Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

My Dearest, Adhitya

Aurelia_Chrissy
--
chs / week
--
NOT RATINGS
35.4k
Views
Synopsis
Jika seorang playboy ditakdir untuk jatuh cinta kepada dua wanita terbaik dalam kisah hidupnya, siapa yang akan ia pilih? Wanita yang selalu ia anggap sebagai adik, atau wanita yang sudah lama menjadi sahabatnya? --- "Seorang playboy juga bisa patah hati," lanjut Adhitya disela senyumannya. "Mungkin perasaanku pada Vanie juga sesaat sama seperti ketika mendambakan dirimu. Tapi kau menolakku berkali-kali dan aku sudah merasa cukup patah hati." Adhitya sudah gila rupanya. Adhitya miliknya. Sahabatnya. Impian masa depannya. Adhitya yang sekarang berbalik menyerang perasaannya dengan mengatakan mencintai wanita lain yang adalah adiknya sendiri. "Aku menginginkan Vanie sekarang. Ia tidak pernah membuatku merasa menjadi seorang playboy. Ia selalu membuatku merasa percaya diri untuk mendapatkan dirimu yang pada kenyataannya kau tidak berhasil kusanding," lanjut Adhitya. "Tapi aku memang sayang padanya dari awal. Dan kurasa..." Adhitya menarik wajah Zera tinggi-tinggi karena wanita itu sudah menunjukkan reaksi patah hatinya. "kalau aku bicara lebih banyak lagi itu akan melukaimu. Memintamu menjadi kekasih bohonganku adalah kesalahan ya?" Zera memaksakan senyumannya untuk terbit. Hanya saja sekarang ia terlihat seperti sedang menyengir. "Aku jadi tahu bagaimana rasanya menjadi kekasihmu walau tidak sungguh-sungguh menjadi kekasihmu." Kekehan Adhitya menghentikan senyuman Zera karena sekarang wanita itu menjadi tersipu. "Kau tidak akan mencintaiku kalau berpura-pura menjadi kekasihku, 'kan?" "Aku sudah mencintaimu, Adhitya."
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

"Selamat pagi, Kekasihku," sapa Adhitya sambil mengacak rambut Zera.

"Kau bukan kekasihku!" sentak Zera sambil merapikan rambutnya. "Berhenti memanggilku begitu."

Adhitya meletakkan tasnya lalu menarik keluar sebuah bingkisan kecil berwarna biru langit dari dalamnya. Dengan matanya yang bersinar terang, Adhitya meletakkan bingkisan tersebut ke dalam genggaman tangan Zera.

"Happy birthday."

Zera menyipitkan matanya begitu melihat isi dari bingkisan tersebut. Sepasang monel hadir dengan keunikan bentuknya dan membuat Zera tersedak napasnya secara tidak langsung. Kalung tersebut mengesankan namanya dengan imbuhan bunga terakhir di akhir untaian. Sedangkan cincin mungil itu mengandung unsur nama Adhitya. Huruf 'A' yang sangat estetik.

"Thanks," ujar Zera sembari mengembalikan cincin lucu itu ke tangan Adhitya.

Adhitya Pramanta mengerutkan dahinya sejenak. Tidak. Ia bukannya tersinggung. Ia hanya bingung mengapa Zera tidak menerima keduanya. Padahal kedua benda itu adalah hadiah satu paket darinya. Apa ia perlu menjelaskan makna dari hadiah-hadiah itu kepada Zera? Ah, ya. Sepertinya memang diperlukan.

Pada detik berikutnya Adhitya sudah berdiri dan dengan sigap meraih kalung pada tangan Zera. Ia menyibakkan rambut lebat Zera yang sangat lembut ketika menyentuh permukaan kulitnya. Adhitya mengalungkan kalung itu dengan cepat sebelum Zera mampu mengumandangkan protes.

"Ini hadiahku, Princess," bisik Adhitya di balik leher Zera. Lalu ia perlahan meraih tangan kiri Zera dan menyematkan cincin yang ia bawa. "Dan cincin ini berkat yang harus kau terima karena telah menerimaku sebagai sahabatmu."

Tubuh Zera menegang di bawah dagu Adhitya yang masih menempel di pundaknya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk bisa menahan godaan untuk tidak menjerit karena adegan yang tidak pernah ia bayangkan di sepanjang kisah hidupnya itu.

Untung saja Zera segera tersadar dari lamunannya dan memajukan tubuhnya sejauh mungkin dari Adhitya. Ia membatin dalam hati sebelum mulai berteriak kencang-kencang di depan telinga Adhitya hingga telinga lelaki itu pengung dan mulai meraba intensitas ketuliannya.

"Kau siapa, Adhit!" pekik Zera sambil melempar tatapan garang setelah puas membuat Adhitya meringis kesakitan akan teriakannya.

"Sahabatmu," jawab Adhitya lemah sambil memegang telinganya yang memerah. "Atau kekasihmu?"

"Enak saja! Jangan mengakuiku begitu, karena aku sama sekali bukan," geram Zera.

Adhitya melemparkan senyuman manisnya dan tanpa basa-basi menarik kursi untuk bisa duduk berhadapan dengan Zera walau pemandangan atas Zera terbatas oleh sandaran kursi wanita itu.

"Tahukah kau betapa aku terpesona melihat kelakuanmu yang super manis ketika kau marah padaku seperti ini?" tanya Adhitya sok dramatis. "Kau sangat lucu dan aku suka."

"Lalu? Aku tidak suka."

Adhitya menarik tangan Zera tanpa adanya penolakan. Ia terus memerhatikan cincin yang masih terpasang disana. Tampak indah memang berada diantara jemari ramping Zera. Adhitya tidak bisa menahan senyumannya untuk tidak tumpah dan ia yakin Zera bisa melihat itu dengan sangat jelas. Sedangkan Adhitya, ia akan membiarkannya tetap seperti itu.

"Aku tetap sahabatmu walau kau memakai namaku. Lagipula mengapa kau tidak ingin menjadi kekasihku?" tanya Adhitya sambil menatap lembut kepada mata coklat Zera.

"Karena kau milik semua orang, Adhitya Pramanta. Aku tidak suka berbagi dengan orang lain. Menjadi sahabatmu saja sudah cukup melelahkan. Apalagi menjadi kekasihmu," jawab Zera.

"Aku bisa membuat mereka menjauhiku kalau begitu."

"Tidak. Aku tetap tidak mau. Kau tetap bisa dilirik oleh banyak wanita walau kau membuat mereka membencimu sekalipun," sergah Zera bersikeras.

"Baiklah, Lavazera Aandanya. Kita bersahabat saja. Aku juga tidak mati kalau tidak menjadi kekasihmu," goda Adhitya dengan senyum jahilnya.

"Oke, kita sahabat dan tidak boleh lebih. Walau aku memakai cincinmu," sahut Zera tidak peduli terhadap godaan Adhitya.

Adhitya merenggangkan senyumannya dengan lebih leluasa sekarang. Lalu ia memeluk Zera dengan cepat-cepat. "Terima kasih untuk itu. Mendadak menjadi hal yang lebih dari yang kau kira."