau tahu tidak, aku pernah ke Turki saat usiaku 12 tahun dan keadaan Istanbul dulu..." Dilraba mengernyitkan dahinya.
"Kau bilang kau baru pertama kali ke Turki?" Dilla menyipitkan matanya.
"Aku bohong! Maaf!" Dilraba menyunggingkan senyumnya.
"Aku suka Presiden Ahmet juga namun entahlah..."
"Sayang sekali..."
"Sayang apanya?"
"Ayahnya Furkan itu adalah tangan kanannya Mansur Gul. Mereka ada di oposisi sekuler."
"Kau tahu sejauh itu tentang Tuan Furkan?" Dilla menyipitkan matanya.
Dilraba panik, Ia pula ia sudah janji akan menutupi hubungan mereka dari siapapun. Ia pun langsung berusaha tenang.
"Hehehe... sudahlah Dilla... aku hanya sedikit kepo kok!" Dilraba berusaha mencari alasan.
"Kau jangan banyak kepo tentang Tuan Furkan Dilraba!" ujar Dilla menasihati. "Kau bisa mencari pria yang jauh lebih baik dari Tuan Furkan. Track record Tuan Furkan dengan wanita itu sangat buruk!"
Batin Dilraba. Terlambat Dilla... terlambat... Aku sudah jatuh cinta dengan Tuan Furkan.
**